Beranda / Thriller / Red Shoes Murderer / Bab 4, Mayat di Taman Bunga

Share

Bab 4, Mayat di Taman Bunga

Penulis: Cathalea
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-19 13:28:21

Sakura Park, terletak di antara Gereja Riverside dan International House, merupakan taman yang nyaman dan hijau. Dilengkapi dengan gazebo-gazebo indah, sehingga ketika sakura bermekaran para pengunjung bisa menikmati piknik dengan menggelar tikar di bawah pohon. Keindahan taman ini semakin memesona ketika musim semi tiba, karena sakura mulai bermekaran memperlihatkan kemolekan parasnya.

Namun, pemandangan indah sakura yang bermekaran itu harus terusik dengan ditemukannya sesosok mayat tanpa identitas di tengah-tengah rerumputan yang hijau.

Mobil patroli tampak berkilatan di bahu jalan Sakura Park. Beberapa polisi berseragam berjaga-jaga di sekitar mayat itu ditemukan.

Kent dan Angela tiba di lokasi kejadian, menyusul Brad Jewel yang langsung berlari memeriksa tempat kejadian. Bukan hal yang baru bagi Kent, Brad akan selalu menjadi orang pertama mengunjungi TKP setelah mereka menerima laporan. Pria yang seharusnya duduk tenang di balik meja itu faktanya tidak bisa tenang jika dirinya tidak melihat langsung kondisi korban dan TKP.

Bau anyir darah menyeruak saat mereka membuka pintu. Angela menahan napas untuk sejenak, lalu memutuskan mencoba untuk tidak peduli ketika melihat Kent berdiri mematung dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Angela mengeluarkan buku catatan dari sakunya, melirik arloji di pergelangan tangan, lalu mencatat waktu kedatangan mereka.

Mereka menghampiri petugas yang berjaga, serentak mengeluarkan tanda pengenal.

"Apa yang bisa kita dapatkan sejauh ini?" tanya Kent pada petugas itu.

"Wanita muda, kulit putih, tangan kaki terikat, leher luka sayatan, dan kedua kaki remuk, Pak," jawabnya.

"Siapa yang menemukannya?" tanya Kent lagi.

"Nicholas Wybe," jawab petugas itu sambil menunjuk ke arah pria paruh baya yang mengenakan baju ala penduduk Hawaii.

"Kapan?"

"Sekitar tadi pagi. Saksi tidak begitu yakin dengan waktunya."

"Apakah ia menyentuh sesuatu?" 

"Katanya tidak."

"Ia menelepon?"

"Tidak, dia berteriak histeris di jalanan saat kami sedang melintas."

"Tahan dia dulu. Aku masih ingin menanyainya."

"Siap, Pak."

Kent dan Angela melangkah mendekati TKP.

Rumput di sekitar korban masih terlihat segar, tidak terlihat satu pun benda asing di sekitar tubuh korban. Bahkan jejak kaki pun sulit untuk dipastikan karena tebalnya rumput yang menutupi. 

Angela melihat ke sekitar, berharap menemukan satu kamera CCTV. Namun, nihil. Pelaku terlalu cerdas, memahami dengan baik lokasi itu berada di titik buta CCTV.

"Benar-benar mimpi buruk, untuk kita dan forensik," desis Angela.

Gadis itu, berusia dua puluhan. Terbujur kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang tepat mengenai pembuluh arteri. Namun, yang paling mengenaskan adalah sepasang kakinya yang remuk seolah baru saja dilindas kereta api. Kaki itu masih terbungkus sepatu berwarna merah. Kali ini merahnya telah tercampur dengan merah darah. Tepat di atas kaki yang remuk itu, pada tungkai yang putih mulus terukir angka 3 yang dirajah menggunakan sesuatu yang runcing dan tajam. Belum bisa dipastikan jenis senjatanya apa yang pelaku gunakan, yang jelas hasil rajahannya telah menciptakan darah mengering yang membentuk angka tiga.

Kent mendebas kasar. Bingung dengan misteri angka pada tungkai gadis itu.

Angela dan Kent beradu tatap untuk beberapa saat, menunjukkan saling pengertian bahwa yang ada di hadapan mereka saat ini bukanlah pembunuhan biasa. Namun, sebuah pembunuhan yang disertai hasrat yang tak lazim. 

Mulai dari pemilihan lokasi, hingga cara meletakkan korban, sangat jelas pelaku sudah memperhitungkannya segala sesuatunya dengan matang. 

Arti tatapan mereka pun saling menyepakati tidak akan mengeluarkan pernyataan spekulasi sebelum pemeriksaan menyeluruh dari tim forensik.

Dua orang polisi dari Unit TKP datang. Di belakangnya, Lionel Garcia, seorang ahli forensik menyusul bersama seorang juru foto. Tim forensik memiliki juru foto sendiri yang siap bertugas kapan pun dan dimana pun ditemukan korban dengan indikasi pembunuhan, bunuh diri, ataupun kecelakaan fatal. Juru foto forensik sudah tahu betul sudut-sudut pengambilan gambar yang akurat demi mendapatkan foto yang berkualitas untuk data para penyidik nantinya.

Dr. Lionel Garcia, merupakan seorang pria yang sangat teliti. Ia membungkus sepatunya, mengenakan sarung tangan, dan sangat berhati-hati melangkah di sekitar wanita itu.

Sementara Lionel melakukan pemeriksaan, Angela melakukan pengamatan sederhana ke lingkungan sekitar korban. Sedangkan Kent menemui Brad untuk mendiskusikan beberapa hal.

Angela mulai mengeluarkan semua teori yang ia pelajari semasa di akademi kepolisian dulu. Siapakah korban? Apa yang terjadi padanya? Bagaimana korban bisa sampai ke TKP? Siapa yang melakukannya? Dan ... Apa alasan pelaku melakukan ini semua?

Sementara Angela sibuk dengan semua pertanyaan di kepalanya, Lionel telah menyelesaikan proses pemeriksaan atas korban. Dia menggeser posisi, memberi ruang lebih kepada para detektif untuk memulai penyelidikan mereka.

Kent mendekat, dengan tak sabar menanyai Lionel.

"Kau sudah dapat waktu kematiannya?"

"Masih belum pasti. Prediksiku sekitar pukul lima pagi," jawab Lionel.

"Bagaimana dengan penyebab kematian?"

"Kemungkinan besar sayatan di arteri. Untuk lebih pasti, aku harus memeriksanya dulu di meja CSU."

"Apakah dia dibunuh di sini?"

"Masih belum pasti. Namun, dilihat dari kondisi korban di TKP, dia tidak di bunuh di sini. Kau lihat, darah di sekitar leher tidak terlalu banyak."

"Bagaimana dengan kakinya?"

Lionel menarik napas panjang. 

"Aku tidak yakin benda apa yang digunakan. Sepertinya bukan sekedar palu biasa."

"Postmortem?"

"Sepertinya tidak. Akan tetapi, biar aku periksa lebih dalam. Setelah itu aku baru bisa memberi informasi lebih banyak."

Lionel menanti respon Kent beberapa saat, setelah tidak lagi terdengar pertanyaan, ia pun melangkah pergi.

Kent dan Angela terpaku dalam senyap. Memandangi korban dengan tatapan sedih.

"Jika bukan postmortem, berarti leher gadis ini disayat saat ia masih hidup?" tanya Angela untuk memastikan analisisnya.

Kent hanya menghela napas panjang, berharap pelaku tidak sekejam itu dalam berbuat.

Beberapa saat mereka kembali hanyut dalam pikiran masing-masing.

Suara Kent akhirnya memecah kesunyian. Ia menatap Angela, lalu mengajukan pertanyaan.

"Siap untuk memeriksa identitas, Detektif Joey?"

"Siap, Pak," sahut Angela cepat, penuh percaya diri. Ia bergegas mengenakan sarung tangan lateks, lalu menghampiri tubuh gadis itu dengan hati-hati.

Pertama, Angela mengamati pakaiannya, mencoba mencari sesuatu berupa kantong yang mungkin menyimpan identitas gadis itu. Namun, hasilnya nihil.

Angela mengamati ikatan pada tangan dan kakinya. Ia melihat simpul dan jenis tali yang digunakan. 

"Aneh," gumam Angela. "Ikatan talinya longgar sekali, tapi kenapa tidak ada tanda-tanda gadis ini melakukan gerakan perlawanan?"

"Kenapa?" tanya Kent penasaran, ketika ia melihat Angela memeriksa ikatan tangan dan kaki gadis itu berulang kali.

"Ikatan talinya longgar sekali, Pak. Simpulnya pun bukan simpul mati, sekali ia hentak kuat pasti bisa lepas. Namun, tidak ada tanda-tanda gadis ini melakukan perlawanan. Kau lihat ini? Permukaan kulit di sekitar ikatan tetap mulus," terang Angela.

Kent mengamati penjelasan Angela, membenarkan pengamatan rekan kerjanya itu.

"Semoga hasil pemeriksaan Lionel nanti bisa menjawab keanehan ini," ujar Kent seraya berdiri.

Angela mengangguk, ia kembali melanjutkan penyelidikannya. Ia mengamati sepatu merah itu lebih dekat. Di belakang tumit, meski tertutup darah Angela bisa melihat mereknya dengan jelas. 

"Gideon Jose ... Wah, merek sepatu mahal," bisik Angela. Ia menambahkan temuannya itu ke dalam buku catatannya.

Pengamatan Angela lanjut ke bagian leher gadis yang terdapat luka sayatan sepanjang sepuluh centi. Namun, Angela tidak tahu pasti berapa dalam luka itu dibuat.

Tepat di bawah luka sayatan itu, Angela melihat kalung dengan liontin yang cukup familiar. Ia meraih liontin itu untuk memastikan.

Ia menghela nafas panjang.

"Dia pasti memesan liontin ini di Century Craft," ujar Angela.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Kent.

"Di laci kamarku juga ada liontin serupa. Kita bisa dapatkan identitasnya di sana, karena setiap pemesan diwajibkan mengisi formulir biodata," jawab Angela. 

"Brian Wale, pemiliknya, pernah terlibat kasus kekerasan, tapi dibebaskan karena tidak cukup bukti," sambungnya lagi.

Kent tersenyum samar.

"Kau dapatkan tersangka pertamamu, Nona. Mari kita berangkat."

Bab terkait

  • Red Shoes Murderer   Bab 5, Gadis itu Naomi Heitcher

    Brian Wale, pria bertubuh tegap dengan wajah rupawan. Rambutnya kemerahan, sepasang netra berwarna coklat, tapi senyumnya terlihat kikuk. Ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan karena saat berbicara terdengar gugup. Gerak tubuhnya pun selalu terlihat gelisah. Kent dan Angela memperkenalkan diri, lalu duduk di depan meja kerja lelaki itu. "Apakah Anda mengenal liontin ini?" tanya Kent. Langsung tanpa basa-basi, dengan nada mengintimidasi. Ia membuka telapak tangannya, sebuah liontin tergantung pada jari-jarinya. Brian mengenakan kacamatanya, lalu mencondongkan wajah, memangkas jarak antara dirinya dengan liontin itu. "Sepertinya buatan sanggar ini. Maaf ... boleh saya memegangnya? Jika memang buatan kami ... pasti ada kode ... di belakangnya," jawab Brian dengan gugup. Kent menyerahkan liontin itu ke tangan Brian. Bergegas pria itu membalikkan liontin itu, lalu menyorotnya menggunakan kaca pembesar. "1717," gumamnya. "S

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 6, Iblis Berwujud Malaikat

    Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu. Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas. Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu. "Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah. Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata. "Kau lapar?" tanyaku. "Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya. Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya. "Hari mulai larut, tidurlah C

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 7, Wajah Duka Matthew Heitcher

    Keluarga Heitcher tidak bisa dikatakan kaya, bahkan mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan sederhana. Kediaman mereka terletak di kawasan kumuh, dimana rumah-rumah berjejer rapat dengan halaman yang sempit. Tidak ada yang benar-benar menyolok dari rumah-rumah itu, kecuali satu dan dua di antaranya berusaha memberikan sentuhan berbeda seperti cat yang norak dan ornamen-ornamen natal yang ditempelkan di pintu. Rumah keluarga Heitcher adalah salah satu yang menyolok itu. Bagian pintu di cat warna oranye, kusen pintu dan jendela berwarna biru tua. Lupakan tentang aturan nuansa warna dan gradasi warna yang membuat matamu nyaman. Bisa terlihat berbeda saja bagi mereka sudah cukup bagus. Matthew Heitcher, pria paruh baya dengan tubuh ringkih. Badannya tinggal kulit pembalut tulang, tanpa ada satu pun otot yang terlihat. Sesekali terdengar batuk yang sangat menyiksa dadanya. Setiap kali ia terbatuk, air matanya pasti keluar, sementara jari-jarinya yang kurus akan memegang

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 8, Kejujuran Olivia Turner

    Olivia membeku dengan wajah pucat. Ia tahu, saat ini dirinya benar-benar telanjang di hadapan Kent Bigael. Memang benar gosip yang ia dengar selama ini, Kent Bigael adalah "Malaikat Maut-nya para Tersangka". Tidak ada satu pun tersangka yang bisa lolos dari mata elangnya yang tajam. Dan kali ini Olivia membuktikan sendiri semua gosip itu bukanlah rumor tak berdasar. "Aku bertanya, Olivia," tegur Kent, masih dengan suara rendahnya. "T-t-t-ti-dak ada y-y-yang aku sembunyikan, Pak," jawab Olivia gugup. Getaran suaranya sangat jelas terdengar. Kent tersenyum sinis, menatap Olivia dengan tatapan tajam menukik. "Aku sudah bilang, kan? Coba sebutkan lagi, siapa aku, Olivia?" "Kent Bigael, Malaikat Maut-nya para tersangka," cicit Olivia. "Nah! Kau sudah tahu. Mengapa masih belum berkata jujur?" desak Kent. Olivia masih diam, duduk mematung tanpa suara. Namun, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. "Jadi kau memilih u

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 9, Mayat Tersenyum di Central Park

    Suasana Central Park seperti biasanya, selalu ramai oleh pengunjung, terutama di musim semi ini. Rindangnya pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran memberikan pemandangan yang menyejukkan mata. Bagaikan dejavu, Kent dan Angela kembali mengulagi peritiwa yang sama. Berhadapan dengan mayat tanpa identitas di sebuah taman di tengah-tengah kota. Tepat di bawah patung perunggu, gadis itu ditemukan tak bernyawa dalam kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya terbaring kaku dengan tangan dan kaki terikat. Di lehernya terdapat luka sayatan yang mengenai arteri. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berwarna merah, dipukuli hingga remuk tak berbentuk. Di tungkai yang tersisa lagi-lagi ada rajahan angka yang membentuk angka tiga. Bedanya, kali ini ia mengukir senyum di wajah gadis itu dengan menjahit bibirnya menggunakan benang warna merah. "Ada kartu identitas?" tanya Kent."Tidak," jawab Angela. "Tidak ada saku, dan celah untuk meletakkan dompet," sambungn

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 10, Sandi Rahasia di Tubuh Korban

    "Maksud Anda, pelaku meninggalkan sandi di mulut korban?" tanya Endrico. Kent mengangguk."Sembilan puluh sembilan persen, aku yakin pelaku meninggalkan pesan berupa sandi di mulut korban," jawab Kent optimis. "Bagaimana kita bisa memecahkan sandi yang hanya dipahami pelaku?" tanya Benyamin pesimis. "Jika kalian pernah ikut pramuka, kalian pasti mengenali sandi ini," jawab Kent kemudian. Ia mengambil marker, lalu menggambarkan pola sandi di papan tulis. Semua mata terpaku, tertuju pada gambar yang dibuat oleh Kent sambil menerka dan mengingat sejumlah sandi yang ada di pramuka. "Well ... sudah ada gambaran?" tanya Kent sambil meletakkan marker di sakunya. "Bukankah itu sandi kotak?" Keira yang baru saja masuk dengan beberapa gelas minuman tiba-tiba ikut menjawab. Di belakangnya Brad Jewel menyusul, lalu duduk sembarangan di kursi yang kosong. "Bingo," puji Kent seraya mengangkat ibu jarinya ke arah Keira. "Oh

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 11, Surat Kaleng

    Rumah Adam Hawkins berada di kawasan kelas menengah. Rumah-rumah berjejer rapi dalam ukuran beragam. Namun, tidak ada yang begitu besar. Halamannya tidak bisa dikatakan luas, hanya cukup menampung satu mobil keluarga berukuran sedang. Sementara di bagian dalam pagar beberapa tanaman tumbuh tak terawat. Beberapa petugas berdiri di depan pagar rumah, memastikan target tidak lagi bisa melarikan diri. Angela sampai di rumah itu, memperlihatkan kartu pengenalnya, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalamnya, tepat di sofa ruang tamu, seorang pemuda duduk terpekur di hadapan seorang wanita paruh baya yang sedang memasang wajah bengis. Dia mendelik tidak senang melihat kedatangan Angela. "Selamat sore, Ny. Hawkins. Saya Angela Joey dari Unit Pembunuhan NYPD," ujarnya memperkenalkan diri, seraya memperlihatkan tanda pengenalnya. Paras garang itu langsung melunak. Ekspresinya tidak lagi terlihat mengancam. "Oh, akhirnya Anda sampai juga, Detektif Joey. Saya

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • Red Shoes Murderer   Bab 12, Mimpi Buruk Kent Bigael

    Pada usia 15 tahun, ketika para remaja mulai merasakan jatuh cinta. Membuat janji temu di bioskop, lalu menghabiskan akhir pekan dengan sebuah kecupan di kening. Namun, tidak begitu halnya dengan Kent Bigael.Ya, begitulah orang-orang mengenalnya sekarang. Detektif Kent Bigael. Pria menjelang 40 tahun, bertubuh tinggi besar, dengan bekas luka di beberapa bagian tubuh.Tidak ada satu pun orang yang tahu jika Kent Bigael yang dijuluki 'Malaikat Maut' itu dulunya adalah seorang remaja manja, putra konglomerat Manhattan dengan nama lahir Brian Burnout. Ayahnya, Kevin Burnout pemilik sejumlah perusahaan besar di Manhattan.Kent Bigael kecil hidup bergelimang harta dan kemewahan. Akan tetapi, tidak pernah tampil di depan publik. Seolah-olah memiliki firasat buruk, Kevin Burnout merahasiakan identitas putra tunggalnya itu dari khalayak ramai. Dia tidak mengizinkan putranya diliput oleh media. Dia bahkan menyiapkan home schooling untuk pendidikan anaknya. Hanya keluarga

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19

Bab terbaru

  • Red Shoes Murderer   Bab 32, Identitas Pelaku

    Kent menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, sekarang ia kembali fokus pada penjelasan wanita yang ada di hadapannya itu. Ia tak sabar ingin mendengar informasi yang busa dijadikan petunjuk untuk menangkap pelaku."Oh, panti asuhan yang pernah terbakar sekitar sepuluh tahun yang lalu itu, bukan?" jawab Kent."Benar," jawab Madam Smith."Saat itu saya bertugas sebagai pemimpin panti, dibantu oleh beberapa pekerja yang bertugas sebagai tukang masak, supir, dan pesuruh. Ada dua belas orang anak yang kami asuh saat itu. Empat orang perempuan, sisanya laki-laki. Suatu hari, seorang anak perempuan yang paling besar mengamuk tanpa alasan yang jelas. Dia membakar panti sehingga menyebabkan banyak korban meninggal, tewas terbakar tanpa bisa menyelamatkan diri."Sampai di situ ia berhenti sejenak untuk mengatur napas. Namun, sebelum ia melanjutkan cerita, Kent terlebih dahulu menyela."Anda bilang seorang anak perempuan membakar panti tanpa alasan ya

  • Red Shoes Murderer   Bab 31, Pengakuan Penyintas

    "Penyintas?" gumam Kent, dengan tatapan nyaris tak percaya.Sungguh ia sangat mengharapkan munculnya tokoh penyintas ini untuk membuka identitas pelaku. Informasi dari penyintas bisa dikatakan sembilan puluh sembilan benar. Mengantongi informasi itu ibarat menemukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan untuk menangkap pelaku."Berikan alamat Anda, Nyonya. Saya akan segera ke sana," pinta Kent dengan penuh semangat.Wanita itu menyebutkan alamatnya, dan Kent mencatat alamat itu di dalam kepalanya. Ia bergegas memasukkan ponsel itu ke sakunya lalu pamit pada Angela yang sejak tadi penasaran dengan sosok yang menelepon Kent."Telepon dari siapa, Pak?" tanya Angela."Aku belum bisa katakan, sebaiknya kamu tidak penasaran tentang itu. Aku pergi dulu, Joey. Ada sesuatu yang harus segera kuperiksa. Kamu tidak apa 'kan aku tinggal sendiri?"Angela tertawa, merasa aneh dengan sikap Kent yang tiba-tiba sangat protektif pada dirinya.

  • Red Shoes Murderer   Bab 30, Penyintas

    "Hasil tes DNA menunjukkan 99,75% identik dengan korban kedua," lanjut David."Yes!" sorak Kent dengan suara tertahan."Kalau boleh tahu, di mana Anda dapat gantungan kunci ini, Pak?" tanya David penasaran.Kent mengambil semua barang bukti itu dari tangan David, lalu menyimpannya di dalam laci di bawah mejanya. Tak lupa, ia menguncinya agar aman."Nanti aku akan katakan padamu. Sekarang aku ingin kamu merahasiakan hal ini dari siapa pun. Aku akan menjebak pelaku itu untuk menyerahkan diri," kata Kent.Malam itu Kent tidak pulang ke rumah. Ia mematikan semua lampu, lalu bersembunyi di ruang rapat. Ia yakin sekali, pelaku pasti berusaha menemukan gantungan kuncinya yang hilang itu. Namun, sampai pagi menjelang tidak ada satu pun yang datang ke kantor malam itu.Keesokan paginya, Kent dikejutkan oleh Keira yang mulai bertugas membersihkan ruangan."Ya, Tuhan. Pak Kent?! Bapak tidur di sini?" seru Keira kaget.Kent menguap lebar,

  • Red Shoes Murderer   Bab 29, Petunjuk Penting

    Sementara David pergi, Kent lanjut memimpin rapat tim gugus tugas."Pak, bagaimana kondisi Angela? Apakah ... dia baik-baik saja?" tanya Endrico khawatir."Luka bakarnya cukup parah, tetapi secara keseluruhan dia baik-baik saja. Dia bisa mengenaliku meski kesulitan untuk bicara," jawab Kent.Pria bertubuh besar itu sebenarnya jarang menunjukkan ekspresi atas apa pun yang terjadi di hadapannya, tetapi kali ini berbeda. Musibah yang dialami Angela cukup telak mengenai hatinya. Saat ini dia dalam keadaan sangat marah sebenarnya. Akan tetapi, dirinya juga seorang profesional yang harus bisa memisahkan masalah pribadi dengan perkerjaan. Meski jantungnya terasa ingin meledak, Kent berusaha untuk tampak tenang agar bisa menyelidiki kasus pembakaran apartemen Angela dengan baik. Di samping itu, kasus pembunuhan berantai ini juga tetap harus jadi prioritas agar tidak ada lagi korban berjatuhan."Sial! Siapa pelaku ini sebenarnya? Berani sekali menyerang rumah petu

  • Red Shoes Murderer   Bab 28, Darah Kering di Gantungan Kunci

    Kilatan cahaya dari mobil polisi menyilaukan mata dini hari itu. Seorang tunawisma memberitahu patroli tentang penemuannya di taman kecil yang selalu gelap tanpa ada lampu taman seperti taman kota pada umumnya.Saat ditelusuri, benar kata tunawisma itu. Mayat gadis itu di letakkan begitu saja tepat di jalan masuk menuju taman. Seperti korban-korban sebelumnya, korban kali ini juga memiliki ciri-ciri yang sama.Sambil berkacak pinggang, Kent menghela napas panjang."Pelaku semakin percaya diri," komentar Lionel. Ternyata dokter forensik itu sudah berdiri di sampingnya sejak beberapa saat lalu."Benar. Seolah menantang dan mengejek kita karena masih belum mampu menangkapnya," sahut Kent.Seorang petugas mendekat."Seperti korban sebelumnya, tidak ada tanda pengenal, Pak. Tapi, bisa dipastikan dia adalah jemaat gereja X," lapor petugas bernama Jimmy itu."Bagaimana kau tahu? Apakah dari pakaiannya?" tanya Kent."Benar. Setiap ming

  • Red Shoes Murderer   Bab 27, Tanpa Jeda

    Jam sudah menunjukkan waktu pukul 3 dini hari ketika Kent Bigael menapakkan kaki di halaman rumah sakit. Sepasang kakinya yang panjang bergerak cepat menuju instalasi gawat darurat tempat dimana Angela sedang dirawat saat ini.Beberapa menit yang lalu ia mendapat kabar, Angela kritis karena ledakan di apartemennya. Kent yang baru saja hendak memejamkan mata langsung melompat dari tempat tidur, kemudian melarikan mobilnya dalam kecepatan penuh menuju rumah sakit.Rasa cemas dan was-was terpancar jelas di wajahnya."Joey!"Kent berseru dengan suara kuat begitu dirinya telah berada di dalam ruang IGD. Ia terus meneriakkan nama belakang Angela sambil menyibak satu persatu gorden yang menutupi ranjang."Maaf, Pak. Anda mencari siapa? Biar saya bantu," tawar seorang paramedis.Tangannya membentang di hadapan Kent, menghalangi pria bertubuh besar itu untuk menyibak gorden lebih banyak. Ia mengerti pria itu dalam keadaan panik, tapi sikapnya telah m

  • Red Shoes Murderer   Bab 26, Ledakan di Tengah Malam

    "Sebelumnya saya minta maaf. Apakah sesuatu terjadi pada Charlotte?"Wanita itu akhirnya mengajukan pertanyaan yang sejak awal mengusik pikirannya. Selama tinggal di komplek perumahan itu, ia belum pernah sekalipun melihat ataupun mendengar petugas kepolisian datang mengunjungi dan menanyai warga. Apalagi polisi dari unit pembunuhan. Wanita itu yakin, sesuatu hal yang tidak wajar pasti telah terjadi.Suasana hening sejenak, karena Kent tidak langsung menjawab. Namun Angela yang tidak sabaran, langsung menjawab pertanyaan itu dengan cepat."Ya, kemarin sore, dia ditemukan tewas di Inwood Hill Park."Wanita itu kaget dan spontan membentuk salib dengan jari di dadanya."Ya, Tuhan. Berarti itukah alasan mereka bertanya-tanya tentang Charlotte sebelum pindah?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara samar, nyaris berbisik.Namun, ternyata masih cukup nyaring di telinga Kent Bigael. Pria bertubuh besar itu pun langsung balik bertanya dengan cepat.

  • Red Shoes Murderer   Bab 25, Kesaksian

    Alan Parkhust berperawakan sedang. Kulitnya putih pucat, dengan beberapa tatto di lengan kanan dan kirinya. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada hal yang menarik dari pria itu. Sorot matanya licik, dan dia juga sering menunjukkan senyum sinis. Satu-satunya pesona pria itu hanyalah suaranya yang merdu. Saat ia berbicara, nadanya tenang, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar manis dan hangat. Mungkin itu yang membuat para gadis dengan mudah termakan rayuannya.Saat ini, dia terpaksa menunda semua hasrat gombalnya itu, karena sekarang dia harus berurusan dengan para penyidik. Terkait atau tidak, keterangannya dibutuhkan untuk mengungkap kematian Charlotte."Haruskah kau berbuat sejauh ini?" serangnya pada David yang baru saja memasuki ruangan itu."Ini masih kurang, Bung. Seharusnya aku mematahkan kakimu sejak lama," jawab David dingin.Bukannya diam, Alan justru mengeluarkan suara tawa yang penuh dengan ejekan."Lalu apa yang kau tunggu? La

  • Red Shoes Murderer   Bab 24, Muslihat Keji

    Jam di dinding baru saja menunjukkan pukul enam pagi, tapi David sudah berada di ruang rapat kantor Unit Pembunuhan NYPD. Wajahnya yang tampan terlihat pucat, ia duduk gelisah dengan jari yang tidak berhenti mengetuk meja. Sesekali helaan napas panjang disertai hembusan yang kuat terdengar dari mulutnya. Suara langkah kaki di luar ruangan terdengar semakin jelas. David menoleh, memindai lewat dinding kaca untuk melihat pemilik langkah kaki itu, tapi belum sempat ia melihat sosok itu dengan jelas, Kent Bigael muncul dari pintu. "Ada apa sampai kau memintaku datang sepagi ini?" tanyanya langsung, begitu melangkah masuk, lalu bergabung bersama David, duduk berhadapan di depan meja rapat. David tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan amplop besar dari tas, lalu memberikannya kepada pimpinan gugus tugas itu. "Ini laporan forensik dari dokter Garcia, Pak," ujarnya. Kent menerima amplop itu, tanpa melepaskan pandangan dari wajah David. Pengalaman se

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status