Saat Risma membuka mata, wajah pertama yang dilihatnya adalah wajah Ratu. Mata gadis kecil itu sembab karena menangisi ibunya yang mendadak tak sadarkan diri.
“Bunda!” panggil Ratu sambil memeluk ibunya. Anak itu masih menangis. Dia pasti sangat ketakutan saat Risma masih pingsan. Wajah berikutnya yang Risma lihat adalah tetangga kosnya. Apakah dia tidak lanjut bekerja dan menunggui Risma hingga sadar? “Bu Risma istirahat dulu. Kalau sudah enakan, kita pulang saja.” Risma hanya mengangguk sambil balas memeluk Ratu. Sesungguhnya, dia sendiri masih terguncang. Perasaannya seperti orang yang baru bangun tidur, bingung karena tidak tahu apa yang terjadi saat ia masih kehilangan kesadaran. Kemudian, saat ingatan dan penglihatannya menjadi lebih jernih, Risma mulai menyadari keadaan di sekitarnya. Ia mengedarkan pandangan, melihat bahwa saat ini ia tengah berada di sebuah kamar, namun bukan kamarnya sendiri. Setumpuk pakaian yang tergantung di balik pintu, jendela yang tidak dibuka sehingga udara terasa pengap, kasur tipis dengan sprei yang entah kapan kali terakhir diganti, kipas angin dengan baling-baling berdebu yang berputar perlahan dan bau tembakau yang cukup tajam. Itulah yang Risma lihat dan rasakan. Di manakah gerangan dirinya? “Kita di kamar Om Raka, Bunda. Om Raka yang membawa Bunda untuk istirahat di sini,” jelas Ratu yang tampaknya mengetahui kebingungan Risma. Risma merasa sangat malu usai mendengar penjelasan anaknya. Bisa-bisanya dia menilai keadaan seseorang yang telah menolongnya. Apakah ini teguran dari Allah agar ia tidak menilai orang lain dari penampilannya? Apakah bertahun-tahun hidup serba berkecukupan, telah membuat Risma menjadi sombong hingga Allah menegurnya sekeras ini? “Ah, sudah bangun ibunya. Silakan, minum dulu.” Suara seorang pria membuat tiga orang wanita di kamar, menoleh. Risma melihat seorang pria yang tampaknya seusia dengannya, tengah membawa teh hangat dan gorengan. “Nanti kalau mau pulang, makan dulu. Saya sudah siapkan di meja di pojokan,” lanjut pria tersebut. “Maaf sudah merepotkan, Pak Raka,” sahut tetangga kos Risma. “Tidak apa-apa, Bu. Saya lega, ibunya ternyata tidak apa-apa.” Risma menatap pria tersebut sambil tersenyum canggung. Oh, ini yang namanya Raka, pria yang menolongnya saat pingsan. “Te-terima kasih…” ucap Risma pelan, nyaris seperti berbisik. Pria bernama Raka tersebut mengangguk dan membalas, “saya tinggal dulu ke warung, ya. Permisi.” Setelah Raka meninggalkan mereka, Risma bertanya pada anaknya. “Jadi, sekarang kita di warungnya Pak Raka?” “Iya, Bunda. Kalau Bunda lapar, ayo kita makan. Ratu juga sudah lapar,’ jawab Ratu sambil mengajak makan begitu saja. Dasar anak-anak. “Tidak usah, kayaknya. Kita pulang saja, ya. Nanti makan di rumah. Jangan merepotkan Pak Raka lagi,” tolak Risma. Rupanya, tetangga kos Risma juga menyetujui keinginan Risma. Sehingga hanya Ratu yang kecewa, tidak bisa makan di warung saat itu juga. Saat beranjak meninggalkan kamar menuju ke warung di bagian depan, ketiga wanita itu melihat sebuah meja di salah satu sudut ruangan. Di atasnya terhidang makanan yang dijual di warung milik Raka. Ternyata benar, Raka sudah menyediakan makanan bagi mereka bertiga. Raka yang baru saja melayani seorang pembeli, menghampiri mereka bertiga dengan ramah. “Makan dulu, Bu, sebelum pulang,” kata Raka sambil menarik kursi-kursi untuk ketiga tamunya itu. Risma saling memandang dengan tetangga kosnya. Mereka segan untuk merepotkan lebih jauh. Namun, akan sangat tidak sopan jika menolak undangan dari orang yang sudah sangat baik pada mereka. Pada akhirnya, Ratu yang bersorak karena bisa makan dengan lauk lengkap lagi. Selama dua minggu ini, ia hanya makan sayur atau telur dadar. Itu pun satu telur harus cukup dibagi dengan ibunya untuk makan pagi, siang dan malam. “Alhamdulillaah!” seru Ratu sambil mengambil tempat di depan meja. Matanya berbinar melihat lauk ayam dan ikan yang menjadi makanan mewah setelah ia meninggalkan rumah ayahnya. Risma menegur putrinya agar menjaga sikap, namun Raka hanya tersenyum. “Tidak apa-apa, Bu,” kata Raka. “Saya senang, bisa menjamu walaupun sederhana.” Sambil menahan malu, Risma memakan suguhan dari Raka. Sesekali ia menengok Raka yang kembali melayani konsumen yang mendatangi warungnya. Dalam hati berdoa, semoga orang baik hati itu dilimpahi rezeki dan kesehatan oleh Allah. *** “Abang? Abang, ditunggu Bapak dan Ibu. Sudah siap, katanya,” kata Rika sambil mengetuk pintu kamar mandi. Ronny sudah berada di dalam kamar mandi sejak tadi, namun belum keluar juga. Alasannya sakit perut hingga bolak-balik buang air besar. Padahal, sebelumnya ia terlihat baik-baik saja. “Sebenarnya Abang makan apa, sih? Kok mendadak sakit perut begini? Siapa yang menyetir mobil kalau Abang sakit begini? Apa minta tolong supir kita, Pak Rusdi saja?” tanya Rika. Pintu kamar mandi akhirnya terbuka dari dalam. Ronny menyembulkan kepalanya. Ia menempelkan telunjuk di depan bibir, isyarat meminta agar Rika diam. “Bapak dan Ibu mau mencari Risma dan Ratu. Jadi Abang pura-pura sakit saja, supaya tidak disuruh mengantar,” jelas Ronny kesal. “Astaga. Maaf, aku tidak tahu,” balas Rika. “Ya sudah, aku harus bagaimana biar Bapak dan Ibu tidak jadi berangkat?” Ronny berpikir sejenak, lalu berkata, “kau alihkan saja perhatian Bapak dan Ibu. Biar aku yang beraksi. Aku akan keluar melalui pintu belakang.” Meskipun kurang paham, Rika mengangguk saja. Ia bergegas keluar kamar untuk menemui kedua mertuanya yang sedang menunggu di ruang depan. “Maaf, Pak, Bu. Abang masih buang air besar. Sudah empat kali. Tidak tahu dia makan apa, sampai sakit perut seperti itu,” ujar Rika sambil mendudukkan diri di depan kedua mertuanya. “Astaga. Apa kita tunda saja dulu, Pak? Kasihan anak kita,” sergah Rukmini pada suaminya. “Sekarang, keadaan Ronny bagaimana? Sudah diberi obat?” tanya Rahmat pada Rika. “Sudah. Tinggal menunggu obatnya bekerja, Pak.” Rahmat menoleh pada Rukmini, “kalau Ronny sudah baikan, kita bisa berangkat. Biar Rika yang menemani di sini. Nanti kita minta tolong Pak Rusdi saja untuk menyetir ke sana.” Rika tersentak. Gawat. Bisa ketahuan nanti, bahwa Risma diusir, bukan pergi dengan keinginan sendiri. Meskipun Ronny sudah mengancam para pekerja di rumahnya agar tutup mulut perihal pengusiran Risma, bisa saja diam-diam Rusdi memberitahukan kejadian sebenarnya saat menyetir ke rumah peninggalan orang tua Risma. “Rika, tolong panggilkan Pak Rusdi. Bilang, kami mau berangkat ke rumah lama Bu Risma,” suruh Rukmini. Dengan ragu, Rika berjalan ke belakang rumah, mencari supir yang sudah bekerja untuk keluarga selama sepuluh tahun tersebut. Sedangkan Rahmat dan Rukmini sendiri sudah menuju garasi untuk menunggu di sana. Namun, belum sempat Rika menemui Rusdi, Rika dikejutkan oleh teriakan kemarahan Rahmat yang berasal dari garasi. “SUBHANALLAH!! APA YANG TERJADI DENGAN MOBIL-MOBIL INI?!!”Rika yang terkejut, buru-buru menuju garasi. Hal pertama yang ia lihat adalah Rahmat yang berkacak pinggang dengan wajah memerah. Sementara Rukmini menutup mulut dengan mata mengarah pada tiga mobil milik mereka sekeluarga di garasi. Pada awalnya, Rika tak mengerti, apa yang terjadi pada mobil-mobil tersebut. Namun, setelah melihat ke bagian bawah, barulah ia paham, mengapa mertuanya bereaksi seperti itu. Setengah dari seluruh ban ketiga mobil tersebut kempes! Keenam buah ban yang dirusak tersebut, dirobek dengan menggunakan benda tajam. Jelas ada seseorang yang sengaja merusak ban-ban mobil tersebut. Rika langsung teringat pada rencana Ronny. Ternyata ini yang Ronny maksud. Rupanya, suaminya itu selain licik, bisa bergerak cepat juga. Tanpa sadar, Rika tersenyum tipis. Dengan begini, mertuanya tidak akan bisa mencari Risma. Kalau perlu, sel
Setelah pingsan saat memulung, Risma terpaksa beristirahat selama satu hari untuk memulihkan diri. Hanya Ratu yang menemani karena tetangga kos Risma tetap berjalan untuk memulung. Keesokan harinya, saat Risma sudah sehat, ia kembali memulung bersama tetangganya yang baik hati. Ratu bersikeras menemaninya, khawatir jika Risma mendadak sakit lagi. Rute yang mereka lalui untuk memulung, berbeda setiap harinya. Namun yang pasti, mereka akan melalui daerah-daerah yang ramai karena biasanya lebih mudah memperoleh sampah yang masih bisa dijual. “Bunda, kita akan lewat di depan warung Om Raka lagi, ya?” kata Ratu saat melihat bahwa gerobak yang mereka bawa tengah berada di jalan dekat warung makan milik Raka berada. “Iya, memangnya kenapa?” jawab Risma. “Siapa tahu, Om Raka mau mentraktir makan ayam lagi. Makanannya enak-enak, Bunda,” ha
Butuh waktu dua hari untuk mengganti ban-ban yang telah dirusak. Ronny memang sengaja tidak melibatkan Rusdi agar ia terlihat kerepotan. Sehingga, rencana untuk mencari Risma dan Ratu, agak terlupakan. Selama itu pula, Rahmat lebih sering marah-marah karena tidak bisa menerima perlakuan itu. Rukmini harus sering-sering membujuknya agar bersabar. Rika mengambil kesempatan tersebut untuk menambah kedekatan Razka dengan kakek dan neneknya. Setiap kali ia melihat Rahmat hendak marah-marah karena mengingat apa yang terjadi pada mobil-mobilnya, jika Razka sedang terjaga, Rika akan menyodorkan putranya untuk membuat kakeknya lebih tenang. “Tuh, Razka…. Kakek lagi ngapain, tuh…. Mau main?” “Razka mau main dengan Kakek. Boleh, ya, Kek?” “Kakek… Razka sudah bisa merangkak, loh. Lihat, lihat, Kek.”
Rika kembali tersentak. Kamar kosong itu artinya kamar yang dahulu pernah dihuni oleh Risma dan Ratu. Untuk apa Rahmat menyuruh menempatkan CCTV di sana? “Kamar Risma dan Ratu itu sekarang kosong, jadi Bapak pikir harus dipantau sering-sering. Siapa tahu, orang yang kemarin merusak ban mobil kembali ke sini dan bersembunyi di sana. Biar kita gampang menangkapnya,” kata Rahmat pada Rika. Rika terdiam. Ia hanya bisa menyaksikan para kru bekerja dengan diawasi oleh Rahmat. Pasrah. *** Ratu tampak kecewa karena hari ini, mereka lagi-lagi tidak melewati warung makan milik Raka. Dia tentu mengharapkan es teh yang segar dinikmati pada siang hari seperti ini. “Sabar ya, Nak. Kalau hari ini kita dapat uang lebih, Bunda belikan es teh,” janji Risma untuk menghibur Ratu. Ratu hanya mengangguk lemah. Langkahnya makin gontai, buah kekecewaan karena
Sudah lima hari berlalu setelah insiden perusakan ban mobil di kediaman Rahmat sekeluarga. Rahmat sendiri mulai mengikhlaskan peristiwa itu. Bagi Ronny, hal ini berbahaya. Sebab, itu berarti ayah dan ibunya akan kembali memusatkan perhatian dalam upaya mencari keberadaan Risma dan Ratu. Apalagi Rukmini mulai sakit-sakitan karena memikirkan cucu perempuannya. Keberadaan Razka memang menghiburnya, namun Rukmini juga tetap merindukan cucu perempuannya. “Kau ini ayahnya, Ronny. Anak perempuanmu hilang entah ke mana, kau malah santai-santai di sini,” semprot Rukmini saat ia sudah tak tahan lagi melihat Ronny yang seolah tak peduli keberadaan anak pertamanya. “Bu, aku tadinya mau lapor polisi. Tapi kalau aku lapor, sama dengan membuka aib sendiri. Ibu tahu ‘kan, alasan mengapa Risma dan Ratu pergi dari rumah ini,” kilah Ronny dengan segala dustanya. “Apa pun alasannya, kau tetap harus menca
Dua orang anak yang sedang bermain, mendongak ke Rukmini. Anak yang lebih tua berlari masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia kembali bersama seorang wanita yang tampaknya adalah ibunya. “Assalamu ‘alaikum,” ulang Rukmini. “Risma-nya ada, Bu?” Wanita yang sebaya dengan Rukmini itu membalas salam sambil mengerutkan kening. Bingung. “Risma, pemilik rumah ini? Anaknya perempuan. Ratu, namanya,” tambah Rukmini. Setelah melihat berbagai perubahan di rumah sederhana tersebut, Rukmini bersikap hati-hati. “Bu Risma? Oh, maksud Ibu, pemilik rumah ini sebelumnya?” balas wanita itu akhirnya. Rupanya dia mengenal Risma. “Iya, pemilik rumah ini. Ibu kenal?” sela Rahmat. “Hanya bertemu beberapa kali di kantor notaris, Pak. Dua tahun lalu, waktu suami saya membeli rumah ini dari Bu Risma,” jawab wanita tersebut. Rahmat d
Hari ini, seperti biasa, Risma, Ratu dan tetangga kos mereka menyusuri jalan untuk memungut sampah yang masih bisa dijual kembali. Meskipun agak murung, Ratu tetap mengikuti ibunya. Membantu Risma dan tetangga kos mereka bekerja mencari nafkah. “Kenapa, Nak?” tanya Risma, menyadari bahwa ada yang tidak biasa dengan Ratu. “Tidak apa-apa, Bunda. Ratu hanya….” Kalimat Ratu menggantung saat kedua bola matanya menangkap benda-benda tertentu yang teronggok di sebuah tempat sampah yang tengah ia periksa. Seketika sepasang mata itu berbinar cerah. “Bunda! Ini boleh untuk Ratu saja?!” kata Ratu sambil menunjukkan apa yang ia temukan. Risma dan tetangga kosnya tercengang. Benda yang ditunjukkan oleh Ratu adalah setumpuk buku pelajaran sekolah dasar yang sebagian kertasnya sudah lenyap karena robek atau lepas. “Buat Ratu saja, ya, Bunda,” ulang Ratu. “I-iy
Akan tetapi, saat mereka bertiga melalui warung makan milik Raka, Ratu harus menelan kekecewaan. Warung sederhana itu tampak lengang. Sebuah papan bertuliskan ‘TUTUP’ tergantung pada pintu masuknya. Raka pun tak terlihat di sekitar warungnya. Barangkali ia sedang berada di kamarnya di bagian belakang warung. Atau memang sedang berada di luar. Entahlah. “Jangan terlalu berharap, Nak. Rezeki itu Allah yang mengatur. Hari ini kelihatannya rezeki kita bukan di warung makan Pak Raka,” kata Risma, menasihati sekaligus menghibur putrinya. Meskipun agak lega karena tidak perlu bertemu dengan Raka, tak ayal Risma merasa sedih karena melihat putrinya kecewa. “Iya, Bunda,” balas Ratu lesu. Pupus sudah harapannya untuk menikmati hidangan enak dari om yang tidak pelit berbagi itu. “Mau makan bekalnya lagi? Yang tadi belum habis, ‘kan?” sela tetangga kos Risma, mengalihkan perhatian Ratu untuk ikut menghiburnya.
“Mbak Risma tidak bertengkar dengan Mbak Rika, tapi dengan Mas Ronny.” Ronny melotot saat mendengar kelanjutan kata-kata Rusdi. Pada saat yang bersamaan, kedua orang tuanya menoleh padanya. Ronny jadi salah tingkah karena kini orang tuanya tahu bahwa ia telah berbohong. “Bisa jelaskan, Ronny? Apa benar kau bertengkar dengan istrimu sebelum pergi?” tanya Rahmat tajam. Rukmini bertindak lebih jauh. Ia menoleh pada Ratih. “Tolong panggilkan Mbak Rika di kamarnya. Kalau Razka sedang tidur, tolong ditemani dulu.” “Iya, Bu.” Wajah Ronny memucat saat Ratih berjalan menuju ke kamar. Ibunya pasti hendak mencocokkan pengakuan Ronny dan Rika dengan Rusdi. “Jadi sebenarnya apa yang membuat Risma pergi?” tanya Rahmat pada Ronny lagi. Rika datang ke ruang tengah dan langsung duduk di sisi suaminya. Dengan takut-takut, ia melirik suaminya.
Usai makan malam, Ronny dibuat jantungan oleh ayahnya. Dengan tenang Rahmat menyuruh agar ia mengumpulkan para pekerja rumah tangga di ruang tengah. Padahal putranya sudah mau pingsan karena terlalu takut. “Harus malam ini ya, Pak? Mereka pasti masih capek setelah bekerja dan….” “Bapak hanya ingin bertanya, siapa tahu ada yang tahu, ke mana Risma membawa Ratu. Kau ini kenapa? Bukannya kau yang seharusnya bertanya pada mereka? Seandainya kau tidak peduli pada Risma sekali pun, seharusnya kau memikirkan nasib anakmu!” sergah Rahmat setengah membentak, memotong kalimat Ronny. “I-iya, Pak. Sebentar, saya panggilkan mereka semua.” Ronny tergopoh-gopoh ke belakang rumah, mencari para pekerja yang memang mendapatkan kamar di sana. Selain Rusdi yang menjadi supir, masih ada tiga orang lagi yang bekerja bagi Rahmat dan semuanya masih satu keluarga. Yaitu Ratih, istri Rusdi yang menjadi asisten
“Kalau menurut saya, lebih baik Bu Risma kerja pada Pak Raka saja. Bukannya ngatur Bu Risma atau Pak Raka. Tapi, kerja di sini lebih aman dan mungkin lebih cocok untuk Bu Risma,” lanjut tetangga yang sudah menolong Risma mendapatkan uang itu. “Lebih aman? Maksud Ibu?” tanya Risma tak mengerti. Dua kali insiden hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Pertama adalah saat Risma pingsan yang berakhir dengan ditolong oleh Raka. Kedua adalah apa yang baru saja terjadi. Ratu nyaris menjadi korban kecelakaan lalu lintas yang lagi-lagi, berakhir dengan ditolong oleh Raka. Bagi tetangga kos Risma, dua peristiwa itu sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Risma dan Ratu tidak cocok berada di jalanan. Sebab, selain sangat melelahkan untuk menyusuri jalanan sepanjang hari, jalanan juga menjadi tempat yang berbahaya bagi mereka yang ceroboh. “Saya bukannya mau menolak Bu Risma dan Ratu untuk ikut memulung bersama-sama.
CKIIITT!!! Decit ban mobil yang beradu dengan aspal, seolah mengirimkan efek kejut bagi Risma yang sebelumnya terpaku di tempatnya. Akhirnya ia bisa bergerak lagi. Bahkan bisa berteriak, menyebut nama anaknya. “RATU!” Ratu sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya merasakan, seseorang menarik tubuhnya dengan kuat hingga ke tepi jalan. Buku yang sudah ia pegang, terlepas dari tangannya. Buku itulah yang akhirnya ditabrak oleh mobil yang nyaris menabraknya. Kertas-kertasnya berhamburan, melayang beberapa saat di udara sebelum akhirnya jatuh di aspal yag keras. Risma segera memeluk Ratu. Air matanya bercucuran. Merasa bersalah karena tak mampu menyelamatkan anaknya. Malah membeku di tempatnya. “Bunda….” Ratu pun tak kalah terkejutnya. Perlahan ia mulai menyadari apa yang terjadi. Bahwa alih-alih buku yang dici
Akan tetapi, saat mereka bertiga melalui warung makan milik Raka, Ratu harus menelan kekecewaan. Warung sederhana itu tampak lengang. Sebuah papan bertuliskan ‘TUTUP’ tergantung pada pintu masuknya. Raka pun tak terlihat di sekitar warungnya. Barangkali ia sedang berada di kamarnya di bagian belakang warung. Atau memang sedang berada di luar. Entahlah. “Jangan terlalu berharap, Nak. Rezeki itu Allah yang mengatur. Hari ini kelihatannya rezeki kita bukan di warung makan Pak Raka,” kata Risma, menasihati sekaligus menghibur putrinya. Meskipun agak lega karena tidak perlu bertemu dengan Raka, tak ayal Risma merasa sedih karena melihat putrinya kecewa. “Iya, Bunda,” balas Ratu lesu. Pupus sudah harapannya untuk menikmati hidangan enak dari om yang tidak pelit berbagi itu. “Mau makan bekalnya lagi? Yang tadi belum habis, ‘kan?” sela tetangga kos Risma, mengalihkan perhatian Ratu untuk ikut menghiburnya.
Hari ini, seperti biasa, Risma, Ratu dan tetangga kos mereka menyusuri jalan untuk memungut sampah yang masih bisa dijual kembali. Meskipun agak murung, Ratu tetap mengikuti ibunya. Membantu Risma dan tetangga kos mereka bekerja mencari nafkah. “Kenapa, Nak?” tanya Risma, menyadari bahwa ada yang tidak biasa dengan Ratu. “Tidak apa-apa, Bunda. Ratu hanya….” Kalimat Ratu menggantung saat kedua bola matanya menangkap benda-benda tertentu yang teronggok di sebuah tempat sampah yang tengah ia periksa. Seketika sepasang mata itu berbinar cerah. “Bunda! Ini boleh untuk Ratu saja?!” kata Ratu sambil menunjukkan apa yang ia temukan. Risma dan tetangga kosnya tercengang. Benda yang ditunjukkan oleh Ratu adalah setumpuk buku pelajaran sekolah dasar yang sebagian kertasnya sudah lenyap karena robek atau lepas. “Buat Ratu saja, ya, Bunda,” ulang Ratu. “I-iy
Dua orang anak yang sedang bermain, mendongak ke Rukmini. Anak yang lebih tua berlari masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia kembali bersama seorang wanita yang tampaknya adalah ibunya. “Assalamu ‘alaikum,” ulang Rukmini. “Risma-nya ada, Bu?” Wanita yang sebaya dengan Rukmini itu membalas salam sambil mengerutkan kening. Bingung. “Risma, pemilik rumah ini? Anaknya perempuan. Ratu, namanya,” tambah Rukmini. Setelah melihat berbagai perubahan di rumah sederhana tersebut, Rukmini bersikap hati-hati. “Bu Risma? Oh, maksud Ibu, pemilik rumah ini sebelumnya?” balas wanita itu akhirnya. Rupanya dia mengenal Risma. “Iya, pemilik rumah ini. Ibu kenal?” sela Rahmat. “Hanya bertemu beberapa kali di kantor notaris, Pak. Dua tahun lalu, waktu suami saya membeli rumah ini dari Bu Risma,” jawab wanita tersebut. Rahmat d
Sudah lima hari berlalu setelah insiden perusakan ban mobil di kediaman Rahmat sekeluarga. Rahmat sendiri mulai mengikhlaskan peristiwa itu. Bagi Ronny, hal ini berbahaya. Sebab, itu berarti ayah dan ibunya akan kembali memusatkan perhatian dalam upaya mencari keberadaan Risma dan Ratu. Apalagi Rukmini mulai sakit-sakitan karena memikirkan cucu perempuannya. Keberadaan Razka memang menghiburnya, namun Rukmini juga tetap merindukan cucu perempuannya. “Kau ini ayahnya, Ronny. Anak perempuanmu hilang entah ke mana, kau malah santai-santai di sini,” semprot Rukmini saat ia sudah tak tahan lagi melihat Ronny yang seolah tak peduli keberadaan anak pertamanya. “Bu, aku tadinya mau lapor polisi. Tapi kalau aku lapor, sama dengan membuka aib sendiri. Ibu tahu ‘kan, alasan mengapa Risma dan Ratu pergi dari rumah ini,” kilah Ronny dengan segala dustanya. “Apa pun alasannya, kau tetap harus menca
Rika kembali tersentak. Kamar kosong itu artinya kamar yang dahulu pernah dihuni oleh Risma dan Ratu. Untuk apa Rahmat menyuruh menempatkan CCTV di sana? “Kamar Risma dan Ratu itu sekarang kosong, jadi Bapak pikir harus dipantau sering-sering. Siapa tahu, orang yang kemarin merusak ban mobil kembali ke sini dan bersembunyi di sana. Biar kita gampang menangkapnya,” kata Rahmat pada Rika. Rika terdiam. Ia hanya bisa menyaksikan para kru bekerja dengan diawasi oleh Rahmat. Pasrah. *** Ratu tampak kecewa karena hari ini, mereka lagi-lagi tidak melewati warung makan milik Raka. Dia tentu mengharapkan es teh yang segar dinikmati pada siang hari seperti ini. “Sabar ya, Nak. Kalau hari ini kita dapat uang lebih, Bunda belikan es teh,” janji Risma untuk menghibur Ratu. Ratu hanya mengangguk lemah. Langkahnya makin gontai, buah kekecewaan karena