“Ayah! Jangan pukul Bunda lagi!” jerit Ratu sambil berlari mendekati kedua orang tuanya.
Dengan berani, anak perempuan berusia sembilan tahun itu berdiri di depan Risma, ibunya. Tangannya terentang lebar, menjadi tembok penghalang bagi Ronny, ayahnya, agar berhenti memukuli ibunya. Ratu tidak tahan lagi melihat ibunya dipukuli. Melihat kenekadan Ratu melindungi dirinya, Risma segera memeluk putri semata wayangnya itu. Ia khawatir, Ronny yang sedang gelap mata, mengalihkan kebuasannya pada Ratu yang berat tubuhnya tak sampai setengah bobot Ronny tersebut. Ratu tidak akan baik-baik saja jika ia sampai kena pukul. Akan tetapi, perlahan Ronny menurunkan tangannya saat melihat keberanian Ratu. Ia menjadi lebih tenang dan tampaknya tidak bermaksud memukul anaknya. Padahal, sebelumnya, ia sudah memukul wajah dan tubuh Risma tanpa kenal ampun. “Minggir, Nak. Ini urusan Ayah dan Bunda-mu,” perintah Ronny pada Ratu, dingin. “Tidak. Ayah tidak boleh memukul Bunda lagi!” tukas Ratu. Matanya menatap tajam ayahnya, berkilat menyiratkan kemarahannya. “Nak, jangan membantah ayahmu. Sekarang masuk ke kamar, ya. Biar Bunda bicara dengan Ayah,” bujuk Risma sambil tersenyum pada Ratu. Senyuman yang dipaksakan karena air mata Risma sendiri belum berhenti berderai. Bibirnya pecah hingga mengeluarkan setitik darah. Sedangkan pipinya mulai bengkak usai ditampar. Beberapa bagian wajah dan tubuh lainnya mungkin akan memar sebentar lagi. Ratu sendiri bukan anak yang bodoh. Ia bisa menerka apa yang akan terjadi jika ia sampai meninggalkan ibunya sendirian dengan ayahnya. Oleh sebab itu, ia bertahan dan balas memeluk Risma demi mencegah ibunya terus menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga lagi. Sebagai anak yang masih kecil, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk melindungi ibunya. “Masuk kamar, Ratu!” perintah Ronny setengah membentak. Kemarahannya mulai timbul lagi karena anaknya membangkang, bahkan menantangnya. Dia jelas tidak bisa menerima tingkah laku anak yang seperti itu. Padahal, dirinya sendiri yang sudah melakukan kekerasan dan kekejaman. “Kalau Ratu ke kamar, Ayah pasti akan memukul Bunda lagi. Kasihan Bunda, Ayah,” tolak Ratu lagi. Sepasang mata Ronny melebar saat mendengar penolakan putrinya. Tangannya terangkat. Sepertinya hendak memberi pelajaran pada gadis kecil yang sempat menjadi sumber kebahagiaannya itu. Melihat Ronny yang makin gelap mata, Risma segera menarik putrinya untuk menghindar. Tujuannya adalah berlindung di kamar yang mereka tempati. Namun, saat Risma dan Ratu hendak membuka pintu kamar, seseorang menyela keributan itu dengan keributan lainnya. “Ada apa sih ribut-ribut??!! Razka jadi terbangun dari tidurnya, nih!!” Terdengar sahutan dari kamar lain di rumah. Suara seorang wanita muda yang marah karena keributan yang ditimbulkan oleh Ronny, Risma dan Ratu. Padahal, dirinya sendiri juga tidak sadar bahwa dia juga berteriak-teriak hingga menambah keributan. Dari arah yang sama dengan asal suara wanita tersebut memang terdengar pula isak tangis bayi. Pintu kamar tempat suara itu berasal akhirnya dibuka dari dalam, memunculkan seorang wanita yang menggendong seorang bayi yang menangis karena tidurnya terganggu. Wanita tersebut adalah Rika, istri kedua Ronny. Sedangkan bayi yang sedang menangis dalam gendongannya itu adalah Razka. Bayi laki-laki yang baru berusia enam bulan, putra Ronny dan Rika. “Astaga, Sayang…. Maaf, sudah mengganggu kalian. Abang lupa, ini jam tidur Razka,” sahut Ronny. Ia buru-buru menghampiri wanita itu dan mengambil alih bayi laki-laki yang masih menangis tersebut. Mencoba menenangkan Razka dalam gendongannya. “Ada apa sih, ribut-ribut? Kak Risma bikin ulah apa lagi sekarang?!” sergah wanita itu ketus. Ia melotot pada Risma, menyalahkan istri pertama Ronny tersebut. Padahal, ia juga pasti sudah mendengar bahwa sebelumnya Ronny-lah yang memukuli Risma. “Maaf ya, Dik. Tidur Razka jadi terganggu. Abang hanya sedang menasihati Kak Risma-mu supaya tidak melawan Abang lagi. Dia malah melawan terus hingga Abang harus memukulnya supaya patuh pada Abang,” sahut Ronny sambil terus menenangkan Razka, bayi laki-laki yang sudah dinantinya sejak lama. “Tidak! Ayah yang memukul Bunda, padahal Bunda tidak salah apa-apa!” sergah Ratu, tak terima ibunya difitnah oleh Ronny, ayahnya sendiri. Ronny terbelalak mendengar seruan Ratu. Ia nyaris menghampiri Ratu untuk meluapkan amarahnya. Namun, Rika sudah mendahului dan membentak anak pemberani itu. “Berani benar kau melawan dan memfitnah ayahmu! Apa ini akibat dari ajaran Kak Risma pada Ratu? Anak macam apa yang berani bersuara keras pada ayahnya sendiri?!” Risma terkejut mendengar tuduhan madunya itu. Ia menggeleng cepat. “Anakku adalah anak yang baik. Dia hanya sedang marah pada ayahnya karena memukul aku,” sergah Risma, membela putrinya. Ia memang tak berani melawan Ronny. Namun menghadapi Rika, itu beda cerita. Risma lalu beralih pada Ratu, mengajaknya masuk ke kamar untuk menyudahi keributan tersebut. Ratu menurut karena ibunya sendiri yang meminta, bukan ayahnya yang kejam. Namun Rika ternyata tidak membiarkan Risma mengalah dan menenangkan diri. Sebelum Risma dan Ratu masuk ke kamar mereka, Rika sudah beraksi untuk mengacaukan lagi keadaan yang sudah mulai tenang itu. Ia mendekati Ronny, lalu memegang lengan suaminya dengan wajah sedih. “Bang? Abang lihat sendiri, ‘kan? Berani anak sekecil itu melawan orang yang lebih tua. Abang yang ayahnya saja dilawan, apalagi aku yang hanya ibu tirinya. Bisa-bisa Razka terpengaruh dia nanti. Aku tidak mau Razka jadi anak yang suka melawan seperti Ratu,” rengek Rika dengan tangisan yang dibuat-buat. “Apalagi, Kak Risma tidak bisa mendidik Ratu jadi anak yang manis dan penurut. Aku tidak bisa tinggal serumah dengan orang-orang yang akan membawa pengaruh buruk bagi Razka. Jadi, aku mau kembali ke rumah Mama dan Papa saja!” lanjut Rika dengan suara melengking. Ronny yang masih menenangkan Razka, tersentak mendengar keputusan Rika. Ia tampak kebingungan, apakah harus menyusul istrinya yang hendak kembali masuk ke kamar atau tetap menenangkan Razka di tempatnya. “Se-sebentar, Dik. Abang masih….” Ronny berusaha mencegah Rika, namun istri keduanya itu tak memedulikannya. Ia malah membanting pintu di depan Ronny. Akibatnya, Razka yang terkejut, kembali menangis kencang. Malah lebih kencang daripada saat tidurnya terganggu sebelumnya. “Aish, Rika. Kau membuat anak kita menangis lagi,” umpat Ronny kesal. Risma dan Ratu hanya menatap Ronny yang kebingungan. Risma sebenarnya bisa membantu Ronny menenangkan Razka. Akan tetapi, siapa yang sudi membantu seseorang yang sudah menyiksanya, bahkan nyaris memukul anak sendiri? Tak lama kemudian, Rika muncul kembali dengan tas berisi pakaian dan langsung mengambil Razka dari tangan ayahnya. Ia tidak peduli lagi bahwa Razka masih menangis kencang Rika lalu melangkah cepat menuju pintu depan. Bersiap hendak kembali ke rumah orang tuanya untuk menghukum Ronny yang tidak memihaknya sepenuhnya. “Aku pamit!” cetus Rika ketus. Rika membuka pintu depan dengan kasar lalu berjalan keluar. Setelah itu, ia membanting lagi pintu yang tak bersalah tersebut. Persis drama di TV.Risma tahu, ulah Rika ini hanya drama. Akal-akalan Rika untuk mencari perhatian Ronny sekaligus menjelek-jelekkan diri Risma dan Ratu. Seperti biasa, selanjutnya akan ada pertunjukan dengan deretan bintang yang tidak memiliki wajah semulus artis sinetron. Risma menantikannya meskipun sebenarnya ia merasa agak tegang karena akhirnya bisa tidak terduga.“Dik, tunggu. Jangan begitu, dong. Bapak dan Ibu sedang di Tanah Suci. Apa kata mereka kalau pulang berhaji, menantu dan cucu laki-lakinya tidak ada?” cegah Ronny, berusaha menahan langkah istri keduanya. Ia merebut tas dari tangan Rika.Nah, ‘kan. Seperti biasa, Rika akan berlagak hendak kabur dan Ronny akan mencegahnya. Biasanya Bapak atau Ibu—panggilan untuk kedua orang tua Ronny—akan menengahi drama ini karena tidak mau rumah tangga kedua Ronny tersebut hancur.Tapi, para mertua Risma dan Rika tersebut baru akan pulang dari Tanah Suci kira-kira dua minggu lagi. Jadi, mau tidak mau, Ronny harus mengatasi sendiri rengekan istri keduany
Selamatan yang meriah diadakan untuk menyambut kedatangan Rahmat dan Rukmini. Kedua orang tua itu sangat bersyukur karena berhasil menunaikan ibadah haji dengan baik sehingga bisa kembali ke tanah air dengan selamat.Sangat banyak orang-orang yang datang untuk memberi selamat pada pasangan suami istri tersebut. Tidak hanya para tetangga, tokoh masyarakat yang mengenal Rahmat dan Rukmini pun memenuhi rumah besar milik suami istri tersebut. Para tokoh agama, lurah, camat hingga kepala polisi setempat, memenuhi undangan syukuran yang diadakan besar-besaran tersebut.Rukmini yang tak henti-henti mengumbar senyuman, mendampingi Rahmat menerima ucapan selamat dan mengikuti rangkaian acara. Walaupun mereka baru saja tiba dari bandara, Rukmini sama sekali tak merasa lelah. Kebahagiaannya karena telah kembali ke tanah air telah menghapus kelelahan akibat perjalanan mengarungi udara selama belasan jam.Akan tetapi, lama kelamaan, Rukmini mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Bukan hanya kar
Sekolah masih libur, jadi Ratu menemani Risma bekerja memulung sampah. Awalnya Risma tidak mengizinkan karena khawatir anaknya itu kelelahan. Namun, Ratu bersikeras.“Ratu mau bantu Bunda. Kasihan Bunda, setiap pulang pasti capek. Siapa tahu, capeknya berkurang karena Ratu bantu.”Risma menoleh pada tetangga kos yang sudah berbaik hati mengajaknya bekerja memulung. Meminta izin untuk mengajak anak perempuannya yang ingin berbakti.Tetangga kos yang baik hati itu mengangguk tanda setuju. Ia tidak keberatan sama sekali.Maka, berangkatlah tiga wanita berbeda usia itu menyusuri jalanan untuk mengumpulkan sampah kardus dan plastik bekas. Sepanjang perjalanan, Risma tak henti memerhatikan Ratu, khawatir jika anaknya kelelahan. Sesekali mereka beristirahat dan memakan bekal yang dibawa.Apa yang Risma khawatirkan tentang Ratu, justru tidak terjadi sama sekali. Sebaliknya, Risma-lah yang merasa kesulitan dan perjalanan mereka. Sinar matahari yang bersinar terik membuat dirinya merasa lelah d
Saat Risma membuka mata, wajah pertama yang dilihatnya adalah wajah Ratu. Mata gadis kecil itu sembab karena menangisi ibunya yang mendadak tak sadarkan diri.“Bunda!” panggil Ratu sambil memeluk ibunya. Anak itu masih menangis. Dia pasti sangat ketakutan saat Risma masih pingsan.Wajah berikutnya yang Risma lihat adalah tetangga kosnya. Apakah dia tidak lanjut bekerja dan menunggui Risma hingga sadar?“Bu Risma istirahat dulu. Kalau sudah enakan, kita pulang saja.”Risma hanya mengangguk sambil balas memeluk Ratu. Sesungguhnya, dia sendiri masih terguncang. Perasaannya seperti orang yang baru bangun tidur, bingung karena tidak tahu apa yang terjadi saat ia masih kehilangan kesadaran.Kemudian, saat ingatan dan penglihatannya menjadi lebih jernih, Risma mulai menyadari keadaan di sekitarnya. Ia mengedarkan pandangan, melihat bahwa saat ini ia tengah berada di sebuah kamar, namun bukan kamarnya sendiri.Setumpuk pakaian yang tergantung di balik pintu, jendela yang tidak dibuka sehingga
Rika yang terkejut, buru-buru menuju garasi. Hal pertama yang ia lihat adalah Rahmat yang berkacak pinggang dengan wajah memerah. Sementara Rukmini menutup mulut dengan mata mengarah pada tiga mobil milik mereka sekeluarga di garasi. Pada awalnya, Rika tak mengerti, apa yang terjadi pada mobil-mobil tersebut. Namun, setelah melihat ke bagian bawah, barulah ia paham, mengapa mertuanya bereaksi seperti itu. Setengah dari seluruh ban ketiga mobil tersebut kempes! Keenam buah ban yang dirusak tersebut, dirobek dengan menggunakan benda tajam. Jelas ada seseorang yang sengaja merusak ban-ban mobil tersebut. Rika langsung teringat pada rencana Ronny. Ternyata ini yang Ronny maksud. Rupanya, suaminya itu selain licik, bisa bergerak cepat juga. Tanpa sadar, Rika tersenyum tipis. Dengan begini, mertuanya tidak akan bisa mencari Risma. Kalau perlu, sel
Setelah pingsan saat memulung, Risma terpaksa beristirahat selama satu hari untuk memulihkan diri. Hanya Ratu yang menemani karena tetangga kos Risma tetap berjalan untuk memulung. Keesokan harinya, saat Risma sudah sehat, ia kembali memulung bersama tetangganya yang baik hati. Ratu bersikeras menemaninya, khawatir jika Risma mendadak sakit lagi. Rute yang mereka lalui untuk memulung, berbeda setiap harinya. Namun yang pasti, mereka akan melalui daerah-daerah yang ramai karena biasanya lebih mudah memperoleh sampah yang masih bisa dijual. “Bunda, kita akan lewat di depan warung Om Raka lagi, ya?” kata Ratu saat melihat bahwa gerobak yang mereka bawa tengah berada di jalan dekat warung makan milik Raka berada. “Iya, memangnya kenapa?” jawab Risma. “Siapa tahu, Om Raka mau mentraktir makan ayam lagi. Makanannya enak-enak, Bunda,” ha
Butuh waktu dua hari untuk mengganti ban-ban yang telah dirusak. Ronny memang sengaja tidak melibatkan Rusdi agar ia terlihat kerepotan. Sehingga, rencana untuk mencari Risma dan Ratu, agak terlupakan. Selama itu pula, Rahmat lebih sering marah-marah karena tidak bisa menerima perlakuan itu. Rukmini harus sering-sering membujuknya agar bersabar. Rika mengambil kesempatan tersebut untuk menambah kedekatan Razka dengan kakek dan neneknya. Setiap kali ia melihat Rahmat hendak marah-marah karena mengingat apa yang terjadi pada mobil-mobilnya, jika Razka sedang terjaga, Rika akan menyodorkan putranya untuk membuat kakeknya lebih tenang. “Tuh, Razka…. Kakek lagi ngapain, tuh…. Mau main?” “Razka mau main dengan Kakek. Boleh, ya, Kek?” “Kakek… Razka sudah bisa merangkak, loh. Lihat, lihat, Kek.”
Rika kembali tersentak. Kamar kosong itu artinya kamar yang dahulu pernah dihuni oleh Risma dan Ratu. Untuk apa Rahmat menyuruh menempatkan CCTV di sana? “Kamar Risma dan Ratu itu sekarang kosong, jadi Bapak pikir harus dipantau sering-sering. Siapa tahu, orang yang kemarin merusak ban mobil kembali ke sini dan bersembunyi di sana. Biar kita gampang menangkapnya,” kata Rahmat pada Rika. Rika terdiam. Ia hanya bisa menyaksikan para kru bekerja dengan diawasi oleh Rahmat. Pasrah. *** Ratu tampak kecewa karena hari ini, mereka lagi-lagi tidak melewati warung makan milik Raka. Dia tentu mengharapkan es teh yang segar dinikmati pada siang hari seperti ini. “Sabar ya, Nak. Kalau hari ini kita dapat uang lebih, Bunda belikan es teh,” janji Risma untuk menghibur Ratu. Ratu hanya mengangguk lemah. Langkahnya makin gontai, buah kekecewaan karena
“Mbak Risma tidak bertengkar dengan Mbak Rika, tapi dengan Mas Ronny.” Ronny melotot saat mendengar kelanjutan kata-kata Rusdi. Pada saat yang bersamaan, kedua orang tuanya menoleh padanya. Ronny jadi salah tingkah karena kini orang tuanya tahu bahwa ia telah berbohong. “Bisa jelaskan, Ronny? Apa benar kau bertengkar dengan istrimu sebelum pergi?” tanya Rahmat tajam. Rukmini bertindak lebih jauh. Ia menoleh pada Ratih. “Tolong panggilkan Mbak Rika di kamarnya. Kalau Razka sedang tidur, tolong ditemani dulu.” “Iya, Bu.” Wajah Ronny memucat saat Ratih berjalan menuju ke kamar. Ibunya pasti hendak mencocokkan pengakuan Ronny dan Rika dengan Rusdi. “Jadi sebenarnya apa yang membuat Risma pergi?” tanya Rahmat pada Ronny lagi. Rika datang ke ruang tengah dan langsung duduk di sisi suaminya. Dengan takut-takut, ia melirik suaminya.
Usai makan malam, Ronny dibuat jantungan oleh ayahnya. Dengan tenang Rahmat menyuruh agar ia mengumpulkan para pekerja rumah tangga di ruang tengah. Padahal putranya sudah mau pingsan karena terlalu takut. “Harus malam ini ya, Pak? Mereka pasti masih capek setelah bekerja dan….” “Bapak hanya ingin bertanya, siapa tahu ada yang tahu, ke mana Risma membawa Ratu. Kau ini kenapa? Bukannya kau yang seharusnya bertanya pada mereka? Seandainya kau tidak peduli pada Risma sekali pun, seharusnya kau memikirkan nasib anakmu!” sergah Rahmat setengah membentak, memotong kalimat Ronny. “I-iya, Pak. Sebentar, saya panggilkan mereka semua.” Ronny tergopoh-gopoh ke belakang rumah, mencari para pekerja yang memang mendapatkan kamar di sana. Selain Rusdi yang menjadi supir, masih ada tiga orang lagi yang bekerja bagi Rahmat dan semuanya masih satu keluarga. Yaitu Ratih, istri Rusdi yang menjadi asisten
“Kalau menurut saya, lebih baik Bu Risma kerja pada Pak Raka saja. Bukannya ngatur Bu Risma atau Pak Raka. Tapi, kerja di sini lebih aman dan mungkin lebih cocok untuk Bu Risma,” lanjut tetangga yang sudah menolong Risma mendapatkan uang itu. “Lebih aman? Maksud Ibu?” tanya Risma tak mengerti. Dua kali insiden hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Pertama adalah saat Risma pingsan yang berakhir dengan ditolong oleh Raka. Kedua adalah apa yang baru saja terjadi. Ratu nyaris menjadi korban kecelakaan lalu lintas yang lagi-lagi, berakhir dengan ditolong oleh Raka. Bagi tetangga kos Risma, dua peristiwa itu sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Risma dan Ratu tidak cocok berada di jalanan. Sebab, selain sangat melelahkan untuk menyusuri jalanan sepanjang hari, jalanan juga menjadi tempat yang berbahaya bagi mereka yang ceroboh. “Saya bukannya mau menolak Bu Risma dan Ratu untuk ikut memulung bersama-sama.
CKIIITT!!! Decit ban mobil yang beradu dengan aspal, seolah mengirimkan efek kejut bagi Risma yang sebelumnya terpaku di tempatnya. Akhirnya ia bisa bergerak lagi. Bahkan bisa berteriak, menyebut nama anaknya. “RATU!” Ratu sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ia hanya merasakan, seseorang menarik tubuhnya dengan kuat hingga ke tepi jalan. Buku yang sudah ia pegang, terlepas dari tangannya. Buku itulah yang akhirnya ditabrak oleh mobil yang nyaris menabraknya. Kertas-kertasnya berhamburan, melayang beberapa saat di udara sebelum akhirnya jatuh di aspal yag keras. Risma segera memeluk Ratu. Air matanya bercucuran. Merasa bersalah karena tak mampu menyelamatkan anaknya. Malah membeku di tempatnya. “Bunda….” Ratu pun tak kalah terkejutnya. Perlahan ia mulai menyadari apa yang terjadi. Bahwa alih-alih buku yang dici
Akan tetapi, saat mereka bertiga melalui warung makan milik Raka, Ratu harus menelan kekecewaan. Warung sederhana itu tampak lengang. Sebuah papan bertuliskan ‘TUTUP’ tergantung pada pintu masuknya. Raka pun tak terlihat di sekitar warungnya. Barangkali ia sedang berada di kamarnya di bagian belakang warung. Atau memang sedang berada di luar. Entahlah. “Jangan terlalu berharap, Nak. Rezeki itu Allah yang mengatur. Hari ini kelihatannya rezeki kita bukan di warung makan Pak Raka,” kata Risma, menasihati sekaligus menghibur putrinya. Meskipun agak lega karena tidak perlu bertemu dengan Raka, tak ayal Risma merasa sedih karena melihat putrinya kecewa. “Iya, Bunda,” balas Ratu lesu. Pupus sudah harapannya untuk menikmati hidangan enak dari om yang tidak pelit berbagi itu. “Mau makan bekalnya lagi? Yang tadi belum habis, ‘kan?” sela tetangga kos Risma, mengalihkan perhatian Ratu untuk ikut menghiburnya.
Hari ini, seperti biasa, Risma, Ratu dan tetangga kos mereka menyusuri jalan untuk memungut sampah yang masih bisa dijual kembali. Meskipun agak murung, Ratu tetap mengikuti ibunya. Membantu Risma dan tetangga kos mereka bekerja mencari nafkah. “Kenapa, Nak?” tanya Risma, menyadari bahwa ada yang tidak biasa dengan Ratu. “Tidak apa-apa, Bunda. Ratu hanya….” Kalimat Ratu menggantung saat kedua bola matanya menangkap benda-benda tertentu yang teronggok di sebuah tempat sampah yang tengah ia periksa. Seketika sepasang mata itu berbinar cerah. “Bunda! Ini boleh untuk Ratu saja?!” kata Ratu sambil menunjukkan apa yang ia temukan. Risma dan tetangga kosnya tercengang. Benda yang ditunjukkan oleh Ratu adalah setumpuk buku pelajaran sekolah dasar yang sebagian kertasnya sudah lenyap karena robek atau lepas. “Buat Ratu saja, ya, Bunda,” ulang Ratu. “I-iy
Dua orang anak yang sedang bermain, mendongak ke Rukmini. Anak yang lebih tua berlari masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia kembali bersama seorang wanita yang tampaknya adalah ibunya. “Assalamu ‘alaikum,” ulang Rukmini. “Risma-nya ada, Bu?” Wanita yang sebaya dengan Rukmini itu membalas salam sambil mengerutkan kening. Bingung. “Risma, pemilik rumah ini? Anaknya perempuan. Ratu, namanya,” tambah Rukmini. Setelah melihat berbagai perubahan di rumah sederhana tersebut, Rukmini bersikap hati-hati. “Bu Risma? Oh, maksud Ibu, pemilik rumah ini sebelumnya?” balas wanita itu akhirnya. Rupanya dia mengenal Risma. “Iya, pemilik rumah ini. Ibu kenal?” sela Rahmat. “Hanya bertemu beberapa kali di kantor notaris, Pak. Dua tahun lalu, waktu suami saya membeli rumah ini dari Bu Risma,” jawab wanita tersebut. Rahmat d
Sudah lima hari berlalu setelah insiden perusakan ban mobil di kediaman Rahmat sekeluarga. Rahmat sendiri mulai mengikhlaskan peristiwa itu. Bagi Ronny, hal ini berbahaya. Sebab, itu berarti ayah dan ibunya akan kembali memusatkan perhatian dalam upaya mencari keberadaan Risma dan Ratu. Apalagi Rukmini mulai sakit-sakitan karena memikirkan cucu perempuannya. Keberadaan Razka memang menghiburnya, namun Rukmini juga tetap merindukan cucu perempuannya. “Kau ini ayahnya, Ronny. Anak perempuanmu hilang entah ke mana, kau malah santai-santai di sini,” semprot Rukmini saat ia sudah tak tahan lagi melihat Ronny yang seolah tak peduli keberadaan anak pertamanya. “Bu, aku tadinya mau lapor polisi. Tapi kalau aku lapor, sama dengan membuka aib sendiri. Ibu tahu ‘kan, alasan mengapa Risma dan Ratu pergi dari rumah ini,” kilah Ronny dengan segala dustanya. “Apa pun alasannya, kau tetap harus menca
Rika kembali tersentak. Kamar kosong itu artinya kamar yang dahulu pernah dihuni oleh Risma dan Ratu. Untuk apa Rahmat menyuruh menempatkan CCTV di sana? “Kamar Risma dan Ratu itu sekarang kosong, jadi Bapak pikir harus dipantau sering-sering. Siapa tahu, orang yang kemarin merusak ban mobil kembali ke sini dan bersembunyi di sana. Biar kita gampang menangkapnya,” kata Rahmat pada Rika. Rika terdiam. Ia hanya bisa menyaksikan para kru bekerja dengan diawasi oleh Rahmat. Pasrah. *** Ratu tampak kecewa karena hari ini, mereka lagi-lagi tidak melewati warung makan milik Raka. Dia tentu mengharapkan es teh yang segar dinikmati pada siang hari seperti ini. “Sabar ya, Nak. Kalau hari ini kita dapat uang lebih, Bunda belikan es teh,” janji Risma untuk menghibur Ratu. Ratu hanya mengangguk lemah. Langkahnya makin gontai, buah kekecewaan karena