"Rania, kasih aku kesempatan untuk mengobati hatimu yang terluka. Jangan terlalu lama terpuruk. Wanita sepertimu nggak pantas menangis terlalu lama. Apalagi menangisi pria brengsek seperti Krisna." Adrian tersenyum lebar, mencoba mencairkan hati wanita di depannya. Pria itu sengaja memberanikan diri untuk mengutarakan isi hati karena tidak mau terlambat dan yakin ingin bersaing dengan Krisna.Wanita itu mengalihkan pandangan, tak sanggup menatap manik mata Adrian. Terlalu dalam, dan memang sangat tulus. Dua tangannya saling meremas di depan, dia gelisah dan dilema. Bayangan wajah Krisna langsung melintas dalam benak Rania. Akh! Wanita itu mengatup matanya. Dia kesal. Di saat ada pria yang mau menyerahkan hati dan siap merantukannya, Krisna malah mengganggu dan mengacaukan pikirannya.Adrian mendesah pelan. Dia tahu ini bukan hal yang mudah bagi Rania. Wanita di depannya ini terluka begitu dalam, disakiti oleh pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Dia juga tahu, Rania membutuhkan
"Apa yang ibuku katakan padamu, Sayang?" Krisna meraih tangan Rania.Rania menatap pegangan tangan itu, lalu melepaskannya kasar. "Kamu pasti tahu, Mas. Untuk apa menanyakan sesuatu yang sudah jelas?"Krisna terdiam sesaat. "Aku minta maaf, Ran."Rania tersenyum getir. "Maaf untuk apa, Mas? Atas nama ibumu? Atau untuk kebodohanmu sendiri yang terus saja membuatku menderita?"Pria itu menunduk. Besitan sesal menyayat hati."Maaf karena aku terlambat datang. Maaf karena aku tidak bisa menjagamu lebih baik. Aku janji, lain kali aku akan lebih cepat. Aku akan pastikan kamu aman, apa pun yang terjadi. Termasuk aman dari ibuku."Rania tertawa pendek, tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Lain kali? Selalu ada ‘lain kali’ dalam ucapanmu, Mas. Tapi setiap kali itu datang, aku cuma berdiri sendirian menghadapi semuanya. Apa gunanya janji yang cuma omong kosong?"Sungguh dalam hati, dia ingin mengadu, memukul dada pria itu. Kenapa? Dan kenapa selalu saja seperti itu. Padahal dia sangat ingin Krisna s
"Sidang ditunda karena bukti keduanya sama-sama kuat. Silahkan gunakan waktu ini untuk saling membuka diri dan memahami." Ketukan palu mengakhiri sidang itu. "Huuffffff ....." Rania menghembus nafas panjang.Sidang perceraian kedua berlangsung alot. Hingga kali ini, Rania kalah lagi. Wanita itu semakin dibuat dilema tak karuan. Bisa-bisanya dalam persidangan Krisna terus mengatakan kalau sangat mencintainya.Krisna juga membawa bukti soal rekam medis Karin yang palsu. Dan anehnya, Krisna punya banyak rekaman kamera soal Karin yang menjebakannya. Soal di restoran dulu waktu pertama kali Rania curiga hubungan mereka, sampai saat di bulan madu. Semua untuk menyanggah dugaan Rania soal pengkhianatan Krisna selama ini. Rania jadi tahu kalau kalau Karin memang memanipulasi dan menjebak Krisna. Tapi, apa semua itu bisa membuat Rania memaafkan suaminya?-Dan ....Soal Hakim? Ya, hakim itu tidak mau menuruti apa yang diancamkan Karin. Meski Karin datang membawa nama salah satu pejabat kota
Restoran Rania yang dulu jadi ikon kesuksesannya kini seperti rumah kosong. Kursi-kursi mulai berdebu, meja-meja kosong tanpa hidangan, dan udara hampa seolah menceritakan nasib bisnis yang kini di ujung kehancuran. Rania berdiri di tengah ruangan dengan kepala tegak, tapi hatinya terpuruk dalam kesunyian.Dari pintu belakang, Ajeng masuk tergesa-gesa sambil menggenggam sebuah ponsel. "Rania, berita baru lagi. Wartawan semakin menggila."Rania tidak berbalik. "Apa kali ini?" Tampak sepele. Dia sudah malas.Ajeng menyerahkan ponsel itu. "Mereka bilang kamu sengaja menciptakan drama ini untuk promosi murahan. Bukan promosi restoran, tapi promosi status jandanya. Lalu ada lagi. Buat restoran dari hasil merayu suami orang, akhirnya nggak berkah dan bangkrut. Mereka mulai membangkitkan lagi opini negatif publik soal kamu di saat konferensi pers akan dilakukan."Rania menyipit menahan marah. Lalu, menghirup udara kuat-kuat mengisi rongga dada. "Mereka nggak tahu apa-apa. Biar saja anjing me
Hujan turun deras saat Rania menutup tirai ruang tamu. Suara air yang menghantam jendela kaca menambah kesunyian di rumahnya. Dia duduk di sofa dengan segelas teh yang sudah dingin, pikirannya melayang-layang pada kejadian konferensi pers tadi. Krisna lagi-lagi muncul, seolah dia punya hak untuk menyelesaikan segalanya.Akan tetapi, kenapa sisi hatinya senang? Dan sisi hati lagi ingin melawan suaminya itu, sebagai guncangan rasa sakit yang menumpuk.Sebuah ketukan di pintu membuat Rania terkejut. Dia ragu sejenak, tapi akhirnya berjalan ke arah pintu, tangannya menggenggam kenop dengan hati-hati.Begitu pintu terbuka, sosok Adrian berdiri di depan, tubuhnya basah karena hujan. Pria itu memarkir mobil terlalu jauh dari pintu."Kenapa kamu datang?""Aku sudah melihat konferensi pers itu. Aku khawatir kamu butuh seseorang untuk diajak bicara."Rania menatap tanpa berkata-kata, lalu menyuruh pria itu duduk di teras rumah. Dia tidak mau membawa Adrian masuk, karena tidak nyaman.Adrian mel
"Tante Puspa. Datang malam begini ada perlu apa? Menghujatku atau-" Puspa terkekeh remeh dengan tatapan tajam.Rania menutup pintu dengan nafas panjang. Pasti akan ada perdebatan sengit dan dia tidak mau orang melihat. "Apa yang Tante inginkan?"Puspa berdiri di tengah ruangan, tatapannya masih tajam. Dia mengedar sisi ruang rumah Rania. Senyumnya sinis. "Lumayan juga hasil jual diri. Kamu langsung bisa kaya. Gimana rasanya? Lebih mudah cari pria kaya atau cari pesugihan?"Rania menggeram dalam hati. "Kalau memang tidak ada yang mau dibicarakan, silahkan pergi. Aku masih menghormati Tante karena orang tua mas Krisna.""Sudah aku jelaskan berkali-kali kamu berhenti main-main dengan anakku. Lepaskan Krisna. Kamu tahu hubungan ini sudah tidak ada gunanya lagi. Kamu itu cuma aib."Rania mencoba mengendalikan emosinya. "Kalau begitu, kenapa kamu nggak bilang itu sama mas Krisna? Dia yang nggak mau melepaskanku."“Kalau kamu tidak menggoda anakku lagi, kenapa kemarin pas konferensi pers di
“Aku akan coba memberi kesempatan untukmu.”Adrian membelalak tertegun, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Benarkah nasib berpihak padanya."Sungguh?" Mata Adrian melebar binar.Rania mengangguk dengan senyum tipis. “Tapi jangan salah paham dulu. Aku tidak berani menjanjikan apa-apa. Kamu harus menungguku sampai aku benar-benar bisa membuka hati. Jika kamu mau.”Adrian tersenyum lebar, sorot matanya sangat hangat. “Aku akan menunggu. Berapa lama pun itu. Karena kamu pantas ditunggu.”Rania menghela nafas lega, meski dalam hatinya tetap ada kekhawatiran. Dia tahu Adrian pria baik, tapi trauma masa lalu membuatnya sulit membuka hati. Namun, kali ini dia akan berusaha melupakan Krisna. Harus! Karena dia tidak mau direndahkan lagi.“Untuk sekarang, aku mau fokus mengembalikan restoran ini. Setelah konferensi pers kemarin, aku yakin publik akan mulai percaya lagi.”“Kita bisa buat strategi promosi baru. Media sosial, diskon khusus, atau acara kecil-kecilan untuk me
"Siapa lagi kalau bukan Adrian, Ran? Cuma dia laki-laki waras yang sangat peduli dan tulus padamu.”Rania berhenti sejenak, menatap Ajeng ragu. “Kamu yakin?”“Pasti dia. Adrian kan orang yang paling peduli sama kamu sekarang. Dia mungkin diam-diam membantu lewat relasinya. Sebagai permintaan maaf karena dia nggak ada sisimu.”Rania menghela nafas. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski di hatinya terselip keraguan. Dia bersyukur restoran ini akhirnya mulai ada pengunjung. Tapi, ya masih penasaran siapa sebenarnya orang yang merekomendasikan.---PRANGGG! TAAARRRR! Barang-barang melayang di apartemen mewah itu. Gelas kaca, vas bunga, bingkai foto—semua menghantam dinding dan lantai hingga pecah berantakan. Nafas Karin memburu, matanya memerah seperti api yang siap melahap apa saja.“Kalian berdua ... dasar sialan!” Karin memekik sambil melemparkan remote televisi hingga menghantam layar dan menciptakan retakan besar.“Rania! Krisna! Kalian pikir bisa menghancurkan hidupku begitu saja?
“Terima kasih, karena Anda masih mau mempertimbangkan Pak Krisna, Bu Rania.”Rania hanya mengangguk pelan. Nafas panjang dihembuskannya berat. Ruang ICU dipenuhi suara monitor yang berdetak pelan, seakan memantau sisa hidup Krisna. Di sisi brankar, Rania duduk dengan tangan menggenggam erat jemari Krisna yang terasa dingin. Hatinya ngilu setiap kali suara bip dari monitor terdengar, takut detak itu mungkin bisa berhenti kapan saja.“Kamu harus bangun, Mas. Kalau kamu benar-benar mau menebus semuanya, kalau kamu benar-benar ingin membahagiakanku. Cepat bangun. Jangan biarkan aku menunggu lebih lama lagi.”Air mata mengalir di pipinya. Jari-jarinya mengusap lembut tangan Krisna.“Aku sudah membatalkan perceraian kita, Mas. Jadi, kumohon, jangan pergi sekarang. Jangan ketika aku sudah memutuskan untuk bertahan.”Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara mesin yang terus berdetak monoton.Bayu, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu, melangkah perlahan mendekati Rania.“Selama ini, Pak Kri
“Siapa yang bertanggung jawab atas pasien ini?”"Krisna brengsek .... Rania, aku akan membunuhmu ...." Karin terus maracau lirih, dengan kekehan lirih dan air matanya.Karin berhasil ditangkap polisi, dalam pengejaran itu. Namun, yang di luar dugaan, Karin pingsan dan saat dibawa ke rumah sakit, kondisinya memprihatinkan.Seorang dokter berdiri di depan ruang ICU dengan wajah serius. Tatapannya tertuju pada tubuh lemah Karin yang terbaring di ranjang dengan borgol besi melilit pergelangan tangannya. Wajah wanita itu pucat, bibirnya membiru, dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Ada monitor jantung yang merantaunya.Seorang polisi maju selangkah. “Kami yang bertanggung jawab, Dok. Bagaimana kondisinya sekarang? Apa masih ada harapan? Kami menemukan obat-obatan di tasnya kemarin. Obat sakit kepala dosis tinggi, yang seharusnya dengan resep dokter, tapi tidak ada keterangan dokter yang memberikannya.”“Tumor otak stadium akhir. Sepertinya selama ini dia tidak memperhatikan kondisiny
Rania membuka pintu dengan tatapan tajam dan waspada. Dua sosok yang berdiri di hadapannya—Puspa dan Winda, terlihat lusuh. Mata mereka bengkak, wajah pucat. Namun, bagi Rania, itu tak menghapus jejak luka yang telah mereka tinggalkan di hatinya."Tante Puspa dan … Nona Winda. Ada perlu apa datang sepagi ini? Kalau mau buat masalah, maaf. Aku tidak punya waktu. Dan satu hal yang akan aku pastikan, hari ini aku sangat yakin kalau gugatan ceraiku akan dikabulkan. Jadi, jangan datang kemari lagi hanya untuk mengingatkanku.""Rania ...." Puspa terisak pelan, bahunya bergetar. Dia belum bisa berkata apa-apa. Hanya terus menggeleng karena masih sesak terbayang anaknya yang masuk ruang operasi bersimpah darah dan dinyatakan kritis."Ada apa, Tante?" Rania menekan panggilan Tante agar semakin jelas jarak mereka. Winda yang biasanya berwajah angkuh, kini menunduk. Tak ada kilatan sinis di matanya. Tidak ada kata merendahkan pada Rania."Tante .... Kalau tidak ada urusan penting, sebaiknya si
"Nyonya Krisna .... kenapa sembunyi? Emang nggak mau nyusul suami ke kuburan? Ha ha ha ha ha ha."Rania gemetar di balik pintu yang telah ditahan dengan meja dan kursi. Ketukan keras bercampur suara tawa para pria di luar semakin membuat nyalinya ciut."Rania! Nyonya Krisna! Keluar! Kita main-main! Masa tamu nggak boleh masuk!"Mereka terus memanggil namanya, jadi semakin takut. "Siapa mereka dan mau apa?"Jari-jarinya gemetar saat mencoba menelepon Ajeng dan Indra, berharap mereka segera datang."Jeng, cepat datang. Aku dalam bahaya!" Anehnya, Rania tidak menghubungi Adrian."Rania! Cepat buka pintunya! Kami tahu kamu ada di dalam!" teriakan itu semakin memekakkan telinga, diiringi gedoran dan dorongan yang hampir meruntuhkan pintu.Air mata Rania mulai mengalir. Dia melihat gagang pintu mulai bergerak terus."Jangan masuk .... Jangan masuk .... Mas .... Mas Krisna .... Kenapa kamu nggak datang ...."Lalu pintu itu didobrak keras.BRAKKK BRAKKK BRAKKK"Mas! Mas Krisna! Aku takut!" p
"Aku minta maaf atas kejadian semalam, Nia. Bayu sudah menjelaskan semuanya padaku soal apa yang terjadi. Aku sungguh menyesal nggak bisa jagain kamu." Adrian menatap Rania menyesal.Rania menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski terlihat hambar. "Aku baik-baik saja. Nggak perlu dipikirkan lagi soal semalam."Adrian mendesah, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Tapi tetap saja, aku kecewa. Harusnya aku yang menyelamatkanmu, bukan Krisna. Dia .… Apa yang dia lakukan sama kamu semalam?"Rania terdiam. Matanya menatap arah jendela, tapi pikirannya melayang pada kejadian tadi malam. Kilasan ingatan tentang sentuhan lembut suaminya, bisikan kecil yang menenangkan, dan kehangatan itu kembali terngiang seperti mimpi yang terlalu nyata.Seperti mimpi, tapi rasa malam itu dan kehangatannya, melekat di hati.Adrian mengangkat alis. "Nia?"Rania cepat mengembalikan fokusnya."Maaf, aku nggak tahu harus jawab apa." Adrian mengangguk pelan, mencoba menerima. "Oke. Yang penting kamu selamat, itu suda
"Kamu memang milikku, Rania ...."Deru nafas tak terbendung lagi. Rania terus berusaha memprovokasi suaminya, hingga pria itu tak tahan lagi."Mas ....." Hampir hilang kesadaran, tapi Rania seperti paham suara suaminya. Suara suaminya itu kemungkinan tertancap dalam memori hatinya."Aku di sini, Sayang ...."Krisna mengangkat pelan Rania keranjang, lalu melempar jasnya sembarangan. Matanya menatap wajah Rania. Dengan lembut Krisna menghujani wajah itu dengan kecupan."Aku mencintaimu, Sayang. Sangat mencintaimu.""Mas, ..... Aku ...."Di kamar remang, udara malam dipenuhi kehangatan yang terpendam lama. Batasan yang selama ini dipahat ego dan salah paham mulai retak.Di antara nafas yang saling bergelung, Krisna merasakan rindu yang lama tertahan meluap tak terkendali.Menjelang pagi sebelum mentari bersinar, Rania terbangun. Matanya mengerjap pelan, menyadari dirinya dalam dekapan Krisna.'Mas Krisna? Berarti tadi malam bukan mimpi,' batinnya.Hatinya berdegup kencang ketika menyadar
“Kalau Rania bukan wanita baik, bagaimana denganmu, Puspa? Apa yang harus aku lakukan ketika punya istri sepertimu? Selama ini kamu hanya bisa membuat masalah!”“Cukup, Mas! Jangan teruskan lagi! Aku nggak mau mendengar apa pun dari mulutmu.” Puspa menjerit sambil menutup telinganya.Agung mengatur laju nafasnya yang berat. Dia menyipitkan mata, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum remeh. "Kamu takut aku bicara lebih banyak? Kalau nggak berani menghadapi jawaban itu, jangan pernah menekan anakmu sendiri untuk membuat keputusan salah!"Puspa terdiam. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Nafasnya berat menahan ledakan emosi dan ketakutan yang bercampur jadi satu.Agung menggeram, menatap istrinya dengan penuh kemarahan. “Aku peringatkan satu hal, Puspa. Kalau kamu masih terus berbuat sesuatu yang menghancurkan Krisna atau Rania, aku tidak segan-segan melakukan hal yang lebih gila dari yang pernah kamu bayangkan!”Winda mematung, wajahnya memucat. Dia tak bera
"Siapa lagi kalau bukan Adrian, Ran? Cuma dia laki-laki waras yang sangat peduli dan tulus padamu.”Rania berhenti sejenak, menatap Ajeng ragu. “Kamu yakin?”“Pasti dia. Adrian kan orang yang paling peduli sama kamu sekarang. Dia mungkin diam-diam membantu lewat relasinya. Sebagai permintaan maaf karena dia nggak ada sisimu.”Rania menghela nafas. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski di hatinya terselip keraguan. Dia bersyukur restoran ini akhirnya mulai ada pengunjung. Tapi, ya masih penasaran siapa sebenarnya orang yang merekomendasikan.---PRANGGG! TAAARRRR! Barang-barang melayang di apartemen mewah itu. Gelas kaca, vas bunga, bingkai foto—semua menghantam dinding dan lantai hingga pecah berantakan. Nafas Karin memburu, matanya memerah seperti api yang siap melahap apa saja.“Kalian berdua ... dasar sialan!” Karin memekik sambil melemparkan remote televisi hingga menghantam layar dan menciptakan retakan besar.“Rania! Krisna! Kalian pikir bisa menghancurkan hidupku begitu saja?
“Aku akan coba memberi kesempatan untukmu.”Adrian membelalak tertegun, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Benarkah nasib berpihak padanya."Sungguh?" Mata Adrian melebar binar.Rania mengangguk dengan senyum tipis. “Tapi jangan salah paham dulu. Aku tidak berani menjanjikan apa-apa. Kamu harus menungguku sampai aku benar-benar bisa membuka hati. Jika kamu mau.”Adrian tersenyum lebar, sorot matanya sangat hangat. “Aku akan menunggu. Berapa lama pun itu. Karena kamu pantas ditunggu.”Rania menghela nafas lega, meski dalam hatinya tetap ada kekhawatiran. Dia tahu Adrian pria baik, tapi trauma masa lalu membuatnya sulit membuka hati. Namun, kali ini dia akan berusaha melupakan Krisna. Harus! Karena dia tidak mau direndahkan lagi.“Untuk sekarang, aku mau fokus mengembalikan restoran ini. Setelah konferensi pers kemarin, aku yakin publik akan mulai percaya lagi.”“Kita bisa buat strategi promosi baru. Media sosial, diskon khusus, atau acara kecil-kecilan untuk me