“Aku akan coba memberi kesempatan untukmu.”Adrian membelalak tertegun, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Benarkah nasib berpihak padanya."Sungguh?" Mata Adrian melebar binar.Rania mengangguk dengan senyum tipis. “Tapi jangan salah paham dulu. Aku tidak berani menjanjikan apa-apa. Kamu harus menungguku sampai aku benar-benar bisa membuka hati. Jika kamu mau.”Adrian tersenyum lebar, sorot matanya sangat hangat. “Aku akan menunggu. Berapa lama pun itu. Karena kamu pantas ditunggu.”Rania menghela nafas lega, meski dalam hatinya tetap ada kekhawatiran. Dia tahu Adrian pria baik, tapi trauma masa lalu membuatnya sulit membuka hati. Namun, kali ini dia akan berusaha melupakan Krisna. Harus! Karena dia tidak mau direndahkan lagi.“Untuk sekarang, aku mau fokus mengembalikan restoran ini. Setelah konferensi pers kemarin, aku yakin publik akan mulai percaya lagi.”“Kita bisa buat strategi promosi baru. Media sosial, diskon khusus, atau acara kecil-kecilan untuk me
"Siapa lagi kalau bukan Adrian, Ran? Cuma dia laki-laki waras yang sangat peduli dan tulus padamu.”Rania berhenti sejenak, menatap Ajeng ragu. “Kamu yakin?”“Pasti dia. Adrian kan orang yang paling peduli sama kamu sekarang. Dia mungkin diam-diam membantu lewat relasinya. Sebagai permintaan maaf karena dia nggak ada sisimu.”Rania menghela nafas. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski di hatinya terselip keraguan. Dia bersyukur restoran ini akhirnya mulai ada pengunjung. Tapi, ya masih penasaran siapa sebenarnya orang yang merekomendasikan.---PRANGGG! TAAARRRR! Barang-barang melayang di apartemen mewah itu. Gelas kaca, vas bunga, bingkai foto—semua menghantam dinding dan lantai hingga pecah berantakan. Nafas Karin memburu, matanya memerah seperti api yang siap melahap apa saja.“Kalian berdua ... dasar sialan!” Karin memekik sambil melemparkan remote televisi hingga menghantam layar dan menciptakan retakan besar.“Rania! Krisna! Kalian pikir bisa menghancurkan hidupku begitu saja?
“Kalau Rania bukan wanita baik, bagaimana denganmu, Puspa? Apa yang harus aku lakukan ketika punya istri sepertimu? Selama ini kamu hanya bisa membuat masalah!”“Cukup, Mas! Jangan teruskan lagi! Aku nggak mau mendengar apa pun dari mulutmu.” Puspa menjerit sambil menutup telinganya.Agung mengatur laju nafasnya yang berat. Dia menyipitkan mata, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum remeh. "Kamu takut aku bicara lebih banyak? Kalau nggak berani menghadapi jawaban itu, jangan pernah menekan anakmu sendiri untuk membuat keputusan salah!"Puspa terdiam. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Nafasnya berat menahan ledakan emosi dan ketakutan yang bercampur jadi satu.Agung menggeram, menatap istrinya dengan penuh kemarahan. “Aku peringatkan satu hal, Puspa. Kalau kamu masih terus berbuat sesuatu yang menghancurkan Krisna atau Rania, aku tidak segan-segan melakukan hal yang lebih gila dari yang pernah kamu bayangkan!”Winda mematung, wajahnya memucat. Dia tak bera
"Kamu memang milikku, Rania ...."Deru nafas tak terbendung lagi. Rania terus berusaha memprovokasi suaminya, hingga pria itu tak tahan lagi."Mas ....." Hampir hilang kesadaran, tapi Rania seperti paham suara suaminya. Suara suaminya itu kemungkinan tertancap dalam memori hatinya."Aku di sini, Sayang ...."Krisna mengangkat pelan Rania keranjang, lalu melempar jasnya sembarangan. Matanya menatap wajah Rania. Dengan lembut Krisna menghujani wajah itu dengan kecupan."Aku mencintaimu, Sayang. Sangat mencintaimu.""Mas, ..... Aku ...."Di kamar remang, udara malam dipenuhi kehangatan yang terpendam lama. Batasan yang selama ini dipahat ego dan salah paham mulai retak.Di antara nafas yang saling bergelung, Krisna merasakan rindu yang lama tertahan meluap tak terkendali.Menjelang pagi sebelum mentari bersinar, Rania terbangun. Matanya mengerjap pelan, menyadari dirinya dalam dekapan Krisna.'Mas Krisna? Berarti tadi malam bukan mimpi,' batinnya.Hatinya berdegup kencang ketika menyadar
"Aku minta maaf atas kejadian semalam, Nia. Bayu sudah menjelaskan semuanya padaku soal apa yang terjadi. Aku sungguh menyesal nggak bisa jagain kamu." Adrian menatap Rania menyesal.Rania menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski terlihat hambar. "Aku baik-baik saja. Nggak perlu dipikirkan lagi soal semalam."Adrian mendesah, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Tapi tetap saja, aku kecewa. Harusnya aku yang menyelamatkanmu, bukan Krisna. Dia .… Apa yang dia lakukan sama kamu semalam?"Rania terdiam. Matanya menatap arah jendela, tapi pikirannya melayang pada kejadian tadi malam. Kilasan ingatan tentang sentuhan lembut suaminya, bisikan kecil yang menenangkan, dan kehangatan itu kembali terngiang seperti mimpi yang terlalu nyata.Seperti mimpi, tapi rasa malam itu dan kehangatannya, melekat di hati.Adrian mengangkat alis. "Nia?"Rania cepat mengembalikan fokusnya."Maaf, aku nggak tahu harus jawab apa." Adrian mengangguk pelan, mencoba menerima. "Oke. Yang penting kamu selamat, itu suda
"Nyonya Krisna .... kenapa sembunyi? Emang nggak mau nyusul suami ke kuburan? Ha ha ha ha ha ha."Rania gemetar di balik pintu yang telah ditahan dengan meja dan kursi. Ketukan keras bercampur suara tawa para pria di luar semakin membuat nyalinya ciut."Rania! Nyonya Krisna! Keluar! Kita main-main! Masa tamu nggak boleh masuk!"Mereka terus memanggil namanya, jadi semakin takut. "Siapa mereka dan mau apa?"Jari-jarinya gemetar saat mencoba menelepon Ajeng dan Indra, berharap mereka segera datang."Jeng, cepat datang. Aku dalam bahaya!" Anehnya, Rania tidak menghubungi Adrian."Rania! Cepat buka pintunya! Kami tahu kamu ada di dalam!" teriakan itu semakin memekakkan telinga, diiringi gedoran dan dorongan yang hampir meruntuhkan pintu.Air mata Rania mulai mengalir. Dia melihat gagang pintu mulai bergerak terus."Jangan masuk .... Jangan masuk .... Mas .... Mas Krisna .... Kenapa kamu nggak datang ...."Lalu pintu itu didobrak keras.BRAKKK BRAKKK BRAKKK"Mas! Mas Krisna! Aku takut!" p
Rania membuka pintu dengan tatapan tajam dan waspada. Dua sosok yang berdiri di hadapannya—Puspa dan Winda, terlihat lusuh. Mata mereka bengkak, wajah pucat. Namun, bagi Rania, itu tak menghapus jejak luka yang telah mereka tinggalkan di hatinya."Tante Puspa dan … Nona Winda. Ada perlu apa datang sepagi ini? Kalau mau buat masalah, maaf. Aku tidak punya waktu. Dan satu hal yang akan aku pastikan, hari ini aku sangat yakin kalau gugatan ceraiku akan dikabulkan. Jadi, jangan datang kemari lagi hanya untuk mengingatkanku.""Rania ...." Puspa terisak pelan, bahunya bergetar. Dia belum bisa berkata apa-apa. Hanya terus menggeleng karena masih sesak terbayang anaknya yang masuk ruang operasi bersimpah darah dan dinyatakan kritis."Ada apa, Tante?" Rania menekan panggilan Tante agar semakin jelas jarak mereka. Winda yang biasanya berwajah angkuh, kini menunduk. Tak ada kilatan sinis di matanya. Tidak ada kata merendahkan pada Rania."Tante .... Kalau tidak ada urusan penting, sebaiknya si
“Siapa yang bertanggung jawab atas pasien ini?”"Krisna brengsek .... Rania, aku akan membunuhmu ...." Karin terus maracau lirih, dengan kekehan lirih dan air matanya.Karin berhasil ditangkap polisi, dalam pengejaran itu. Namun, yang di luar dugaan, Karin pingsan dan saat dibawa ke rumah sakit, kondisinya memprihatinkan.Seorang dokter berdiri di depan ruang ICU dengan wajah serius. Tatapannya tertuju pada tubuh lemah Karin yang terbaring di ranjang dengan borgol besi melilit pergelangan tangannya. Wajah wanita itu pucat, bibirnya membiru, dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Ada monitor jantung yang merantaunya.Seorang polisi maju selangkah. “Kami yang bertanggung jawab, Dok. Bagaimana kondisinya sekarang? Apa masih ada harapan? Kami menemukan obat-obatan di tasnya kemarin. Obat sakit kepala dosis tinggi, yang seharusnya dengan resep dokter, tapi tidak ada keterangan dokter yang memberikannya.”“Tumor otak stadium akhir. Sepertinya selama ini dia tidak memperhatikan kondisiny
"Rania?!" Ane membelalak. Sekian detik, tubuhnya membeku. Lalu, dengan cepat, dia berusaha tampak tenang.Rania berdiri di depan lift, tersenyum tipis, lalu melangkah masuk. Sikapnya tenang seperti tak mengenal Ane, tapi sorotnya memicing tajam.'Apa yang terjadi? Kenapa bisa-' batin Ane, tangannya mengepal kuat di bawah. Dadanya bergemuruh hebat. Dia tak terima jika kalah dengan Rania.Jantung Ane berdegup makin keras. Seharusnya ini tidak mungkin. Seharusnya Rania sudah habis. Laporan yang diterimanya tadi menyatakan semuanya beres. Lalu, bagaimana wanita itu bisa berdiri di sini dengan wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa?"Ehem!" Rania berdiri di sebelah Ane. Dia memilih diam. Niatnya memang hanya mau muncul di depan wanita yang dia curigai. Ingin tahu seperti apa reaksinya.Lift bergerak. Hening.Ane bisa merasakan tatapan Rania tadi begitu tajam dan tidak biasa.Hening, sampai pintu lift terbuka.Mereka melangkah keluar di lantai yang sama. Ane melirik ke samping, memastikan
[Jangan berani memberi tahu Krisna. Atau kamu tidak akan bertemu denganku.]Satu lagi pesan masuk. Rania mengerutkan keningnya."Aku jadi makin penasaran, siapa orang ini. Kalau aku bilang sama mas Krisna pun, dia lagi sangat sibuk sama proyek barunya. Dan pasti melarangku menemui orang ini. Yang ada, dia malah nggak jadi menampakkan diri."Rania menghentak napasnya dengan tatapan tajam ke depan. Dia terus terbayang calon anaknya yang hilang dan berpikir kalau akar masalahnya tidak disingkirkan, maka jika hamil lagi pun akan jadi incarannya."Apa mas Krisna lagi dekat sama wanita lain? Atau ada wanita yang suka sama mas Krisna? Aku harus tetap tenang."Rania bersiap diri sambil menghubungi seseorang. Tidak munafik kalau dia tidak akan mampu menghadapi hal seperti ini sendirian. Bagaimana kalau nanti ada apa-apa?Ya, meski Krisna pasti sangat bersedia membantunya, tapi musuh ingin Krisna tidak tahu.Sekian saat, Rania siap berangkat.Dia meraih tasnya. Lalu, ke bagian dapur menemui pem
Pagi itu. Di depan rumah, Krisna berdiri, menatap lembut dan penuh cinta pada istrinya. "Kamu hati-hati di jalan. Kalau udah nyampe jangan lupa kabari aku." Rania merapikan dasi suaminya yang hendak berangkat kerja. Di tersenyum lebar dan manis.Sengaja, Rania menahan diri tidak bercerita soal apa yang dilakukan Winda karena suatu alasan.Krisna tersenyum lebar. Jemarinya menggenggam tangan istrinya erat. "Doamu memang luar biasa, Sayang. Aku dapat klien baru dan itu punya nilai keuntungan di atas 10 miliar. Mungkin ini berkat punya istri baik dan sabar sepertimu. Makasih kamu masih mau ada di sisi suami yang brengsek ini."Rania tersenyum kecil. "Selamat. Semoga lancar, Mas. Aku akan selalu mendukung suami tampanku ini."Krisna menatapnya lebih lama, enggan pergi. Lengan kekarnya menarik tubuh Rania ke dalam dekapan erat. "Aku malas ke kantor. Mau di rumah saja sama kamu."Rania tertawa pelan, pipinya terasa panas. "Kamu ini Mas. Cepat pergi, nanti terlambat. Kalau kesiangan jalanan
"Sayang, sepertinya aku akan makan siang di luar. Nggak bisa pulang seperti janjiku. Kamu nggak apa-apa, kan?"Krisna sedang menelepon istrinya. Sebenarnya dia janji akan pulang siang hari menemani istrinya makan. Dan akan melanjutkan pekerjaan di rumah."Nggak apa-apa, Mas." Suara Rania begitu lemas."Kok rasanya kamu lagi nggak semangat, Sayang. Kamu nggak kecapekan, kan?""Nggak kok. Cuma masih lemes saja.""Ya udah, kamu istirahat saja dulu."Rania meletakkan ponselnya di nakas. Dia bukan terlalu lelah dan itu tidak mungkin karena saat ini Krisna telah mempekerjakan 2 pembantu dan 1 tukang kebun.Rania hanya sedang bingung menghadapi situasi saat ini. Di saat dia dan Krisna berdamai, malah ada duri dalam manisnya madu. Sulit dipercaya, ternyata kesabarannya kembali diuji. Apa dia akan bertahan kuat di sisi Krisna kali ini? Yang jelas, dia lelah, enggan kembali dipermainkan dan diremehkan.Yang Rania garis bawahi dalam prinsip hidupnya kali ini, kebahagiaan berumah tangga tak sert
Ane masih duduk di sofa dengan kaki bersilang. Senyum miring terlukis di wajahnya saat dia menatap suaminya yang sedang menuangkan wine ke gelas kristal."Sayang, aku bagaimana kalau kita membuat kerja sama dengan perusahaan Krisna? Dan biarkan aku yang mengurus langsung kerja sama itu."Suaminya berhenti sejenak. Matanya menyipit menatap Ane. "Kenapa harus kamu? Aku bisa menyuruh orang lain."Ane tersenyum. Jari-jarinya lentiknya melingkar di bahu suaminya, memberikan sentuhan lembut yang selalu membuat pria itu luluh."Aku yang lebih paham bagaimana menghadapi Krisna. Dia pria yang bisa dimanipulasi jika disentuh di titik yang tepat. Jangan khawatir, aku bisa jaga diri dan tidak akan membuatmu kecewa."Suaminya terdiam, memutar gelas di tangannya. "Kerja sama ini memang bisa membawa keuntungan besar. Tapi aku tidak mau kamu terlalu terlibat, jika hanya untuk urusan pribadi. Kamu tahu sendiri, urusan bisnis tidak bisa kamu campur dengan keinginanmu itu. Aku akan bantu kamu membalas d
"Anak kita, Mas. Apa dia-" Dada Rania sampai bergetar karena terisak. Dia menggeleng. "Nggak! Nggak mungkin."Krisna terdiam. Dadanya bergemuruh. Dia langsung memeluk istrinya. "Jangan pikirkan hal itu dulu. Pikirkan kesehatanmu saat ini."Rania menggigit bibirnya, tangannya semakin menekan perutnya yang terasa hampa. Airmatanya jatuh, tapi dia tidak mengeluarkan suara. Krisna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Kita bicarakan hal itu nanti lagi, Sayang. Sekarang, yang penting kamu harus pulih dulu.”Rania memejamkan mata. Dadanya naik turun menahan sesak yang lebih menyakitkan dari fisiknya sendiri. “Dia sudah tidak ada, kan?”Krisna tak bisa menjawab.“Aku bahkan nggak bisa melindungi anakku sendiri. Dia pergi lagi.” Suaranya begitu lirih, tapi menusuk langsung ke hati Krisna."Aku yang nggak becus menjaga kalian. Maaf, Sayang." Krisna mendongak mengedip-ngedipkan matanya. Pria itu hampir menangis.Krisna sesak mendengarnya. Ya, dia ingat betul. Dulu Rania juga kegug
"Bagaimana istri dan anak saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" Krisna tersenyum miris dengan mata berkaca-kaca menatap dokter itu dan berharap mendapat jawaban seperti keinginannya.Dokter itu menghela napas berat. "Maaf, kami hanya bisa menyelamatkan ibunya. Anak Anda-""Tidak! Tidak mungkin, Dok. Dia nggak mungkin pergi. Kami sangat menantikannya.""Keguguran pasien diduga karena mengkonsumsi semacam obat atau ramuan penggugur kandungan."Krisna berdiri membeku. Kakinya lemas, dadanya sesak, pikirannya berputar liar. Obat penggugur kandungan?Napasnya memburu, menatap dokter yang baru saja menjatuhkan kabar buruk itu. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.“Dok, apa maksud Anda? Istri saya tidak mungkin minum obat seperti itu. Dia sangat menjaga kehamilannya.” Suaranya bergetar.Dokter menghela napas panjang. “Kami belum bisa menyimpulkan sepenuhnya. Kami butuh hasil laboratorium. Tapi dari gejalanya, ini sangat mengarah ke sana.”Krisna merasakan dadanya terbakar. Tidak mungkin
Krisna telah menyiapkan kejutan spesial. Sebuah meja makan dengan lilin-lilin kecil di sekelilingnya, di restoran out door.Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga yang diletakkan di tengah meja."Sebentar lagi, Sayang."Krisna menutup mata istrinya hingga tiba di meja itu "Udah belum, Mas?" Wanita itu terus tersenyum.Pelan Krisna melepas tangannya dari mata Rania.Rania menutup mulutnya ketika melihat kejutan itu. Matanya berkaca-kaca. “Mas ... ini indah sekali.”"Kamu suka? Maaf, aku terlambat melakukan semua ini padamu."Rania menggeleng. "Ini cukup. Aku senang, Mas."Krisna menarik kursi untuk Rania dan mempersilakannya duduk. Mereka akan menikmati makan malam romantis.Sesekali Krisna menyentuh tangan Rania, memastikan bahwa wanita di hadapannya ini benar-benar nyata dan miliknya."Ran, tetap di sisiku.""Memangnya aku mau ke mana, Mas?""Aku senang melihat senyum kamu seperti ini, Sayang. Tetap tersenyum."Krisna berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Rania. Dia
"Mas, apa ini?"Sebuah paket bulan madu. Agung rupanya telah menyiapkan paket untuk mereka berdua.Krisna mengembangkan senyumnya. Lalu, dia memegang dua bahu istrinya.Rania menatap paket bulan madu itu dengan mata berkaca-kaca. Dia masih ingat bagaimana dulu saat bulan madu dengan kehadiran Karin dan berakhir dia kecelakaan.Lalu, Krisna memeluk istrinya. Dia tahu apa yang dirasakan Rania saat ini. "Maafkan aku untuk masa lalu. Aku sangat ingin menghapus jejak kebodohanku dulu. Ran, paket bulan madu ini, untuk bulan depan. Setelah aku benar-benar pulih. Nanti, aku akan menghapus kesedihanmu di masa lalu dengan kebahagiaan, Ran. Aku sangat mencintaimu."Rania mengangguk dalam pelukan. "Jangan seperti dulu lagi, Mas."“Bulan madu nanti, aku akan buat kamu nggak bisa berhenti tersenyum, Sayang. Romantis dan hanya kamu dan aku.”Rania menarik napas dalam-dalam. Dia tidak mau larut dalam kesedihan. Toh, Karin telah dikabarkan sudah tiada. Jadi tidak akan ada lagi yang mengganggunya nant