-Dibentak Mas Azka
Hari ini Mama dan papaku akan datang berkunjung ke rumah baru kami. Aku sangat bahagia dan langsung membeli beberapa bahan makanan yang akan aku olah untuk kusuguhkan pada mereka. "Mama sama papa jadi datang Dek?" tanya Mas Azka, ia memelukku dari belakang sambil menciumi pipiku gemas. "Jadi Mas, ini Ayra mau masak buat mereka," jawabku penuh semangat, Mas Azka mengangguk lalu membantuku mengupas bawang. Aku menoleh dan tersenyum padanya, dia memang sosok suami sempurna. "Beruntungnya Aku, dimiliki kamu…." lagu yang mewakili perasaanku saat ini. "Ayra mau masak apa emang?" tanya Mas Azka lagi, ia menaruh bawang yang sudah dikupasnya di mangkuk dan menyerahkannya padaku untuk ku potong-potong halus sebelum menumisnya."Mau bikin Ayam kecap sama udang asam manis Mas, terus bikin oseng kangkung juga. Papa kan suka," jawabku panjang lebar, aku tersenyum padanya, dia terdiam sejenak. Aku mengerti, dan tahu pasti dia memikirkan Ibunya. Ibunya juga sangat suka dengan oseng kangkung buatanku, walaupun kadang mengomel dan mengoceh mengatakan apa yang kumasak tak enak, tapi Ibu selalu menambah nasi jika menu masakan yang kusiapkan sesuai seleranya. Aku tersenyum dan memegang pundak Mas Azka. "Nanti Mas ke rumah ibu ya, Ayra masak banyak sekalian buat Ibu juga," ucapku lembut, Mas Azka terperangah mendengar aku mengatakan itu. Aku menjadi bingung karenanya."Mas kenapa?" tanyaku heran, ia memelukku dengan erat. "Mas kira Ayra sudah nggak peduli lagi sama Ibu," ucapnya malu, membuatku tertawa mendengarnya. Sepolos itukah suamiku ini? Aku juga seorang anak dan seorang wanita yang akan menjadi Ibu, mana mungkin aku membiarkan seorang anak yang sudah dibesarkan seorang Ibu mengabaikan tanggung jawabnya. "Ada uang yang udah Ayra siapin di dalam amplop dekat meja rias, itu uang untuk ibu, tapi kalau Mas mau kasih nanti jangan sampai dilihat oleh Kak Lastri dan Ayu ya," lanjutku lagi, Mas Azka hanya mengangguk, ku lihat matanya berbinar bahagia. Padahal selama ini tak pernah sekalipun aku melarangnya untuk memberi uang pada Ibunya jika memang ada kebutuhan ibu. Aku melarangnya saat itu karena merasa kalau kami dimanfaatkan oleh kedua saudaranya yang sangat licik.Segera setelah selesai memasak, aku memasukkan masakan ke dalam rantang untuk dibawa Mas Azka ke rumah Ibunya. Mas Azka berpamitan padaku, dan aku kembali meneruskan beberapa pekerjaan yang belum selesai. ***Tepat jam dua siang Mama dan Papaku datang, ku peluk mereka dengan haru. Sangat rindu rasanya pada kedua orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan aku dengan penuh kasih sayang, sudah lama aku tak bisa pulang kampung karena saat ini sedang mengandung, selain itu Mas Azka memiliki banyak pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya. "Ayra kangen Ma," ucapku terisak, aku menangis dalam pelukan mama, mama mencium keningku dengan sayang. "Mama kangen Ayra juga," jawab Mama dengan sayang, Mas Azka keluar dari kamar, dan langsung salim pada kedua orang tuaku. Mas Azka memang sangat menghargai keluargaku, karena dia merasa di anggap sebagai keluarga ketika bersama kami dibandingkan ketika bersama keluarga angkatnya."Capek Pa, Ma?" tanya Mas Azka yang kemudian mengangkatkan tas Papa dan Mama ke dalam kamar tamu yang sudah ku bersihkan. Kami makan lalu mengobrol santai di ruang tengah. Banyak yang diobrolkan terutama masalah sawah Papa yang nantinya akan dibagi untuk aku dan A Rafi, karena kami hanya dua bersaudara. Aku mengantarkan Papa dan Mama ke kamar, lalu menyuruh mereka untuk beristirahat. Setelah membereskan ruang makan, aku menyusul Mas Azka ke kamar, kulihat ia seperti memikirkan sesuatu. "Kenapa Mas? Ada masalah?" Aku menghampiri Mas Azka yang duduk di tepi ranjang. "Gak papa sayang, Mas cuma lagi agak pusing," jawabnya terlihat bingung, sebenarnya aku tahu pasti ada sesuatu, Mas Azka memang terlihat murung setelah pulang dari rumah Ibunya, tapi aku memilih tak bertanya banyak karena aku tau Mas Azka pasti sedang butuh waktu sendiri sekarang.***Setelah dua hari, Mama dan Papa berpamitan untuk kembali ke kampung, setengah hati aku melepas mereka, karena masih sangat rindu rasanya, tapi aku tak bisa menahan mereka. karena Papa dan Mama punya tanggung jawab pada karyawan yang bekerja di empat minimarket dan juga beberapa petani yang bekerja di sawah kami. Setelah kepulangan orang tuaku, rumah kembali sepi. Aku merasa bosan dan berencana untuk membawakan bekal makan siang untuk suamiku. Pasti dia sangat senang, aku tersenyum memikirkannya. Setelah bersiap-siap, aku mengganti dasterku dengan gamis berwarna biru malam, lalu memakai jilbab berwarna coklat mocca, tak lupa ku oleskan lip matte di bibirku.Perutku semakin membesar, membuatku harus memakai hijab berukuran panjang agar bisa menutupinya. tendangan si dede pun semakin terasa, dan kadang membuatku geli sendiri. Aku segera memakai kaus kaki dan mengambil sepatu kemudian memakai helm. Hari ini aku ke kantor dengan mengendarai motor Mas Azka yang sudah jarang digunakan, karena sekarang Mas Azka ke kantor memakai mobil.Mas Azka sedang sangat sibuk, dia tidak menyadari kedatanganku. "Assalamualaikum sayang," ucapku lembut, Mas Azka terlihat terkejut melihat kedatanganku, namun senyumnya langsung merekah setelah itu. "W*'alaikumussalam, kok Ayra tau kalau Mas lagi kangen?" jawabnya senang, Ia bangun dan memelukku, aku hanya tersenyum dan melepaskan pelukannya."Nanti ada yang liat Mas, malu," ucapku sembari menjauhkan diri, ia mencubit hidungku gemas. "Mas belum makan kan?" tanyaku, dan Mas Azka mengangguk imut menanggapi pertanyaanku. "Ini Ayra bawain cumi saus tiram buat makan siang, Mas," ucapku sembari menyiapkan makanan untuknya, Mas Azka terlihat sangat senang lalu duduk sambil menggulung lengan bajunya, ia makan dengan lahapnya, sesekali dia mencoba menyuapiku namun ku tolak, karena perutku terasa mual jika mencium bau makanan yang berbau seafood. Selesai menemani Mas Azka makan, aku akan pulang. tapi Mas Azka melarangku. Ia menyuruhku untuk menunggunya dan pulang bersama. "Tapi Ayra bawa motor Mas," ucapku bingung, karena memang aku tadi mengendarai motor ke sini."Nanti gampang, Mas bisa minta tolong karyawan yang anterin," jawab Mas Azka, aku mengangguk dan kembali duduk menunggunya menyelesaikan pekerjaannya. *** "Mas, udah malam, kok motor belum di antar?" tanyaku sembari merebahkan diri di samping Mas Azka yang sedang menonton Tv di kamar kami. "Oh iya, Mas sampai lupa. Bentar Mas telepon Ari dulu," jawab Mas Azka, ia mengambil Hpnya dan mulai menelpon Ari, karyawannya. "Assalamualaikum, Ri gimana motor?" tanya Mas Azka, sejenak ia terdiam, terlihat wajahnya agak bingung."Oh gitu, ya sudah nanti biar saya yang urus. Makasih ya Ri, maaf merepotkan. Assalamualaikum," ucap Mas Azka, ia kembali duduk di sampingku, dan aku mendekatinya."Kenapa Mas? Ada masalah?" tanyaku penasaran, Mas Azka menatapku."Motor kita diambil sama Kak Lastri Ra," jawab Mas Azka ragu. Jleb! Kembali naik tekanan darahku, mau apa sih mereka. Kenapa selalu seenaknya pada kami. "Maksudnya apa Mas?" aku kembali bertanya untuk memastikan, berharap hanya salah dengar saja. "Tadi Ari mau antar motor ke rumah kita, tapi saat nyalain motor Kak Lastri datang dan bilang motor itu mau dipinjam dan sudah izin sama kita, karena Kak Lastri kakaknya Mas, si Ari langsung kasih aja," jawab Mas Azka menjelaskan. "Ayra gak mau tau ya Mas, motor itu besok sudah harus di rumah kita. Bukan karena Ayra pelit! Tapi Ayra gak suka cara kak Lastri yang seenaknya gitu. Itu motor kita, wajib hukumnya dia meminta izin kita sebelum meminjam bahkan memakainya," ucapku protes karena marah, terlebih lagi karena melihat Mas Azka yang lagi-lagi terlihat tak berdaya. "Kalau Mas nggak sanggup buat ngomong, nanti Ayra yang kesana untuk mengambil motor itu," ucapku kesal, aku menarik selimut dan membelakanginya. sungguh sangat emosi rasanya malam ini, biarlah aku mengabaikan Mas Azka kali ini, hanya malam ini. ***Pagi ini seperti biasa aku menyiapkan sarapan dan membuatkan kopi untuk suamiku, tapi aku masih enggan berbicara padanya. Aku kesal karena Mas Azka selalu mengalah pada keluarganya yang selalu berlaku seenaknya saja. "Mas berangkat ya sayang. Assalamualaikum," ucapnya lembut, aku mencium tangan dan menjawab salamnya. Aku harus secepatnya berangkat mengambil motorku yang diambil tanpa izin oleh Kak Lastri. "Assalamualaikum," ucapku pelan, sudah berbulan-bulan aku tak menginjakkan kaki di rumah ini. "Waalaikumsalam," jawab Ibu datar, ia keluar dengan tampang sinisnya. "Mau apa kamu kesini?" Jangankan menanyakan kabarku, menyuruhku masuk saja tidak. Beginikah orang yang harus ku hormati atau segani? Aku mengomel dalam hati. "Mana Kak Lastri Bu, Ayra mau ambil motor Ayra yang diambil sama Kak Lastri tanpa izin kemarin." Aku langsung pada pokok pembicaraan ku, tak ingin terlalu lama di rumah yang penuh dengan kebencian ini. "Sejak kapan motor itu jadi motor kamu? Itu motor Azka, anak saya!" jawab Ibu kasar, aku menatap Ibu dengan tajam, lalu terkekeh. "Dan sejak kapan Ibu mengakui kalau Mas Azka itu anak Ibu?Apa karena Ibu tahu sekarang Mas Azka sudah diangkat menjadi Direktur di perusahaannya?" tanyaku datar, aku sengaja menyindir Ibu yang saat ini sudah salah tingkah. "Kamu jangan kurang ajar ya!" Ibu mulai membentakku."Walaupun Ayra sopan di mata Ibu, Ayra tetap menantu kurang ajar kan? Jadi gak ada benernya," jawabku lagi, aku memainkan tanganku, menahan kata-kata agar tak mengeluarkan kalimat yang menyakiti Ibu."Motor itu akan jadi milik saya, jadi nggak usah berharap untuk membawanya pulang," ucap Ibu dengan tampang kecutnya, ia masih saja ingin menahan motor itu. "Kalau dalam satu kali dua puluh empat jam, motor itu tak kembali ke rumah Ayra, jangan salahin Ayra kalau Ayra membuat laporan ke Kantor Polisi untuk Kak Lastri, karena dia mengambil motor itu tanpa izin dari kami." Aku berlalu meninggalkan rumah ibu, panas rasanya hatiku. Kenapa mereka selalu seenak jidat mengambil hak milik orang lain. Awas aja kalau sampai motorku tak kembali, akan ku laporkan mereka ke pihak berwajib. "Assalamualaikum," Mas Azka datang lebih sore dari biasanya dan hari ini wajahnya terlihat masam tak seperti biasanya. "Waalaikumussalam," aku mencium tangannya seperti biasa. "Sini dulu Dek, Mas mau ngomong," ucap Mas Azka, ia menyuruhku duduk di sampingnya. "Kenapa Mas?" Aku duduk tepat di samping kirinya. "Kamu tadi ke rumah Ibu?" tanyanya datar, ternyata mukanya tak enak dilihat karena Ibu mengadu pada Mas Azka. "Iya, aku cari motor kita," aku menjawabnya dengan santai. "Kamu mengancam mau laporin Ibu ke Kantor Polisi?" Mas Azka bertanya dengan nada dingin yang membuatku sedikit terkejut, semenjak dari awal menikah tak pernah Mas Azka berbicara dengan nada seperti ini. "Ayra cuma minta supaya Kak Lastri ngantar balik motor kita, Ayra dah bilang kan, Ayra gak suka caranya Kak Lastri yang selalu seenaknya pada kita." aku sedikit meninggikan suaraku. "Apapun alasan kamu, kamu nggak berhak buat ngancam Ibu kaya gitu Dek. Dia Ibu aku! Dan kamu harus mencoba menghormati dia, aku nggak pernah ya Dek nggak sopan sama orang tuamu." Kaget rasanya aku mendengar Mas Azka memarahiku seperti itu. "Aku cuma minta kembaliin motor dengan cara yang baik Mas, tapi Ibu..." belum selesai aku menjelaskan, Mas Azka memotong kata-kataku."Udahlah, Dek, aku capek! Kamu selalu saja merasa tersakiti oleh Ibu, padahal kamu juga melakukan hal yang sama pada Ibu, bisa nggak sih kamu ngalah aja? nggak usah cari ribut terus?" Mas Azka membentakku dengan kerasnya. Jleb!Ini beneran Mas Azka menyalahkan dan nuduh aku cari masalah? Padahal yang selalu cari masalah siapa coba? Aku tak menjawab Mas Azka, hancur sudah hati ini saat ia membentakku tadi. Kutinggalkan ia berlalu menuju kamar, kubanting pintu dengan keras lalu menangis dalam diam. Aku memukul dadaku pelan, sangat sesak rasanya. "Ya Allah, sesak banget rasanya, sakit, Ya Allah," ucapku lirih, tangisku pecah namun aku berusaha menahan agar tak ada suara sekecil apa pun yang keluar, aku hanya ingin sendiri saat ini.POV AZKA Hari ini Istriku terlihat sangat gembira, senyumnya sangat manis. Pipi dan perutnya yang makin besar membuatnya menjadi sangat menggemaskan.Mertuaku memang akan datang hari ini, Ayra sedang memasak makanan kesukaan Orang tuanya. Namun saat dia berkata oseng kangkung, aku jadi teringat pada Ibu. Ibu sangat menyukai oseng kangkung buatan Ayra. Ingin rasanya aku memintanya memasak lebih agar bisa ku bawakan pada Ibu, namun belum aku mengatakan apapun Ayra seperti sudah mengerti apa yang ingin aku katakan. Ayra menyuruhku mengantarkan masakannya untuk Ibu, dan juga menyuruhku memberikan uang pada Ibu. Masyaa Allah baiknya istriku ini. Aku pergi ke rumah Ibu mengendarai mobil dari kantor. Awalnya aku ingin memakai motor saja, namun karena harinya terlihat mendung Ayra memaksaku agar membawa mobil saja. Sesampainya di Rumah Ibu, Kak Lastri dan Ayu segera menghambur ke arahku. Mereka mulai membangga-banggakanku di depan para tetangga yang melihat kedatanganku. Sepertinya kenaik
-POV IBU Tepat dua puluh tiga tahun yang lalu, di hari ulang tahun pernikahanku yang ke empat belas, aku dengan bahagianya menyiapkan sebuah kue cake dan membeli jam tangan yang sangat diinginkan oleh suamiku selama ini. Suamiku akan pulang hari ini, saat ini dia masih dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Aku menantikannya dengan hati yang berbunga-bunga. Hujan turun dengan derasnya, entah kenapa aku mulai merasa gelisah. Ku lihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun suamiku belum sampai juga, dan teleponnya pun tak bisa dihubungi. Tepat jam sebelas malam suara mobil terdengar, aku langsung berlari menuju pintu dan senyumku memudar ketika melihat seorang anak laki-laki yang saat ini sedang tertidur dan berada dalam gendongan suamiku. Aku menuntut penjelasan dari suamiku, namun ia menyuruhku diam agar tak membangunkan anak itu. "Bapak nemuin anak itu di warung kecil dekat jalanan Bu, kasian sendirian,kedinginan,kelaparan. Waktu Bapak tanya, dia bilang ditinggal sama Ibu
-Rencana Ayra Dua minggu sudah setelah kesalah pahamanku dan Mas Azka berakhir, hari-hari kami kembali seperti biasanya. Motorku sudah dikembalikan, sebagai gantinya aku menyanggupi biaya perbaikan motor Kak Lastri yang ternyata hanya Akinya yang ngedrop. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Beberapa hari ini Mas Azka sudah beberapa kali menarik uang di ATM, untuk apa uang itu? ATM Memang kadang dipegang oleh Mas Azka, namun sms banking terhubung dengan nomerku, sehingga aku tau berapa saja uang yang masuk dan keluar. Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi takut membuatnya tersinggung. Jadi aku memilih untuk mencari tahu sendiri. Saat Mas Azka mandi, aku mengambil HPnya. Segera ku cek panggilan telepon dan WAnya, dan benar ternyata rata-rata dari Ibu, Kak Lastri dan Ayu. Mereka kembali menggerogoti suamiku. Tak bisa ku biarkan, aku aja gak pernah boros, kok bisa-bisanya mereka meminta uang dengan mudahnya. [Azka, Kakak boleh pinjem uang nggak? Ada keperluan yg harus kakak bay
-Masalah Kak Lastri -Ting Bunyi notifikasi Wa, aku membukanya dan ternyata dari Bu Rama. [Assalamualaikum Ra, gimana kabarnya? Udah berapa bulan Nak? Ibu kangen loh, kok lama nggak main kesini?]Aku segera membalas dengan senyum mengembang tentunya. [Waalaikumsalam, Alhamdulillah Ayra sehat. Ibu apa kabar? Sekarang debaynya udah masuk tujuh bulan Bu, Ayra juga kangen. Pengen main kesana tapi takut jadi masalah Bu.] Ada rasa sedih saat membalas pesan Bu Rama. [Minggu ini pengajian di rumah Ibu, Ayra datang ya, sekalian kita baca do'a buat kesehatan Ayra juga debaynya.]Terharu aku membaca Chat dari Bu Rama, beliau sangat baik bahkan beliau akan mendo'akan kesehatanku dan bayiku di acara pengajiannya. [Insya Allah Ayra datang Bu. Nanti Ayra kabarin ya Bu.][Iya sayang, Ibu tunggu ya.]Aku menutup layar ponselku berbarengan dengan terdengarnya suara mobil Mas Azka. "Assalamualaikum cantik," ucap Mas Azka mesra, ia memelukku yang menyambutnya di depan pintu. "Wa'alaikumussalam sa
-Fitnah Kak Lastri Mas Azka hari ini keluar kota karena harus menghadiri rapat di sana. Besok pengajian di rumah Bu Rama, dan artinya aku harus kesana sendirian. Terbersit ragu di hatiku, tapi tak mungkin aku melanggar janjiku pada Bu Rama.Bismillah aja lah, semoga semuanya baik-baik saja.[Sayang, Mas, sudah sampai di Balikpapan. Ayra dah makan belum? Susunya jangan lupa diminum ya, jangan kecapean. Love you]Mas Azka mengabariku bahwa dia sudah sampai di kota tujuannya. Aku tersenyum membaca pesan romantisnya, sepele tapi kata-kata seperti itu cukup membuatku berbunga-bunga. [Iya Mas, hati-hati disana. Jangan lupa makan, cepat pulang, Love you too.]Setelah membalas pesan Mas Azka, aku membaringkan tubuhku sebentar untuk beristirahat. Entah kenapa aku merasa gelisah. ~Ting Bunyi notifikasi Wa kembali mengusik tidurku. [Ra, gimana? Udah ada uangnya? Om Malik ngancem mau laporan ke Ibu. Sumpah aku bingung Ra.]Ya Allah belum selesai juga drama tentang uang pinjaman Kak Lastri,
-POV Lastri "Waktu kamu tinggal satu bulan lagi ya Lastri. Segera lunasi hutang beserta bunganya atau rumah Ibumu terpaksa saya sita." Ini kali keempat Om Malik memperingatkanku. Aku berhutang pada Om Malik sekitar enam bulan yang lalu, satu bulan sebelum Ayra dan Azka memutuskan untuk pindah dari rumah Ibu. Seandainya saja uang gaji Mas Romi ku pakai untuk membayar cicilan hutang pada Om Malik, pasti saat ini tak banyak lagi yang tersisa. Tapi godaan shopping dari teman-temanku tak mampu ku kendalikan. Aku menggila ketika melihat Tas dan Baju model terbaru setiap bulannya, dan baru empat bulan ini aku membayar cicilan Hp baru bermerk Apel digigit. Jadilah akhirnya membuatku semakin tak bisa mencicil hutang pada Om Malik. Sangat gengsi rasanya ketika hanya aku yang memakai Hp merk bertanya. "Kamu dapet uang darimana Dek bisa beli Hp itu? Jangan pernah ngutang ya! Mas gak suka, dan bakal kasih hukuman kamu kalau kamu sampai berhutang" ancam Mas Romi, tentu saja hal itu membuatku ciu
-Kebohongan Lastri terbongkar. Terlihat seorang laki-laki yang saat ini berlari dengan kencang, hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran. ***"Assalamualaikum Nak Azka," Seorang perempuan yang suaranya lembut tapi menandakan kecemasan sedang menghubunginya yang baru saja selesai rapat. "Wa'alaikumussalam, maaf dengan siapa ini," tanya Azka dengan sopan."Ini Bu Rama Nak Azka, Maaf Nak Azka Ibu mau ngabarin kalo Nak Ayra pingsan di rumah Ibu, sekarang sudah kami bawa ke Rumah sakit Kasih Bunda," jawab Bu Rama yang langsung mengatakan tujuannya menelepon. Sesaat Azka terdiam, dia syok. Bagaimana mungkin istrinya yang tadi pagi dia telepon masih baik-baik saja sekarang berada di rumah sakit. Azka dengan cepat segera kembali ke kotanya, dia bahkan tak sempat makan bersama rekan kerjanya. ***"Sayang bangun, Mas sudah disini, Mas sudah pulang" ucap Azka dengan sangat khawatir.Azka duduk di samping ranjang Ayra, terlihat Ayra sangat lemas belum sadarkan diri, wajahnya terlihat pucat. Tang
-Teror di rumah Ayra. Azka pulang dengan hati yang sangat sakit, kali ini tak ada penyesalan atas sikap kurang ajar yang ia lakukan pada Ibunya. Tamparan dari Ibu, pukulan dari Romi tak membuatnya merasakan sakit, dia hanya merasakan sakit pada hatinya. Sakit karena ia merasa menjadi suami yang tak mampu melindungi istrinya sedari dulu. Azka bergegas pulang, saat sampai dirumah Azka melihat Ayra sedang sibuk memasak di dapur. "Sayang, kenapa kerja sih? Ayra itu harus istirahat nggak boleh ngapa-ngapain dulu," ucap Azka cemas, ia mendekati istrinya yang saat ini sedang mengadon sebuah kue. "Ayra lagi pengen makan bolu Mas," jawab Ayra, sengaja ia tak menggubris perkataan suaminya dan masih saja sibuk. "Kan kita bisa beli sayang," ucap Azka tampak gemas dengan istrinya ini. "Tapi dedenya mau Ayra yang bikin." Ayra tersenyum jahil pada suaminya, Azka hanya menggeleng tanda mengalah pada istrinya itu. ***POV AYRA Hatiku sangat sakit mengingat bagaimana Ibu dengan lantangnya menga