Share

BAB 7

-Pengacau datang 

Seminggu sudah kami menempati rumah sederhana ini, walaupun tak begitu besar namun rumah ini sangat nyaman. Tak ada makian, tak ada pekerjaan berat yang menantiku di setiap pagi bahkan sepanjang hari seperti biasanya. 

Rumah kami bernuansa Biru dan pink. Biru adalah warna kesukaan Mas Azka, dan Pink jelas saja adalah warna kesukaanku. Dengan uang sisa gaji dan uang bonus dari Mas Azka yang ku tabung setiap bulannya, kami akhirnya bisa memenuhi semua bagian isi rumah. Aku membeli ranjang berukuran besar lengkap dengan rak kecil, lemari,meja rias dan bantal duduk yang ku susun rapi di dalam kamar. 

Rumahku surgaku, inilah yang saat ini ku rasakan. Semoga aman damai selalu seperti ini. Aku sudah mengabari keluarga tentang kepindahanku, tapi aku tak pernah sedikitpun menjelek-jelekkan atau memberitahu mereka tentang sikap buruk yang selalu aku dapatkan dari keluarga angkat suamiku. Biarlah aib itu ku tutupi dengan rapat. Karena bagaimanapun juga, mereka adalah keluarga yang sudah membesarkan suamiku selama ini.

***

Pagi yang cerah ku isi dengan senam hamil yang belakangan ini ku ikuti melalui video youtube yang ku nyalakan di TV. Aku mulai rutin melakukan kegiatan ibu hamil seperti ibu-ibu hamil biasanya, kegiatan yang tak pernah ku lakukan semasa aku tinggal di rumah mertuaku yang membuatku seperti babu. 

Setelah senam hamil, aku mandi dan membuat kopi serta sarapan untuk suamiku. Tak lupa aku juga sambil mengerjakan pekerjaan rumah lain yang bisa dilakukan sambil menunggu masakanku matang. 

Namun kedamaianku tiba-tiba sirna saat mataku melihat ke arah jendela, terlihat dua orang wanita dengan langkah yang angkuh menuju rumahku. Siapa lagi kalau bukan Kak Lastri dan Ayu. Mau apa lagi mereka kali ini? Buru-buru ku matikan kompor dan menuju pintu utama untuk membukakan pintu. 

"Rumahnya kecil banget ya, percaya deh sama aku mereka gak bakal tahan lama-lama tinggal disini," ucap Kak Lastri dengan mulut dowernya, bukannya mengucapkan salam malah nyelonong masuk dan menghina kediamanku. Aku hanya diam memperhatikan langkah mereka, tapi sesaat mereka berpandangan dan memperhatikan sekeliling rumahku yang bisa dibilang cukup mewah. Bagaimana tak membuat mereka terpana? Aku mengisi semua barang di rumah ini dengan perlengkapan minimalis yang membuatnya menjadi terkesan sangat indah.

"Rumah itu nggak mesti besar, yang penting nyaman dan orang yang tinggal di dalamnya sehat semua," sindirku pada mereka, aku melewati mereka begitu saja dan menuju ke dapur untul membereskan sisa pekerjaan yang tadi belum selesai. 

"Pasti uang korupsi si Azka nih, makanya bisa beli perlengkapan rumah sebanyak ini," celetuk Ayu, Air yang ku rebus mulai mendidih, sama dengan halnya hatiku yang mendidih mendengar kata-katanya yang seenak jidatnya saja. Sembarangan sekali dia mengatakan suamiku yang jujur, baik, dan penyabar plus tampan sebagai orang yang melakukan korupsi. Andai tak ada hukum di negara ini, dengan senang hati akan ku siram mulut mereka dengan air yang saat ini ku tumpahkan untuk membuat kopi Mas Azka. 

"Gak usah kebanyakan basa basi deh, kalian mau apa kesini?" Aku langsung saja memotong bahan gosip mereka yang sangat tak beradab. 

"Mau minta duit disuruh Ibu," jawab Ayu santai, ia tanpa tahu malu meminta uang padaku. membuatku mengerutkan kening, ingin rasanya ku jambak rambut keriting adik iparku ini. 

"Duit apaan? Emang kami gudang duit?" Aku duduk santai sambil meminum susu hamil. 

"Azka kan gajian hari ini, jadi Ibu nyuruh minta duit buat bayar Air,Listrik,Wifi sama buat belanja dapur juga!" sahutnya lagi tanpa ada beban di setiap katanya. 

Hampir saja aku tersedak saat menyeruput Susu yang akan kuminum. Dasar keluarga tak tahu malu, sudah pindah pun kami dari sana masih saja ingin menguras gaji suamiku. 

"Oo, tidak semudah itu ferguso." Aku menyeringai melihat mereka. 

"Wah, ternyata ingatan Ibu kuat juga ya, sampai hafal tanggal berapa Mas Azka gajian. Aku aja sampai lupa," sindirku lagi sembari melap meja kompor yang kecipratan air susu saat aku menuang air hangat tadi. 

"Iyalah, itu kan haknya Ibu," jawabnya santai, aku kembali terkekeh, mendengar Ayu dengan lantangnya mengatakan itu sambil mencomot kripik pisang di dalam toples meja tamu.

"Sejak kapan uang Mas Azka menjadi Hak Ibu?" aku benar-benar muak pada mereka. 

"Buru deh Ra, panggil Azka. Aku repot nih!" Kak Lastri mulai tak sabaran. 

"Mas, ada tamu tak di undang." Sengaja aku berteriak memanggil nama Mas Azka, tak ingin aku melepaskan pandanganku dari dua wanita tak tahu diri yang saat ini sedang melihat sekeliling ruang rumahku, bisa hilang beberapa boneka hias yang saat ini tersusun rapi di rak shabby yang bergantung manis di atas kepala mereka. 

Mereka ini selain tukang peras menyambi pula sebagai tukang sulap, barang milikku sering hilang dalam sekejap jika mereka yang menyentuhnya. Dan tiba-tiba barang itu sudah berubah menjadi hak milik, kan Asem !! Aku mengomel dalam hati saat mengingat beberapa barang di kamarku yang hilang dan ternyata sudah berpindah tempat dengan sendirinya ke kamar mereka, itu juga alasanku kenapa waktu tinggal di rumah mertuaku dulu, setiap aku tertidur aku pasti mengunci pintu kamar.

Maz Azka keluar dengan pakaian yang rapi dan wangi, tentu saja aku sudah menyetrika dan memberi pengharum pada pakaiannya, takkan ku biarkan suamiku seperti dulu awal kami bertemu,kucel dan tak pernah diperhatikan. 

"Eh, ada Kak Lastri dan Ayu," ucap Mas Azka berbasa basi lalu duduk di sofa depan mereka. 

"Ada apa kak? Tumben main kesini," lanjutnya lagi, masih sopan seperti biasanya. 

"Minta duit buat bayar Air,Listrik,Wifi dan juga belanja dapur," jawab Kak Lastri langsung.

"Benar-benar tak tau diri," batinku. 

Terlihat Mas Azka menggaruk tengkuknya, aku tau dia bingung. Namun kali ini aku tak berniat sedikitpun untuk membantunya, aku ingin tahu bagaimana dia menanggapi kedua saudara angkatnya yang gila duit ini. 

"Emh, gimana ya Kak?" ucapnya bingung.

"Tolak Mas, pokoknya Mas Azka harus nolak." aku membatin sambil terus memperhatikan mereka. 

"Keuangan kami kan yang atur Ayra, dari dulu waktu di rumah ibu pun semua Ayra yang atur, jadi kalau memang Kak Lastri atau Ayu perlu uang, bisa ngomong langsung ke Ayra ya," ucap Mas Azka santai, ia melimpahkan segalanya kepadaku. 

"Hedeh, Mas Azka memang menyebalkan!" Kesal aku dibuatnya. 

"Ra, suamimu nyuruh minta ke kamu," ucap Kak Lastri setengah berteriak, aku hanya tersenyum. 

"Tapi keuangan kami kayanya lagi gak cukup buat bayar tagihan yang kalian minta, soalnya Ayra baru habis belanja bulanan dan juga perlengkapan rumah, jadi gimana dong?" Aku berpura-pura sedih dan berjalan mendekati mereka. 

"Ya kita gak mau tahu, kalian ngutang kek, gimana kek, yang penting tagihan di rumah Ibu kalian harus bayar," sahut Kak Lastri, hampir saja aku meledak dibuatnya, jika tanganku tak digenggam oleh Mas Azka, benar-benar akan ku sobek mulut perempuan tak tau diri ini. 

"Kasih aja Dek, jangan ribut. Kita orang baru disini, gak enak di dengar tetangga," ucap Mas Azka setengah berbisik padaku, aku menepis tangannya pelan, lalu beranjak masuk ke dalam kamar mengambil dompetku. Ku lihat mereka senyum penuh kemenangan.

"Oo, tidak bisa ferguso, kalian belum menang," batinku.

Aku teringat dengan uang pecahan Dua Puluh Ribuan berjumlah Lima Ratus Ribu yang ditukar oleh Mbak Andin, tetangga sebelah rumahku kemarin sore. Aku jadi punya ide jahil pada dua iparku di depan. Ku ambil amplop berukuran panjang, lalu ku masukan uang dua puluhan ribu itu ke dalamnya, dan terlihat tebal. Aku terkekeh geli lalu dengan semangat membawanya keluar. 

Kusodorkan uang itu pada Ayu, diterimanya dengan sumringah karena bentuknya yang tebal mungkin dia berpikir isinya sangat banyak, ingin sekali rasanya aku tertawa tapi ku tahan dengan sekuat tenaga. 

"Oke, urusan kita selesai ya. Kita pulang dulu," ucap Ayu, mereka pergi  tanpa ucapan terima kasih dan salam, dan langsung saja keluar rumah tanpa permisi. 

"Persis jailangkung," umpatku kesal, ku lirik Mas Azka yang sedang tersenyum geli melihatku yang sedang mencibir, karena kesal reflek kupukul lengannya. 

"Mas itu kenapa sih, kok Iya Iya mulu kalau mereka minta ini dan itu," ucapku protes, akhirnya aku mengutarakan kekesalanku. 

"Sini deh," pinta Mas Azka, ia membawaku untuk duduk di sampingnya. 

"Mas bukannya nggak mau nolak, tapi Mas merasa masih punya kewajiban pada Ibu, karena biar sejahat apapun Ibu sama Mas selama ini tapi Ibu juga yang sudah ngebesarin Mas," ucap Mas Azka menjelaskan, ia tertunduk lemas, aku tau Mas Azka pasti merasakan perih di hatinya. 

Aku mengelus punggungnya pelan.

 "Maafin Ayra ya Mas, tapi bukan maksud Ayra pengen itung-itungan atau berlaku nggak baik sama mereka. Ayra pengen Kak Lastri sama Ayu juga bertanggung jawab atas Ibu, mereka juga punya gaji tapi satu rupiah pun belum pernah Ayra lihat mereka keluarkan untuk Ibu, kenapa harus kita terus yang memenuhi kebutuhan Ibu?" jawabku menjelaskan, Aku menyesal, bukan karena sudah tak memenuhi perintah Mas Azka untuk memberikan uang pada Kakak dan Adik iparku, tapi karena aku membuat Mas Azka mengenang luka lamanya. Luka yang sudah terbalut lama dan membekas karena perlakuan buruk keluarganya. 

"Nggak apa-apa sayang, Mas tau niat Ayra baik," jawab Mas Azka, senyumnya sangat teduh, membuatku merasa nyaman dan tenang. 

"Sarapan dulu Mas," ajakku, pagi ini aku membuat nasi goreng spesial dengan suwiran ayam, potongan sosis, dan tak lupa aku menambahkan telur mata sapi setengah matang kesukaan Mas Azka. Kami pun sarapan bersama dengan sesekali mengobrol ringan. 

"Mas berangkat ya sayang," ucap Mas Azka berpamitan, ia mengelus rambut dan mencium keningku. Aku mencium tangannya dan mengantarkannya sampai pintu depan, aku tak mengantarnya sampai luar karena malas harus memasang hijab lagi. 

Baru saja motor Mas Azka berlalu meninggalkan rumah kami, suara telepon dari Hp Ku berbunyi. 

Seperti dugaanku, Kak Lastri yang menelpon. Sengaja tak ku angkat teleponnya, dan lebih dari sepuluh kali Kak Lastri dan Ayu bergantian menelponku. 

~Ting 

[Kenapa uangnya cuma Lima Ratus Ribu aja? Ini bayar Listrik aja kurang]

Dilanjutkan dengan pesan dari Kak Lastri dengan bunyi yang sama. 

[kalau masih protes, bulan depan aku nggak bakal kasih satu rupiah pun untuk kalian. Kan aku sudah bilang, kalau aku keluar dari rumah itu, apa yang kalian nikmati dulu tak akan kalian nikmati lagi sekarang, jadi mulai sekarang belajar berhemat dan gunakanlah gaji kalian dengan bijak. Oke ipar-iparku] 

Sengaja ku copy paste pesan itu dan ku kirim ke nomer Kak Lastri juga, agar mereka bisa sadar sesadar-sadarnya kalau mimpi indah mereka sudah berakhir. Aku terkekeh geli sambil melanjutkan pekerjaan rumahku yang belum selesai. Harus cepat selesai, agar aku bisa melanjutkan drama korea yang belum selesai aku tonton kemarin. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status