-Kedatangan A Rafi.
Hari ini aku berniat untuk melihat sampai mana perkembangan pembangunan rumah kami, aku bersiap dengan memakai setelan gamis dan hijab berwana Army. Setelah siap, aku mengambil tas selempang dan berjalan menuju pintu keluar rumah. "Mau kemana? Kerjaan kok keluyuran aja! Udah tahu kerjaan rumah banyak," ucap Ibu, membuat langkahku harus terhenti dengan ocehannya yang membuat kupingku kembali panas. "Mau keluar bentar Bu, Ayra ada urusan," sahutku, sambil mengenakan kaus kaki."Emangnya saya kasih kamu izin buat keluar?" Ibu kembali mengeluarkan nada sinisnya. "Ayra sudah izin sama Mas Azka bu," jawabku halus, kemudian mengambil sepatu dari rak di belakang pintu, dan bersiap akan keluar."Kan saya sudah bilang saya nggak izinin kamu keluar, ini rumah saya! Bukan rumah Azka! Kalau kamu mau keluar kamu izin sama saya bukan sama Azka." Kali ini suara Ibu mulai melengking, sampai membuat beberapa tetangga yang sedang belanja sayur pada Mang Usuf menoleh. Malu rasanya ketika melihat tatapan sedih mereka padaku, untungnya para tetangga tak pernah membicarakan tentangku, walaupun ketika mereka berkumpul bersama Ibu, Ibu selalu menjelek-jelekkanku, tapi mereka seperti hanya mendengar angin lalu, karena sepertinya mereka pun sudah tau bagaimana sikap Ibu dan saudara Mas Azka pada kami selama ini. "Iya Bu, Ayra gak jadi pergi," jawabku lemah, aku memilih mengalah, dan kembali masuk ke dalam kamar dan mengganti pakaian dengan daster rumahan. Aku membaringkan tubuhku sebentar, hari ini memang terasa lemas. "Dede yang sabar ya sayang, yang kuat," ucapku penuh sayang, sembari mengusap perut yang kini mulai terlihat membesar. Hp ku berbunyi tanda ada panggilan masuk. "Assalamualaikum Ra," ucap suara di seberang sana, rupanya telepon dari Kakakku yang akhirnya membuat sedihku berkurang."W*'alaikumussalam, A Rafi, Apa kabar?" Aku menjawab salamnya dengan sangat semangat, kangen rasanya dengan Kakakku ini."Alhamdulillah Aa baik, Aa di Samarinda sekarang sama Kak Tari juga, kami mau ke rumah kamu tapi Aa lupa alamatnya, kirimin ya," jawab A Rafi tak kalah semangat, senyumku memudar, aku memang sangat merindukan mereka, tapi jika mereka datang kesini sekarang, pasti Mertuaku akan semakin menunjukkan sikap tak sukanya padaku dan mereka. "Emh, iya A, bentar Ayra W* ya alamatnya," jawabku pelan, setelah mematikan telepon segera ku kirimkan Alamat rumah kepada A Rafi, lalu tak lupa juga mengirim W* pada Mas Azka untuk mengabarinya.[Mas, A Rafi sama A tari lagi BMW ke rumah. Tapi Ayra takut kalau Ibu marah-marah gimana]Segera setelah mengirimkan pesan, aku keluar dan mencari Ibu Mertuaku, aku harus mengatakan ini padanya. "Bu," panggilku ragu, Ibu yang sedang fokus menonton TV menoleh sebentar padaku, lalu kembali fokus pada layar TV. "Apa? mau izin keluar? Nggak boleh! Cucian banyak kalau hujan siapa yang angkat." Ibu menjawab dengan nada yang sangat tak enak didengar. "Bukan Bu, hari ini ada A Rafi sama Istrinya mau mampir kesini," jawabku lemah, Ibu tampak acuh sambil mengambil makanan ringan yang berada di meja di hadapannya. "Ya, terus kalau datang kenapa? Namanya tamu jauh layani aja dengan baik," jawabnya, aku merasa sedikit tenang dan tersenyum."Oh ya, minumnya nanti panasin aja Teh kemarin yang saya simpan dalam kulkas, terus ada pisang goreng dalam lemari, itu aja angetin pakai minyak bekas kemaren," lanjutnya datar. Jleb, langsung ingin tumpah air mataku, ketika keluargaku yang datang dari jauh harus disuguhkan Teh dan Pisang goreng sisa kemarin, padahal jika pun harus memberikan yang baru tak mungkin juga merugikan Ibu, karena semua yang dibeli di rumah ini dari gaji suamiku.Aku berlalu menuju kamar dan mengambil HP ku, ternyata ada balasan dari Mas Azka.[Alhamdulillah, Insyaa Allah mas pulang cepat hari ini. Nanti Mas belikan cemilan ya Dek, kalau ibu nyuruh angetin makanan dan minuman kemaren jangan dituruti, bikin aja yang baru]Aku tersenyum membaca pesannya, Mas Azka memang selalu tau apa yang aku risaukan. Sebelum aku mengatakan semuanya, ia selalu sudah memberikan jawaban. -TingBunyi notif pesan masuk lagi, ternyata dari A Rafi. [Dek, mungkin Aa entar sore baru mampir sebelum pulang ya. Soalnya sekarang Aa mau temenin Kak Tari dulu ke kondangan temennya dan ada sedikit urusan juga. Oh ya, kamu ada yang mau di titip gak?]Sudah menikah pun kakak dan kakak iparku masih sangat memperhatikanku. Entah kenapa keluarga suamiku tak memperlakukanku dengan hal yang sama.[Emh, gak usah A, Ayra lagi nggak pengen apa-apa. Fii amanillah ya A, Ayra tunggu di rumah]Aku kembali mencharge Hp Ku dan keluar kamar untuk mengambil cucian yang sepertinya sudah mulai kering, aku harus bisa membuat Ibu Mertuaku senang agar Ia tak memperlihatkan ketidak sukaannya padaku saat ada keluargaku nanti. ***Mas Azka menepati janjinya, hari ini dia pulang cepat, ia membawa Martabak asin dan manis untuk keluargaku yang datang, dia membawa 2 bungkus. Sengaja di pisahnya bungkusan agar tak membuat keluarganya banyak omong.Tak lama berselang, A Rafi dan Kak Tari datang. Ku cium tangan mereka satu persatu dan memeluk mereka bergantian, kupersilahkan mereka masuk dan ku suguhkan teh manis serta martabak yang dibeli oleh suamiku tadi, kami mengobrol banyak hal. "Ibumu mana Ka, kok gak keliatan? Sehatkan?" tanya A Rafi, sembari sesekali melirik ke arah pintu tengah. Aku mulai merasa tak enak, karena memang Ibu tak ada keluar kamar semenjak kedatangan A Rafi dan Istrinya. **Teringat saat kepulangan Mas Azka tadi, Ibu melihat Mas Azka membawa dua bungkusan Martabak. "Kalau ada tamu dari keluarga Istrinya baru beli makanan enak. Kalau nggak ada, biar kering dapur gak akan belanja." Ibu nyeletuk dengan kasarnya, padahal selama ini apapun makanan yang ada di dapur semua dari uang Mas Azka. "Tapi kan semua kebutuhan di rumah sudah terpenuhi Bu, keluarga Ayra juga nggak tiap hari datang ke rumah kita," jawab Mas Azka halus, ia memberikan bungkusan martabak padaku, dan langsung menuju kamar kami. "Rumah kita? Ini rumah saya! Kalian cuma numpang disini, jadi nggak usah sok-sokan menganggap ini rumah kalian," jawab Ibu yang sengaja menyaringkan suaranya karena Mas Azka sudah tak menanggapinya. "Rabb, entah terbuat dari apa hati suamiku yang begitu sabar menghadapi kebencian dari Ibu angkatnya ini." aku membatin dengan lirih. Ku pisahkan dua piring martabak untuk tamu dan untuk orang rumah lalu memasukkannya ke dalam tudung saji. **"Dek?" Panggilan A Rafi membuyarkan lamunanku, aku hanya tersenyum. "Ibu lagi kurang enak badan A, lagi istirahat di kamarnya," jawabku lembut, aku terpaksa berbohong, namun ternyata Ibu keluar dengan setelan kondangannya. Aku hanya mampu beristighfar dalam hati. "Saya ada urusan, permisi ya!" ucap Ibu kemudian berlalu pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun pada kami. Terlihat wajah tak enak dari Mas Azka. Aku menatap sedih pada A Rafi dan Kak Tari, sepertinya mereka mengerti kegelisahanku. "Kamu udah berapa bulan Dek?" Kak Tari mengalihkan pembicaraan menghilangkan kecanggungan di antara kami. "Jalan empat bulan A,"jawabku sembari tersenyum padanya. "Alhamdulillah, nggak mabok Dek?" tanya A Rafi menimpali. "Alhamdulillah nggak ada mabok sama sekali A, malah Ayra ngerasa kuat banget," jawabku bersemangat, kami lalu melanjutkan obrolan. Tanpa terasa hari semakin sore, A Rafi dan Kak Tari berpamitan pulang, saat memelukku Kak Tari berbisik. "Kalau ada masalah telepon Kakak, cerita sama Kakak ya! Jangan dipendam sendiri, oke?" Aku mengangguk dan merasakan air mataku akan tumpah, tapi berusaha sekuat mungkin untuk menahannya. Aku melambai pada mereka berdua setelah menitip salam untuk orang tuaku. Tak terasa mereka sudah menghilang bersama dengan taksi yang mereka tumpangi. "Jangan sedih dong Sayang, mau jalan gak? Kita liat rumah kita yuk?" Mas Azka membuatku kembali tersenyum, aku mengangguk dan segera berganti pakaian. Kami pun pergi dengan mengendarai motor Mas Azka."Sejuknya udara sore ini, terlebih lagi jalannya dengan lelaki yang amat sangat kucintai, sesulit apa pun Ayra janji akan selalu ada di samping Mas Azka, Ayra nggak akan biarin Mas Azka ngejalanin semua rasa sakit dan sulit hidup ini sendiri," janjiku dalam hati sembari tersenyum ke arah spion motor yang selalu mengarah langsung ke wajahku. "Begitulah romantisnya Suamiku, Mas Azka Rayhan Afif" ucapku bangga dalam hati.-Sedikit melawan Hari ini Mas Azka tak berangkat kerja, ia mengeluh pusing. saat ku pegang badannya terasa panas, wajahnya juga sangat pucat, tak tega rasanya aku membangunkannya yang sedang terlelap. Aku keluar kamar untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya, ku masukkan cucian ke dalam mesin cuci Lalu ku lanjutkan untuk melalap sayur dan membersihkan ikan yang akan aku masak untuk makan siang nanti. "Azka gak kerja kan hari ini Ra?" Ibu mertuaku datang ke dapur dan langsung membuka kulkas, mengambil satu buah apel segar yang memang selalu harus ada untuk sarapannya setiap pagi. "Mas Azka sakit Bu, demam," jawabku sambil terus melanjutkan pekerjaan."Demam doang, manja amat," sahut Kak Lastri, ia datang dan duduk di samping Ibu dan langsung memakan Apel yang baru saja dikupas dan diiris Ibu. "Dia demam dan pusing Kak, kecapean," jawabku mulai merasa kesal, bisa-bisanya dia meremehkan sakit suamiku. "Ya bener dong Ra kata Lastri, Demam doang kok manja! entar suruh bener
-Bertengkar Setelah pekerjaan rumah selesai, aku masuk ke dalam kamar dan membawa semangkuk bubur beserta teh hangat untuk Mas Azka, ku bangunkan ia dengan pelan. Terlihat sangat pucat wajah tampannya. "Makan dulu ya Mas, baru minum obat," pintaku lembut, Mas Azka tersenyum lalu mencoba untuk duduk dengan menyandarkan tubuhnya. Aku menyuapinya pelan, sedih rasanya hatiku melihat keadaannya seperti ini. Saat sakit pun keluarganya tak ada yang mencoba melihat dan bertanya kondisinya, padahal kami masih berada di atap yang sama. "Udah Dek, Mas mual," ucap Mas Azka lemah, ia menolak bubur yang akan ku suapkan lagi padanya. "Satu kali lagi ya Mas, Mas harus sehat! Kalau Mas sakit, yang jaga Ayra dan Dede siapa?" Mataku mulai berkaca, aku sedih bukan karena merasa lemah, tapi aku sedih karena merasakan penderitaan suamiku selama ini, terbayangkan bagaimana kondisinya ketika ia sakit saat masih belum menikah denganku. Kenapa keluarga ini tak pernah menganggapnya ada sama sekali. Setel
-Pindah Mas Azka sudah lebih baik sekarang, dia sudah bisa bangun dan akan berangkat bekerja. Aku menyiapkan sarapan untuk Mas Azka, membuatkannya kopi dan memasukkannya ke dalam termos kecil untuk dibawanya ke kantor nanti.Mas Azka memang pecinta kopi, dia memintaku untuk membuatkan kopi agar bisa diminumnya saat di kantor, padahal ada kantin disana, tapi katanya rasanya tetap tak sama apabila bukan aku yang membuatnya. "Mas berangkat dulu ya sayang," ucap Mas Azka, ia mengambil kunci motor dan segera keluar rumah. Ku ikuti ia dari belakang, tak lupa ku cium punggung tangannya, dan mendoakan setiap langkahnya. Semoga ia selalu di lindungi Allah,dan semoga Allah bukakan pintu rezeki seluas-luasnya untuknya.Aku menunggunya sampai tak terlihat lagi oleh pandanganku, setelah itu aku kembali ke dapur. Seperti biasa aku akan mengerjakan pekerjaan rumah, tapi kali ini ada sedikit enggan saat akan mengerjakannya. Terlebih saat aku melihat ditumpukan pakaian kotor ada pakaian Kak Lastri,
-Pengacau datang Seminggu sudah kami menempati rumah sederhana ini, walaupun tak begitu besar namun rumah ini sangat nyaman. Tak ada makian, tak ada pekerjaan berat yang menantiku di setiap pagi bahkan sepanjang hari seperti biasanya. Rumah kami bernuansa Biru dan pink. Biru adalah warna kesukaan Mas Azka, dan Pink jelas saja adalah warna kesukaanku. Dengan uang sisa gaji dan uang bonus dari Mas Azka yang ku tabung setiap bulannya, kami akhirnya bisa memenuhi semua bagian isi rumah. Aku membeli ranjang berukuran besar lengkap dengan rak kecil, lemari,meja rias dan bantal duduk yang ku susun rapi di dalam kamar. Rumahku surgaku, inilah yang saat ini ku rasakan. Semoga aman damai selalu seperti ini. Aku sudah mengabari keluarga tentang kepindahanku, tapi aku tak pernah sedikitpun menjelek-jelekkan atau memberitahu mereka tentang sikap buruk yang selalu aku dapatkan dari keluarga angkat suamiku. Biarlah aib itu ku tutupi dengan rapat. Karena bagaimanapun juga, mereka adalah keluarga y
-Dibentak Mas Azka Hari ini Mama dan papaku akan datang berkunjung ke rumah baru kami. Aku sangat bahagia dan langsung membeli beberapa bahan makanan yang akan aku olah untuk kusuguhkan pada mereka. "Mama sama papa jadi datang Dek?" tanya Mas Azka, ia memelukku dari belakang sambil menciumi pipiku gemas. "Jadi Mas, ini Ayra mau masak buat mereka," jawabku penuh semangat, Mas Azka mengangguk lalu membantuku mengupas bawang. Aku menoleh dan tersenyum padanya, dia memang sosok suami sempurna. "Beruntungnya Aku, dimiliki kamu…." lagu yang mewakili perasaanku saat ini. "Ayra mau masak apa emang?" tanya Mas Azka lagi, ia menaruh bawang yang sudah dikupasnya di mangkuk dan menyerahkannya padaku untuk ku potong-potong halus sebelum menumisnya."Mau bikin Ayam kecap sama udang asam manis Mas, terus bikin oseng kangkung juga. Papa kan suka," jawabku panjang lebar, aku tersenyum padanya, dia terdiam sejenak. Aku mengerti, dan tahu pasti dia memikirkan Ibunya. Ibunya juga sangat suka dengan
POV AZKA Hari ini Istriku terlihat sangat gembira, senyumnya sangat manis. Pipi dan perutnya yang makin besar membuatnya menjadi sangat menggemaskan.Mertuaku memang akan datang hari ini, Ayra sedang memasak makanan kesukaan Orang tuanya. Namun saat dia berkata oseng kangkung, aku jadi teringat pada Ibu. Ibu sangat menyukai oseng kangkung buatan Ayra. Ingin rasanya aku memintanya memasak lebih agar bisa ku bawakan pada Ibu, namun belum aku mengatakan apapun Ayra seperti sudah mengerti apa yang ingin aku katakan. Ayra menyuruhku mengantarkan masakannya untuk Ibu, dan juga menyuruhku memberikan uang pada Ibu. Masyaa Allah baiknya istriku ini. Aku pergi ke rumah Ibu mengendarai mobil dari kantor. Awalnya aku ingin memakai motor saja, namun karena harinya terlihat mendung Ayra memaksaku agar membawa mobil saja. Sesampainya di Rumah Ibu, Kak Lastri dan Ayu segera menghambur ke arahku. Mereka mulai membangga-banggakanku di depan para tetangga yang melihat kedatanganku. Sepertinya kenaik
-POV IBU Tepat dua puluh tiga tahun yang lalu, di hari ulang tahun pernikahanku yang ke empat belas, aku dengan bahagianya menyiapkan sebuah kue cake dan membeli jam tangan yang sangat diinginkan oleh suamiku selama ini. Suamiku akan pulang hari ini, saat ini dia masih dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Aku menantikannya dengan hati yang berbunga-bunga. Hujan turun dengan derasnya, entah kenapa aku mulai merasa gelisah. Ku lihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun suamiku belum sampai juga, dan teleponnya pun tak bisa dihubungi. Tepat jam sebelas malam suara mobil terdengar, aku langsung berlari menuju pintu dan senyumku memudar ketika melihat seorang anak laki-laki yang saat ini sedang tertidur dan berada dalam gendongan suamiku. Aku menuntut penjelasan dari suamiku, namun ia menyuruhku diam agar tak membangunkan anak itu. "Bapak nemuin anak itu di warung kecil dekat jalanan Bu, kasian sendirian,kedinginan,kelaparan. Waktu Bapak tanya, dia bilang ditinggal sama Ibu
-Rencana Ayra Dua minggu sudah setelah kesalah pahamanku dan Mas Azka berakhir, hari-hari kami kembali seperti biasanya. Motorku sudah dikembalikan, sebagai gantinya aku menyanggupi biaya perbaikan motor Kak Lastri yang ternyata hanya Akinya yang ngedrop. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Beberapa hari ini Mas Azka sudah beberapa kali menarik uang di ATM, untuk apa uang itu? ATM Memang kadang dipegang oleh Mas Azka, namun sms banking terhubung dengan nomerku, sehingga aku tau berapa saja uang yang masuk dan keluar. Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi takut membuatnya tersinggung. Jadi aku memilih untuk mencari tahu sendiri. Saat Mas Azka mandi, aku mengambil HPnya. Segera ku cek panggilan telepon dan WAnya, dan benar ternyata rata-rata dari Ibu, Kak Lastri dan Ayu. Mereka kembali menggerogoti suamiku. Tak bisa ku biarkan, aku aja gak pernah boros, kok bisa-bisanya mereka meminta uang dengan mudahnya. [Azka, Kakak boleh pinjem uang nggak? Ada keperluan yg harus kakak bay