“Udah selesai?” Catherine bertanya ramah. Dia tersenyum pada Raga dan Amira bergantian. “Kok cepet? Enggak mau lebih lama lagi?” Raga menggeleng. Dia menunjuk ke arah luar gedung tempat les milik Catherine. “Ada urusan lain,” jawabnya singkat. Catherine mengangguk lagi. Dia memang hanya menawarkan, bukan memaksa. “Lain kali, datang lebih sering,” ucap Catherine. “Kamu termasuk murid yang selalu saya tunggu.” Raga angkat bahu. Dia tidak menjawab, hanya memberi senyum sekilas. Raga memilih untuk berpamitan. Dia tak berniat untuk berbasa-basi dengan Catherine lebih lama lagi. Di luar gedung, ada Alex yang langsung menghampiri. Pria itu langsung segera keluar dari mobil saat melihat Raga. “Tuan Raga sudah selesai?” Tanya Alex. Alex memang diminta oleh Raga untuk menunggu di mobil saja. Awalnya Alex tidak setuju, tapi Raga memaksa. Setelah mengamati keadaan sekitar dan yakin dengan keamanannya, Alex baru beranjak. “Udah. Buka pintunya,” sahut Raga. Alex mengiyakan. Dia membuka
Amira berterima kasih pada pegawai yang membawakannya coklat panas dan kue-kue. Setelah itu, Amira cuma bisa duduk kaku di samping Raga. Di ruang meeting perusahaan Exscales, tidak ada hal lain yang bisa Amira lakukan. “Bagian ini harusnya dibuat kayak yang gue bilang kemarin. Kenapa dirubah?” Amira bisa mendengar suara Raga yang kesal. Pegawai di depan Raga hanya bisa mengangguk patuh saat Raga menyemburnya dengan kemarahan. Ternyata sikap seenaknya Raga sudah mendarah daging. Karena dia memiliki status yang lebih tinggi, Raga terbiasa melakukan hal seperti itu. “Maaf, Tuan. Kami akan memperbaikinya lagi.” Pegawai itu memasang wajah memelas dengan penuh penyesalan. Namun, Raga tidak menanggapinya sama sekali. Raga melengos. Tangannya menunjuk menyuruh. “Bawakan laptop ke sini,” ujar Raga memberikan perintah. “Masukkan juga data-data ini ke dalam,” sambungnya kemudian. Tak perlu menunggu semenit, satu buah laptop sudah ada di depan Raga. Tangan Raga sigap memeriksa isi file y
Di sudut ruang meeting departemen pengembangan, ada Alex yang berdiri di sudut. Pria itu menatap Amira dengan tatapan khawatir. Dia tentu saja mendengar apa yang Heri katakan, dan dia tidak menyukainya. Alex merasa jika Heri sudah menyinggung Amira. Alex tahu jika dirinya tidak setara dengan Raga, karena dia memang hanya pengawal. Namun, Amira berbeda. Amira adalah teman Raga, harusnya status Raga dan Amira bisa setara. Meski begitu, Heri dengan sengaja menyamakan Amira dengan Alex. “Kakek akan minta ayah dan ibumu untuk menyelesaikan pekerjaan mereka juga. Kamu juga bersiap. Kita pulang sama-sama.” Raga mengangguk. “Raga akan pulang bersama Amira. Kakek duluan aja sama ayah dan ibu.” Jawaban Raga membuat Amira mempertanyakan eksistensi otak Raga. Apakah organ tubuh cowok itu sedang menghilang sementara? Karena Raga tiba-tiba menjadi bodoh begitu saja. Di luar dugaan, Heri malah tersenyum. Dia kemudian berpamitan pada Raga, berjalan keluar ruangan. “Kita ketemu lagi di rumah,
Alex mengamati langkah Raga dan Amira dari belakang. Sebelumnya, dia sempat berinisiatif ingin menenangkan Amira. Alex berniat berucap jika dirinya tidak akan membiarkan Amira sendirian, tapi sepertinya semua itu tidak diperlukan sekarang. Lihat saja bagaimana Tuan Mudanya itu sudah melindungi Amira sampai seperti itu. “Tuan Besar mengatakan jika Tuan Muda bisa langsung ke ruang makan,” ucap salah satu pelayan. Raga langsung mengiyakan. Dia menyempatkan diri untuk melirik Alex sebentar, sebelum kembali pada Amira. Raga menunggu sampai kaki Amira melangkah lebih dulu. Keadaan saat ini sangat sulit bagi Amira. Padahal dia berjalan biasa, tapi kakinya terasa sangat berat. Amira merasa jika kedua kakinya terikat beban ratusan kilo, sampai dia kesulitan bergerak. “Raga!” Suara panggilan dari seorang wanita terdengar, membuat Raga dan Amira menoleh bersamaan. “Ibu sudah menunggu kamu dari tadi.” Andini menyambut Raga hangat, tapi tatapan wanita itu berubah saat melihat Amira.
Dulu, Amira pernah mendengar bahwa orang miskin tidak akan pernah bisa membayangkan kehidupan orang kaya, begitu pula sebaliknya. Saat di Laveire, Amira meragukan ungkapan itu. Bersekolah selama setahun di sana, Amira masih bisa beradaptasi dengan baik. Namun sekarang, Amira bisa merasakan perbedaan itu. Perbedaan antara dirinya, dan Raga. Semakin Amira mengenal Raga, semakin dia membandingkan kehidupan mereka. Rumah kontrakan Amira, berbeda dengan rumah mewah Raga. Apa yang Amira makan, tak sama dengan apa yang Raga makan. Seorang Amira tidak pernah bermain piano, sama seperti seorang Raga yang tidak pernah berkebun. Mereka, berbeda. “Terima kasih untuk makanannya, Bapak, Ibu, Kakek,” ucap Amira akhirnya. Amira memilih untuk menuruti apa yang Raga mau. “Terima kasih, Tuan Besar, Tuan, dan Nyonya,” ucap Alex menyusul. Heri hanya mengangguk sekilas tanpa repot untuk mengucapkan apapun. Amira sadar dengan tatapan Heri. Tatapan mendominasi yang membuat Amira merasa tidak nyaman. H
Amira melamun sesaat setelah dia bangun. Otaknya melayang pada kejadian kemarin, saat Amira menghabiskan waktu seharian penuh bersama Raga. “Yang kemarin kayak mimpi,” gumam Amira pelan. Semua tentang permainan piano, pernyataan cinta, bahkan makan malam bersama dengan keluarga Wijaya. Bagi Amira, semua masih tak terasa nyata. “Semoga hari ini lebih baik dari kemarin,” ucap Amira, berdoa. Karena hari semakin siang, Amira memilih untuk beranjak dari tempat tidurnya. Amira tak mau jika Raga sampai menunggu lama. Dia tak mau Raga datang menggedor pintunya lagi. Setelah selesai mandi, Amira menyiapkan sarapan dan memakannya lahap. Saat dia sudah siap sempurna, Amira mengecek ponsel. Tidak ada pesan masuk dari Raga sama sekali. “Tumben?” Amira bertanya-tanya sendiri. “Apa Raga udah nunggu di luar?” Karena tidak ada waktu lagi, Amira memutuskan berjalan keluar gang tanpa menunggu pesan. Namun, sesampainya di sana, mobil Raga masih belum datang. “Mungkin sebentar lagi,” ucap Ami
Di kantin Laveire yang ramai pada jam istirahat, Evan membuat keributan. Dia bahkan lebih berisik daripada murid-murid yang sedang mengantri makanan. “Amira, lo suka makanan apa?” Tanya Evan bersemangat. Evan dengan sengaja duduk di samping Amira. Dia memanfaatkan semua kesempatan yang dia miliki saat ini. “Apa aja,” jawab Amira singkat. Sedikit pun Amira tidak tertarik dengan pertanyaan dari Evan. Apa pun yang ditanyakan oleh Evan, jawaban Amira sama. “Kalau minuman? Lo suka apa?” Evan masih berusaha. Meskipun Amira menjawab dengan enggan, Evan tidak menyerah. Selama Amira masih menjawab, dia akan terus bertanya. “Apa aja,” jawab Amira lagi. Sebenarnya, secara teknis, jawaban Amira pun tidak salah. Dia memang tidak pilih-pilih dalam hal makanan atau minuman. Bahkan mungkin hampir dalam segala hal. Karena pada dasarnya, memang Amira tidak memiliki pilihan karena keterbatasan hidupnya sejak dulu. “Kalau ke cafe bareng gue, mau enggak?” Tanya Evan cepat. Dia mencoba meng
Bel pulang sekolah berdering nyaring. Amira sedang merapikan bukunya, saat Evan datang menghampiri. “Yuk,” ajak Evan sambil mengulurkan tangan. Amira hanya memberikan senyum tipis. Dia merapikan bukunya cepat, lalu beranjak. “Yuk,” jawab Amira tanpa menyambut uluran tangan Evan. Evan hanya bisa menatap tangannya yang terabaikan. Dia menghela sesaat, sebelum memutuskan untuk tidak menyerah. Evan memilih untuk mengejar Amira saja. Mereka pun berjalan bersisian menuju tempat parkir. “Mobil gue di sebelah sana,” ucap Evan sambil menunjuk ke sudut. Amira memicing, mencari mobil Evan. Dia sedikit terkejut mendapati cowok itu membawa mobil sport berwarna merah yang terlihat sangat keren. Jauh berbeda dengan mobil standar Raga, sedan berwarna hitam polos. “Ayo masuk,” ucap Evan saat mereka sudah sampai di dekat mobil. Tangan Evan terulur membukakan pintu untuk Amira, sebelum dia menyusul masuk ke dalam mobil. “Lo nyetir sendiri?” Evan terkekeh mendapati pertanyaan Amira. Dia lang
“Buka matamu!” Teriakan Leon menggema di dalam ruang kumuh itu. Amira terpaksa membuka mata, meski tubuhnya sudah mati rasa. “Kamu pikir ini sudah selesai?” Leon tertawa nyaring. “Ini baru dimulai, Amira.”Amira terkejut saat Leon mengangkat tinggi handphone kecil yang Amira sembunyikan. “Kenapa kaget?” Tanya Leon dengan seringai di wajah. “Kamu pikir aku tidak tahu rencanamu?”Leon terkekeh sebentar. Pria itu terlihat sangat menikmati kengerian di wajah Amira. “Kalian sungguh bocah-bocah yang sombong,” ujar Leon, sinis. “Jangan mengira diri kalian pintar. Aku sudah menangani kasus seperti sejak bertahun-tahun yang lalu.”Leon berjalan di depan Amira. Sesekali dia menatap Amira sinis. Terkadang dia tiba-tiba memberikan tendangan–sesuai mood saja. “Kamu tahu pekerjaan apa yang aku urus di keluarga Wijaya, Amira?” Leon mengangguk, seolah membenarkan tebakan yang belum terucap.“Aku mengurus banyak pekerjaan, termasuk yang kotor seperti ini.” Amira tersentak saat wajah Leon tiba-
“Kita … mau ke mana?” Amira bertanya dengan suara cemas. Hari semakin gelap, tapi mobil yang Amira naiki dengan Leon belum juga berhenti. Mereka sudah begitu jauh berkendara. “Kenapa jalannya tidak rata? Apa kita ke hutan?” Amira terus bertanya, membuat Leon berteriak kesal. “Diamlah! Atau aku lempar kau ke jurang di luar sana!” Teriakan Leon membuat Amira terdiam. Dia memilih untuk tidak bicara sampai emosi Leon mereda. Sepertinya, Amira sudah memberikan cukup petunjuk lewat panggilan yang terhubung dengan Raga. Mobil terus berjalan sampai akhirnya berhenti perlahan. Leon memarkir mobil dan keluar lebih dulu. “Turun!” Teriak pria itu, tidak sabaran. Leon menarik Amira cepat. Ia membuat Amira terhuyung sampai akhirnya terjerembab di atas tanah yang keras. “Duh, menyusahkan!” Leon terpaksa membantu Amira. Amira kesulitan berdiri sendiri dengan tangan yang sudah terikat ke belakang. “Astaga, kenapa kamu rapuh sekali!” Leon mengomel saat melihat hidung Amira yang mengeluarkan d
“Semoga semua berjalan sesuai rencana,” lirih Amira. Amira dan teman-temannya mengangguk bersamaan. Mereka sudah siap. Satu-persatu, saling berpamitan, dimulai dari Evan, sampai Raga yang terakhir. “Lo hati-hati,” bisik Raga hampir tak terdengar. Dia menyempatkan diri memeluk Amira erat, sebelum melepaskannya.“Hati-hati di jalan,” seru Amira sambil melambai pada Raga. “Kabarin gue kalo udah sampe.”Raga membalas lambaian tangan Amira sebelum berbalik dan melangkah pergi bersama Alex. Hari sudah gelap, tapi belum terlalu larut. Amira, Dina, dan Dika berjalan bersisian menuju asrama. “Kamu mau langsung tidur?” Tanya Dina.Gedung asrama sudah terlihat. Namun, sampai sekarang, belum ada pertanda apa pun. “Iya, kayaknya,” jawab Amira sambil terus memantau waktu. Dia berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Amira harus berpura-pura tidak tahu. “Aku juga. Tadi capek banget. Kayaknya malam ini aku bakal tidur nyenyak,” sahut Dina. Mereka akhirnya tiba di depan kamar masing-masin
“Siapa yang melakukannya?” Tanya Reynald. Dia masih mengurus kasus penculikan Raga yang terakhir kali. Tersangkanya masih diproses dalam persidangan yang berjalan.“Orang lain lagi? Lo liat?” Febby ikut bertanya. Febby berharap jika Amira mendapatkan sedikit petunjuk. “Enggak, tapi kayaknya gue tau siapa.”Amira melihat beberapa detail yang membuat dia sedikit yakin dengan tuduhannya. “Itu Pak Leon,” sambung Amira. Dia sempat melihat Raga mencari tahu keberadaan Leon, dan Raga di masa depan belum berhasil menemukannya. “Lo lebih baik cari Pak Leon dari sekarang.” Amira terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Jangan,” sambungnya sambil membantah ucapan sendiri. “Cari adiknya.”Leon bersembunyi dengan begitu baik, jadi pria itu pasti tidak akan bisa ditemukan dengan mudah. “Lakukan diam-diam. Gue juga bakal pura-pura enggak tau sama rencana dia,” ucap Amira. Raga mengernyit tidak senang. “Maksud lo, gue harus ngeliat lo diculik di depan mata gue?!”“Lo enggak adil banget!” Raga men
“Kalian hebat!” Reynald tak berhenti memberikan pujian. Acara open house sudah selesai, dan bagi Reynald acara kali ini sukses. “Persiapan kita sebentar, tapi kalian bisa melakukannya dengan sangat sangat baik.” Berkali-kali Reynald memuji mereka, sampai Amira mungkin bisa sampai ke atas langit jika pujian itu ditumpuk. “Makasih, Pak. Bapak juga hebat bisa membuat banyak orang datang dan melihat open house sekolah kita.” Reynald mengangguk senang. Dia kemudian merapikan meja di depannya. Ruang kepala sekolah Laveire sudah disulap menjadi ruang perayaan. “Makanannya sudah datang,” ucap Reynald sambil menunjuk ke arah Alex yang baru masuk ke ruangan. Reynald memang meminta bantuan Alex untuk mengambil makanan yang dia pesan secara online. “Ayo kita makan dulu! Saya sudah menyiapkan kue juga.” Evan bersorak gembira. Dia terlihat menutupi rasa kecewa akibat kandasnya perasaan pada Amira. “Potong kuenya, Pak!” Seru Evan bersemangat. Evan, Michelle, Febby, Amira, Raga, Dik
“Jangan ingkar janji.” Senyum Raga melebar sempurna. Dia mengangguk bersemangat sebelum membiarkan Amira pergi menjauh darinya. “Ayo kita berikan tepuk tangan yang meriah!” Sorak-sorai bersahutan saat Amira naik ke panggung. “Amira!” Hal itu membuat Amira cukup tertekan. Apalagi saat Amira mengingat kenyataan tentang skill menyanyi pas-pasan miliknya. “Gue harus coba.” Amira meyakinkan dirinya sendiri. “Karena kesempatan ini mungkin cuma datang sekali, yang pertama juga yang terakhir.” Amira tersenyum lebar. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi. “Come on! Sing with me!” Ketukan ceria terdengar. Amira pun mulai menyanyikan baris pertama dari “Price Tag” dengan penuh percaya diri. Saat itu juga, Raga tersenyum. Dia memandang Amira lekat. Harusnya Raga tahu kalau lagu yang dipilih Amira pasti yang seperti ini. “Lagu yang elo banget,” gumamnya pelan. Amira turun dari panggung setelah mendapatkan banyak tepuk tangan. Dia berjalan mendekat pada Raga. Mereka punya waktu k
“Bisa,” balas Amira menantang. “Apa sih yang enggak buat lo?” Karena sudah terlanjur basah, sekalian saja berendam.“Nanti, siap-siap aja.” Raga mengedipkan sebelah mata.Amira hanya bisa tertawa melihat pacarnya itu menjadi genit sekarang. Tiba-tiba saja ponsel Amira bergetar. Ada panggilan masuk dari Evan.Amira mendengarkan suara dari seberang sebelum akhirnya mengangguk. “Gue ke sana sekarang.”Raga tahu arti ucapan Amira. Dia ikut bersiap bersama sang pacar. “Evan mau tampil,” ucap Amira menjelaskan. “Gue juga diminta siap-siap, soalnya gue tampil habis dia.”Raga mengangguk mengerti. Dia menyempatkan diri untuk menghapus sisa air mata di pipi Amira sebelum menggandeng Amira kembali. Saat itu, Amira bukan hanya merasa senang, tapi lega. Setidaknya, Raga ada di sisinya. Keduanya berjalan menyusuri lorong sambil bergandengan, mengabaikan tatapan orang yang memicing pada mereka.“Kalian sudah baikan?” Tanya Evan setibanya Amira dan Raga di belakang panggung. Cowok itu menunjuk
“Bagus!” Amira bisa merasakan pelukan erat Raga. Cowok itu membuatnya hampir tidak bisa bernapas. “Berhenti! Gue bisa mati!” Keluh Amira.“Sorry!” Raga mengurai pelukannya. “Gue cuma seneng banget. Akhirnya lo mau terima gue dengan jawaban yang jelas. Jadi sekarang gue bisa susun rencana selanjutnya.”Amira tersentak sesaat. “Rencana … apa?”Raga tidak menjawab. Dia malah menarik Amira kembali ke pelukan. “Nikahin lo. Secepatnya.” Raga dengan sengaja membungkam mulut Amira dengan memberikan sebuah kecupan. “Nanti gue jelasin,” sambungnya. Raga menarik tangan Amira, hendak membawa gadis itu keluar dari lorong. Namun, Amira menggeleng. “Bilang sekarang, atau enggak usah sama sekali.”Amira tak bersedia menunggu. Dia sudah mengorbankan masa depannya, hanya demi seorang Raga. Mungkin Amira memang sudah gila. Tapi setelah semua yang dia pertaruhkan, setidaknya Amira ingin tahu apa yang terjadi. “Apalagi yang perlu gue kasih biar lo ngomong sekarang?” Desak Amira. Rasanya Amira sud
“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Dina. Dia mengajak Amira untuk duduk dan bicara, tapi Amira terlalu malu untuk melakukannya.“Enggak apa-apa,” jawab Amira cepat. “Gue … lagi malas ngomong aja.”Dina cuma angkat bahu. “Oh ….” Dia menarik Amira mendekat. “Ya udah duduk aja, enggak usah ngomong.”Amira jadi tak memiliki alasan untuk menolak. Dia mengambil tempat di sebelah Dina, menghela keras di sana. “Udah lama ya, kita enggak duduk bareng kayak gini,” ucap Dina sambil memasang senyum.“Aku senang kedatangan aku enggak sia-sia.”Dina memandang jauh ke depan, seolah sedang mengingat masa lalu di antara mereka sebelum ini. “Padahal awalnya aku mau nyerah,” sambung Dina. “Apalagi saat tahu kamu punya teman-teman yang ternyata sangat baik, lebih daripada aku.”Kali ini Dina menoleh, menatap Amira. “Mereka–”“Amira!” Raga menangkap tangan Amira, tidak membiarkan gadis itu hilang dari pandangannya lagi. “Kenapa kabur dari gue?!” serunya, dengan tatapan tajam. Amira beringsut sedikit. Baru