“Hari ini lo lembur,” ucap Raga pada Amira. Bel pulang baru saja berbunyi, dan Raga sudah menentukan apa yang harus Amira lakukan. Amira tidak akan bisa lolos darinya sama sekali. “Enggak usah sampai begitu,” sahut Amira tenang. “Gue juga emang enggak berniat buat Nerima ajakan Evan, kok.” Sayang sekali, Amira melakukan hal yang salah. Harusnya Amira tidak membantah Raga. Setelah jam istirahat tadi, Raga sudah mati-matian menahan emosinya sendiri. Amira tidak tahu saja, jika Raga sudah ingin memutar balikkan meja di detik Evan mengutarakan ajakannya untuk nonton bersama Amira. “Emang seharusnya gitu,” sindir Raga kesal. “Lo pasti bakalan nyesel kalau terima ajakan dia.” Raga menarik tangan Amira kemudian. Dia tidak berniat menunggu lebih lama. “Udah beres, kan? Kita pergi sekarang!” Raga memimpin jalan menuju ke tempat parkir. Amira menghela kesal karena diseret begini. Namun, dia memilih untuk tidak mengajukan protes lagi. Lewat tangan mereka yang tertaut, Amira bisa
Di tempat yang tidak Amira kenali ini, dia melihat kedekatan antara Raga dengan Catherine. Hati Amira terasa dongkol. Kedua matanya enggan menatap. Meski begitu, Amira tak bisa mengabaikan tangan Catherine yang terulur. Rasanya tidak sopan jika Amira mengabaikan perkenalan tulus dari Catherine. “Hai,” sapa Amira. “Salam kenal, Kak.” Amira menyapa sopan. Dia menyambut tangan Catherine. Saat tangan Amira dan Catherine bersentuhan, Amira bisa melihat sekilas bayangan masa depan. Seketika dia menoleh ke arah Raga. Raga tersenyum miring. Dia bisa menebak jika Amira sudah mengetahui semuanya. “Udah liat?” Sindir Raga pada Amira. Amira mendengus. Bibirnya cemberut, kesal. Tatapannya memicing sinis. “Kenapa enggak bilang dari tadi?”Andai saja Raga mengatakan tentang Catherine, Amira tidak perlu menggalau segala. “Ada apa?” Catherine yang mendengar pembicaraan keduanya, jadi bertanya. “Terjadi sesuatu?” Dia penasaran.Raga menggeleng. “Enggak ada.” Tangan Raga menunjuk ke bagian dalam g
Amira menoleh ke sekeliling ruangan, panik. Tepat setelah Raga berucap ingin menampilkan sesuatu khusus untuknya, dia mendapatkan firasat buruk. Sejak kapan? Amira baru menyadari jika Alex tidak ada bersama mereka. Kenapa hanya ada Raga dan Amira di dalam ruangan ini?“Raga ….” Amira memanggil, hendak mengajak Raga untuk keluar.Namun, cowok itu sudah terlanjur duduk. Raga menempati kursi di depan piano, yang sebelumnya diduduki oleh Catherine.“Kalau Catherine tadi mainin Fur Elise buat lo, gue pilih yang beda,” ucap Raga sambil memandang Amira lembut. “Dengerin, ya. Gue yakin lo bakal suka.”Raga memberikan senyum terbaiknya pada Amira. “River Flows in You.”Setelah Raga menyebutkan judul lagunya, Amira jadi tidak bisa berpaling. Denting yang pertama terdengar di telinga Amira, langsung menarik hatinya.Lembut dan manisnya nada yang Raga mainkan, membuat Amira terbuai. Amira seolah bisa merasakan belaian yang memanjakan dalam setiap harmoni yang dia dengar. Begitu dalam, Amira terb
“Udah selesai?” Catherine bertanya ramah. Dia tersenyum pada Raga dan Amira bergantian. “Kok cepet? Enggak mau lebih lama lagi?” Raga menggeleng. Dia menunjuk ke arah luar gedung tempat les milik Catherine. “Ada urusan lain,” jawabnya singkat. Catherine mengangguk lagi. Dia memang hanya menawarkan, bukan memaksa. “Lain kali, datang lebih sering,” ucap Catherine. “Kamu termasuk murid yang selalu saya tunggu.” Raga angkat bahu. Dia tidak menjawab, hanya memberi senyum sekilas. Raga memilih untuk berpamitan. Dia tak berniat untuk berbasa-basi dengan Catherine lebih lama lagi. Di luar gedung, ada Alex yang langsung menghampiri. Pria itu langsung segera keluar dari mobil saat melihat Raga. “Tuan Raga sudah selesai?” Tanya Alex. Alex memang diminta oleh Raga untuk menunggu di mobil saja. Awalnya Alex tidak setuju, tapi Raga memaksa. Setelah mengamati keadaan sekitar dan yakin dengan keamanannya, Alex baru beranjak. “Udah. Buka pintunya,” sahut Raga. Alex mengiyakan. Dia membuka
Amira berterima kasih pada pegawai yang membawakannya coklat panas dan kue-kue. Setelah itu, Amira cuma bisa duduk kaku di samping Raga. Di ruang meeting perusahaan Exscales, tidak ada hal lain yang bisa Amira lakukan. “Bagian ini harusnya dibuat kayak yang gue bilang kemarin. Kenapa dirubah?” Amira bisa mendengar suara Raga yang kesal. Pegawai di depan Raga hanya bisa mengangguk patuh saat Raga menyemburnya dengan kemarahan. Ternyata sikap seenaknya Raga sudah mendarah daging. Karena dia memiliki status yang lebih tinggi, Raga terbiasa melakukan hal seperti itu. “Maaf, Tuan. Kami akan memperbaikinya lagi.” Pegawai itu memasang wajah memelas dengan penuh penyesalan. Namun, Raga tidak menanggapinya sama sekali. Raga melengos. Tangannya menunjuk menyuruh. “Bawakan laptop ke sini,” ujar Raga memberikan perintah. “Masukkan juga data-data ini ke dalam,” sambungnya kemudian. Tak perlu menunggu semenit, satu buah laptop sudah ada di depan Raga. Tangan Raga sigap memeriksa isi file y
Di sudut ruang meeting departemen pengembangan, ada Alex yang berdiri di sudut. Pria itu menatap Amira dengan tatapan khawatir. Dia tentu saja mendengar apa yang Heri katakan, dan dia tidak menyukainya. Alex merasa jika Heri sudah menyinggung Amira. Alex tahu jika dirinya tidak setara dengan Raga, karena dia memang hanya pengawal. Namun, Amira berbeda. Amira adalah teman Raga, harusnya status Raga dan Amira bisa setara. Meski begitu, Heri dengan sengaja menyamakan Amira dengan Alex. “Kakek akan minta ayah dan ibumu untuk menyelesaikan pekerjaan mereka juga. Kamu juga bersiap. Kita pulang sama-sama.” Raga mengangguk. “Raga akan pulang bersama Amira. Kakek duluan aja sama ayah dan ibu.” Jawaban Raga membuat Amira mempertanyakan eksistensi otak Raga. Apakah organ tubuh cowok itu sedang menghilang sementara? Karena Raga tiba-tiba menjadi bodoh begitu saja. Di luar dugaan, Heri malah tersenyum. Dia kemudian berpamitan pada Raga, berjalan keluar ruangan. “Kita ketemu lagi di rumah,
Alex mengamati langkah Raga dan Amira dari belakang. Sebelumnya, dia sempat berinisiatif ingin menenangkan Amira. Alex berniat berucap jika dirinya tidak akan membiarkan Amira sendirian, tapi sepertinya semua itu tidak diperlukan sekarang. Lihat saja bagaimana Tuan Mudanya itu sudah melindungi Amira sampai seperti itu. “Tuan Besar mengatakan jika Tuan Muda bisa langsung ke ruang makan,” ucap salah satu pelayan. Raga langsung mengiyakan. Dia menyempatkan diri untuk melirik Alex sebentar, sebelum kembali pada Amira. Raga menunggu sampai kaki Amira melangkah lebih dulu. Keadaan saat ini sangat sulit bagi Amira. Padahal dia berjalan biasa, tapi kakinya terasa sangat berat. Amira merasa jika kedua kakinya terikat beban ratusan kilo, sampai dia kesulitan bergerak. “Raga!” Suara panggilan dari seorang wanita terdengar, membuat Raga dan Amira menoleh bersamaan. “Ibu sudah menunggu kamu dari tadi.” Andini menyambut Raga hangat, tapi tatapan wanita itu berubah saat melihat Amira.
Dulu, Amira pernah mendengar bahwa orang miskin tidak akan pernah bisa membayangkan kehidupan orang kaya, begitu pula sebaliknya. Saat di Laveire, Amira meragukan ungkapan itu. Bersekolah selama setahun di sana, Amira masih bisa beradaptasi dengan baik. Namun sekarang, Amira bisa merasakan perbedaan itu. Perbedaan antara dirinya, dan Raga. Semakin Amira mengenal Raga, semakin dia membandingkan kehidupan mereka. Rumah kontrakan Amira, berbeda dengan rumah mewah Raga. Apa yang Amira makan, tak sama dengan apa yang Raga makan. Seorang Amira tidak pernah bermain piano, sama seperti seorang Raga yang tidak pernah berkebun. Mereka, berbeda. “Terima kasih untuk makanannya, Bapak, Ibu, Kakek,” ucap Amira akhirnya. Amira memilih untuk menuruti apa yang Raga mau. “Terima kasih, Tuan Besar, Tuan, dan Nyonya,” ucap Alex menyusul. Heri hanya mengangguk sekilas tanpa repot untuk mengucapkan apapun. Amira sadar dengan tatapan Heri. Tatapan mendominasi yang membuat Amira merasa tidak nyaman. H
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m