“Enggak!” Teriakan Amira menggema di dalam taksi yang sedang mereka tumpangi. Supir taksi yang mengantar mereka bahkan sampai terkejut. Beruntung mobil tidak oleng. “Lo gila, ya? Sakit kuping gue!” Protes Raga kesal. Dia mengusap telinganya yang berdengung. Amira hanya bisa memberikan senyum canggung. Semua karena Raga mengatakan hal yang mengejutkan. Pergi ke rumah Raga? Tidak, terima kasih. “Biar gue cek.” Secepat kilat Amira menarik tangan Raga. Dia terdiam sebentar untuk melihat masa depan. “Enggak akan ada yang terjadi. Semua aman, jadi gue turun di sini, ya!” Raga mendelik sinis. Dia tidak percaya semudah itu Amira berubah sikap padanya. “Perasaan tadi ada yang bilang sampe mau bertaruh nyawa buat mastiin gue aman,” sindir Raga. “Belum ada satu jam udah berubah lagi ucapannya.” Amira mendengus. Memang sebelum ini dia yang memberikan janji-janji itu. Amira mengatakan bahwa dia yang akan menjamin keamanan Raga. Amira bahkan berjanji tidak akan membiarkan Raga terluka sed
Amira yakin jika Raga sengaja. Di ruang tamu kediaman keluarga Wijaya, di mana hanya ada mereka, Raga membuat Amira salah tingkah begini. “Lo yang pertama, Amira. Belum pernah ada seorang pun yang gue bawa ke rumah. Apalagi cewek ….” Sepak terjang Raga dalam menghadapi perempuan memang sangat buruk. Meski begitu, Raga memiliki paras yang luar biasa tampan. Rasanya tidak mungkin jika Raga tak pernah dekat dengan perempuan manapun. “Enggak percaya, ya?” ucap Raga saat melihat wajah penuh curiga dari Amira. Amira memang tidak menutupi sama sekali ekspresinya. Dia memicing dengan ujung alis terangkat. “Gue enggak bohong ….” Raga berucap pelan. Suaranya berubah lembut. “Gue serius, Amira ….” Perlahan, Raga bergerak mendekat. Dia membuat jarak di antara mereka terkikis habis, menyisakan sejengkal ruang tersisa. “Dalam banyak hal, elo jadi yang pertama di hidup gue ….” Amira bisa merasakan detak jantungnya yang berubah menggila. Raga yang biasanya bersikap menyebalkan, sekarang ta
Raga memandang langit-langit kamarnya kesal. Dia hanya menatap tanpa berkedip. Otaknya masih sibuk memutar ingatan perdebatannya dengan Amira. Hatinya masih merasa kesal dan kecewa luar biasa. Tok tok. Raga mendengar suara yang mengetuk pintu kamarnya. Dia berteriak bertanya. “Siapa?” Jawaban di luar sana adalah suara dari orang yang sangat Raga kenal. “Saya Alex, Tuan Raga.” Saat ini Raga sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia bahkan malas hanya untuk sekedar bergerak. “Saya mau melaporkan tentang orang yang berusaha mengejar Tuan Raga tadi,” ucap Alex dari luar kamar. Raga masih terdiam. Dia berusaha mengumpulkan motivasi untuk bangkit dan membuka pintu kamarnya yang terkunci. “Saya juga membawa pesan yang dititipkan Nona Amira,” sambung Alex. Raut wajah Raga seketika berubah. Dia yang sebelumnya enggan, sekarang mulai penasaran. Meski begitu, rasa kesal yang masih bercokol dalam hati, membuat Raga tak langsung menjawab. “Apa Tuan Raga sedang beristirahat? Ka
Hari masih pagi, tapi Amira sudah resah. Sejak kemarin dia tidak menghubungi Raga lagi. Untuk kesekian kalinya mereka berdebat tanpa ada ujung. “Dia bakal masuk sekolah, kan?” Gumam Amira pada dirinya sendiri.Berbagai macam dugaan masuk ke dalam benak Amira. Mulai dari mereka yang saling membuang muka, atau Raga tidak datang ke sekolah sama sekali.“Mikirin gue, ya?” Belaian lembut di puncak kepala Amira membuat gadis itu mendongak. Dia mendapati wajah Raga yang tersenyum ke arahnya.“Enggak,” bantah Amira singkat. Amira sengaja mengubah ekspresi menjadi datar. Dia menatap lurus ke arah Raga, menunjukkan kalau dia serius. Amira tidak mau Raga menyadari jika jantungnya sedang berdegup kencang sekarang.“Percaya,” sahut Raga.Raga mengambil tempat untuk duduk di samping Amira. Dia menatap Amira yang sibuk mengalihkan pandang.“Liat apa?” Raga memanjangkan tangan, melambai di depan Amira.Amira terpaksa menoleh saat wajah Raga muncul di depannya.“Jam kerja lo udah mulai,” ujar Raga.
Amira berjalan di lorong sekolah. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Di belakang Amira, ada Raga yang mengejar. “Ih! Jangan ngikutin melulu, kenapa sih?” Gerutu Amira.Belum sehari berlalu, tapi rasanya Amira sudah tidak kuat. Permintaan Raga untuk mengecek apa yang terjadi di masa depan sejam sekali, membuat Amira jengah. Raga terus saja mengulurkan tangan, di sepanjang pelajaran, di jam istirahat, di setiap hela napasnya. “Berhenti!” Amira berseru keras. Dia berbalik dan mendapati Raga di depannya. “Jangan ikutin gue lagi!” Raga hanya angkat bahu. Dia menatap sok bingung. “Kenapa? Kan gue cuma mau mempermudah tugas lo?”Amira menghentakan kakinya kesal. Rasanya percuma saja bicara pada Raga. Cowok itu akan terus berpura-pura polos sambil mengikuti langkahnya. Hanya ada satu tempat di mana Amira bisa bebas dari Raga. Brak! Amira masuk ke dalam satu ruangan, lalu menutup pintunya keras. Di tempat ini, Raga tak akan berani mengganggu. Toilet perempuan adalah tempat paling aman
Hari masih pagi, tapi suasana sudah panas. Di kantin Laveire yang sepi, Amira tampak panik. Dia tidak bisa menghindari tatapan Michelle yang tertuju lurus padanya.“Serius, lo enggak pacaran sama dia?” Tanya Michelle penasaran.Amira tahu jika kedekatannya dengan Raga pasti akan membuat asumsi seperti itu. Padahal, dia tidak memiliki hubungan apapun dengan Raga. “Enggak,” jawab Amira singkat. Dia terus membantah.Namun, Michelle juga sama. Dia tidak menyerah, malah melanjutkan pertanyaannya.“Tapi elo sama dia terus? Sambil gandengan juga?”Dahi Amira mengernyit. Dia berpikir keras, mencoba mencari jawaban yang sekiranya tak akan membuat dirinya semakin dicurigai. “Kita cuma teman sebangku aja, kok. Tadi pas dateng, kebetulan aja bareng,” sahut Amira sekenanya. Meski sudah mendengar jawaban, Michelle masih menatap Amira lekat. Jelas terlihat jika gadis itu belum puas dengan apa yang Amira katakan.“Gandengannya?” Tanya Michelle lagi. Terus saja Michelle penasaran dengan gandengan
Di lorong sekolah, Amira membuat Michelle menunduk dalam. Pertanyaan Amira sanggup membuat Michelle tersedu.“Ck!” Amira berdecak kesal. “Jangan nangis di sini!” Bel masuk sebentar lagi berbunyi, membuat lorong sekolah cukup ramai. Amira tidak mungkin membuat Michelle menjadi tontonan.“Kita ke toilet dulu,” sambung Amira kemudian. Amira menggandeng Michelle masuk ke dalam toilet perempuan yang tak jauh dari mereka. Di dalam ruang bernuansa putih dengan wastafel berjajar itu, Amira menenangkan Michelle.“Udah, jangan nangis,” ucap Amira lembut.Kedua tangan Amira terulur mengusap pelan lengan Michelle, tapi sepertinya gadis itu belum puas menangis. “Emang lo diapain aja sama mereka?”Amira tidak tahu apa yang terjadi pada Michelle sebelum ini. Mungkin begitu buruk, sampai-sampai Michelle menangis pilu hanya di saat Amira menyinggungnya sedikit. “Udah enggak apa-apa. Kan sekarang elo sama gue ….”Amira terkejut sendiri dengan ucapannya. Tidak, harusnya dia tidak mengucapkan kalimat
Amira memandang sinis. Kali ini, dia tidak repot-repot mengulurkan tangan. “Gue Amira!” Suara Amira menggema di lorong sekolah, membuat beberapa siswa yang sedang melintas sampai menoleh. Satu-persatu bahkan berhenti dan mendekat karena penasaran. Jam masuk sekolah yang sebentar lagi dimulai, membuat lorong jadi ramai.“Ish! Suara lo kenceng banget, sih!” Salah satu dari tiga perempuan itu menggerutu kesal. Perempuan itu tidak nyaman karena mereka sudah menjadi pusat perhatian sekarang. Sementara itu, Amira tidak peduli sama sekali. Kenapa harus takut? Dia kan cuma menyebutkan nama saja. “Suara gue emang kenceng. Terus kenapa? Gue sengaja, biar lo denger. Lo kan tadi budek. Gue udah bilang mau makan sama Michelle, masih aja maksa!” Senyum Amira mengembang sinis. Dia semakin senang saat melihat banyak siswa yang berkumpul.“Butuh apaan sih dari temen gue? Maksa banget!”Ketiga perempuan itu kesal sendiri. Mereka resah dengan tatapan dari siswa yang mengerubungi. “Apa lo mau ikut
Di mobil, Raga duduk di samping Amira seperti biasa. Leon fokus menyetir karena memang mereka sudah terlambat dari jadwal seharusnya. “Oh, iya.” Raga mengulurkan tangan mengambil tas Amira yang sebelumnya dia simpan di kursi mobil. “Ini tas lo.” Amira tersenyum senang. Dia bersyukur tasnya bisa kembali. “Makasih udah dicariin.” Tangan Amira langsung membuka tas, memeriksa isi di dalamnya. Amira menghela lega saat melihat dompet miliknya aman di sana. Semua barang-barangnya yang lain juga ada. “Eh?” Tangan Amira mendapati satu benda asing di dalam tasnya. “Power bank? Punya siapa?” Dahi Amira berkerut. Tatapannya langsung tertuju pada Raga. “Ya dari gue, lah.” Raga memberikan senyum lebar. Raga pun ikut meraih tas yang dia bawa. Tangannya mengeluarkan satu power bank yang sama persis seperti milik Amira. “Gue beli couple,” ucap Raga bangga. Raga mendekatkan power bank miliknya dengan milik Amira. Sama persis. Hanya saja milik Amira berwarna putih, sedangkan punya Raga
Teriakan Raga membuat Leon mengetuk pintu rumah Amira dari luar. Raga menggerutu. Harusnya dia tidak berteriak sekeras itu. "Tuan Raga? Apa terjadi sesuatu?" Amira dan Raga saling memandang. Mereka sekarang bingung karena mendapatkan ketukan dari luar. Sepertinya, Leon curiga dengan teriakan Raga. “Tuan? Apa Tuan Raga baik-baik saja?” Leon berteriak lagi dari luar. Dia tampak tidak sabar. “Tuan! Saya buka pintunya sekarang!” Merasa tak ada waktu yang tersisa, Raga langsung membuka pintu. Dia terpaksa harus melakukannya, jika tak ingin pintu rumah Amira dijebol paksa oleh Leon. “Gue enggak apa-apa,” jawab Raga singkat. Raga memalingkan wajahnya cepat. Tak ada yang bisa Raga lakukan selain menghindar dari tatapan Leon. Dia tak mau membuat Leon curiga dengan ekspresi wajah yang belum bisa dia kendalikan saat ini. “Sorry.” Amira berinisiatif untuk mengalihkan perhatian. “Gue enggak sengaja nginjek kaki Raga,” ucap Amira pada Leon. Amira menambahkan sedikit bumbu agar Leon
Semalam, Amira terlalu sibuk meladeni mulut manis Raga sampai dia tertidur. Amira benar-benar mengalami apa yang disebut sleep call untuk pertama kalinya. “Yah, baterainya habis,” ucap Amira sambil menatap handphone miliknya yang mati total saat dia terbangun di pagi hari. Entah sampai kapan handphone itu menyala. Amira tidak bisa mengingatnya. Apakah Raga yang memutuskan panggilan mereka atau handphone Amira yang terlanjur tewas. “Cas dulu.” Amira beranjak dari tempat tidur. Dia menghubungkan ponsel pintarnya dengan pengisi daya. Saat itu, tangannya tak sengaja menyenggol handphone yang lain. “Ah, gue lupa. Semalam enggak balas pesan yang di sini.” Amira mengecek ponsel lipat itu. Layarnya menyala menampilkan pesan di kotak masuk. [Nama keluarga gue Wijaya. W itu bukannya kakek gue? Nama kakek gue Heri Wijaya.] [Bisa aja Leon lagi ngabarin ke kakek.] Amira mendengus. Tentu saja dia sudah memikirkan kemungkinan itu. Masalahnya adalah, isi pesan itu tidak seperti
Meski hari sudah larut, rasa kantuk Amira hilang seketika. Sekarang dia sibuk berbalas pesan dengan Raga, sambil menelepon. “Udah ngantuk banget?” Tanya Raga dari seberang. Amira menggeleng. “Enggak. Udah enggak ngantuk lagi.” Amira mengucapkan jawaban jujur, tapi Raga malah terkekeh. “Udah enggak ngantuk … berarti sebelumnya ngantuk, dong.” Amira tidak mau mengakui. Dia diam saja. Tangannya masih sibuk mengetik balasan di handphone kecilnya. Mereka memang sedang melakukan pembicaraan dua jalur. Satu jalur panggilan lewat smartphone, sementara satu jalur yang lain lewat pesan singkat di handphone lipat baru milik Amira. [Udah cari tau tentang asisten baru lo?] Amira menunggu sebentar sebelum ada balasan lain yang masuk dalam handphone lipat kecil miliknya. [Udah. Enggak ada yang aneh. Leon udah kerja lama sama kakek. Emang lo liat apa?] Amira memang belum mengatakan apa yang dia lihat. Kecurigaan Amira membuat dia tidak mau bicara terlalu banyak di depan Leon. [Asiste
Amira menatap handphone kecil di tangan miliknya. Itu handphone yang diberikan oleh Raga diam-diam saat di mobil tadi. “Kenapa coba dia kasih ini?” Amira menyempatkan diri untuk melihat ke kanan kiri. Dia bahkan mengunci pintu rumahnya sebelum memeriksa handphone itu. “Nyalain dulu aja,” ucap Amira sambil berusaha menahan rasa penasarannya. Ponsel lipat yang memang berukuran lebih kecil dari tangan Amira, kini terbuka. Amira memperhatikan layarnya yang berpendar. “Ini handphone baru?”Amira hendak mencari tahu lebih banyak saat pintu rumahnya diketuk. “Pesanan atas nama Amira!”Amira pun membuka pintu. Dia mendapatkan sebuah paper bag besar dari sang kurir. “Makasih,” ucap Amira seraya menutup pintu kembali. Paper bag itu masih di tangan Amira ketika handphone miliknya berbunyi nyaring. Tangan Amira meraih handphone tersebut. Dia mendapati nama Raga tertera di layar. “Udah sampai makanannya?” Tanya Raga di nada sambung pertama.“Udah, kenapa?” Sambil menjawab, Amira membawa p
Amira melepaskan pelukan Raga. Di dalam mobil, dia bergeser sedikit. Amira mencoba memasukkan handphone yang baru saja Raga berikan ke dalam saku celananya. “Gue maafin, tapi jangan kirim hadiah lagi.”Amira bersikap seolah tak ada yang terjadi. Dia harus mengatakan sesuatu untuk menutupi apa yang baru saja mereka lakukan. Pembahasan tentang hadiah adalah satu-satunya hal yang terlintas dalam otak Amira. “Pemborosan. Makanan yang lo kirim semalam juga enggak habis,” sambung Amira kemudian. Makanan yang Raga kirim memang sangat banyak, melebihi porsi Amira. Amira sampai menyimpannya di kulkas, lalu menghangatkannya lagi sebagian untuk sarapan pagi ini. “Harusnya lo habisin,” sahut Raga. “Nanti malam juga gue kirimin lagi.”Amira mendelik. Dia merasa pacarnya ini bebal. Padahal baru saja Amira menolak, tapi Raga malah abai. “Jangan nolak,” ucap Raga, mengingatkan. “Gue kan udah bilang mau tanggung jawab.”Raga memberikan senyum miring, dan Amira tidak suka itu. Dia merasa Raga mere
Amira baru selesai mengganti baju saat seseorang mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. Sedikit curiga, Amira tidak langsung membuka pintu. Apalagi hari sudah malam dan semua teman-temannya sudah pulang. Amira sendirian.“Siapa?” Tanya Amira tanpa membuka pintu. “Kurir pengantaran pesanan atas nama Amira,” sahut suara dari seberang.Amira mendelik. Dia menggeleng curiga. “Gue enggak pesen apa-apa!” Balas Amira, berteriak. Amira hendak menjauh dari pintu, sebelum ketukan kembali terdengar.“Nama pengirimnya Raga!”Seruan itu membuat Amira berhenti. Dia gegas mengambil handphone miliknya sendiri. Amira berniat memastikan. Dia langsung menghubungi nomor Raga. “Iya, itu dari gue,” sahut Raga dari seberang.Belum juga Amira mengucapkan apa pun, Raga sudah tahu apa yang hendak Amira tanyakan. Amira memasang senyum sekilas. Dia meledek Raga. “Mau nyogok ceritanya?” Pasti karena Amira bilang kalau dia kesal pada Raga. Pacarnya itu sedang bersikap manis padanya. “Iya, dong. Isinya makan
Evan mendelik pada Amira. Dia yang harusnya bertanya kenapa. Amira malah melamun tak bergerak. Dipanggil pun tidak menoleh. “Lo yang kenapa. Kenapa diem?”Raga yang sebelumnya masih mengucek mata, mengumpulkan nyawa, seketika terduduk. “Kenapa?” Raga bertanya dengan suara yang masih serak. Cowok itu bersandar pada dinding di sebelah Leon. “Enggak apa-apa.” Amira menjawab singkat. “Cuma mau nyuruh lo pulang. Bentar lagi malem.”Amira menepuk lengan Raga lagi, meminta pacarnya itu cepat bangun. “Iya,” ucap Raga sambil menutup mulutnya yang masih menguap. Saat Raga hendak berdiri, Leon mendahului. Mana mungkin dia membiarkan tuan mudanya lebih sigap daripada dirinya sendiri. “Gue numpang ke kamar mandi dulu, boleh enggak?” Tanya Raga. Dia menunjuk pintu imut yang menuju ke kamar mandi Amira. Raga perlu mencuci wajahnya. Dia tidak mau terlihat mengerikan lebih lama di depan Amira. Setidaknya dia mau memastikan wajahnya layak diperlihatkan di depan sang pacar. “Ya udah sana!” Ami
Amira memandang Evan dan Michelle bergantian. Dia sudah ikut duduk bersama keduanya di teras warung.“Udah istirahatnya belum?” Tanya Amira. “Jalan lagi, yuk. Bentar lagi sampe.”Rumah Amira memang tidak jauh lagi, dan Amira merasa jika lebih baik mereka istirahat di rumahnya saja. “Sebentar lagi?” Wajah Michelle berubah cerah. Dia gegas berdiri menyusul Amira yang sudah bangkit. “Ayo cepet ke rumah lo. Di luar panas!”Amira terkekeh mendengar keluhan Michelle. Dia menggeleng kasihan pada sang teman.“Tapi di rumah gue juga enggak ada AC loh, tetep panas.”Michelle cemberut, tapi menggeleng kemudian. Dia tetap menggandeng tangan Amira, mengajak temannya itu lanjut berjalan. “Enggak apa-apa. Yang penting kepala gue enggak kebakar.”Mereka pun terus berjalan sampai ke rumah kecil yang ada di pojok. Amira meminta kedua temannya menunggu. Dia berniat meminjam kunci cadangan ke pemilik kontrakan sebentar.“Nah, ayo masuk,” ucap Amira sambil membuka pintu. Amira mendahului kedua temannya