Amira duduk di ranjang ruang rawatnya dengan wajah sumringah. Dia merasa lega saat perawat melepas jarum infus yang menempel di lengannya. Setelah meyakinkan dokter, akhirnya Amira bisa pulang. Kebetulan sekali, kondisi fisik Amira sudah memungkinkan. Beruntungnya lagi, Raga sudah membayar semua tagihannya. “Ini obatnya, harus diminum sesuai jadwal. Jangan lupa kontrol ke rumah sakit besok lusa,” Ujar dokter, mengingatkan. Amira mengangguk. Dia mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Kaki Amira melangkah senang menuruni lift, terus menuju ke pintu keluar. Begitu keluar dari rumah sakit, Amira melihat deretan taksi. Namun, dia tidak memilih satupun dari taksi itu. Sebagai gantinya, Amira melanjutkan langkah menuju halte bus, mencari ojek yang mangkal di sana. “Pak, antar!” Amira menepuk satu pengemudi ojeg yang tampak berumur. Dia lebih memilih pria yang jauh lebih tua. Amira menyebutkan alamat, lalu motor pun mulai berjalan mengantarnya. Di atas kendaraan roda dua yang mel
Amira termenung di dalam kamar kontrakannya sendiri. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ini adalah kamarnya, tapi ada barang-barang asing yang bukan miliknya. Dengan hati-hati, Amira mendekat. Tangannya meraba kulkas satu pintu yang berwarna biru gelap di depannya. Amira menyentuh kulkas itu ragu. Namun, rasa penasaran berhasil menguasai Amira. Tangannya bergerak membuka kulkas yang tidak dia kenali itu. “Ada isinya!” Sekarang Amira sibuk mengeluarkan isi kulkas itu satu-persatu. Ternyata, kulkas itu penuh dengan makanan. “Gue enggak pernah beli ini! Ini siapa yang beli? Ini punya siapa? Bukan punya gue!” Amira pun berbalik. Sekarang dia menatap sebuah meja asing yang lengkap dengan kompor di atasnya. “Ini juga bukan punya gue, tolong.” Namun, lagi-lagi karena penasaran, tangan Amira memutar knop kompor. Pendar api berwarna biru yang menyala membuat dia terperangah. “Kompornya nyala lagi!” Amira menunjuk menuduh. “Ini pasti kompor baru.” Setel
Raga duduk di dalam mobilnya dengan perasaan kalut. Dia tahu apa yang dilakukannya kali ini beresiko. Mungkin Heri, kakeknya, akan mulai mencurigai apa yang Raga lakukan. Mungkin Raga akan dipindahkan ke sekolah lain secara paksa. Mungkin dia tidak bisa bertemu Amira lagi setelah ini. Namun, meski segala konsekuensi itu ada, Raga tak bisa tetap diam. Mana mungkin Raga bersikap tidak peduli? Amira itu hidup sendirian. Amira tidak punya keluarga. Dia juga tidak membawa handphone ataupun uang. Bagaimana bisa Raga tidak memikirkan hal buruk yang mungkin akan terjadi pada Amira? “Tuan Raga, keluar di malam hari akan jadi lebih berbahaya. Apa Tuan Raga yakin?” Pertanyaan Alex menyadarkan Raga dari lamunan. Memang benar apa yang Alex katakan. Suasana malam hari seperti ini akan lebih berbahaya, apalagi Raga termasuk orang yang diincar. Sebenarnya, sejak awal Alex sudah melanggar tugasnya sebagai seorang pengawal. Dia yang memberitahu Raga tentang Amira, mendorong Raga untuk mengambil ke
Di dalam rumah kontrakan ini, Alex terjebak di sudut ruangan. Dia hanya bisa menatap Raga dan Amira yang masih berbincang. Alex tidak mau mengganggu pembicaraan keduanya, tapi dia juga ingin memastikan keadaan aman. Tangan Alex bergerak menutup pintu rumah kontrakan Amira, berjaga jika ada serangan dari luar. Gelapnya malam membuat Alex harus waspada. Sementara itu, Raga dan Amira sedang sibuk saling pandang, seolah keduanya ada di dalam dunia mereka sendiri. Raga mendekat ke arah Amira. Dia berbisik dalam suara rendah. “Elo liat apa barusan?” Amira mendengus. “Enggak ada,” jawabnya singkat. Amira tidak mau mengucapkan kejujuran. Dia memilih mengalihkan topik. “Ngomong-ngomong, elo yang kasih ini semua?” Tanya Amira sambil menunjuk ke arah kulkas dan kompor yang ada di dalam kamarnya. “Kamar gue jadi tambah sempit, tau!” Gerutu Amira sinis. “Tagihan listrik jadi tambah mahal juga nanti!” Raga memutar bola mata kesal. Setelah berusaha sejauh ini, lagi-lagi kebaikan hatinya
Di dalam rumah kontrakan Amira ini, Raga merasa gerah. Bukan karena tidak ada pendingin udara, bukan pula karena kompor sebelum ini menyala, tapi karena suasananya. Semua berawal dari pertanyaan Amira. Amira menyenggol lengan Raga, menyadarkan cowok itu dari lamunan. “Lo mikirin apa sih?” Tanya Amira, sinis. Amira tidak tahu jika Raga sedang terjebak dalam kebimbangan hanya karena pertanyaan asal yang dia berikan. Bagi Amira, pertanyaannya terdengar biasa saja. Namun, bagi Raga berbeda. Pertanyaan itu seperti ajakan terselubung yang membuatnya galau berat. “Udah duduk,” ujar Amira sambil menarik Raga. Amira mengajak Raga duduk di sampingnya. Dia memberikan piring kosong pada Raga. Tangannya kemudian meraih rice cooker mendekat, membuka tutupnya dan membiarkan Raga mengisi piring dengan nasi sebanyak yang dia mau. Saat menoleh, Amira baru mengingat Alex. Dia harusnya menawari Alex juga. “Lo enggak bakal ngajak pengawal lo makan?” Tanya Amira sambil menunjuk Alex yang mas
Pagi ini, Raga bersiap lebih cepat. Dia sudah siap bahkan sebelum Alex muncul di depan pintu kamarnya. “Elo telat,” sindir Raga sambil menyipitkan mata pada Alex yang baru berjalan mendekat. Padahal cuma beda beberapa detik, tapi Raga menyindirnya sampai seperti ini. “Saya sudah datang lebih awal dari biasanya. Tuan Raga yang terlalu cepat,” balas Alex tak mau kalah. Raga tersenyum dengan jawaban Alex. Awalnya dia sempat cemas jika Alex ditekan oleh Heri, tapi mungkin pengalihan topik yang Raga lakukan semalam cukup berhasil. “Kakek nanya semalem?” Tanya Raga sambil memimpin jalan. Raga melangkah menuju dapur, dengan Alex yang setia di sisinya. “Tidak, Tuan Raga,” jawab Alex singkat. Alex tidak ingin membuat Raga khawatir, jadi dia berbohong. Namun, Raga tentu saja menyadari jawaban singkat Alex yang terdengar pelan. “Bikin dua sandwich, ya,” ucap Raga begitu sampai di dapur. Salah satu asisten rumah tangga mengangguk mendengar permintaan Raga. Dia pergi sesaat seb
Kelas XI-A heboh lagi. Saat ini, seluruh perhatian kelas tertuju pada meja Raga. Padahal bel pulang sudah berbunyi, tapi masih banyak siswa yang enggan beranjak. Mereka ingin mendapatkan tontonan gratis dari cowok most wanted di Laveire. “Raga!” Panggilan itu membuat Raga menoleh. Dia mendapati dua orang perempuan yang berdiri di depannya. “Mau ngapain?” Tanya Raga sinis. Raga bisa menebak jika keduanya akan mencari masalah dengannya. “Lo kok gitu sama temen sekelas sendiri?” Salah satu dari mereka berucap. “Padahal Angel udah baik banget sama lo! Dia cuma mau pastiin lo enggak ketinggalan info di kelas, makanya dia minta nomor lo!” Raga menatap kedua perempuan itu sekilas. Dia baru sadar kalau salah satunya adalah cewek yang mengganggunya kemarin. Cewek yang mendapatkan tendangan meja dari Raga. “Emangnya semua orang yang minta nomor lo itu suka sama lo? Jangan kepedean!” Raga menatap keduanya muak. Dia sungguh tidak punya waktu untuk hal ini. Raga sudah punya janji untuk
Raga sabar menunggu. Dia duduk di lantai kamar Amira yang dingin tanpa mengajukan keluhan. Amira pun kembali padanya setelah selesai menjemur pakaiannya di pinggir teras rumah. “Jadi mau ngapain lagi ke sini?” Tanya Amira sambil mengambil tempat duduk di depan Raga. Amira bisa melihat Raga yang cemberut. Cowok itu pasti kesal karena sudah menunggunya lama. “Capek gue dianggurin!” Raga mengeluh sambil merajuk. Sikap manja Raga membuat Amira menghela. Tuan muda di depannya ini ternyata haus perhatian. “Gue juga capek!” Balas Amira dengan wajah sama cemberut. “Gue habis keluar beli sayuran, bumbu masak, minyak goreng. Habis itu gue langsung nyuci. Eh, lo malah dateng!” Raga balas emosi. “Jadi lo enggak seneng gue dateng?” Amira ingin menjawab iya. Namun, dia teringat jika Raga adalah majikannya. “Gue laper!” Sahut Amira sambil beranjak. Amira memilih untuk mengakhiri perdebatan tak penting mereka. Hari sudah sore, lebih baik menyiapkan makanan. Entah keberuntungan atau kebe
"Maksud Pak Reynald gimana?" Evan bertanya. Saat ini, Evan merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Mungkin saja karena di ruang rawat Amira ini ada banyak orang. Dia jadi tidak bisa mendengar dengan jelas. "Gurunya berhenti semua?" Tanya Evan, sekali lagi. Dia berusaha memastikan. Memang, mereka sudah bisa menduga tentang murid yang pindah. Namun, tidak ada yang menduga jika guru akan melakukan hal yang sama. "Kenapa?!" Evan memekik tak percaya. Reynald hanya bisa angkat bahu. Dia sama tak percaya seperti Evan. Dia juga kaget ketika mendapati pertemuan kemarin yang hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. "Kebanyakan tidak mau lagi terlibat dengan Laveire. Mereka tidak mau nama mereka disangkut pautkan." Citra Laveire sudah terlanjur buruk. Meski keluarga Wijaya sudah membantu menutupi kasusnya, tetap saja berita yang beredar dari mulut ke mulut tidak dapat dihentikan. "Kepala sekolah sudah mengundurkan diri, dan kepala yayasan sedang bingung mencari solusi." A
Amira mengumpulkan kesadarannya yang masih bertebaran di atas ranjang. Dia menguap beberapa kali sebelum menyuruh Alex duduk. Pengawal rajin itu terus saja berdiri di sudut. "Duduk, Pak." Amira menunjuk sofa yang ada di sudut kamarnya. "Aku marah kalau Pak Alex enggak duduk." "Tapi–" Amira menggeleng. Dia tidak menerima penolakan. "Kalau Pak Alex enggak duduk, Pak Alex enggak boleh ada di sini,” ujar Amira sambil menunjuk pintu keluar. Alex kan sama seperti Amira, masih berstatus pasien. Namun, Raga malah menyuruh Alex mengawal Amira. Harusnya Alex beristirahat di kamarnya. “Bapak mau duduk atau balik ke kamar Bapak sendiri?” Ancam Amira. Alex terpaksa menurut. Dia mengambil tempat di atas sofa yang ditunjuk Amira. Amira pun mengangguk puas melihatnya. Dia mengucek matanya sekilas, sebelum menurunkan kaki dari ranjang. Amira hendak beranjak ke toilet sebelum sebuah suara teriakan terdengar. "Amira!" Suara sekencang toa itu sudah jelas siapa pemiliknya. Siapa lagi kalau
Pembicaraan Raga dan Amira terpotong dengan kedatangan perawat yang membawa makan malam. Raga membantu Amira makan seperti biasa. Mereka berbincang sesaat sampai akhirnya Leon memperingatkan Raga untuk segera kembali ke kamarnya sendiri. “Jangan terlalu malam, Tuan Raga. Besok–”Raga mengangkat tangan, mencegah Leon bicara lebih banyak. “Jangan ngeduluin gue ngomong.”Leon gegas menutup mulutnya rapat. Dia tidak melanjutkan kalimatnya lagi. Amira yang mendengar kalimat kesal Raga, menyadari jika ada yang aneh dari sang pacar. Dia bergerak mendekat pada Raga. “Jangan, dong!” Cegah Raga saat Amira berusaha menggapai tangannya. Amira ingin tahu apa yang akan terjadi. Dia hendak melihat masa depan dari tangan Raga. Namun, Raga menepis tangan Amira yang terulur. “Biar gue bilang sendiri.” Raga menolak tangan Amira. Sebagai gantinya, Raga menatap Amira lekat. Kedua bola matanya menelisik netra Amira lembut, mendalami iris coklat di depannya. “Gue sayang sama lo,” ucap Raga tanpa aba
Amira menunggu pacarnya menjawab. Namun, Raga tampak terlalu terkejut hanya untuk berucap. "Raga," panggil Amira sekali lagi. "Enggak apa-apa kan, kalau kita beda sekolah?" Ulang Amira. Amira sampai menggeser tempat duduknya. Dia mendekat pada Raga, dengan sengaja menepuk lengan cowok itu. Amira melakukannya semata agar Raga merespon, tidak hanya terus diam. "Kita masih bisa tetep ketemu, loh," ucap Amira dengan nada lembut, membujuk. Kata-kata Amira mendapatkan sebuah tatapan dari Raga. Cowok itu memandang tak rela. Amira tidak tahu saja, betapa inginnya Raga mengatakan tidak. Raga berniat menyuarakan keberatannya. Tapi melihat Amira yang berusaha membujuk, Raga jadi tak tega. "Habis harus gimana?” Tanya Amira. Kali ini, dia mengangkat bahu, menunjukkan kebingungannya. "Gue kayaknya enggak bisa kalau harus masuk ke sekolah kayak Laveire lagi. Uang gue mungkin enggak cukup."Amira harus berpikir jauh ke depan. Sebenarnya, bukan tidak mungkin jika Amira memilih sekolah seperti L
Raga terdiam. Di dalam ruang rawat inapnya, dia menunggu jawaban dari Heri. Sang kakek, tidak mengucapkan apa pun. Heri hanya memandang Raga, lurus. Raga tidak bisa bertahan lebih lama dalam keheningan. Dia bertanya lagi, kali ini lebih agresif. “Mungkin Kakek bisa mencoba mengambil alih Laveire. Kakek kan selalu sukses dalam segala hal?” Heri berdecih. “Pintar sekali kamu bicara,” cibir Heri, sinis. Raga menggeleng. Dia tidak sekedar memuji. Tentu saja semua itu berdasarkan pada bukti. Perusahaan keluarga Wijaya yang masih berdiri dalam bentuk Exscales adalah bentuk nyata hasil kerja keras Heri.“Tidak bisa. Kakek terlalu sibuk. Exscales yang sedang berada di puncak, membutuhkan lebih banyak tenaga dari yang bisa kamu lihat.”Jawaban Heri sangat masuk akal. Namun, Raga tidak berniat untuk menyerah. “Bagaimana kalau Kakek yang ambil alih tapi orang lain yang mengurusnya?”Usul Raga terdengar buru-buru, tapi dia sudah terlanjur maju. Raga tak berniat untuk mundur tanpa hasil. “Bi
Michelle, Febby, dan Evan pulang di jam makan siang. Raga pun terpaksa berpamitan pada Amira. Leon mengatakan jika Raga harus menjalani beberapa pemeriksaan lanjutan. Beberapa jam Raga habiskan, hanya untuk mendengar pernyataan dokter yang mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Setelah semua pemeriksaan itu, Raga dinyatakan sehat. "Apa Tuan Raga mau langsung pulang ke rumah sekarang?" Tanya Leon pada Raga yang sudah kembali ke kamar inapnya. Tentu saja, Raga bisa keluar dari rumah sakit kapan pun dia mau. Lukanya benar hanya goresan, tidak berbahaya, apalagi mengancam nyawa. "Nanti," sahut Raga singkat. Raga masih ingin menemani Amira. Amira pasti masih galau dengan berita ditutupnya sekolah. Setidaknya, Raga ingin menghibur Amira sampai hari ini. "Tapi Tuan Raga harus menjalankan jadwal yang dibuat oleh Tuan Besar secepatnya." Raga mendengus. Apa yang diucapkan oleh Leon terdengar seperti perintah. "Kalau gitu, ngapain nanya gue masih mau di rumah sakit apa enggak!" Ket
Amira terdiam di atas ranjangnya. Dia terpaku tak bergerak selama beberapa saat. Hening menyergap ruang rawat Amira. "Kenapa?" Michelle yang pertama kali mengeluarkan suara. “Kok sekolah kita ditutup?”Gadis yang satu itu memang memiliki kemampuan nalar yang mungkin kurang dibandingkan teman-temannya. Dia sedikit lamban dalam mencerna informasi."Ya lo pikir aja!" Evan yang tidak sabar menanggapi pertanyaan Michelle. "Emang masih ada orang yang mau sekolah di tempat yang baru aja jadi ladang pembantaian?" Ujar Evan, sinis.Mungkin kata-kata Evan terlalu kasar, tapi dia tidak salah. Faktanya, tidak ada korban jiwa di Laveire. Namun, banyak sekali yang terluka. Laveire sudah ternoda dengan darah. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu. "Bener kata Evan.” Febby pun mengiyakan. Nyatanya kredibilitas sekolah mereka, sudah terjun ke dasar jurang. Keamanan adalah hal yang krusial, dan Laveire tidak bisa menjaminnya. “Mana ada orang tua yang mau sekolahin anaknya di tempat yang engga
Seisi kamar terdiam. Sekarang, pandangan semua orang yang ada di ruang rawat Amira, tertuju pada Michelle. Febby sampai mengulang pertanyaannya lagi. "Lo … suka sama siapa? Raga?"Amira refleks meraih tangan Raga, padahal sebelumnya dia yang menjauh. Amira hanya sedang menandai miliknya. Michelle memang teman Amira, tapi Raga adalah hal yang tidak bisa dia bagi dengan orang lain. Dalam diam, Raga menahan senyum. Sebenarnya dia ingin meloncat senang, tapi dia menahan diri. Setidaknya Raga harus bersikap seperti orang normal di depan yang lain. Meski dia ingin salto karena begitu bahagianya. Mendapati Amira yang mendekat padanya duluan, itu luar biasa. “Beneran Raga?” Febby terus bertanya karena Michelle hanya diam. Butuh beberapa detik sampai akhirnya gadis itu menggeleng. “Bukan,” jawab Michelle datar. Jelas tidak. Sejak awal dia tidak tertarik pada Raga. “Loh?” Febby berseru heran. “Terus siapa kalau bukan Raga?”Febby mendelik pada Michelle sekarang. Jarinya tertambat pada Ami
Raga berdiri panik saat mendengar suara tangis Amira. Air mata sudah mengalir deras di pipi gadis itu.Alex dan Leon ikut berdiri. Mereka juga kaget karena tiba-tiba saja Amira menangis, padahal Raga dan Amira sedang suap-suapan tadi. “Jangan ke sini!” Cegah Raga saat mendengar langkah kaki Leon dan Alex yang mendekat. “Kalian tunggu di luar!”Leon ingin membantah, tapi Alex membujuknya. “Cuma sebentar. Tuan Raga pasti aman sama Nona Amira.”Pernyataan yang jelas membuat Leon mendelik. Bagaimana bisa Alex begitu yakin? Leon tak mau mengambil resiko. Namun, saat dia hendak menggeleng, Alex menyela. “Saya jamin dengan nyawa saya.”Meski masih menaruh curiga, akhirnya Leon mengiyakan. Dia melangkah keluar kamar bersama dengan Alex. Sementara di dalam kamar, Raga sibuk bertanya. “Kenapa? Sakit?”Amira menggeleng. Namun, kepalanya terus menunduk. Amira tidak membiarkan Raga melihat wajahnya yang saat ini penuh dengan air mata."Amira, please!" Raga berteriak gemas. Dia tentu saja panik