“Anak-anak, duduk di tempat kalian!” Sapaan dari Sonya, membuat siswa kelas XI duduk.Amira menoleh sekilas ke belakang. Dia memastikan teman-teman sekelasnya sudah duduk, sebelum memimpin salam. “Terima kasih, Amira,” ucap Sonya kemudian. “Ibu sebelumnya bingung memilih ketua kelas untuk kelas gabungan baru ini,” aku Sonya, jujur. “Tapi sekarang Ibu bisa lega. Sepertinya Amira yang akan menjadi ketua kelas.”Tatapan Sonya tertuju ke seluruh siswa yang duduk di depannya, memastikan. “Apa ada yang keberatan jika Amira yang menjadi ketua kelas?”Terdengar hening. Tidak ada suara sama sekali. Sepuluh orang yang ada di dalam kelas tidak mengeluarkan suara. Sonya mengangguk kemudian. Dia juga sama tidak keberatannya seperti siswa yang ada di dalam kelas. Sonya sangat setuju. Amira bertanggung jawab dan mampu memimpin kelas dengan baik seperti yang sudah-sudah. “Baiklah. Ibu anggap kalian setuju. Untuk selanjutnya, Amira yang akan menjadi ketua kelas. Lalu ….” Sonya mengangkat daftar ab
“Hai,” ucap Amira dengan senyum di wajah. Amira berusaha untuk menepikan sementara rasa tidak suka yang dia miliki. Untuk sementara saja, karena Sonya dan Reynald menatapnya sekarang. “Silakan lanjutkan pelajarannya,” ucap Reynald seraya berpamitan. Sonya mengangguk sopan. Dia mengantar Reynald sampai ke pintu kelas sebelum kembali pada murid-muridnya. “Sampai di mana tadi?” Sonya mencoba mengingat materi yang tengah dia berikan. “Ah ya, soal.”Tangan Sonya meraih kembali spidol di tangan. Kali ini, dia benar-benar menuliskan soal. Saat Sonya sudah sibuk, Raga menyenggol lengan Amira pelan. Tangan Raga menyodorkan buku tulisnya sendiri. Buku yang sudah dia tulis dengan sebuah kalimat untuk Amira. [Lagi kesel?]Amira hanya melengos. Dia tidak membalas, hanya mendorong kembali buku Raga kepada sang pemilik. Raga tidak menyerah. Dia menulis kalimat lain di atas bukunya, lalu mendorong buku itu kembali pada Amira. [Kesel sama cewek itu? Dia siapa? Beneran temen?]Raga ingin menuli
“Pelan-pelan,” keluh Michelle saat Amira menarik tangannya kencang. “Emang udah laper banget?” Amira baru melepaskan Michelle saat mereka sampai di kantin. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Ayo cari tempat duduk,” ujar Amira, dengan senyum terpaksa di wajah. Mereka berkeliling kantin sebelum akhirnya menemukan tempat yang cocok. Ada satu meja besar–yang cukup untuk mereka semua, tepat di sudut kantin Laveire. “Kak Amira, seneng bisa ketemu Kakak lagi!” Dika tak mau membuang kesempatan untuk berbincang dengan Amira. Dia langsung menyapa di detik pertama mereka duduk. Terlihat jelas jika Raga memberikan tatapan sinis pada sapaan Dika. Dia merasa terancam. Tangan Raga bergerak meraih tangan Amira mendekat, menunjukkan kepemilikannya. “Iya,” sahut Amira. “Gue juga enggak nyangka kalian pindah ke sekolah ini.”Lebih tepatnya, Amira tidak mengerti. Apa tujuan Dika dan Dina pindah ke Laveire? “Iya, Kak Dina yang ajak!” Seru Dika jujur. Dia berucap riang d
“Lo … mau apa?” Hidup Amira sudah nyaman di sini. Dia tidak peduli lagi dengan masa lalu. Apa pun yang terjadi pada kampung halaman atau orang-orang di sana, Amira tak ingin tahu. “Apa tujuan lo? Kenapa ganggu gue?”Dina hanya tersenyum mendengar pertanyaan Amira. Perangainya tenang, bibirnya terbuka pelan, memberikan alasan. “Karena aku menyesal,” jawab Dina. “Aku menyesal karena belum sempat meminta maaf ke kamu.”Amira menatap tak percaya. Dia menilik wajah Dina, mencoba mencari setitik saja kebohongan yang nyatanya tidak bisa dia temukan. “Aku minta maaf buat semua tuduhan yang dulu tertuju ke kamu.” Dina menjelaskan apa yang terjadi setelah Amira pergi. Pencuri uang sudah ditemukan. Begitu juga dengan Anto, pria yang dahulu menuduh Amira sebagai perayu. Sudah terbukti, Anto sendiri yang adalah seorang hidung belang. “Aku harusnya percaya sama kamu. Kamu selama ini enggak pernah sekali pun bohong sama kita.” Dina memandang Amira penuh penyesalan. “Aku tidak sempat minta ma
“Kak Dina enggak begitu!” Dika akhirnya membuka suara. Dia tidak bisa terus melihat kakaknya disudutkan. Dika melihat sendiri bagaimana Dina berusaha. Dina secara teratur membersihkan makam keluarga Amira. Dia tidak pernah absen. Bahkan, untuk bisa sekolah di Laveire, Dina sampai membantah kedua orang tua mereka. Dina bersikeras ingin pergi meski ayah dan ibu mereka tak mengizinkan. Bahkan, Dina sampai nekat untuk masuk ke Laveire meski hanya berbekal beasiswa. “Kalian enggak tau apa yang Kak Dina lakukan biar bisa ketemu sama Kak Amira!”Evan mendelik. Dia melipat kedua tangannya sambil memicing tak percaya. “Coba bilang, apa aja yang udah dia lakuin.”Evan, Michelle, dan Febby sudah siap menyimak. Mereka mengharapkan jawaban yang memuaskan. Namun, belum juga Dika menjawab, Dina sudah menghentikannya. “Aku akan buktikan.” Dina tak ingin kedatangannya sia-sia. Dia sudah sejauh ini. “Coba aja,” jawab Evan, menantang. “Buktiin kalau lo bisa lebih baik dari kita sebagai teman Amira!
Setelah acara makan mereka selesai, Amira membereskan sisa makanan. Michelle dan Febby pun ikut membantu. Belum juga meja di depan mereka bersih, Raga sudah menarik tangan Amira. “Ikut gue,” ujar Raga, dengan nada memerintah. Evan berdiri, hendak menyela. Namun, Amira mencegahnya. Raga berdiri tepat di depan Evan. “Jangan ganggu.” Dia memberikan peringatan. “Gue pingin pacaran.”Amira bisa mendengar decak kesal dari Evan. Meski begitu, Evan tidak mengejar sama sekali. “Kita cari tempat yang lebih tenang,” sambung Raga. “Biar bisa ngomong, tanpa gangguan.”Amira mengangguk pelan, meskipun matanya tampak ragu. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah yang sepi, langkah kaki keduanya bergema di sepanjang jalan. Beberapa siswa lain sudah kembali ke kelas, membuat lorong menjadi lebih lengang.Raga berhenti di sebuah lorong yang jarang dilalui, jauh dari ruang kelas dan sudut sekolah yang biasanya ramai. “Di sini aja.” Raga memilih sudut lorong. “Gak bakal ada yang lewat.”Amir
"Akhirnya kalian datang juga!” Michelle berseru sambil melambai pada Amira dan Raga yang baru masuk ke dalam kelas. “Ada apa?” Amira mendapati suasana kelas yang tampak berbeda. Beberapa siswa sibuk mengobrol. Amira mendengar sebagian topiknya, pemilihan.“Kita diminta buat kampanye.” Ucapan Evan membuat Amira memandang cowok itu bingung. Amira sampai harus terdiam sebentar untuk mencernanya. Evan tadi bilang apa?"Kampanye?" Amira mengerutkan kening. Rasanya Amira dan Raga baru pergi sebentar. Dalam waktu sesingkat itu, mereka tiba-tiba saja diminta untuk kampanye. “Kampanye apa?” Amira masih tidak mengerti. Pemilihan apa yang akan dilakukan oleh Laveire? Ding!Nada untuk pengumuman terdengar lewat speaker di dalam kelas. Suara Reynald bergema setelahnya. “Kepada siswa kelas XI bernama Evan, Amira, Raga, dan Michelle, segera datang ke ruang kepala sekolah. Sekarang.”Raga yang pertama berdecak keras. Padahal baru hari pertama, tapi Laveire sudah merepotkan begini. “Yuk!” Evan
“Kalian bisa mulai sekarang,” ucap Reynald tanpa beban. “Sekarang juga?” Amira pikir dia masih memiliki waktu tersisa, tapi sepertinya tidak ada. Pintu ruangan Reynald kembali diketuk. Saat Reynald memberikan izin masuk, terlihat Sonya yang muncul dari balik pintu. “Kelasnya sudah saya siapkan, Pak Reynald.” Sonya memberikan tanda jika mereka bisa memulai kampanye ini. Reynald pun bangkit dari kursinya. Dia melirik ke arah empat murid yang sejak tadi sudah berada di dalam ruangan. “Ayo,” ajak Reynald. Tangannya membawa kotak suara, sementara kertas yang sudah disiapkan, diberikan pada Sonya. Evan mengangkat bahu. Dia terlihat senang di balik senyum samarnya. “Yah, mau gimana lagi? Lebih cepat lebih baik, kan?” Mereka berjalan menyusuri lorong Laveire. Langkah mereka kemudian berhenti di kelas pertama. Kelas X. Harusnya adik kelas tidak membuat mereka tegang. Namun, ternyata tidak demikian. Amira berulang kali menarik napas untuk menyiapkan diri. Sonya mendahului. Dia masuk
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m