Mega memilih-milih pakaian yang akan dikenakannya siang ini. Susah seharian ia di rumah saja, rasa bosan pun menyapa. Maka dia memutuskan untuk keluar mempercantik kukunya. Sebuah dentingan notifikasi terdengar dari ponsel Mega. "Ck, nanti sajalah," gumam Mega kepada dirinya sendiri, mengabaikan pesan yang mengganggu aktivitasnya.Selesai mengganti pakaiannya, ia baru melihat pesan yang dikirimkan oleh nomor asing lagi. Sebuah pesan berisi ajakan untuk bertemu. Tangan Mega terkepal kuat. Dalam hatinya mengobarkan api amarah. "Pasti Rion. Mau apa sih dia?!" keluh Mega kesal.Tanpa memedulikan isi pesan tersebut, Mega keluar dari rumah menuju ke tempat yang ditujunya dengan supir pribadi yang direkrut oleh sang suaminya, Dihan.Di belakangnya, Rion mengikuti Mega secara diam-diam. Tak lupa juga dengan penyamarannya memakai kacamata culun dan tas ransel sekolah yang besar.&&&&"David," panggil seseorang paruh baya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.David yang sedah memeriksa lapor
"Inda apakah kamu marah?" tanya David sambil mencengkram pergelangan tangan wanita bersurai sepanjang dada itu. Inda belum menyahutnya. Ia kebingungan atas perasaannya sendiri. Dari arah belakang, Felicia melihat adegan ini dari dalam mobil dengan wajah tak senang. Tangannya terkepal erat menatap Inda."Dasar wanita tak tau diri, sudah bersuami saja masih menggoda pria lain," gumam Felicia kesal.Salah satunya cara ia menjauhkan Inda dari David adalah ibunya David. "Aku mau ke mansion David," perintah Felicia kepada bodyguardnya.Mobil Felicia pun melaju pergi dengan hati panas seakan terbakar.Sementara, David masih menunggu jawaban dari Inda. Sepenting itukah tanggapan Inda tentangnya? "Aku tidak marah," jawab Inda seadanya. Inda bukan tidak marah, tapi dia tidak ada hak untuk marah. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang karyawan rendahan saja. "Tapi wajahmu berkata lain, Inda." David memaksa. "Aku bilang tidak ada! Untuk apa aku marah, aku tidak punya hak. Kamu bebas mau berd
"Apa-apaan ini!"Manik hitam seorang wanita yang baru saja kembali dari pasar melebar sempurna ketika menyaksikan adegan yang terjadi tepat di hadapannya. Dihan, sang suami yang telah menikah dengan Inda selama enam tahun, sedang bercumbu mesra dengan wanita yang tak dikenalnya.Dengan segera, tangan Inda mengambil sayur dari kantong plastik lalu melempar ke dua orang yang sedang sibuk dengan cumbuannya."Apa yang kalian lakukan?!" tanya Inda dengan intonasi tinggi, menuntut sebuah penjelasan dari suaminya. Mendengar jeritan sang istri, Dihan terkejut sambil menyentuh pundak wanita berambut panjang yang sedang memasang wajah kesakitan. "Inda, kamu melukainya. Minta maaf," Bukannya menghiraukan pertanyaan Inda, pria itu justru membela wanita lain."Tidak apa-apa, Mas. Pasti Kak Inda tidak sengaja." Wanita itu akhirnya bersuara, sambil berjalan ke arah Inda dan memegang lengannya.Merasa diremehkan, Inda menepis tangan sang wanita dan mengalihkan pandangan ke suaminya. "Dia siapa, Mas
Tak ada jawaban dari Dihan. Inda sudah menduga bahwa sang suami tidak akan mampu membalas permintaan darinya. "Cih. Kamu bahkan tidak bisa menjawabku," ucap Inda, menelan saliva pahitnya, kemudian berlalu di hadapannya. Namun perkataan yang dikeluarkan sang suami selanjutnya sukses menghentikan langkah Inda."Maaf Inda, aku tidak bisa. Aku dan Mega sudah nikah siri, karena ada janin di dalam perutnya. Selain itu, Ayah dan Ibuku juga mendukung karena mereka menginginkan cucu. Apakah kamu ingin mengecewakan mereka?"Pengakuan yang keluar dari mulut Dihan membuat Inda meringis. Seolah kehamilan madunya tidak cukup untuk menancapkan duri di hatinya, tapi mertua yang selama ini selalu berhubungan baik dengannya juga mengkhianatinya.Sementara Dihan tidak sepenuhnya membeberkan fakta yang terjadi sesungguhnya. Malam itu, tepatnya 6 bulan yang lalu, Dihan mabuk-mabukkan di sebuah kelab akibat tekanan yang diberikan selama ini oleh orangtuanya. Berada di bawah pengaruh alkohol, pria itu ber
"Inda!" Dihan meninggikan volum suaranya ketika mendengar ucapan sang istrinya. "Kenapa? Benar kan Mas?" tanya Inda tertawa hambar.Dihan menggelengkan kepala, memijit pangkal hidungnya. "Inda, aku hanya ingin kau bisa menerima Mega saja. Apa susahnya? Dia juga wanita baik, kalian pasti bisa akur. Jangan lagi memusuhinya.""Mudah untuk Mas Dihan bicara begitu, karena Mas tidak di posisi yang kurasakan! Apa kau tahu rasa sakit dan kecewa ketika orang yang kau cintai dan hormati itu membawa wanita lain ke dalam rumah tangga kita? Mas bahkan dengan enteng memintaku menerima Mas nikah siri. Mas tahu tidak? Aku menangis terluka, tidur sendirian di kamar, kedinginan di saat tengah malam. Lantas pagi ini juga Mas menyalahkan aku, tidak memercayai aku. Ini baru hari pertama loh, Mas. Kedepannya kamu pasti akan dikuasai olehnya lalu meninggalkan aku." Satu tetes air mata berhasil lolos dari pelupuk mata Inda. Lidahnya benar-benar kelu saat mengatakan semua gunda gulananya itu. Sungguh, pedih
“Astaghfirullahal'adzim, Inda! Lepasin Mega sekarang!” Dihan bergerak mendekati istri mudanya yang sedang hamil.Inda menjauhkan tangan dengan enggan, lalu memutar bola mata malas. Inda berdecih pelan ketika melihat air mata madunya memupuk keluar. Air mata rubah! “Kamu baik-baik saja?” tanya Dihan lembut melebihi kain sutra.Dihan lalu merapikan rambut wanita itu dengan pelan. Jujur saja, melihat adegan tidak adil itu berhasil membuat hati Inda merasa ngilu.Sebelumnya Dihan juga memperlakukan Inda seperti itu selama 6 tahun belakangan ini. “Mas, Kak Inda ... Aku didorong oleh Kak Inda, padahal aku hanya ingin melihat foto pernikahan Mas Dihan dengan Kak Inda. Lihat ini, tanganku berdarah, Mas ... Sakit ...” adunya. Mendengar penjelasan dari Mega, emosi Inda memuncah. Wanita itu bagaikan ular, menuduhnya sembarangan hanya demi perhatian dari sang suami. "Omong kosong! Jangan percaya dia, Mas. Dia-"Belum sempat Inda menyelesaikan kalimatnya, Dihan sudah memotongnya dengan suara
Waktu berputar sangat cepat, tak terasa sudah 3 bulan berlalu sejak kepindahan Dihan dan Mega dari rumah mereka. Dihan berjanji kepada Inda bahwa ia akan berkunjung seminggu sekali.“Mas mau ke mana hari Minggu gini?” tanya Mega melihat sang suami memakai pakaiannya. “Pergi menemani Inda, Meg. Aku akan pulang sore.”Mendengar nama Inda, tentu Mega tidak senang. Kenapa wanita itu masih saja bersarang di hati Dihan?“Tidak boleh, Mas. Masa Mas tega ninggalin istrimu yang sudah besar kandungannya ini sendirian,” ujar Mega kesal.“Astaga, Meg, Inda juga istriku. Bagaimana pun aku masih punya tanggung jawab atas dirinya sebagai suami. Papa ada di bawah dan Mama sebentar lagi pulang dari pasar. Mereka akan menjagamu.”“Aku nggak mau tahu, aku mau Mas yang temenin aku. Anak kita juga pasti cariin terus nanti.”“Minggu lalu aku sudah tidak menjenguknya, Meg. Waktuku minggu ini harusnya buat Inda.” Dihan tetap keukeuh dengan pendiriannya. Mega mengentakkan kakinya setelah Dihan merapikan baj
“Mama!”Baru saja Inda tiba di kantor, mendadak ada seorang anak kecil memeluk kaki betis ramping miliknya. Iris mata bulatnya sungguh menggemaskan sekali. Begitu polos dan penuh sinar cahaya. “Sasha, sini.” Sebuah suara membuat Inda menengadahkan kepala melihat atasannya, David berjalan menghampirinya—ralat, lebih tepat kepada Sasha. “Dia bukan Mama, Sasha.” Anak perempuan lugu itu cemberut, semakin kuat mengeratkan pelukannya. “Mama....”David menghela napas berat. “Maafkan anakku.”Inda mengagguk paham lalu beralih melihat Sasha. “Mau aku peluk?” Sasha sontak tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangan mungilnya. Inda dengan senang hati menggendong Sasha kemudian memberikan isyarat kepada atasannya bahwa tidak apa-apa. Inda lalu menurunkan Sasha ketika sampai di ruang David. “Sasha, kamu baik-baik di sini ya." “Mama mau ke mana? Mama mau tinggalin Sasha lagi?” tanya Sasha menarik celana panjang kerja putih Inda. Tatapan Sasha kembali berair. David yang melihatnya langsung
"Inda apakah kamu marah?" tanya David sambil mencengkram pergelangan tangan wanita bersurai sepanjang dada itu. Inda belum menyahutnya. Ia kebingungan atas perasaannya sendiri. Dari arah belakang, Felicia melihat adegan ini dari dalam mobil dengan wajah tak senang. Tangannya terkepal erat menatap Inda."Dasar wanita tak tau diri, sudah bersuami saja masih menggoda pria lain," gumam Felicia kesal.Salah satunya cara ia menjauhkan Inda dari David adalah ibunya David. "Aku mau ke mansion David," perintah Felicia kepada bodyguardnya.Mobil Felicia pun melaju pergi dengan hati panas seakan terbakar.Sementara, David masih menunggu jawaban dari Inda. Sepenting itukah tanggapan Inda tentangnya? "Aku tidak marah," jawab Inda seadanya. Inda bukan tidak marah, tapi dia tidak ada hak untuk marah. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang karyawan rendahan saja. "Tapi wajahmu berkata lain, Inda." David memaksa. "Aku bilang tidak ada! Untuk apa aku marah, aku tidak punya hak. Kamu bebas mau berd
Mega memilih-milih pakaian yang akan dikenakannya siang ini. Susah seharian ia di rumah saja, rasa bosan pun menyapa. Maka dia memutuskan untuk keluar mempercantik kukunya. Sebuah dentingan notifikasi terdengar dari ponsel Mega. "Ck, nanti sajalah," gumam Mega kepada dirinya sendiri, mengabaikan pesan yang mengganggu aktivitasnya.Selesai mengganti pakaiannya, ia baru melihat pesan yang dikirimkan oleh nomor asing lagi. Sebuah pesan berisi ajakan untuk bertemu. Tangan Mega terkepal kuat. Dalam hatinya mengobarkan api amarah. "Pasti Rion. Mau apa sih dia?!" keluh Mega kesal.Tanpa memedulikan isi pesan tersebut, Mega keluar dari rumah menuju ke tempat yang ditujunya dengan supir pribadi yang direkrut oleh sang suaminya, Dihan.Di belakangnya, Rion mengikuti Mega secara diam-diam. Tak lupa juga dengan penyamarannya memakai kacamata culun dan tas ransel sekolah yang besar.&&&&"David," panggil seseorang paruh baya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.David yang sedah memeriksa lapor
Senyum Inda mewarnai wajah ketika menyuapkan es krim durian kesukaannya. David yang memperhatikan tingkah Inda hari ini layaknya bocah kecil, terkekeh pelan.Setelah makan di restoran, Inda dan David memutuskan berjalan-jalan sekitar restoran di taman terdekat. "Kamu tampak senang," kata David."Sudah lama aku tidak makan ini. Eh! Ada gulali!" seru Inda dengan mata berbinar-binar. David lekas menyusul Inda di belakang seraya menggelengkan kepalanya."Mas, satu ya." Inda hendak mengeluarkan dompat dari tas, sebelum akhirnya sebuah lembaran uang seratus muncul di depannya."Kembaliannya di ambil saja," ujar David."Kamu sudah membayarkan makanan, dan membeliku es krim, David. Biarkan aku membayarmu kali ini," kata Inda merasa tak enak hati."Tidak apa-apa, harga itu kecil bagiku." "Sombong," cibir Inda sambil menjulurkan lidahnya."Sombong katamu?" ulang David kemudian menangkap badan Inda dan menggelitiknya."Aduh! Geli! Geli David! Hentikan ...," pinta Inda dengan tawa meledak."Dav
Apakah ini termasuk Nge-date?Inda kebingungan saat tidak menemukan siapa pun di rumahnya, selain dirinya dan David.“Bu? Ayah? Indra? Di mana kalian?” Tanya Inda mencari ke dapur, taman belakang dan ruang keluarga.“Sasha pun tidak ada,” kata David. “Coba telpon?”Inda mengangguk menyetujui saran dari David. Panggilan terhubung. “Halo Kak? Ada apa?” Tanya Indra di seberang. “Dra, kalian semua pergi ke mana?” “Ah, kami lagi di luar bawa Sasha bermain. Jangan khawatir, kami akan bantuin kakak jagain Sasha. Nikmati saja waktu berduaan.” Terdengar tawa geli sebelum Indra memutuskan sambungan. “Bagaimana? Apa yang dibilangnya?” David menatap penasaran. Inda menelan ludahnya. “Me-mereka lagi bermain di luar.”David tampak berpikir. “Baiklah, apakah kita juga harus keluar? Makan bersama misalnya?” “Bo-boleh, tapi aku bersih-bersih dulu.” David mengangguk kepalanya dan juga menyusul ke kamar membersihkan diri. &&&&Inda mencari pakaian yang bagus untuk dikenakan, tapi semua tidak lagi
Seharian ini, Inda terus menjaga sang Ayah—Rudy--di sampingnya. Meski Inda tahu ayahnya gengsi untuk menerima bantuan darinya tapi Inda tahu jelas bahwa Rudy sangat rindu padanya. “Kau pergi saja sana, kenapa masih di sini?” Entah sudah berapa kali Rudy mengatakan hal ini, bukannya Inda sakit hati atau sedih, melainkan tertawa. “Benar nih Ayah mau usir aku?” tanya Inda terkekeh geli. Inda tahu jelas sifat ayahnya satu ini. Mulut Rudy menyuruhnya pergi padahal dalam hati justru berkebalikannya.Belum sempat Rudy membalas ledekan sang anak, panggilan Jeni dari luar kamar menginterupsi keduanya. “Nak Inda, itu ada orang bilang teman kerjamu, Nak.”Dahi Inda berkerut dalam. Siapa teman kerjanya yang tahu alamat rumah kampungnya? Inda kemudian keluar dari kamar ayah menuju ruang tamu. Matanya terkuak lebar ketika melihat sosok yang tak pernah terpikirkan olehnya.Sasha berlarian langsung menghambur ke pelukan Inda. “Mamaaa! Mama liburan kok tidak bawa Sasha.”Jeni dan Rudy yang di bel
"Menjauh dariku Dihan!" ucap Inda kesal seraya memberontak."Tidak. Sudah lama kita tidak berdekatan seperti ini. Wangimu masih sama." Dihan menghirup dalam-dalam aroma vanila minta yang menjadi aroma favoritnya.Inda terkekeh kecil. "Kau kira dengan perkataanmu itu, aku bakalan luluh? Aku sudah jijik denganmu!""Jangan begitu, sayang. Kasih aku kesempatan terakhir. Aku berani bersumpah, kali ini aku akan memperbaiki hubungan kita balik seperti dulu," pinta Dihan semakin erat memeluk Inda dari belakang.Dengan geram, Inda mengigit lengan Dihan sekeras mungkin membuat pria itu mengerang kesakitan hingga melepaskan pelukannya."Astaga, Inda! Aku ini suamimu!"Inda tersenyum mengejek. "Kedepannya bukan lagi. Dan asal kau tahu Dihan! Aku bukan tidak pernah memberimu kesempatan, tapi sudah berkali-kali! Cuma kau yang tidak menghargainya." Inda lalu naik ke kamarnya dan mengunci diri di sana. Membersihkan diri sebelum akhirnya ia memutuskan untuk baring ke kasur miliknya yang sudah kosong
Inda terganggu oleh getaran-getaran heboh di tas selempangnya. Awalnya ia pikir, itu pasti Dihan yang meneleponnya. Maka Inda memutuskan untuk tidak mengangkatnya.Kedua kali, ditelpon lagi. Dengan kesal, Inda mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat sang penelepon."Halo? Siapa?" "Inda! Ke rumah sekarang juga!" perintah Ibu Dihan kemudian menutup sambungannya. Inda mengembuskan napas frustasi dan itu menarik perhatian David. "Kenapa? Ada masalah kah?" tanya David. "Bisakah kamu menurunkan aku di sini saja?" "Tidak, Inda. Aku akan mengantarmu," kata David keukeh.Setelah Inda menyebutkan alamat rumah mertuanya. David memutar balik setir dengan perasaan tak karuan.Butuh waktu sekitaran 30 menit, Inda sudah telah sampai di tujuan. "Aku akan menunggu di sekitaran sini. Telpon aku bila perlu," ucap David sebelum Inda menutup pintu mobilnya.Inda menekan bel pintu rumah, yang ternyata sudah ditungguin oleh Yolanda, Ibu Dihan. "Permisi, Bu." Inda menyapa sopan kemudian masuk ke d
Inda turun dari mobil secepat kilat menghampiri Sasha yang tengah meracau di dalam ruang UKS. "Sasha!" seru Inda."Anda Mama Sasha ya?" tanya petugas UKS tersebut."Iya, saya, Bu," jawab Inda tanpa berpikir lagi."Sasha demamnya tidak mau turun-turun padahal sudah kasih obat," terangnya.Inda mengangguk paham, dan segera duduk di tepi Sasha. Mengelap peluh yang terus bercucuran dari kening Sasha."Kita ke rumah sakit saja," saran David melihat kepucatan Sasha di wajahnya.Inda lalu menggendong Sasha di dekapannya. "Permisi, Bu."Inda dan David mengambil langkah lebar hingga menuju mobil David. "Kenapa panas sekali ya," gumam Inda khawatir sambil menepuk-nepuk punggung Sasha. David menginjak pedal gas dengan kecepatan di atas rata-rata hingga sampai di rumah sakit.&&&"Tenang, dia cuma salah makan sesuatu saja yang membuat dia seperti ini. Aku sudah buka resepnya nanti tebus di apotek saja," ucap dokternya.Kini Inda dan David akhirnya bisa menarik napas lega."Terima kasih, Dok,"
Inda langsung mundur beberapa senti ke belakang. "Ti-tidak kok. Aku sehat-sehat saja."Kening David mengkerut, tatapannya tampak khawatir. Apalagi takut karena jaga Sasha yang menyebabkan Inda sakit. "Jangan gerak, tunggu sebentar di sini." David bergegas pergi mengambil kotak P3K yang berisi cek suhu tubuh. David langsung menuntun Inda berbaring di sofa, dan memasuki alat cek suhu ke telinga Inda."Astaga, tidak us—""Diam, jangan gerak, Inda," cegat David.Inda mengedipkan mata beberapa kali. Ada rasa gugup dan terharu. Seorang atasan mengkhawatirkan kesehatan karyawannya. "David," panggil Inda pelan. "Hm?" "Terima kasih, sudah mengkhawatirkan aku." Tangan David berhenti bergerak dari menyusun kembali barang-barang ia keluarkan secara berserakan.Kemudian tatapan keduanya saling bertautan satu sama lainnya. Seakan-akan dunia milik mereka berdua."Papa?" tanya Sasha yang berhasil membangunkan keduanya untuk memutuskan kontak mata. "Mama gimana?"David lalu mengeluarkan alat ter