Bibir Oliver menaut di bibir Nicole tanpa henti, membuat Nicole sedikit kesulitan untuk bernapas. Wanita itu hendak melepaskan pagutan itu, namun Oliver menekan tengkuk leher Nicole, memperdalam lumatan yang tercipta.Rasa dingin dari kolam renang telah tergantikan, dengan panas api gairah yang membara. Lidah Oliver mendesak masuk menyapu rongga mulut Nicole. Tangan kokoh Oliver kian memeluk erat Nicole. Mereka terlena akan ciuman itu. Hingga kemudian, terdengar suara …“Tuan Oliver.” Pelayan masuk ke dalam ruang kolam renang, dan seketika sang pelayan sedikit salah tingkah melihat adegan intim antara Oliver dan Nicole. Detik itu juga, sang pelayan segera menundukkan kepalanya, tak berani menatap Oliver dan Nicole—yang sangat mesra.Oliver dan Nicole melepaskan tautan bibir mereka di kala mendengar suara sang pelayan. Tampak pipi Nicole tersipu malu karena terpergok oleh sang pelayan. Buru-buru, Nicole hendak menjauh, namun Oliver malah kian merapatkan tubuh Nicole, tak membiarkan
Oliver menatap Nicole yang kini tengah tertidur lelap dalam pelukannya. Malam semakin larut, tapi Oliver tak kunjung mengantuk. Benaknya tak henti memikirkan tentang perdebatannya dengan Nicole tadi.Semua memang menjadi rumit karena Nicole sempat menjalin hubungan dengan Shawn. Jika saja Nicole tak pernah menjalin hubungan dengan Shawn, maka tak akan jadi seperti ini. Namun, Oliver tak akan menyalahkan Nicole. Akar permasalahan terjadi karenanya, bukan karena Nicole.Perlahan, Oliver mulai bangkit berdiri menjauh dari Nicole. Pria itu mengambil guling untuk menggantikannya, agar Nicole tak curiga dirinya tak ada. Pun Oliver menutupi tubuh Nicole dengan selimut tebal. Oliver menatap lekat dan hangat Nicole—memperhatikan wanita itu yang tengah tertidur pulas.Saat Oliver yakin bahwa Nicole tak mungkin terbangun—pria itu segera mengambil ponsel yang ada di atas nakas—dan menghubungi nomor sang asisten. Otak Oliver mendorongnya untuk melakukan sesuatu hal.“Selamat malam, Tuan Oliver,” s
“Tuan, dua keponakan Anda baik-baik saja. Luka tembak tak mengenai saraf di lengan mereka.” Sang dokter berucap penuh sopan pada Dominic, memberi tahu tentang keadaan Oliver dan Shawn.Dominic mengangguk singkat. “I know. Aku yang menembak mereka.”Wajah sang dokter sedikit memucat mendengar apa yang dikatakan oleh Dominic. Buru-buru sang dokter pamit undur diri, tanpa lagi mengatakan apa pun. Tentu Dominic sudah menduga keadaan dua keponakannnya. Semarah apa pun dia, tak mungkin Dominic membiarkan dua keponakannya mati.Oliver menatap dingin Dominic. “Paman, kenapa kau ada di sini?!” serunya menahan rasa kesal. Tak Oliver sangka, dirinya akan bertemu dengan Pamannya. Padahal, Pamannya itu tinggal di New York, bukan di London. Shawn di samping Oliver, tak mengatakan sepatah kata pun. Pria itu memilih diam, dan menatap Pamannya yang ada di sampingnya. Pertanyaannya sudah terwakilkan oleh Oliver.Dominic mengambil wine-nya yang ada di atas meja, menyesap wine itu perlahan, lalu duduk
Mayir memejamkan mata singkat. Pria paruh baya itu tampak sangat kesal, karena ponsel Nicole tak kunjung aktif. Mayir ingin segera menyelesaikan segala kekacauan yang terjadi. Kekacauan yang rumit. Bagaimanapun, Mayir berusaha untuk bersikap adil pada kedua putrinya.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Mayir mengalihkan pandangannya ke arah pintu—dan menginteruksi orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam.“Tuan.” Curt melangkah mendekat pada Mayir.Mayir menatap dingin sang asisten. “Ada apa kau ke sini?”“Tuan, saya baru saja mendapatkan kabar dari Vincent, asisten Tuan Oliver. Dia mengatakan bahwa Tuan Oliver mengajak Anda, Nyonya Erica, dan juga Nona Shania datang ke rumah kediaman keluarga Maxton lusa ini. Tuan Oliver akan menyampaikan sesuatu,” ujar Curt melaporkan. Mayir terdiam sebentar. “Oliver memerintahkan Vincent untuk mengatakan itu padamu?” ulangnya memastikan.Curt menganggukan kepalanya. “Benar, Tuan. Vincent mengatakan itu pada saya.”Mayir mengembuskan
Ruang megah di kediaman keluarga Maxton, menjadi sunyi hanya terdengar suara isak tangis Nicole dalam pelukan Oliver. Tak hanya Nicole yang menangis, tapi Shania pun kini menangis dalam pelukan Erica. Mayir berada di tengah-tengah dua putrinya. Mayir bagaikan berada di ambang kebingungan, karena tak bisa memihak siapa pun.Mayir iba akan Shania yang patah hati kehilangan Oliver, tapi dia juga tak pernah mengira masa lalu pahit antara Oliver dan Nicole. Pria paruh baya itu tak mungkin bisa diam di kala kedua putrinya sama-sama terluka. Jika menghentikan Nicole untuk tak menjalin hubungan dengan Oliver pun tak akan bisa. Keadaan sudah seperti ini.“Nicole, tenangkan dirimu. Jangan menangis lagi. Aku tidak suka melihatmu seperti ini.” Oliver mengusap-usap punggung Nicole, dan memberikan kecupan di puncak kepala wanita itu. Tangis Nicole mulai sedikit mereda, tapi dia tetap berada di dalam pelukan Oliver. Wanita itu merasakan ketenangan hati dan jiwa di kala mendapatkan pelukan dari Ol
Oliver melangkah masuk ke dalam kamarnya, mendapati Nicole yang tengah terlelap di ranjang. Tampak senyuman di wajah Oliver terlukis melihat Nicole tertidur. Sebelumnya, Oliver sudah yakin pasti ibunya akan mengantar Nicole masuk ke dalam kamarnya.Oliver mendekat, hendak merapatkan selimut ke tubuh Nicole, tapi tatapannya menatap bingkai foto berada di pelukan Nicole. Kening Oliver mengerut dalam memperhatikan bingkai foto yang ada digenggaman Nicole seksama.Perlahan, Oliver mengambil bingkai foto yang ada di tangan Nicole, menatap bingkai foto itu adalah foto dirinya semasa kuliah. Foto di mana dirinya tengah memenangkan kompetisi basket. Senyuman di wajah Oliver terlukis.Rupanya, Nicole sempat melihat-lihat foto lamanya. Kamar Oliver ini, memang menyimpan banyak sekali foto di masa kecilnya—sedangkan kamarnya yang ada di mansion dan penthouse pribadinya tak terlalu banyak menyimpan foto masa kecilnya.Oliver duduk di tepi ranjang, membelai pipi Nicole lembut. Mata Nicole masih se
“Selamat pagi, Tuan Oliver.” Pelayan menyapa Oliver yang baru saja keluar kamar. Oliver terbangun dalam keadaan belum mandi. Hanya memakai celana training panjang, dan bertelanjang dada.“Di mana Nicole?” Oliver langsung menanyakan keberadaan Nicole. Pasalnya pria itu terbangun dalam keadaan Nicole sudah tidak ada di sampingnya.“Nona Nicole sedang membuatkan sarapan, Tuan,” jawab sang pelayan memberi tahu.“Menyiapkan sarapan?” Kening Oliver mengerut dalam. “Maksudmu Nicole menyiapkan sarapan dengan ibuku?” tanyanya memastikan.“Tidak, Tuan. Nona Nicole menyarapan sarapan sendiri. Tadi pagi-pagi, Tuan Samuel ditemani Nyonya Selena ingin menemui rekan bisnis beliau. Tuan Samuel dan Nyonya Selena tidak sarapan di rumah, karena akan sarapan bersama dengan rekan bisnis beliau, Tuan,” jawab sang pelayan memberi tahu.Oliver terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh sang pelayan. Pria itu sama sekali tak tahu kalau kedua orang tuanya berangkat pagi tanpa lebih dulu sarapan. “Pergilah seles
Kesunyian menyelimuti dalam mobil. Belum ada percakapan apa pun yang terdengar. Nicole hanya diam menatap ke luar jendela, melihat pepohonan bergerak-gerak akibat angin yang berembus cukup kencang. Cuaca di London sangat cerah, tapi angin pun sejak tadi sangat kencang. Beruntung, hujan sedang tak membasahi kota.Nicole kini berada di dalam mobil bersama dengan Oliver. Setelah kejadian perdebatan dengan Erica, Oliver langsung membawa Nicole pulang. Mereka belum sama sekali berbicara. Hanya kesunyian menyelimuti di antara mereka. “Terima kasih sudah membantuku.” Nicole mulai mengeluarkan suara pelan, dan lemah. Jika tadi tidak ada Oliver, maka pasti kepalanya sudah terluka terkena botol wine.Oliver menoleh sambil membelai pipi Nicole. “Kenapa kau berterima kasih, hm? Apa yang aku lakukan sudah semestinya.”Nicole terdiam dengan raut wajah yang begitu muram. “Kau tadi sudah mendengar percakapanku dengan ibu tiriku, ‘kan?”Oliver menganggukkan kepalanya. “Ya, aku mendengar semuanya. Aku