Samuel duduk di kursi kebesarannya seraya menatap laporan yang baru saja diantar oleh sang asisten. Sorot mata Samuel menatap penuh ketelitian dan ketegasan. Yang ada di hadapan pria itu adalah laporan kasus-kasus yang ditangani oleh Oliver. Meski sekarang Oliver telah memegang kendali utama firma hukumnya, tetap saja Samuel memeriksa apa saja yang diurus oleh putra sulungnya itu. Bukan tak percaya, tapi Samuel tak mau putranya mendapatkan masalah. Berkecimpung dalam hukum, membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi.Suara dering interkom terdengar. Samuel mengalihkan pandangannya ke arah telepon, dan menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan telepon tersebut. “Ada apa?” tanyanya dingin kala panggilan terhubung.“Maaf mengganggu, Tuan. Saya hanya ingin memberi tahu, di depan ada Tuan Mayir Tristan ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang sekretaris dari seberang sana. Kening Samuel mengerut dalam. “Mayir Tristan?” ulangnya memastikan.“Benar, Tuan. Tuan Mayir Tristan ingin bertemu d
PranggggMayir membanting pajangan yang ada di atas mejanya, ke lantai. Pecahan beling memenuhi lantai marmer ruang kerjanya. Tampak raut wajah Mayir menunjukkan kemarahan yang nyaris meledak dalam dirinya.Napas Mayir memburu. Tangannya mengepal begitu kuat. Ingatan Mayir tergali akan apa yang dikatakan oleh Samuel. Pria paruh baya itu tak terima putrinya dihina dengan kata-kata kejam. Tujuan Mayir bertemu dengan Samuel, untuk membahas rencana pernikahan Shania dan Oliver, tapi malah dirinya disudutkan oleh Samuel.“Sialan!” seru Mayir dengan penuh amarah. “Ya, Tuhan, Sayang. Kenapa ini?” Erica menatap ruang kerja sang suami, begitu kacau balau. Dia segera mendekat pada sang suami, menatap wajah sang suami tercinta yang dilingkupi amarah. “Ada apa, Sayang?” tanyanya pada suaminya itu.Mayir memejamkan mata singkat. “Aku bertengkar dengan Samuel Maxton.”“Apa? Kau bertengkar dengan Samuel? Kenapa?” Mata Erica melebar terkejut, mendengar apa yang dikatakan oleh sang suami.Mayir menge
Nicole mengusap wajahnya kasar seraya mengumpati kebodohannya. Beberapa kali, dia memejamkan mata singkat di kala kepalanya merasa pusing luar biasa. Pusing akibat ulahnya sendiri. Sungguh, Nicole benar-benar tak mengira akan tindakan yang dilakukan.Satu jam lalu, Mayir baru saja pulang dari kamar hotel Nicole. Selama Mayir ada, Nicole stress luar biasa. Bagaimana tidak? Nicole terus dicerca pertanyaan tentang Shawn. Entah sudah berapa ribu kata yang dia ucap dalam dusta. Wanita itu tak memiliki pilihan lain. Dia terdesak, sampai harus berbohong. Kala itu, benak Nicole hanya muncul satu nama—yaitu nama Shawn. Nicole tidak tahu siapa lagi pria yang harus dia sebut sebagai kekasihnya. Memang, selama ini wanita itu enggan dekat dengan pria manapun.Nicole hanya fokus pada pekerjaannya, tanpa sama sekali menghiraukan tentang percintaan. Karena bagi Nicole, tidak ada cinta yang abadi. Ayahnya telah memberikan contoh padanya, di mana bahwa cinta akan pudar seiring berjalannya waktu. Seper
“Shawn, terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan dan makan bersama.” Nicole berucap seraya melukiskan senyumannya, pada Shawn yang mengantarnya pulang. Hari ini, Nicole memang menghabiskan waktu berjalan-jalan dengan Shawn. Mereka begitu menikmati waktu bersama mereka sampai pulang di sore hari.Shawn tersenyum tipis. “Tidak usah berterima kasih. Bukankah, kau sekarang kekasihku?” jawabnya sedikit menggoda.Nicole mengulum senyuman malu di kala Shawn menggodanya. “Ya sudah, hati-hati di jalan, Shawn. Kabari aku kalau kau sudah di rumah.”Shawn membelai pipi Nicole lembut. “Aku pulang dulu. Kau jaga dirimu baik-baik. Hubungi aku jika kau membutuhkan apa pun. Aku akan berusaha membantumu.”Nicole menganggukkan kepalanya. “Terima kasih, Shawn.”Shawn masuk ke dalam mobil, dan mulai melajukan meninggalkan lobby hotel. Nicole melambaikan tangannuya di kala mobil Shawn pergi. Lantas, ketika mobil Shawn sudah tak lagi terlihat—Nicole memutuskan untuk segera masuk ke dalam lobby hotel, menuj
Nicole diam seribu bahasa. Tak ada kata lagi yang mampu Nicole ucap. Semua benaknya penuh terbayang akan kata-kata yang Oliver ucapkan padanya. Seperti alkohol yang tersiram di luka yang terbuka—Nicole merasakan perih luar biasa. Nicole terduduk di tepi ranjang. Baru saja, pria itu pergi. Akan tetapi, meski pria itu pergi tetap saja hati Nicole masih terasa perih. Dia sama sekali tidak takut pada ancaman Oliver. Sekalipun, Oliver ingin mempermalukannya seperti dulu—Nicole sama sekali tidak peduli.Namun, di sini yang terus menjadi pikiran Nicole adalah ucapan Oliver yang mengatakan dirinya, adalah milik pria itu. Sungguh, Nicole tak mengerti dengan cara jalan berpikir Oliver. Pria itu sebentar lagi akan menikah dengan Shania, tapi malah masih saja mengganggunya. Nicole mengembuskan napas panjang, dan memilih untuk membaringkan tubuh di ranjang. Wanita itu berusaha keras untuk melupakan semua perkataan Oliver, namun sayang sama sekali tidak mudah. Semua perkataan Oliver seakan tert
“Sayang.” Erica melangkah menghampiri Mayir yang tengah duduk di sofa kamar mereka. Dia membawakan secangkir kopi susu yang masih panas untuk sang suami. Sebelum masuk ke kamar, Erica memang menuju dapur membuatkan kopi susu hangat untuk sang suami.“Minumlah. Aku sudah membuatkan kopi susu hangat untukmu.” Erica duduk di samping Mayir, sambil memberikan cangkir yang berisikan kopi hangat pada Mayir. Pun Mayir menerima kopi susu itu, menyesap perlahan.“Sayang, kau belum cerita padaku tentang pertemuanmu dengan Nicole. Kau jadi kan menjodohkan Nicole dengan anak dari teman dekatmu?” ujar Erica tak sabar. Dia sudah menunggu-nunggu tentang kabar perjodohan Nicole.Mayir meletakan cangkir kopi ke atas meja. “Aku tidak perlu repot menjodohkan putriku dengan anak temanku. Putriku sudah memiliki kekasih yang hebat. Bahkan perusahaan milikku tidak sebanding dengan perusahaan milik kekasihnya.”Seketika raut wajah Erica terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Mayir. Mata Erica menatap leka
Oliver melangkah keluar masion dan hendak masuk ke dalam mobil, namun langkah pria itu terhenti di kala melihat Shania turun dari mobil. Tampak raut wajahnya, menjadi dingin di kala melihat kedatangan Shania. Sudah lama memang, dia menghindar dari Shania.“Sayang, kau mau ke mana?” Shania menghampiri Oliver, dan langsung memeluk pinggang Oliver.Oliver mengembuskan napas panjang. “Kenapa kau ke sini, Shania? Aku sibuk. Bnayak pekerjaan yang harus kau urus.”Bibir Shania tertekuk dalam dan manja. “Kau selalu saja bilang sibuk. Sudah lama kau menghindar dariku, Oliver! Hari ini aku tidak akan mau pulang. Aku akan berada di sini. Kau suka atau tidak suka, terserah saja. Aku akan tetap ada di sini.”Shania bersikeras tidak akan pulang. Dia ingin menghabiskan waktu bersama dengan sang kekasih. Sudah lama sekali Oliver sibuk dengan pekerjaannya. Kali ini, dia tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi lagi. Dia akan tetap bersama sang kekasih.Oliver memejamkan mata singkat, menahan emos
Nicole diam seribu bahasa mendengar semua pengakuan Oliver. Mata wanita itu memerah, akibat air mata yang tadi berlinang. Belum ada kata yang mampu Nicole ucapkan. Nicole seakan terpenjara akan sebuah kerumitan. Perasaan marah, benci, dendam, namun terlapisi oleh sebuah rasa yang tak bisa diungkap. Nicole menatap dalam dan dingin Oliver. Pengakuan Oliver cukup membuatnya terkejut, namun satu hal yang Nicole ingat bahwa semuanya tetap percuma.Nicole melangkah mundur menjauh dari Oliver. Mati-matian, Nicole menahan air matanya agar tak tumpah lagi. Sudah cukup dirinya menangis di depan Oliver. Wanita itu membenci dirinya menjadi lemah. “Kenapa kau tidak rela pria lain menyentuhku?” Nicole bertanya menahan tangisnya.Oliver memejamkan mata singkat. “Karena aku tidak suka kau disentuh pria lain, Nicole! Aku tidak suka!” geramnya menahan amarah dalam diri yang menyulut. Nicole tersenyum sinis mencemooh Oliver. “Kau pikir aku bodoh mudah diperdaya? Kau seolah menunjukkan bahwa kau me