Nicole merasakan pusing luar biasa kala membuka mata. Tubuh gadis itu terasa remuk seperti tengah melakukan aktivitas berat. Sesekali, Nicole meringis merasakan titik sensitive-nya begitu perih dan sangat sakit. Gadis itu seakan mendapatkan pukulan keras hingga menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Perlahan ketika mata Nicole mulai terbuka, tatapan gadis itu terkejut melihat dirinya berada di sebuah kamar asing yang tak pernah dikenalinya. Raut wajah Nicole menegang penuh ketakutan. Detik selanjutnya, Nicole memberanikan diri melihat tubuhnya sendiri.
Bagai tersambar petir, betapa terkejutnya Nicole mendapati tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Nicole melihat ke samping—menatap di sampingnya sudah kosong. Tak ada siapa pun di sana. Napasnya memberat. Debar jantungnya semakin berpacu kencang.
Raut wajah Nicole pucat pasi. Ingatan gadis itu tergali mengingat dirinya mendatangi pesta, dan Oliver menghampirinya. Nicole meremas-remas rambutnya. Ingatan lainnya muncul di mana dirinya meminum minuman alkohol milik Oliver.
“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” Nicole panik. Rasanya dia ingin menangis sekeras mungkin, tapi tak mungkin dia menangis dan tetap berada di sini. Dia meneguhkan hatinya untuk berusaha tenang.
Nicole menyibak selimut, turun dari ranjang dan langsung memakai dress-nya yang tergeletak sembarangan di lantai. Dengan menahan rasa perih dan sakit di titik sensitive-nya, Nicole berjalan meninggalkan kamar itu.
Di depan kamar, tepatnya di ujung sana, tatapan Nicole teralih pada tiga laki-laki yang nampak tengah membicarakan sesuatu hal yang sangat penting. Mata Nicole menyipit tajam, seperti mengenali punggung salah satu laki-laki itu.
Nicole hendak mengabaikan, tapi entah kenapa hati Nicole mendorongnya untuk melangkah menuju ke arah sana. Akhirnya, dia memutuskan untuk melangkah mendekat pada kumpulan tiga pria yang tengah berbicara penting.
“Well, Oliver Maxton jadi kau berhasil meniduri Nicole Tristan?” ujar Matthew seraya menatap Oliver.
Oliver tersenyum sinis. “Aku yakin kau melihatku membawa Nicole meninggalkan pesta, kan?”
“Tapi kami tetap butuh bukti, Oliver. Permainan akan dikatakan kau pemenangnya, jika kau menunjukan bukti video kau meniduri Nicole,” sambung Carlos menantang Oliver untuk menyerahkan bukti padanya.
Oliver dengan santai memberikan video yang ada di ponselnya pada kedua temannya itu. “Kalian bisa melihat sendiri. Aku bukanlah pembual. Jika aku berhasil, maka aku akan mengatakan yang sebenarnya.”
Carlos dan Matthew mengambil ponsel Oliver itu, dan segera memutar video yang ada di sana. Terlihat seringai di wajah Carlos dan Matthew terlukis melihat video di mana Oliver meniduri Nicole. Tubuh keduanya terbalut oleh selimut, hanya bagian atas terlihat sedikit mereka tak memakai apa pun.
Suara desahan Nicole terdengar merdu. Carlos dan Matthew nampak puas kala Oliver berhasil memenangkan permainan. Ya, mereka tak menyangka Oliver akan mampu memenangkan permainan ini.
“Luar biasa, Oliver. Kau berhasil meniduri Nicole Tristan.” Carlos dan Matthew tertawa puas kala sudah melihat video itu.
“Jadi kalian menjadikanku barang taruhan?” Tubuh Nicole membeku di tempatnya. Air mata gadis itu berlinang deras menyentuh pipinya. Semua percakapan Oliver dengan kedua temannya telah Nicole dengar. Hati Nicole bagaikan tercabik-cabik mendengar dirinya dijadikan taruhan oleh tiga laki-laki yang merupakan kakak kelasnya tu.
“Nicole?” Carlos dan Matthew terkejut melihat Nicole. Dua laki-laki itu sedikit kikuk, karena terpergok oleh Nicole. Sedangkan Oliver hanya diam di tempatnya, menatap wajah Nicole hancur penuh dengan air mata.
“Kenapa kalian jahat padaku?! Kenapa?” teriak Nicole begitu keras.
“Oh, come on, Nicole. Ini hanya permainan. Nanti kau juga pasti akan melakukannya dengan kekasihmu. Jangan terlalu dianggap serius.” Matthew berkata dengan tanpa dosa, seakan bahwa tindakan yang dilakukan sama sekali tak bersalah.
Mata Nicole menatap Carlos dan Matthew dengan tatapan memerah penuh amarah kebencian. “Di mana hati kalian, menjadikan kehormatan seorang gadis untuk sebuah bahan permainan?”
Carlos mendekat, dan menarik dagu Nicole. Pemuda itu mendekatkan bibirnya ke bibir Nicole sambil berbisik, “Relaks, Nicole. Tidak perlu berlebihan. Permainanmu dengan Oliver cukup memuaskan. Suara desahanmu merdu. Andai saja aku yang ada dalam permainan itu, maka aku tidak akan membiarkanmu tidur sepanjang malam.”
“Berengsek!” Nicole memukul lengan kekar Carlos.
Carlos dan Matthew tertawa melihat kemarahan Nicole.
“Pergilah. Aku akan mengurusnya,” ucap Oliver dingin pada kedua temannya.
Carlos dan Matthew mengangkat bahu mereka. Kemudian, mereka menatap Oliver dan berkata bersamaan. “Baiklah, kami pergi dulu. Besok hadiahmu akan kami kirimkan.” Lalu, Carlos dan Matthew melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Nicole menatap Oliver dengan tatapan memerah, akibat tangis yang tak kunjung reda. Dia mendekat, dan menatap Oliver penuh kebencian. “Kau puas? Semoga kau bisa tidur nyenyak bersama hadiah yang kau dapatkan.”
“Tentu saja aku puas, aku mendapatkan dua kesenangan malam ini.” Oliver mendekat membelai pipi Nicole dengan dua jarinya.
Plakkk
Nicole menampar Oliver keras. Bahu gadis itu bergetar. Air matanya semakin mendera mendengar apa yang Oliver katakan padanya. Kilat matanya memancarkan jelas sebuah dendam dan kebencian mendalam.
Oliver menyentuh pipi kanannya, menatap dingin Nicole. “Berani sekali kau menamparku,” geramnya, menahan amarah dalam dirinya.
“Tamparan itu tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan, Oliver! Di mana hati nuranimu?! Kau tega menjadikan kehormatan seorang gadis, demi sebuah permainan!” teriak Nicole keras.
“Perempuan sepertimu itu dari luarnya saja naif, aku tahu kamu menikmati sentuhanku, jadi jangan munafik!” seru Oliver dingin.
Nicole menyeka air matanya dengan wajah penuh kemarahan. “Laki-laki sepertimu tidak akan pernah tahu, bagaimana hancurnya ketika dijadikan sebuah permainan Oliver Maxton, aku bukan barang yang bisa dijadikan barang taruhan!”
Nicole melangkah mundur menjauh dari Oliver. Matanya nampak nanar dan rapuh. Rasa sakit sangat jelas terpancar dari mata gadis itu. Tatapan Nicole sukses membuat Oliver bergeming di tempatnya tak berkutik sedikit pun.
“Selamat, Oliver Maxton. Kau telah menghancurkan hidupku. Mulai detik ini, aku tidak akan pernah mau lagi melihatmu apalagi menyebut namamu. Demi Tuhan, aku membencimu. Aku sangat membencimu!”
Nicole berlari pergi meninggalkan Oliver yang masih bergeming di tempatnya. Suara tangis gadis itu terdengar begitu menderita. Sorot mata Oliver terus menatap dalam dan dingin Nicole yang telah pergi. Entah kenapa hati Oliver terusik mendengar apa yang Nicole katakan padanya.
Beberapa tahun berlalu …
Nicole menatap jalanan perkotaan London. Mata Nicole begitu lemah di balik sikapnya yang tegar. Kepingan memori buruk akan masa lalu, muncul di pikirannya di kala wanita itu melihat hamparan kota London. Memori yang telah dia buang jauh-jauh, dan berharap tidak lagi bertemu dengan sosok pria yang menghancurkanya.
Mobil berhenti tepat di lampu merah. Banyak orang menyeberang lewat zebra cross. Namun, tiba-tiba di saat lampu hijau, sosok pria tak asing berada di dalam mobil, melewati Nicole. Sosok yang sangat tak asing di matanya.
“Tidak! Dia bukan pria berengsek itu!” Nicole terkejut dan buru-buru menepis pikirannya. Wanita cantik itu yakin bahwa apa yang dia lihat adalah salah. Dia menarik kembali pandangannya, dengan jantung yang kini berdebar tak karuan.
“Nona Nicole, adik Anda meminta pesta pernikahan diadakan di outdoor. Beliau tidak mau di gedung,” ujar Sadie—asisten Nicole—memberi tahu.Nicole mengembuskan napas kasar. “Menyusahkan saja. Cuaca mendung seperti ini, aku harus melihat lokasi di outdoor. Apa tidak ada pilihan wedding venue lain?” Raut wajah Nicole menunjukkan kekesalan. Jika adik tirinya memilih wedding venue di outdoor dalam kondisi cuaca yang tak bagus, maka itu sama saja menyusahkan dirinya.Sudah sembilan tahun Nicole meninggalkan kota London. Sebuah kota yang memang Nicole tak ingin lagi untuk ditinggali. Nicole mendatangi kota London, demi permintaan Shania—adik tirinya—yang memintanya menjadi wedding organizer di pernikahan adik tirinya itu. Dia sudah menolak, tapi ayahnya terus mendesaknya.Selama ini, Nicole tak pernah memiliki hubungan baik dengan adik tirinya. Sejak kepergian ibunya, Nicole cenderung lebih tertutup. Luka di masa lalu meninggalkan kesesakan baginya hingga membuatnya meninggalkan kota London.
Nicole tersenyum samar seolah tak mengenali Oliver. Wanita cantik itu memilih membuang pandangannya, tak mau sama sekali melihat ke arah Oliver. Yang dia rasakan seakan telah ditikam belati tajam dari belakang. Menyakitkan, namun dia akan bertahan menahan sesak ini.“Oh, astaga, Nicole. Kau temani Oliver lihat-lihat dulu wedding venue di sini, ya? Aku lupa tadi belum menghubungi sekretarisku.” Shania mengalihkan pandangannya, menatap Sadie. “Sadie tolong kau ambilkan brosur di marketing. Brosurku ketinggalan di kamarku. Aku lupa membawanya.” Lanjutnya lagi memberikan perintah.“Baik, Nona Shania.” Sadie segera pergi dari tempat itu, bersama dengan Shania yang meninggalkan tempat itu.Ya, kini hanya ada Nicole dan Oliver. Mereka sekarang saling melemparkan tatapan satu sama lain. Jika Oliver menatap Nicole dengan tatapan penuh arti, lain halnya dengan Nicole yang menatap Oliver dengan tatapan penuh kebencian dan amarah.“Maaf, aku harus pergi.” Nicole hendak meninggalkan tempat itu, na
Tubuh Nicole terperosot jatuh menyentuh lantai dengan derai air mata yang berlinang deras. Hatinya sesak luar biasa mengingat dirinya kembali bertemu dengan Oliver. Sembilan tahun Nicole pergi menjauh dari London, tapi kenapa dirinya harus kembali di pertemukan dengan pria itu? Luka di masa lalunya belum sembuh, dan sekarang sudah menambah luka baru.Hal yang tak pernah Nicole sangka adalah Oliver menjadi calon suami adik tirinya. Selama ini, Nicole memang sudah benar-benar meninggalkan kehidupannya di London. Termasuk tentang kehidupan keluarganya atau pun perusahaan keluarganya.Nicole menyeka air mata yang menetes jatuh di pipinya. Nicole memiliki harapan keinginan agar dirinya tak lagi bertemu dengan Oliver, tapi apa mungkin? Posisi Oliver saat ini adalah calon suami Shania. Dia ingin sekali kembali ke Swiss, dan membatalkan menjadi wedding organizer adik tirinya itu, tetapi semua itu tak mungkin. Ayahnya pasti akan marah padanya.Tak ada yang mengerti akan posisi Nicole. Pun kisa
Bibir Oliver menjelajah di atas bibir Nicole begitu lembut. Manisnya bibir Nicole membuat otak pria itu tak berfungsi dengan baik. Lidah bergerak erotis membelai mulut dalam Nicole. Suasana yang gelap gulita membuat pikiran mereka begitu pendek. Bagaikan hanyut dan tenggelam di lautan lepas. Mereka masih belum sadar. Namun, beberapa detik kemudian, kewarasan muncul di otak Nicole. Refleks, wanita itu mendorong tubuh Oliver bersaman dengan lampu gedung yang menyala.PlakkkkSebuah tamparan Nicole layangkan di pipi Oliver. Mata Nicole memerah hendak mengeluarkan air mata, tapi mati-matian dia menahan diri agar tak menangis. Bahu Nicole bergetar akibat rasa takut yang bercampur dengan amarah.“Berengsek! Beraninya kau mengambil kesempatan!” bentak Nicole keras dan kuat.Oliver menyentuh pipinya, dan menatap dingin Nicole. “Kalau kau tidak aku bungkam, kau akan terus berteriak-teriak seperti orang gila. Ini hanya mati lampu! Kau saja yang bertindak berlebihan!”Nicole menatap Oliver penu
Dua hari setelah kejadian di mana Oliver mencium Nicole—wanita itu memilih untuk menyendiri di kamar hotel. Dia sama sekali tidak keluar demi menenangkan segala hati dan pikirannya. Nicole ingin sekali melupakan kejadian itu, tapi yang ada malah dirinya terasa perih, seperti luka menganga terkena alkohol.Selama dua hari ini, Nicole menghindar dari Shania. Dia mengatakan sedang sibuk dengan project yang sekarang dijalaninya. Namun, tentu Nicole tak bisa terus menerus menghindar. Dia tetap memiliki tanggung jawabnya, yaitu project pernikahan adik tirinya. Andai saja dia bisa mengalihkan pekerjaannya pada asistennya, maka pasti dia akan melakukan itu. Sayangnya, hal tersebut hanya ada di dalam angannya.Nicole memejamkan mata singkat dan mengatur napasnya. Dua hari menyendiri, membuat perasaannya merasa jauh lebih baik. Menjauh dari orang-orang membuat ketenangan dalam hati dan pikirannya. Walau tak dipungkiri luka perih tetap masih terasa begitu sangat menyakitkan.Suara dering ponsel
Oliver duduk di kursi kebesarannya seraya mengetuk-ngetuk pelan meja kerjanya, dengan jemari kokoh pria itu. Beberapa detik, Oliver memejamkan mata singkat. Pria itu sedikit merasa lelah akibat pekerjaannya. Beberapa kasus yang harus Oliver tangani belakangan ini, membuatnya cukup menyita waktu dan perhatiannya.Sebagai seorang pengacara, Oliver memang kerap menangani kasus berat yang membuat kepalanya sedikit pusing. Selain itu, dia telah posisi penting di Maxton & Maxton Company—sebuah perusahaan firma ternama milik ayahnya.Oliver pernah memiliki niat untuk membuka perusahaan firma hukum sendiri, namun ayahnya melarang karena hanya Oliver yang memiliki pekerjaan sebagai pengacara menurun ayahnya. Sedangkan adik-adiknya, enggan berkecimpung dalam dunia hukum.“Tuan Oliver.” Vincent melangkah masuk ke dalam ruang kerja Oliver, setelah dia mengetuk pintu dua kali, namun tak digubris oleh Tuannya itu.Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Vincent yang kini ada di hadapannya. “Ada ap
“Sadie, hanya ini yang bisa kau berikan padaku?”Sadie menggaruk tengkuk lehernya. “Nona, Anda memberi tahu saya mendadak tadi malam. Jadi, saya belum menemukan banyak pilihan. Tadi ada beberapa foto yang saya berikan pada Anda, tapi malah Anda menolak.”Sadie dibuat pusing dengan tugasnya mencari kekasih bayaran satu malam. Bayangkan saja, dirinya baru mendapatkan tugas tadi malam, dan hari ini sudah harus dapat kekasih untuk bosnya. Pun Sadie belum banyak mendapatkan banyak pilihan. Ada sepuluh foto pria tampan, yang sudah dia berikan pada Nicole, namun sayangnya tak ada satu pun tang Nicole sukai.“Kau memilihkanku pria-pria yang badannya seperti Popeye. Bagaimana aku bisa menerima?” seru Nicole kesal sambil memijat kepalanya.Sadie meringis bingung. “Nona, badan mereka semua bagus. Mereka sering gym, Nona.”“Ini aneh, dan tidak gagah. Cobalah kau cari badannya yang seperti Oliver,” jawab Nicole asal bicara.“Hm? Maksud Anda Tuan Oliver Maxton?” Sadie sedikit terkejut mendengar apa
Ruangan gelap gulita, Oliver segera menyalakan lampu, dan membaringkan tubuh Nicole di atas ranjang secara perlahan. Detik selanjutnya, di kala baru saja Oliver ingin pergi—Nicole menarik tangan Oliver.“Kau mirip sekali dengan pria berengsek yang aku benci seumur hidupku,” racau Nicole dengan mata sayu. Alkohol telah benar-benar menguasainya, sampai wanita itu tak sadar telah berada di hotel oleh Oliver. Pun Nicole sama sekali tak menyadari akan apa yang dia katakan pada.Oliver tidak memiliki pilihan lain. Pria itu terpaksa membawa Nicole ke hotel. Dia tak mungkin membiarkan keluarga Tristan tahu, tentang Nicole yang mabuk berat. Jalan satu-satunya dia membawa wanita it uke hotel, menjauh dari banyak orang.Mendengar perkataan Nicole, membuat Oliver menolehkan kepalanya menatap dalam dan lekat Nicole. Pipi wanita itu merona merah, lalu berkata lagi, “Kau tahu? Hanya alkohol yang menjadi temanku di dunia ini, semua orang lainnya hanya bisa melukaiku.”Oliver terdiam mendengar ucapan
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela