Nicole belum sama sekali masuk ke dalam kamar. Raut wajah Nicole masih kesal, karena Oliver menolak permintaannya. Memangnya apa salahnya? Kalaupun hubungan Oliver sedang renggang dengan Marcel, tapi mereka adalah sepupu. Nicole yakin pasti Oliver dan Marcel akan segera berbaikan.“Menyebalkan sekali,” gumam Nicole menahan kesal. Nicole mengambil orange juice yang ada di atas meja, dan meminum perlahan. Dinginnya orange juice, membuat kepala Nicole yang panas, mulai sedikit mendingin. Akan tetapi tentu rasa kesal masih ada. “Nicole?” Joice yang baru saja tiba, menatap Nicole yang ada di ruang tengah. Wanita itu sedikit terkejut, karena sebelumnya dia berpikir kalau Nicole ada di kamar.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap Joice. “Joice? Kau sudah datang?” Senyuman muncul di wajah Nicole, di kala melihat Joice datang.Joice duduk di samping Nicole. “Iya, maaf aku baru datang.”Joice menepati janjinya untuk kembali menginap di mansion Oliver dan Nicole. Sebenarnya, Joice masih i
Sebuah gaun berwarna merah dengan model kemben begitu indah melekat di tubuh ramping Nicole. Rambut pirangnya terjuntai indah memukau. Riasan wajah dipadukan dengan lipstick berwarna merah begitu menyempurnakan penampilan Nicole malam itu. Manik mata abu-abu Nicole cerah, layaknya berlian indah. Nicole memiliki kulit yang putih layaknya porselen. Warna pakaian apa pun selalu cocok untuknya dan sangat sempurna.Ya, malam ini adalah malam di mana Nicole bersama dengan sang suami, akan mendatangi mansion milik kakek dan nenek suaminya itu. Undangan makan malam adalah hal yang wajib. Apalagi yang meminta adalah kakek Oliver yang terkenal sangat galak dan tegas.“Nicole?” Joice melangkah masuk ke dalam kamar.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap Joice yang begitu cantik dengan balutan gaun berwarna gold. Gaun yang dipakai Joice sangat seksi. Joice memang memiliki tubuh super model. Tak heran kalau profesi Joice adalah seorang model ternama.“Iya?” jawab Nicole hangat.Joice mendekat. “
Joice berpamitan pergi ke toilet di tengah-tengah orang yang tengah asik mengobrol. Meski sudah selesai makan malam, tapi semua orang tengah duduk bersantai sambil meminum wine. Tentunya sambil membahas tentang pekerjaan.Di toilet, Joice sedikit membasuh sedikit bagian matanya. Joice sedikit mengantuk, lebih tepatnya dia kurang bersemangat karena Marcel mengajak Penelope. Hati Joice sudah ditahan sekuat mungkin. Dia sudah berjanji pada Oliver untuk tak mendekati Marcel. Janjinya itu membuat hatinya benar-benar tersiksa.Joice ingin nekat berusaha mengajak Marcel berbicara, tapi sejak tadi mata Oliver mengawasinya, membuat Joice tidak bisa berkutik. Joice menghindari perdebatan dengan Oliver, karena berada di tengah-tengah keluarga Oliver. Bisa-bisa nanti Oliver tak akan lagi mengajaknya.Joice menatap cermin, memoles make-up tipis ke wajahnya. Meski make-up Joice masih on point, tetap saja Joice ingin tampil sempurna. Apalagi ada Penelope. Dia tak mau sampai kalah saing.Setelah sele
“Awww—” Joice meringis kesakitan di kala Shawn mengompres pergelangan tangannya yang merah, dan bengkak akibat cengkraman kuat Marcel tadi. Joice memang sama sekali tak mengeluh. Akan tetapi ringisan perih tak bisa tertutupi.“Sakit?” tanya Shawn seraya menatap Joice.“Sedikit,” jawab Joice pelan.Shawn mengambil salep luka lebam yang ada di kotak obat, dan mengoleskan ke pergelangan tangan Joice. “Tindakan Marcel termasuk dalam kekerasan. Kau bisa menuntut Marcel, dan memenjarakan Marcel untuk memberikannya pelajaran.”Joice menggelengkan kepalanya tegas. “Tidak, Shawn. Aku tidak mungkin menjebloskan Marcel ke penjara. Aku mencintai Marcel, Shawn.”Shawn mengembuskan napas kasar mendengar ungkapan cinta Joice untuk Marcel. “Kau tahu, Joice? Rasa cintamu yang berlebihan bisa membunuhmu perlahan.”Joice menekuk bibirnya. “Aku tidak peduli, Shawn. Yang terpenting bagiku adalah aku mencintai Marcel. Cintaku pada Marcel tidak akan pernah berubah. Dulu, sekarang, dan selamanya.”Marcel ada
Oliver menenggak vodka di tangannya hingga tandas. Raut wajah Oliver tampak menunjukkan jelas kemarahan dan emosi tertahannya. Sepulang dari jamuan makan malam, Oliver segera membawa Nicole dan Joice pulang. Meski Oliver sempat berdebat dengan Marcel, tapi kakek, nenek, dan kedua orang tuanya tak ada yang tahu sama sekali tentang hal tersebut. Tentu Oliver menjaga agar kedua orang tuanya serta kakek dan neneknya tak ada yang tahu tentang permasalahan ini.“Sayang?” Nicole melangkah masuk ke dalam ruang kerja Oliver.Oliver menatap Nicole dengan tatapan lekat. “Nicole, kenapa kau belum tidur?”Nicole duduk di pangkuan sang suami, membenamkan wajahnya di leher suaminya itu. “Aku tidak bisa tidur. Aku belum mengantuk, Sayang.”Oliver menarik tubuh Nicole, membenarkan posisi duduk sang istri. “Nicole, kau sedang hamil. Tidak baik tidur malam.”“Biarkan seperti ini, Sayang. Aku ingin duduk di pangkuanmu dan memelukmu.” Nicole menciumi leher Oliver lembut.Oliver tak bisa melarang kalau Nic
“Sayang, hari ini aku akan ke rumah Daddy-ku. Aku sangat merindukannya.” Nicole melangkah menghampiri Oliver yang tengah bersiap-siap ke kantor. Wanita cantik itu masih belum kembali aktif bekerja. Dia masih menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten pribadinya. Hamil muda membuatnya mendapatkan banyak larangan.“Nicole, hari ini aku harus bertemu dengan client-ku. Ada kasus berat yang sedang aku tangani. Aku tidak bisa menemanimu. Tapi nanti aku pasti akan menjemputku,” ucap Oliver sambil memberikan kecupan ke bibir sang istri.Nicole tersenyum hangat seraya melingkarkan tangannya di leher sang suami. “Aku menyetir sendiri saja. Aku akan pulang sore. Kau tidak usah mencemaskanku.”“Nicole, kau berangkat dengan sopir saja. Jangan sendiri,” ucap Oliver menekankan.Sejak di mana Nicole hamil, Oliver memang cenderung lebih overprotective. Pria tampan itu melarang Nicole melakukan hal berat. Lebih tepatnya, Oliver ingin Nicole ingin banyak beristirahat.Nicole menghela napas dalam. “Sayan
Mobil Joice sudah bergerak-gerak tak beraturan. Berkali-kali Joice nyaris ingin menabrak. Beruntung, Joice mampu mengendalikan mobilnya. Entah sampai kapan Joice mampu mengendalikan mobilnya. Dia ingin menabrak ke sisi kiri, tapi posisinya tak memungkinkan. Jika menabrak ke sisi kanan pun tak memungkinkan.Joice nyaris putus asa. Dalam hati, Joice tak mempermasalahkan jika dirinya terluka. Namun, Joice tentu tak ingin orang lain terluka karenanya. Dia sampai menekan klakson berkali-kali agar tidak ada orang yang melewatinya. Orang di luar pasti tidak tahu, dan beranggapan kalau Joice sudah tak waras menekan klakson berkali-kali.Joice tampak berpikir sejenak. Akhirnya dia memutuskan menginjak pedal gas, dan menyingkir dari jalan raya yang kerap di lalui banyak orang. Entah apa yang terjadi padanya. Yang penting Joice tak mencelakai orang lain.“Lebih baik aku mencoba menghubungi Marcel lagi. Mungkin saja sekarang dia mau menjawabku,” gumam Joice yang memutuskan untuk kembali mencoba m
“Selamat malam, Tuan Oliver.” Seorang pelayan menyapa Oliver yang baru saja tiba di rumah. Di luar cuaca hujan, dan Oliver pulang sedikit terlambat karena harus mengurus kasus yang tengah ditanganinya.Oliver mengangguk singkat membalas sapaan sang pelayan. “Di mana istriku?”“Nyonya ada di kamar, Tuan,” jawab sang pelayan sopan.“Joice pulang ke sini, kan?” tanya Oliver lagi.“Iya, Tuan. Nona Joice pulang ke sini. Beliau sekarang berada di kamarnya,” jawab sang pelayan memberi tahu.Oliver kembali mengangguk. “Aku akan masuk ke dalam.”“Baik, Tuan. Silakan.” Pelayan itu mempersilakan Oliver.Tanpa berkata, Oliver segera masuk ke dalam kamarnya. Pria itu melirik arloji sekilas—waktu menunjukkan pukul delapan malam. Di jam seperti ini biasanya sang istri belum tidur.“Nicole?” Oliver melangkah masuk ke dalam kamar, mendapati Nicole tengah duduk di ranjang sambil membaca buku.“Sayang? Kau sudah pulang?” Nicole turun dari ranjang, melangkah menghampiri Oliver.“Maaf aku pulang terlambat