Luna mencoba mencocokkan alamat dengan apartemen tua di depannya. Apartemen yang sebenarnya sudah layak direnovasi karena banyak kerusakan di sana-sini.
Luna tak habis fikir, Jim bukannya orang miskin, dia adalah anak orang kaya yang memiliki perusahaan media cetak ternama di Indonesia. Tapi laki-laki itu bagaikan siput yang lebih memilih bersembunyi dengan dunianya sendiri dan menutup diri dari dunia luar.
Tanpa ragu, Luna mengetuk pintu kayu yang dipenuhi tempelan pesan menggunakan kertas yang sudah di tulis. Artinya, siapa yang berkepentingan dengan pria itu, dia lebih memilih berbicara lewat tulisan dari pada menunggu Jim keluar dari sarangnya.
Beberapa detik kemudian pintu terbuka, seorang pria tinggi menjulang dengan rambut berantakan dan kacamata minus sedikit kaget memandangnya. Tentu saja, bahkan laki-laki itu tak layak disebut suami.
"Boleh aku masuk?" Luna tak menunggu persetujuan Jim. Pria itu pun tak punya daya untuk melarang saat wanita yang berstatus istrinya langsung masuk tanpa menunggu jawabannya.
Hal pertama yang didapati Luna adalah ruangan berantakan dengan kertas berserakan. Sisa kaleng makanan instan serta tumpahan cat yang sudah menetes ke lantai. Luna sampai tak mampu berkata-kata, pemandangan ini membuat suasana hatinya semakin kacau.
"Duduklah di sini." Jim memberikan sebuah kursi kerja yang warnanya sudah memudar.
Luna duduk setelah menepuk-nepuk kursi itu menghalau debu yang melekat. Laki-laki itu, terlihat matang dan dewasa dengan bulu yang memenuhi pipi dan dagunya. Dia masih Jim yang dulu. Misterius.
"Bagaimana kabarmu?" Luna memulai pembicaraan.
"Seperti yang kau lihat."
"Aku tak ingin kita berbasa-basi, aku mohon! Mari kita akhiri pernikahan kita yang tak sehat ini. Aku sudah menyiapkan dokumennya, kau tinggal tanda tangan."
Luna menyerahkan map itu beserta sebuah pena. Mata di balik kacamata minus itu menatapnya dingin.
"Apa ini?"
"Surat gugatan cerai."
Srakk...! Bunyi robekan terdengar jelas berasal dari dokumen yang baru saja di berikan Luna.
"Apa yang kau lakukan?" Luna menggertakkan giginya emosi.
"Tak ada perceraian." Jim membuka kaca matanya dan memandang Luna dingin.
"Hentikan tingkah gilamu! Aku sudah cukup sabar selama lima tahun ini. Jangan menambah bebanku, banyak hal yang aku pikirkan sampai aku serasa mau gila."
"Sekali lagi, tidak akan pernah ada perceraian, apa kau mengerti?"
Luna memijit keningnya lelah. Laki-laki itu, masih saja seenaknya.
"Aku masih bisa mencetak surat itu, walaupun seribu kali kau merobeknya."
"Luna!" Jim membentak.
"Lepaskan aku! Aku lelah dengan semua ini. Kau dan aku adalah orang asing. Dan kau bahkan tak pernah memperlakukan aku layaknya sebagai seorang istri. Apa ada di dunia ini orang sepertimu? Menikah dan tak pernah pulang untuk sekedar berpamitan." Luna mengeluarkan semua kemarahannya.
"Kau tak mengerti. Dan takkan mengerti."
"Aku tak ingin lagi mengerti saat ini. Kita bercerai, titik." Luna meraih tasnya, namun langkahnya terhalang saat laki-laki itu merentangkan tangan di depan pintu.
"Aku sudah bilang, takkan ada perceraian. Sekarang, tunggu aku lima menit, aku akan ikut pulang ke apartemen bersamamu."
"Apa?" Luna memucat. "Aku ke sini bukan menjemputmu, tapi meminta cerai."
"Lima menit. Aku akan mandi secara kilat."
Luna hanya menganga dengan pria aneh di depannya.
Siapa yang tak sebal dianggap bagaikan sebuah lelucon oleh suami yang bahkan tak layak disebut suami. Dia tak menyangka idenya akan berakhir begini. Dalam hayalannya, Jim akan menandatangani surat perceraian itu dengan senang hati dan berterimakasih kepadanya karena telah berinisiatif membatalkan status pernikahan mereka.Melihat sikap laki-laki itu, Luna tau persis Jim tak menyukainya. Luna pun tak berharap akan disukai oleh Jim, buktinya walaupun dia ditinggalkan laki-laki itu, dia tak merasa apa-apa, dia malah bersyukur kerena dia juga tak menginginkan pernikahan ini. Dia hidup dengan baik selama lima tahun ini, tak ada yang berubah, masih sama seperti sebelum menikah.Tapi bagaimana bisa Jim malah menolak untuk bercerai? Bahkan laki- laki itu membawa kopernya dan laptop kesayangannya ke apartemen Luna. Dia bertingkah masa bodoh dan
Luna mendapati apartemen dalam ke adaan gelap. Bahkan jendela masih dibiarkan terbuka. Bukan tak ada orang di rumah, buktinya sepatu lusuh kesayangan Jim masih tergeletak pasrah berceceran di ambang pintu masuk. Luna menghela nafas, menata sepatu itu ke rak sepatu yang sudah disediakan di dekat pintu masuk. Lalu kakinya yang dibalut celana kulot bewarna coklat itu melangkah menuju kontak lampu yang berada di dinding.Ruangan apartemen akhirnya terang benderang, namun Luna hanya menghela nafasnya melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Kulit kacang berserakan di atas meja di depan televisi serta botol minuman yang sudah kosong. Padahal apartemen kecil itu ditinggalkan Luna dalam keadaan rapi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan manusia aneh alias Jim.Luna melempar tas kecilnya ke atas sofa lalu mengumpulkan kulit kacang dan botol i
Luna baru saja membuka jilbabnya saat pintu kamarnya digedor tak sabaran. Mau tak mau Luna meraih jilbab itu kembali dan memasang asal di atas kepalanya. Luna membuka pintu sambil berdecak kesal, namun kekesalan tidak berlangsung lama saat Luna mendapati kondisi Jim yang memprihatinkan.Keringat sebesar biji jagung ke keluar dari pori-porinya, nafasnya sesak dan berdiri sempoyongan. Jim berusaha menopang tubuhnya dengan bersandar ke daun pintu kamar milik Luna."Tolong! Tolong antarkan aku ke rumah sakit." Jim kesusahan menata nafas, tangannya masih berada di bagian perutnya."Tunggu sebentar!" Ujar Luna cukup kaget, dia berlari menuju meja kerjanya dan meraih kunci mobil dari sana. Luna membantu Jim untuk berjalan menuju lift, laki-laki itu hanya menurut, sesekali terdengar erangan sa
Luna bergerak gelisah di atas ranjang berseprai putih miliknya. Sungguh, matanya tidak bisa diajak bekerja sama. Dia mencoba merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya selama dua puluh empat jam ini.Mendatangi Jim dengan tujuan mengakhiri pernikahan mereka tapi malah membuat laki-laki itu tinggal bersamanya. Rasanya semua ini tak masuk akal baginya. Selama ini mereka hidup dalam sandiwara, tiba saatnya episodenya dengan Jim harus berakhir, tapi kenapa semua malah dimulai dari awal lagi? Membawa Jim ke apartemen hanya akan membuat semuanya kembali rumit bagi mereka.Luna tau, Jim dan dirinya bernasib sama. Ingin terlepas dari kekangan keluarga yang selalu memiliki aturan yang tidak masuk akal. Luna bahkan jarang pulang ke rumah orang tuanya. Karena jika dia bertemu orang tuanya, temanya tak jauh-jauh dari kata 'mami ingin cucu', me
Luna memijit kepalanya lelah. Matanya memandang Mike dengan putus asa. Mike adalah teman sekaligus bawahannya, laki-laki itu adalah teman berbicara selama ini dalam soal pekerjaan, tapi Luna jarang membicarakan hal pribadi dengan laki-laki itu."Aku harus mencari kemana lagi, bahkan hutang perusahaan belum terbayar sampai saat ini, bunga terus berjalan setiap bulannya." Luna mengusap tepi cangkir tehnya. Saat ini mereka tengah duduk di ruangan Luna.Sebenarnya sudah waktunya pulang, tapi mereka terus berfikir keras untuk melanjutkan perusahaan kecil yang dilanda krisis karena buruknya ekonomi di negara saat ini."Kau adalah orang yang paling tidak bisa dimengerti, kalau aku jadi kau, aku lebih memilih meneruskan perusahaan ayahku yang sudah berkembang sangat pesat."
Malam merangkak larut, waktu malam adalah waktu yang sangat ditunggu semua orang untuk beristirahat, menjemput mimpi dan melepas lelah.Luna sudah terlelap, memeluk guling dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Menyisakan gaun tidur yang memamerkan kemolekan tubuhnya. Jim tak ingin matanya menjelajah kurang ajar. Kondisinya saat ini tidak cocok untuk berfikir ke arah sana. Saat ini, dia ibarat tengah menunggu musuh, lalai sedikit saja maka dia akan mati.Keributan beberapa jam lalu berubah senyap. Hanya Jim satu-satunya yang masih memaksa dirinya untuk tak menyerah melawan kantuk. Dan rasanya ... Sangat menyedihkan.Jim bahkan bisa merasakan suara nafasnya sendiri yang bersaing dengan denting kecil suara jarum jam di dinding kamar Luna. Alangkah beruntungnya menjadi mereka, bisa meni
Luna hanya terpekur dengan pemikirannya sendiri. Banyak hal yang tak terduga yang terjadi akhir-akhir ini, dan Luna hanya bisa pasrah menjalaninya walau dengan berat hati.Hal yang paling ingin cepat di selesaikannya adalah perceraian dengan Jim, tapi, belum selesai ke ruwetannya dengan pria itu, ke dua keluarga malah mulai ikut campur menyatukan mereka kembali.Luna bukannya goyah, apa pun yang terjadi, perceraian dengan Jim adalah sebuah keharusan. Tak ada alasan bagi mereka untuk meneruskan pernikahan yang dari awal tidak harus terjadi.Luna mencoba menggeser tubuh Jim dari dirinya, namun cengkaraman kuat menghentikan gerakan Luna. Jim bergayut bagaikan balita yang ketakutan.Akhirnya, Luna hanya bisa pasrah sambil membenarkan posisi tidurnya walaupun harus mendekap laki-laki itu.Rasanya sangat lucu, dan seperti panggung sandiwara. Kehadiran Jim di apartemen memb
Luna memutuskan pulang lebih awal ke apartemennya. Kondisinya tidak sehat, kepalanya berdenyut sakit. Yang Luna butuhkan saat ini adalah berendam air hangat dan merbahkan diri di tempat tidur.Luna mendorong pintu yang tak terkunci, saat bunyi sepatunya menggema, saat itu pula pintu kamar Jim terbuka. Seperti biasa, wajah datar misterius tanpa senyum."Kau sudah makan siang?" Luna meletakkan tasnya di atas sofa sambil memijit kepalanya yang berdenyut sakit."Sudah, delivery," jawabnya datar tapi matanya mengamati Luna."Aku tak sempat memasak." Luna tidak tau kenapa dia harus peduli dengan laki-laki itu."Tidak masalah." Jim duduk di samping Luna. Hatinya bahagia bisa bertemu lebih cepat dari seharusnya dengan Luna. "Kau sakit?""Hanya sakit kepala, mungkin karena banyak yang aku pikirkan akhir-akhir ini."Jim diam, dia tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik."Maaf, semalam merepotkanmu."Luna melirik Jim
Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang
Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang
Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan
Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia
"Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa
Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men
Luna menggenggam tangannya sendiri dengan resah. Jika tadi hatinya merasa tak sabar ingin berjumpa dengan Jim untuk menanyakan tentang Irene, saat ini dia malah ragu dan berniat membatalkan keinginan tahuannya itu. Jim yang dari tadi mengamatinya dalam diam angkat bicara."Ada apa, Lun? Kau terlihat gelisah."Luna tersentak sedikit, kemudian menggeleng lemah."Tidak.""Aku melihat ada sesuatu yang mengganggu pemikiranmu."Luna menghela nafasnya panjang."Ibumu berniat membawamu ke rumahnya setelah kau diperbolehkan pulang." Luna mengutarakan salah satu yang mengganjal di hatinya."Aku tau. Dan keputusan tetap di tanganku.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku tak ingin membuatmu menjadi tidak terurus di apartemenku karena aku sibuk. Jadi, demi ketenangan ibumu, mungkin untuk sementara kau tinggal saja di sana, sampai kau sembuh, aku lelah dengan pertengkaran panjang ini, hubungan ku dengan ibumu semakin memburuk. Mungkin dengan kau menurutinya dia akan sedikit berubah padaku."Jim terdiam
Semua yang berada di dalam ruangan itu berkomunikasi dengan canggung. Marta sesekali hanya menimpali pembicaraan mami Luna dengan kaku walaupun mami Luna sudah berusaha mencairkan suasana. Hanya ayah Jim dan papi Luna yang terlihat tak terpengaruh dengan atmosfer kaku di dalam ruangan itu.Luna memang sengaja menelpon mertua dan orang tuanya untuk mengabari kondisi Jim yang sedang di tangani di ruangan operasi. Awalnya Marta mengucapkan banyak kalimat protes dan hanya diabaikan oleh Luna."Jadi, bagaimana langkah selanjutnya," tanya mami Luna yang langsung pada inti permasalahannya setelah ibu Jim tak berhenti mengoceh menyalahkan Luna atas keadaan yang menimpa Jim."Kami akan membawa anak kami pulang ke rumah." Nada ketus begitu kentara pada nada suara Marta, wanita yang masih menyisakan kecantikan masa muda itu sekilas melirik Luna yang tengah bersandar di sofa di ruangan perawatan. Jim masih belum sadar dari efek biusnya."Saya rasa mbak Marta harus berkomunikasi dulu dengan Jim."
Tak butuh lama bagi Luna untuk mendapatkan ambulan. Setelah sempat mengemasi beberapa pakaian Jim, tidak berselang lama ambulan datang. Dua orang petugas medis sudah siap siaga membawa tandu dan membopong Jim.Jim sempat bimbang dan minta pendapat pada Luna lewat sorot matanya, namun Luna menggenggam tangannya erat dan meyakinkan Jim bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.Sekitar dua puluh menit, mereka sampai di rumah sakit yang cukup besar dan terkenal di Jakarta ,Jim langsung dibawa ke UGD untuk melakukan serangkaian pemeriksaan darurat. Salah satunya adalah pemeriksaan mata yang berguna untuk menunjukkan adanya pembengkakan pada saraf optik. Dokter laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu memandang Luna."Kita harus lakukan ST Scan dan dilanjutkan dengan MRI scan supaya saraf-saraf yang bermasalah terlihat jelas.""Lakukan yang terbaik, Dok." Luna menjawab dengan mantap, semangat tangan kiri Jim terus saja memegangi jemari Luna.Jim digiring ke ruangan khusus, dan Luna ha