Malam merangkak larut, waktu malam adalah waktu yang sangat ditunggu semua orang untuk beristirahat, menjemput mimpi dan melepas lelah.
Luna sudah terlelap, memeluk guling dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Menyisakan gaun tidur yang memamerkan kemolekan tubuhnya. Jim tak ingin matanya menjelajah kurang ajar. Kondisinya saat ini tidak cocok untuk berfikir ke arah sana. Saat ini, dia ibarat tengah menunggu musuh, lalai sedikit saja maka dia akan mati.
Keributan beberapa jam lalu berubah senyap. Hanya Jim satu-satunya yang masih memaksa dirinya untuk tak menyerah melawan kantuk. Dan rasanya ... Sangat menyedihkan.
Jim bahkan bisa merasakan suara nafasnya sendiri yang bersaing dengan denting kecil suara jarum jam di dinding kamar Luna. Alangkah beruntungnya menjadi mereka, bisa meni
Luna hanya terpekur dengan pemikirannya sendiri. Banyak hal yang tak terduga yang terjadi akhir-akhir ini, dan Luna hanya bisa pasrah menjalaninya walau dengan berat hati.Hal yang paling ingin cepat di selesaikannya adalah perceraian dengan Jim, tapi, belum selesai ke ruwetannya dengan pria itu, ke dua keluarga malah mulai ikut campur menyatukan mereka kembali.Luna bukannya goyah, apa pun yang terjadi, perceraian dengan Jim adalah sebuah keharusan. Tak ada alasan bagi mereka untuk meneruskan pernikahan yang dari awal tidak harus terjadi.Luna mencoba menggeser tubuh Jim dari dirinya, namun cengkaraman kuat menghentikan gerakan Luna. Jim bergayut bagaikan balita yang ketakutan.Akhirnya, Luna hanya bisa pasrah sambil membenarkan posisi tidurnya walaupun harus mendekap laki-laki itu.Rasanya sangat lucu, dan seperti panggung sandiwara. Kehadiran Jim di apartemen memb
Luna memutuskan pulang lebih awal ke apartemennya. Kondisinya tidak sehat, kepalanya berdenyut sakit. Yang Luna butuhkan saat ini adalah berendam air hangat dan merbahkan diri di tempat tidur.Luna mendorong pintu yang tak terkunci, saat bunyi sepatunya menggema, saat itu pula pintu kamar Jim terbuka. Seperti biasa, wajah datar misterius tanpa senyum."Kau sudah makan siang?" Luna meletakkan tasnya di atas sofa sambil memijit kepalanya yang berdenyut sakit."Sudah, delivery," jawabnya datar tapi matanya mengamati Luna."Aku tak sempat memasak." Luna tidak tau kenapa dia harus peduli dengan laki-laki itu."Tidak masalah." Jim duduk di samping Luna. Hatinya bahagia bisa bertemu lebih cepat dari seharusnya dengan Luna. "Kau sakit?""Hanya sakit kepala, mungkin karena banyak yang aku pikirkan akhir-akhir ini."Jim diam, dia tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik."Maaf, semalam merepotkanmu."Luna melirik Jim
Luna melotot ke arah Jim. Laki-laki itu sudah menguasai separoh dari ranjangnya. Luna tak berdaya mengusir suaminya itu saat ini.Jim belum memejamkan matanya, tapi memandang Luna dengan tenang. Dia tau Luna sedang kesal saat ini, tapi Jim memilih tak begitu peduli."Jim." Luna bangkit dan duduk di ranjang sambil memandang Jim lelah. Dia harus membuat kesepakatan dengan laki-laki itu."Kita harus menyepakati beberapa hal. Termasuk dengan keinginanmu untuk tidur di kamarku. Demi tuhan, Jim. Ini tidak seharusnya terjadi, kita akan bercerai, bercerai Jim."Jim tampak santai dan menguasai dirinya dengan baik."Perceraian takkan terjadi tanpa kesepakatan kedua belah pihak. Dan aku memutuskan melanjutkan pernikahan ini.""Jim, jangan aneh-aneh. Aku tak ingin lagi terikat denganmu. Ide untuk tidur bersama demi kau mendapatkan tidur nyenyakmu, sungguh tak masuk akal."Jim diam saja. Dia tak membantah dan tidak menyetujui. Luna hanya membuang nafas menahan emosi dan kekesalannya pada pria itu.
Luna mendorong Jim dengan kuat, mengusap sisa saliva yang menempel di bibirnya. Mata memandang garang pada Jim yang memancarkan tatapan gelap. Luna merasa Jim sudah kelewatan batas kali ini."Apa yang kau lakukan?" Luna mendesis tak terima. Sedangkan Jim berubah gusar."Maaf, aku hanya ingin mencoba.""Ini bukan lelucon, Jim. Setidaknya kau menghargai niat baikku untuk membantumu.""Maafkan aku! Aku takkan mengulanginya lagi."Luna menghela nafas mengusir kesal yang masih bercokol di hatinya."Tak ada sentuhan, Jim. Kita akan bercerai, itu yang harus kau ingat. Aku bahkan tak bisa menolak permohonanmu untuk se kamar denganku,""Maafkan aku!""Bekerja samalah, Jim. Aku akan mengizinkanmu untuk tidur di sini jika kau bisa menjaga batas." Luna bangkit, menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Di depan kaca yang kabur itu, Luna mengusap wajahnya. Apa yang dilakukan Jim membuatnya sangat kaget. Dia tak pernah menduga laki- laki itu memiliki sesuatu yang berbahaya, dia bahkan tak menungg
Luna bangun pagi-pagi sekali. Dia menyempatkan membaca bahan yang akan dipresentasikannya pagi ini. Setelah shalat subuh, wanita pendiam itu menyediakan sarapan seadanya, hanya sandwich sederhana tanpa daging diganti telur dan banyak sayuran.Sejak adanya Jim di apartemen ini, Luna merasa tanggung jawabnya bertambah. Laki-laki itu akan menghabiskan hidupnya dengen mie instan jika perutnya lapar.Dua sandwich sederhana itu sudah tertata di atas meja makan. Dua gelas susu dan dua gelas air putih. Luna melirik pintu kamar Jim. Pria itu sudah pindah ke kamarnya sendiri jam empat pagi.Tak menunggu lama, Jim keluar dengan tampilan yang membuat kening Luna berkerut. Pria yang biasanya berantakan itu, sekarang memakai jas lengkap ala direktur perusahaan, rambut tersisir rapi dan kaca mata minus yang yang bertengger pas di matanya.Jim meraih kursi didepan Luna, menghabiskan sarapannya dengan lahap dan cepat."Kau mau ke mana?""Ke PT Aluna Jaya." Dia menjawab santai."Itu perusahaanku." Lun
Luna mendorong Jim dengan kasar, menangkap tangan kekar yang mulai menyentuh penasaran. Geraman Jim berhenti dan dia terlonjak mundur ke belakang."Apa-apaan kamu, Jim?" Luna mengusap bibirnya dan menjauh dari pria itu."Aku mencintaimu," ulangnya kembali. Hampir menangis.Luna malah menggeleng, pernyataan itu tak lagi dibutuhkannya."Terlambat, Jim. Seharusnya kau katakan lima tahun lalu, pasti aku berusaha membalas cintamu. Terlambat, Jim. Sangat terlambat." Luna menaiki ranjang, menarik selimut menutupi kakinya. Mereka tak bisa untuk terus bermain-main.Jim masih terengah-engah dengan mata berbinar gelap. Dia kesusahan menata nafasnya sendiri. Dia bersandar ke daun pintu milik Luna sambil menatap putus asa.Luna memandang Jim dingin," malam ini dan seterusnya, kau tak ku izinkan menumpang di kamarku. Pergilah ke kamarmu sendiri," ketus Luna.Jim tergagap, matanya membelalak tak percaya. Kepanikan langsung melanda pria itu."Lun...,""Itu pintu keluarnya. Aku tak perlu mengantarmu b
Luna bertempur dengan waktu, suara pekikan minta tolong itu sukses membangunkan sebagian besar penghuni apartemen. Tanpa menunggu lama, salah seorang dari tetangga beda lantai itu membawa Jim ke rumah sakit.Luna mendekap Jim yang bersimbah darah, dia masih bernafas walaupun lemah. Luna tak peduli lagi dengan baju tidur yang sudah memerah basah terkena darah laki laki itu. Laki-laki ini selalu penuh kejutan, selama ini hidup Luna stabil dan baik-baik saja, tapi sejak kedatangan Jim kembali ke apartemen Luna, semua menjadi kacau dan tak terkendali."Lebih cepat, Mas. Lebih cepat." Luna hampir menjerit, terlambat sedikit saja laki-laki itu akan kehabisan darah. Luna tak pernah sepanik ini, ini sangat menegangkan, bagaimana jika laki-laki ini tak tertolong, apa yang akan dikatakan Luna kepada keluarganya nanti? Bagaimana Luna bisa menjelaskan pada semua orang bahwa dia tak mengerti dengan laki-laki ini, banyak pertanyaan dalam hati luna, bagaimana gaungan lebah yang tak bisa dijelaskan.
Hari ke-3Luna menopang dagunya dengan tangannya. Menatap lurus pada Jim yang masih belum membuka mata.Tiga hari, tiga hari pasca operasi, Jim belum juga bangun dari komanya. Perdarahan otak yang dialaminya sangat serius. Belum lagi patah tulang leher yang mengharuskan Jim memakai gips untuk beberapa bulan.Dokter tak berani menjamin keberhasilan operasi ini. Semuanya tergantung izin Yang Maha Kuasa dan keajaiban.Luna menatap Jim dengan nanar, sungguh! Laki-laki itu tak pernah dipahaminya. Dia bagaikan teka-teki yang sangat rumit. Emosi yang cendrung berubah dalam hitungan detik. Serta pemikiran yang tak terduga. Masih segar diingatan Luna, bagaimana laki-laki itu terkapar bersimbah darah dengan helaan nafas yang mulai melemah. Bahkan sebelum itu mereka masih sempat bermesraan secara kilat. Beberapa hari Jim memang berubah, dia sedikit menampakkan perhatian dan pendekatan pada Luna. Bahkan dia mulai menunjukkan sifat terbuka terhadap perasaannya. Namun, Luna tak bisa dengan mudah
Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang
Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang
Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan
Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia
"Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa
Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men
Luna menggenggam tangannya sendiri dengan resah. Jika tadi hatinya merasa tak sabar ingin berjumpa dengan Jim untuk menanyakan tentang Irene, saat ini dia malah ragu dan berniat membatalkan keinginan tahuannya itu. Jim yang dari tadi mengamatinya dalam diam angkat bicara."Ada apa, Lun? Kau terlihat gelisah."Luna tersentak sedikit, kemudian menggeleng lemah."Tidak.""Aku melihat ada sesuatu yang mengganggu pemikiranmu."Luna menghela nafasnya panjang."Ibumu berniat membawamu ke rumahnya setelah kau diperbolehkan pulang." Luna mengutarakan salah satu yang mengganjal di hatinya."Aku tau. Dan keputusan tetap di tanganku.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku tak ingin membuatmu menjadi tidak terurus di apartemenku karena aku sibuk. Jadi, demi ketenangan ibumu, mungkin untuk sementara kau tinggal saja di sana, sampai kau sembuh, aku lelah dengan pertengkaran panjang ini, hubungan ku dengan ibumu semakin memburuk. Mungkin dengan kau menurutinya dia akan sedikit berubah padaku."Jim terdiam
Semua yang berada di dalam ruangan itu berkomunikasi dengan canggung. Marta sesekali hanya menimpali pembicaraan mami Luna dengan kaku walaupun mami Luna sudah berusaha mencairkan suasana. Hanya ayah Jim dan papi Luna yang terlihat tak terpengaruh dengan atmosfer kaku di dalam ruangan itu.Luna memang sengaja menelpon mertua dan orang tuanya untuk mengabari kondisi Jim yang sedang di tangani di ruangan operasi. Awalnya Marta mengucapkan banyak kalimat protes dan hanya diabaikan oleh Luna."Jadi, bagaimana langkah selanjutnya," tanya mami Luna yang langsung pada inti permasalahannya setelah ibu Jim tak berhenti mengoceh menyalahkan Luna atas keadaan yang menimpa Jim."Kami akan membawa anak kami pulang ke rumah." Nada ketus begitu kentara pada nada suara Marta, wanita yang masih menyisakan kecantikan masa muda itu sekilas melirik Luna yang tengah bersandar di sofa di ruangan perawatan. Jim masih belum sadar dari efek biusnya."Saya rasa mbak Marta harus berkomunikasi dulu dengan Jim."
Tak butuh lama bagi Luna untuk mendapatkan ambulan. Setelah sempat mengemasi beberapa pakaian Jim, tidak berselang lama ambulan datang. Dua orang petugas medis sudah siap siaga membawa tandu dan membopong Jim.Jim sempat bimbang dan minta pendapat pada Luna lewat sorot matanya, namun Luna menggenggam tangannya erat dan meyakinkan Jim bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.Sekitar dua puluh menit, mereka sampai di rumah sakit yang cukup besar dan terkenal di Jakarta ,Jim langsung dibawa ke UGD untuk melakukan serangkaian pemeriksaan darurat. Salah satunya adalah pemeriksaan mata yang berguna untuk menunjukkan adanya pembengkakan pada saraf optik. Dokter laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu memandang Luna."Kita harus lakukan ST Scan dan dilanjutkan dengan MRI scan supaya saraf-saraf yang bermasalah terlihat jelas.""Lakukan yang terbaik, Dok." Luna menjawab dengan mantap, semangat tangan kiri Jim terus saja memegangi jemari Luna.Jim digiring ke ruangan khusus, dan Luna ha