Share

Tiga

Author: Gleoriud
last update Last Updated: 2021-10-19 20:54:17

Siapa yang tak sebal dianggap bagaikan sebuah lelucon oleh suami yang bahkan tak layak disebut suami. Dia tak menyangka idenya akan berakhir begini. Dalam hayalannya, Jim akan menandatangani surat perceraian itu dengan senang hati dan berterimakasih kepadanya karena telah berinisiatif membatalkan status pernikahan mereka.

Melihat sikap laki-laki itu, Luna tau persis Jim tak menyukainya. Luna pun tak berharap akan disukai oleh Jim, buktinya walaupun dia ditinggalkan laki-laki itu, dia tak merasa apa-apa, dia malah bersyukur kerena dia juga tak menginginkan pernikahan ini. Dia hidup dengan baik selama lima tahun ini, tak ada yang berubah, masih sama seperti sebelum menikah.

Tapi bagaimana bisa Jim malah menolak untuk bercerai? Bahkan laki- laki itu membawa kopernya dan laptop kesayangannya ke apartemen Luna. Dia bertingkah masa bodoh dan tak peduli.

"Dimana kamarku?" Jim meletakkan kopernya di ruang tamu, sambil melirik dua pintu yang merupakan kamar di apartemen ini.

"Aku belum menyetujuimu untuk tinggal bersamaku di apartemen ini." Luna bersidekap memandang Jim kesal.

Jim tak peduli, dia membuka gagang pintu di depannya dan langsung melihat kamar Luna. Kamar yang di dominasi oleh warna putih yang menggambarkan orangnya yang suka menyendiri.

"Ini kamarmu?" Jim memandang Luna datar.

"Jim!" Luna setengah membentak memberi peringatan.

"Kalau begitu, ini kamarku." Jim membuka pintu kamar yang satunya lagi. Masuk ke dalam tanpa mempedulikan Luna yang menahan marah.

"Jim, kenapa kau selalu seenaknya padaku? Aku ingin kita bercerai, Jim. Bukannya rujuk." Luna berusaha mengontrol emosinya.

"Barang-barangmu akan ku atur sendiri, supaya tidak terlalu sempit." Dia mengoceh tak peduli.

"Hentikan! Aku sudah lelah dengan ke pura-puraanmu, kita bercerai saja."

"Takkan ada perceraian."

Berikutnya, Luna hanya bisa menganga saat pintu kamar yang berfungsi sebagai ruang kerjanya itu tertutup di depan mukanya. Apa yang harus Luna lakukan pada pria itu.

*****

Luna memandang jalanan kota dari kaca kafe, memandang para pejalan kaki yang berjalan santai di trotoar. Mereka rata-rata adalah pekerja kantoran yang lebih memilih berjalan ke beberapa meter menuju halte, sore adalah kondisi yang sangat menyebalkan di ibu kota. Dari pada membawa kendaraan sendiri lebih baik menggunakan ojek online.

Luna menopang dagunya. Tak bisa di deskripsikan perjalanan hidupnya. Hidup sebagai anak orang kaya bukan berarti akan bahagia. Contohnya dia dan Jim, mereka tak lepas dari kebiasaan perjodohan dengan alasan menjalin kembali hubungan pertemanan kedua orang tua mereka. Bahkan, mereka tak diberi kesempatan untuk mengatakan tidak.

Masih jelas di mata Luna. Peristiwa Lima tahun yang lalu, ucapan sakral dua orang laki-laki itu terngiang di telinganya. Jim tetap memaksakan ijab Kabul tanpa banyak bicara. Laki-laki itu bahkan tak terlalu menampakkan sikap menolak. Tapi ternyata, sehari setelah pernikahan mereka, Jim pergi tanpa kabar berita dan hanya meninggalkan secarik kertas yang berisi alamat apartemennya.

Apa yang dilakukan Luna? Dibanding bersedih dia lebih banyak merasa sakit hati. Karena bagaimanapun, perlakuan Jim membuat harga dirinya terluka. Dia begitu kesusahan menjelaskan kepada kedua keluarga mereka tentang pernikahan mereka selama lima tahun ini. Pria itu, tak bertanggung jawab sama sekali.

Jim, Luna hanya mengenalnya sekilas. Pria intovert yang tak menyukai dunia luar. Dia terlalu misterius dan penyendiri, tak ada yang diketahui oleh Luna berkaitan dengan pria itu selain namanya Jim dan dia seorang editor.

Luna menyukai Jim? Oh tidak. Walaupun Luna bukan wanita yang populer, malah tergolong kurang gaul, dia takkan mungkin menyangkutkan perasaannya dengan laki-laki seperti Jim. Tak ada sedikitpun daya tarik laki-laki itu di matanya, bahkan Di mata semua orang.

Luna melirik jam dinding yang berada di kafe itu, sebentar lagi waktu Maghrib akan masuk. Dia harus bergegas pulang jika tak ingin kemalaman sampai di apartemen.

Gadis itu akhirnya keluar dari kafe setelah membayar tagihan terlebih dahulu.

Luna, dia hanya wanita sederhana. Berpenampilan biasa bahkan boleh dikatakan tidak menarik. Dia tidak begitu mengerti dengan fashion. Baginya, yang penting bersih dan nyaman itu sudah cukup. Dia tak pernah menaruh perasaan kepada lawan jenis karena dia merasa rendah diri sejak kasus pembuliyan yang dialaminya saat SMA dulu.

Mungkin dia juga termasuk wanita yang aneh, Jim laki-laki yang aneh. Mereka dijodohkan dan menjalani pernikahan yang aneh juga. Luna hanya tersenyum miris dengan nasibnya selama ini.

Related chapters

  • Ranjang Pengantin    Empat

    Luna mendapati apartemen dalam ke adaan gelap. Bahkan jendela masih dibiarkan terbuka. Bukan tak ada orang di rumah, buktinya sepatu lusuh kesayangan Jim masih tergeletak pasrah berceceran di ambang pintu masuk. Luna menghela nafas, menata sepatu itu ke rak sepatu yang sudah disediakan di dekat pintu masuk. Lalu kakinya yang dibalut celana kulot bewarna coklat itu melangkah menuju kontak lampu yang berada di dinding.Ruangan apartemen akhirnya terang benderang, namun Luna hanya menghela nafasnya melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Kulit kacang berserakan di atas meja di depan televisi serta botol minuman yang sudah kosong. Padahal apartemen kecil itu ditinggalkan Luna dalam keadaan rapi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan manusia aneh alias Jim.Luna melempar tas kecilnya ke atas sofa lalu mengumpulkan kulit kacang dan botol i

    Last Updated : 2021-10-19
  • Ranjang Pengantin    Lima

    Luna baru saja membuka jilbabnya saat pintu kamarnya digedor tak sabaran. Mau tak mau Luna meraih jilbab itu kembali dan memasang asal di atas kepalanya. Luna membuka pintu sambil berdecak kesal, namun kekesalan tidak berlangsung lama saat Luna mendapati kondisi Jim yang memprihatinkan.Keringat sebesar biji jagung ke keluar dari pori-porinya, nafasnya sesak dan berdiri sempoyongan. Jim berusaha menopang tubuhnya dengan bersandar ke daun pintu kamar milik Luna."Tolong! Tolong antarkan aku ke rumah sakit." Jim kesusahan menata nafas, tangannya masih berada di bagian perutnya."Tunggu sebentar!" Ujar Luna cukup kaget, dia berlari menuju meja kerjanya dan meraih kunci mobil dari sana. Luna membantu Jim untuk berjalan menuju lift, laki-laki itu hanya menurut, sesekali terdengar erangan sa

    Last Updated : 2021-10-19
  • Ranjang Pengantin    Enam

    Luna bergerak gelisah di atas ranjang berseprai putih miliknya. Sungguh, matanya tidak bisa diajak bekerja sama. Dia mencoba merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya selama dua puluh empat jam ini.Mendatangi Jim dengan tujuan mengakhiri pernikahan mereka tapi malah membuat laki-laki itu tinggal bersamanya. Rasanya semua ini tak masuk akal baginya. Selama ini mereka hidup dalam sandiwara, tiba saatnya episodenya dengan Jim harus berakhir, tapi kenapa semua malah dimulai dari awal lagi? Membawa Jim ke apartemen hanya akan membuat semuanya kembali rumit bagi mereka.Luna tau, Jim dan dirinya bernasib sama. Ingin terlepas dari kekangan keluarga yang selalu memiliki aturan yang tidak masuk akal. Luna bahkan jarang pulang ke rumah orang tuanya. Karena jika dia bertemu orang tuanya, temanya tak jauh-jauh dari kata 'mami ingin cucu', me

    Last Updated : 2021-10-19
  • Ranjang Pengantin    Tujuh

    Luna memijit kepalanya lelah. Matanya memandang Mike dengan putus asa. Mike adalah teman sekaligus bawahannya, laki-laki itu adalah teman berbicara selama ini dalam soal pekerjaan, tapi Luna jarang membicarakan hal pribadi dengan laki-laki itu."Aku harus mencari kemana lagi, bahkan hutang perusahaan belum terbayar sampai saat ini, bunga terus berjalan setiap bulannya." Luna mengusap tepi cangkir tehnya. Saat ini mereka tengah duduk di ruangan Luna.Sebenarnya sudah waktunya pulang, tapi mereka terus berfikir keras untuk melanjutkan perusahaan kecil yang dilanda krisis karena buruknya ekonomi di negara saat ini."Kau adalah orang yang paling tidak bisa dimengerti, kalau aku jadi kau, aku lebih memilih meneruskan perusahaan ayahku yang sudah berkembang sangat pesat."

    Last Updated : 2021-10-19
  • Ranjang Pengantin    Delapan

    Malam merangkak larut, waktu malam adalah waktu yang sangat ditunggu semua orang untuk beristirahat, menjemput mimpi dan melepas lelah.Luna sudah terlelap, memeluk guling dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Menyisakan gaun tidur yang memamerkan kemolekan tubuhnya. Jim tak ingin matanya menjelajah kurang ajar. Kondisinya saat ini tidak cocok untuk berfikir ke arah sana. Saat ini, dia ibarat tengah menunggu musuh, lalai sedikit saja maka dia akan mati.Keributan beberapa jam lalu berubah senyap. Hanya Jim satu-satunya yang masih memaksa dirinya untuk tak menyerah melawan kantuk. Dan rasanya ... Sangat menyedihkan.Jim bahkan bisa merasakan suara nafasnya sendiri yang bersaing dengan denting kecil suara jarum jam di dinding kamar Luna. Alangkah beruntungnya menjadi mereka, bisa meni

    Last Updated : 2021-10-19
  • Ranjang Pengantin    Sembilan

    Luna hanya terpekur dengan pemikirannya sendiri. Banyak hal yang tak terduga yang terjadi akhir-akhir ini, dan Luna hanya bisa pasrah menjalaninya walau dengan berat hati.Hal yang paling ingin cepat di selesaikannya adalah perceraian dengan Jim, tapi, belum selesai ke ruwetannya dengan pria itu, ke dua keluarga malah mulai ikut campur menyatukan mereka kembali.Luna bukannya goyah, apa pun yang terjadi, perceraian dengan Jim adalah sebuah keharusan. Tak ada alasan bagi mereka untuk meneruskan pernikahan yang dari awal tidak harus terjadi.Luna mencoba menggeser tubuh Jim dari dirinya, namun cengkaraman kuat menghentikan gerakan Luna. Jim bergayut bagaikan balita yang ketakutan.Akhirnya, Luna hanya bisa pasrah sambil membenarkan posisi tidurnya walaupun harus mendekap laki-laki itu.Rasanya sangat lucu, dan seperti panggung sandiwara. Kehadiran Jim di apartemen memb

    Last Updated : 2022-03-21
  • Ranjang Pengantin    Sepuluh

    Luna memutuskan pulang lebih awal ke apartemennya. Kondisinya tidak sehat, kepalanya berdenyut sakit. Yang Luna butuhkan saat ini adalah berendam air hangat dan merbahkan diri di tempat tidur.Luna mendorong pintu yang tak terkunci, saat bunyi sepatunya menggema, saat itu pula pintu kamar Jim terbuka. Seperti biasa, wajah datar misterius tanpa senyum."Kau sudah makan siang?" Luna meletakkan tasnya di atas sofa sambil memijit kepalanya yang berdenyut sakit."Sudah, delivery," jawabnya datar tapi matanya mengamati Luna."Aku tak sempat memasak." Luna tidak tau kenapa dia harus peduli dengan laki-laki itu."Tidak masalah." Jim duduk di samping Luna. Hatinya bahagia bisa bertemu lebih cepat dari seharusnya dengan Luna. "Kau sakit?""Hanya sakit kepala, mungkin karena banyak yang aku pikirkan akhir-akhir ini."Jim diam, dia tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik."Maaf, semalam merepotkanmu."Luna melirik Jim

    Last Updated : 2022-03-22
  • Ranjang Pengantin    Sebelas

    Luna melotot ke arah Jim. Laki-laki itu sudah menguasai separoh dari ranjangnya. Luna tak berdaya mengusir suaminya itu saat ini.Jim belum memejamkan matanya, tapi memandang Luna dengan tenang. Dia tau Luna sedang kesal saat ini, tapi Jim memilih tak begitu peduli."Jim." Luna bangkit dan duduk di ranjang sambil memandang Jim lelah. Dia harus membuat kesepakatan dengan laki-laki itu."Kita harus menyepakati beberapa hal. Termasuk dengan keinginanmu untuk tidur di kamarku. Demi tuhan, Jim. Ini tidak seharusnya terjadi, kita akan bercerai, bercerai Jim."Jim tampak santai dan menguasai dirinya dengan baik."Perceraian takkan terjadi tanpa kesepakatan kedua belah pihak. Dan aku memutuskan melanjutkan pernikahan ini.""Jim, jangan aneh-aneh. Aku tak ingin lagi terikat denganmu. Ide untuk tidur bersama demi kau mendapatkan tidur nyenyakmu, sungguh tak masuk akal."Jim diam saja. Dia tak membantah dan tidak menyetujui. Luna hanya membuang nafas menahan emosi dan kekesalannya pada pria itu.

    Last Updated : 2022-05-14

Latest chapter

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Sembilan ( End )

    Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Delapan

    Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Tujuh

    Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Enam

    Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Lima

    "Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Empat

    Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Tiga

    Luna menggenggam tangannya sendiri dengan resah. Jika tadi hatinya merasa tak sabar ingin berjumpa dengan Jim untuk menanyakan tentang Irene, saat ini dia malah ragu dan berniat membatalkan keinginan tahuannya itu. Jim yang dari tadi mengamatinya dalam diam angkat bicara."Ada apa, Lun? Kau terlihat gelisah."Luna tersentak sedikit, kemudian menggeleng lemah."Tidak.""Aku melihat ada sesuatu yang mengganggu pemikiranmu."Luna menghela nafasnya panjang."Ibumu berniat membawamu ke rumahnya setelah kau diperbolehkan pulang." Luna mengutarakan salah satu yang mengganjal di hatinya."Aku tau. Dan keputusan tetap di tanganku.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku tak ingin membuatmu menjadi tidak terurus di apartemenku karena aku sibuk. Jadi, demi ketenangan ibumu, mungkin untuk sementara kau tinggal saja di sana, sampai kau sembuh, aku lelah dengan pertengkaran panjang ini, hubungan ku dengan ibumu semakin memburuk. Mungkin dengan kau menurutinya dia akan sedikit berubah padaku."Jim terdiam

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Dua

    Semua yang berada di dalam ruangan itu berkomunikasi dengan canggung. Marta sesekali hanya menimpali pembicaraan mami Luna dengan kaku walaupun mami Luna sudah berusaha mencairkan suasana. Hanya ayah Jim dan papi Luna yang terlihat tak terpengaruh dengan atmosfer kaku di dalam ruangan itu.Luna memang sengaja menelpon mertua dan orang tuanya untuk mengabari kondisi Jim yang sedang di tangani di ruangan operasi. Awalnya Marta mengucapkan banyak kalimat protes dan hanya diabaikan oleh Luna."Jadi, bagaimana langkah selanjutnya," tanya mami Luna yang langsung pada inti permasalahannya setelah ibu Jim tak berhenti mengoceh menyalahkan Luna atas keadaan yang menimpa Jim."Kami akan membawa anak kami pulang ke rumah." Nada ketus begitu kentara pada nada suara Marta, wanita yang masih menyisakan kecantikan masa muda itu sekilas melirik Luna yang tengah bersandar di sofa di ruangan perawatan. Jim masih belum sadar dari efek biusnya."Saya rasa mbak Marta harus berkomunikasi dulu dengan Jim."

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Satu

    Tak butuh lama bagi Luna untuk mendapatkan ambulan. Setelah sempat mengemasi beberapa pakaian Jim, tidak berselang lama ambulan datang. Dua orang petugas medis sudah siap siaga membawa tandu dan membopong Jim.Jim sempat bimbang dan minta pendapat pada Luna lewat sorot matanya, namun Luna menggenggam tangannya erat dan meyakinkan Jim bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.Sekitar dua puluh menit, mereka sampai di rumah sakit yang cukup besar dan terkenal di Jakarta ,Jim langsung dibawa ke UGD untuk melakukan serangkaian pemeriksaan darurat. Salah satunya adalah pemeriksaan mata yang berguna untuk menunjukkan adanya pembengkakan pada saraf optik. Dokter laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu memandang Luna."Kita harus lakukan ST Scan dan dilanjutkan dengan MRI scan supaya saraf-saraf yang bermasalah terlihat jelas.""Lakukan yang terbaik, Dok." Luna menjawab dengan mantap, semangat tangan kiri Jim terus saja memegangi jemari Luna.Jim digiring ke ruangan khusus, dan Luna ha

DMCA.com Protection Status