Share

Dua Puluh

Penulis: Gleoriud
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Luna sengaja tidak mengunjungi Jim hari ini, padahal dia tau, sekarang Jim sudah diperbolehkan pulang ke rumah karena sudah memungkinkan untuk rawat jalan.

Luna duduk dengan gelisah, sudah jam delapan malam. Semua karyawan sudah pulang kecuali security yang berjaga-jaga. Luna berfikir, dia harus pulang saat ini juga. Sehari ini dia gelisah, ada rasa bersalah menyusup dalam hatinya karena mengabaikan Jim namun Luna memilih mengabaikannya.

Luna meregangkan badannya yang kaku. Kemudian berjalan cepat menuju parkiran dan menyalakan mobilnya. Jalan raya lancar tanpa macet, beberapa menit setelah itu, Luna sampai di apartemennya.

Kening Luna mengernyit, rasanya dia mematikan lampu sebelum berangkat ke kantor. Tapi ruangan itu terang dengan pintu tak dikunci. Beberapa pasang sepatu tersusun rapi di rak kecil di dekat pintu masuk.

Pertanyaan Luna terjawab sudah, di sana, tiga orang memandangnya dengan ekspresi berbeda. Jim tersenyum sumringah, sedangkan Marta memandang Luna sambil berdecak k
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Prapto Vera
pinter banget sih jim, ih genit juga trnyata.wkwkwk.. semangat ya jim!aku mendukungmu buat baikan sama luna
goodnovel comment avatar
Hisma Syarif
bagus dan jln cerita menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Ranjang Pengantin    Dua Puluh Satu

    Kondisi Jim sebenarnya semakin membaik, cidera yang dideritanya hanya bagian leher dan kepala, sedangkan pinggang ke bawah saat itu jatuh membentur rumput taman, sedangkan kepala menghantam beton pembatas antara rumput dan kolam buatan.Pagi ini, Jim mulai melupakan kursi rodanya, gips masih setia menyangga lehernya, sedangkan kepala yang botak itu masih nyeri sesekali. Luka operasi sudah mengering dengan sempurna.Luna muncul dari dapur dengan apron bunga-bunga kesayangannya. Sedangkan Jim baru keluar dari kamar dengan wajah bantal khas bangun tidur. Tidurnya sangat nyenyak, bahkan dia baru terjaga saat ponsel Luna meraung tak sabar.Hari ini adalah hari Minggu, mereka pasti akan menghabiskan waktu seharian di rumah. Sebenarnya Luna agak terganggu dengan adanya Jim di apartemennya, dia lebih suka sendiri dan melakukan apa yang dia suka tanpa adanya orang lain disekitarnya. Membersihkan rumah atau merawat tanaman hias yang ditanam dan digantung di balkon kamarnya, atau membuat pernak-

  • Ranjang Pengantin    Dua Puluh Dua

    Seharian, Luna menjaga jarak dengan Jim. Dia lebih memilih berkutat dengan laptopnya dan mengurung diri di kamar, apa yang terjadi di luar dugaannya, membuat Luna menyesali dirinya yang hanyut kerena pesona laki-laki itu. Sedangkan Jim sangat resah, wanita itu menyiapkan makan malam tapi tak ikut duduk makan bersama seperti biasanya, saat dia keluar kamar menuju kamar mandi saat berwudhu, Luna menganggap Jim tidak ada. Semua jadi serba salah, setelah kemesraan intim itu, Luna malah semakin menjauh.Jim masih ingat, bagaimana reaksi wajah Luna yang berhasil mengembalikan kesadarannya lebih dulu, gadis itu membelalak dan menutup mulutnya, mengemasi pakaian basahnya yang tercecer. Mereka hampir melakukannya, di tempat yang tidak tepat dan situasi yang tidak tepat juga.Jim melirik pintu kamar Luna, kemudian mematikan televisi yang sedari tadi tampak membosankan baginya. Haruskah Jim memberi penjelasan pada gadis itu? Tapi buat apa? Jim bangkit hati-hati, berjalan perlahan dan mengetuk

  • Ranjang Pengantin    Dua Puluh Tiga

    Luna berusaha untuk fokus dengan laporan di depannya. Setelah melalui malam pertama secara tak sengaja, pagi-pagi sekali Luna sudah berkemas dan berangkat menuju kantor, meninggalkan Jim yang masih tertidur pulas. Bahkan security-nya saja belum datang, untung saja Luna punya kunci kantor sehingga bisa datang dan pulang kapan saja.Luna mengabaikan kondisinya yang tak nyaman. Rasa sakit dan nyeri itu masih kentara di sana. Luna tak habis pikir, ide isengnya malah menenggelamkan dia sendiri.Sekarang jam tujuh pagi, beberapa karyawannya sudah mulai berdatangan termasuk Lia. Gadis judes itu mengerutkan kening sambil menerobos masuk ke ruangan Luna tanpa permisi."Apa ini? Jam berapa kau datang, wajahmu terlihat kacau." Lia meneliti ingin tahu, wajah gelisah Luna tak bisa diabaikan begitu saja."Bisa kau tutup pintunya dulu? Aku tau betul, suara cemprengmu akan membuat se isi kantor tau apa yang akan aku ceritakan."Lia mendekati Luna. Lalu memicing curiga."Bibirmu bengkak, dan lecet. Ja

  • Ranjang Pengantin    Dua Puluh Empat

    Luna menatap Jim nyalang, sinar matanya berapi-api. Tapi ternyata Jim bukanlah orang yang mudah diintimidasi. Tanpa gentar dia maju merengsek sehingga membuat Luna terjebak di antara Jim dan dinding belakangnya.Luna mempertahankan raut wajahnya, menantang mata Jim dengan berani."Menjauhlah!" Luna berdesis. Jim tak menghiraukannya, tangan besarnya mengambil segenggam rambut Luna dan menghirup wangi wanita itu yang membuatnya mabuk kepayang. Jim memejamkan matanya, hal itu tak luput dari pengawasan Luna."Wangi ini, sangat berbekas di fikiranku." Jim membuka matanya, memandang sayu wajah Luna yang memerah."Aku tidak sedang bermain-main, Jim!""Kau pikir aku bermain-main mengurungmu di sini?" Jim meneliti urat nadi Luna yang berkedut di sepanjang lehernya. "Jim!" Luna mendorong tapi sedikitpun Jim tak bergeser. Tanpa Luna Duga, sebuah sentuhan lembut dan basah mendarat di lehernya. Kedua tangannya dicekal dan tak bisa bergerak.Luna ingin menolak, ingin menyumpahi pria itu, ingin men

  • Ranjang Pengantin    Dua Puluh Lima

    Luna melirik jam dindingnya, sudah jam 10 malam, belum ada tanda-tanda kepulangan Jim. Seharusnya dia tak perlu segelisah ini, kerena Jim sudah memberitahu bahwa hari ini dia ke rumah sakit melakukan pemeriksaan. Tapi ada yang janggal bagi Luna, dia terbiasa memberikan ocehan setiap malam pada laki-laki itu dan tak pernah dibantah oleh Jim. Rasanya ada yang kurang jika rutinitas itu tak terlaksana malam ini.Menelpon Jim? Rasanya itu terlalu berlebihan, Luna cukup mengunci pintu dan merebahkan dirinya dengan aman di atas ranjang, kalau pun Jim pulang, dia bisa bangun untuk membuka pintu, lagi pula dia bukan tipe wanita yang tidurnya sangat lelap. Suara berisik sedikit saja akan membuat dia terjaga.Satu jam Luna menunggu, setelah jam sebelas lebih, dia memutuskan untuk mengunci pintu dan masuk ke dalam kamar.*****Luna membuka pintu masuk apartemen, matanya langsung berserobok dengan Jim. Laki-laki itu tengah memakai jaket kulit warna coklat dan topi untuk menutupi kepalanya yang mul

  • Ranjang Pengantin    Dua Puluh Enam

    Luna belum juga beranjak dari meja makan bahkan setelah jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Dia tak lagi mempedulikan akan terlambat ke kantor, hatinya resah tak tentu arah setelah mendengar berita yang disampaikan Jim.Luna mengaku kalah, ketidak munculan Jim diambang pintu kamar membuatnya sedikit penasaran.Luna berjalan menuju kamar Jim, mendorong pintu itu perlahan, lalu Luna mengedarkan pandangannya menyapu seisi ruangan. Koper sudah tergeletak di atas lantai kamar dan siap untuk dibawa. Ranjang pun sangat rapi seperti akan ditinggalkan untuk waktu yang lama. Buktinya, selimut yang biasa digunakan Jim sudah terlipat di lemari dengan pintu lemari yang belum sempat ditutup.Luna tergagap, saat pintu berderit, Jim memandangnya penuh tanya. Kapan laki-laki itu keluar dari kamar, perasaan Luna tak melihatnya kemana-mana."Hai...!" Jim tersenyum canggung. Menyembunyikan kantong plastik yang digenggamannya."Aku tak melihatmu ke luar.""Hmm, saat aku ke luar kau sedang asik den

  • Ranjang Pengantin    Dua Puluh Tujuh

    Luna memutuskan untuk mengunjungi rumah maminya. Wanita paruh baya itu tampak bahagia menyambutnya. Bahkan mami Luna langsung memakai apronnya dan berkutat di dapur.Setelah makan siang, mami Luna membawa sebuah makanan kesukaan anaknya itu."Makanlah! Mami membuatnya tadi pagi, mami yakin kau sudah lama tak memakannya." Mami Luna tersenyum, memandang anaknya yang menampakkan wajah menerawang. Tidak biasanya Luna datang ke rumahnya. Datangnya Luna merupakan sebuah kejutan bagi mami Luna.Luna menyendokkan puding jagung kesukaannya dulu ke mulutnya, rasanya sama, masih seenak dulu. Baru dia menyadari, dia terlalu asik dengan dirinya sendiri sampai lupa kapan terakhir kali dia mencicipi puding jagung buatan maminya."Bagaimana kabar Jim?"Luna meletakkan sendoknya. Kemudian menghela nafas."Jim pergi ke Singapura untuk berobat kembali." Luna menjawab singkat. Wajah maminya terlihat heran."Dia baik-baik saja kan?""Ada pendarahan di kepalanya, ibu Jim membawa ke Singapura untuk diobati

  • Ranjang Pengantin    Dua Puluh Delapan

    Luna mandang hamparan laut luas yang menakjubkan, pemandangan surga dunia yang menjadi impian liburan bagi sebagian besar penduduk dunia. Iya, dia sekarang sedang barada di Bali, ini adalah hari ke dua dia menikmati liburan yang seharusnya berkesan tapi terasa biasa saja baginya. Sudah lama Luna menginginkan liburan seperti ini, menenangkan diri sejenak sambil menikmati waktu untuk bersantai. Dia adalah penggila kerja dan bahkan menghabiskan hari Minggu dengan sketsa gaun penganten di kertas yang berhasil di coretnya. Pintu kamar hotel terbuka, menampakkan wajah Lia yang sudah terlihat kesal sejak tadi malam. Semalam Luna lebih memilih menghabiskan waktu dengan bermenung ditengah meriahnya acara ulang tahun Lia. Bahkan dia menolak saat tamu lain mengajaknya bermain game bersama sama."Apakah liburan itu menghabiskan waktu di dalam kamar tanpa merasakan bagaimana panasnya teriknya matahari dan kasarnya pasir pantai? Ayolah! Bahkan kita akan kembali ke Jakarta besok pagi. Tapi kau tak

Bab terbaru

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Sembilan ( End )

    Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Delapan

    Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Tujuh

    Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Enam

    Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Lima

    "Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Empat

    Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Tiga

    Luna menggenggam tangannya sendiri dengan resah. Jika tadi hatinya merasa tak sabar ingin berjumpa dengan Jim untuk menanyakan tentang Irene, saat ini dia malah ragu dan berniat membatalkan keinginan tahuannya itu. Jim yang dari tadi mengamatinya dalam diam angkat bicara."Ada apa, Lun? Kau terlihat gelisah."Luna tersentak sedikit, kemudian menggeleng lemah."Tidak.""Aku melihat ada sesuatu yang mengganggu pemikiranmu."Luna menghela nafasnya panjang."Ibumu berniat membawamu ke rumahnya setelah kau diperbolehkan pulang." Luna mengutarakan salah satu yang mengganjal di hatinya."Aku tau. Dan keputusan tetap di tanganku.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku tak ingin membuatmu menjadi tidak terurus di apartemenku karena aku sibuk. Jadi, demi ketenangan ibumu, mungkin untuk sementara kau tinggal saja di sana, sampai kau sembuh, aku lelah dengan pertengkaran panjang ini, hubungan ku dengan ibumu semakin memburuk. Mungkin dengan kau menurutinya dia akan sedikit berubah padaku."Jim terdiam

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Dua

    Semua yang berada di dalam ruangan itu berkomunikasi dengan canggung. Marta sesekali hanya menimpali pembicaraan mami Luna dengan kaku walaupun mami Luna sudah berusaha mencairkan suasana. Hanya ayah Jim dan papi Luna yang terlihat tak terpengaruh dengan atmosfer kaku di dalam ruangan itu.Luna memang sengaja menelpon mertua dan orang tuanya untuk mengabari kondisi Jim yang sedang di tangani di ruangan operasi. Awalnya Marta mengucapkan banyak kalimat protes dan hanya diabaikan oleh Luna."Jadi, bagaimana langkah selanjutnya," tanya mami Luna yang langsung pada inti permasalahannya setelah ibu Jim tak berhenti mengoceh menyalahkan Luna atas keadaan yang menimpa Jim."Kami akan membawa anak kami pulang ke rumah." Nada ketus begitu kentara pada nada suara Marta, wanita yang masih menyisakan kecantikan masa muda itu sekilas melirik Luna yang tengah bersandar di sofa di ruangan perawatan. Jim masih belum sadar dari efek biusnya."Saya rasa mbak Marta harus berkomunikasi dulu dengan Jim."

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Satu

    Tak butuh lama bagi Luna untuk mendapatkan ambulan. Setelah sempat mengemasi beberapa pakaian Jim, tidak berselang lama ambulan datang. Dua orang petugas medis sudah siap siaga membawa tandu dan membopong Jim.Jim sempat bimbang dan minta pendapat pada Luna lewat sorot matanya, namun Luna menggenggam tangannya erat dan meyakinkan Jim bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.Sekitar dua puluh menit, mereka sampai di rumah sakit yang cukup besar dan terkenal di Jakarta ,Jim langsung dibawa ke UGD untuk melakukan serangkaian pemeriksaan darurat. Salah satunya adalah pemeriksaan mata yang berguna untuk menunjukkan adanya pembengkakan pada saraf optik. Dokter laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu memandang Luna."Kita harus lakukan ST Scan dan dilanjutkan dengan MRI scan supaya saraf-saraf yang bermasalah terlihat jelas.""Lakukan yang terbaik, Dok." Luna menjawab dengan mantap, semangat tangan kiri Jim terus saja memegangi jemari Luna.Jim digiring ke ruangan khusus, dan Luna ha

DMCA.com Protection Status