Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.
Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.
“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.
“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.
“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.
“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.
“Tapi teman kami ini benar-benar parah, Bu! Apakah tidak bisa ibu yang mendaftarkan sedang kami mengantarkannya pada ruang darurat?” Rania sedikit geram.
Joni masih bisa mendengar keributan yang terjadi itu, dengan lirihnya dia berkata, “Tidak apa-apa, Ran, tidak akan lama, aku masih kuat!”
“Baiklah,” ujar Rania setengah kecewa dengan Joni, “kalau begitu di mana kami harus mendaftar, Bu?”
“Di depan sana, keluar lorong ini belok kanan!” Suster menunjukkan arah kepada mereka.
Akhirnya Rania dan teman Joni menggotong Joni yang lemas kembali ke depan. Tampaknya Joni masih kuat dengan luka yang dia derita, darahnya masih mengalir meski tidak sederas ketika pertama kali tertusuk pisau.
“Kamu masih kuat, kan, Jon?” tanya Rania memberikan semangat kepada Joni.
“Iya, aku masih kuat. Tidak usah khawatir kenapa?” Joni selalu menyebalkan bagaimana pun keadaannya dan di mana pun.
Selesai mendaftar Joni dinaikkan pada tempat tidur dorong, Rania dan teman Joni membantu mendorong. Joni adalah teman Rania, teman yang selalu ada bahkan ketika keadaan terburuk dalam hidup Rania terjadi. Teman Rania tidak banyak, dan tidak semua teman Rania seperti Joni. Joni adalah teman setia.
“Kalian silakan menunggu di luar!” ujar dokter yang akan menangani luka Joni.
“Baik!” sahut Rania. Mereka berdua menunggu di depan pintu dengan gelisah.
Ketika memasuki ruang gawat darurat, Joni sudah tidak sadarkan diri, hal itulah yang menambah kekhawatiran dalam diri Rania.
“Tenang saja, Ran! Joni pasti selamat,” ujar teman Joni.
“Iya, Fin. Aku yakin pasti Joni kuat!” sahut Rania sembari menyandarkan punggung pada tembok putih di belakangnya.
Teman Joni itu bernama Alfin. Dia juga teman dekat Rania, mereka bersama-sama sejak kecil, dan ada lagi satu sahabat perempuan yang hidup bersama sejak kecil, semasa SD, sampai sekarang kuliah.
Lima belas menit, dua puluh menit berlalu belum ada tanda-tanda dokter akan keluar dari ruangannya. “Lama sekali!” gerutu Rania tidak sabaran.
“Sabar, Ran. Mungkin dokter tengah memberikan yang terbaik untuk Joni!” ujar Alfin, teman Joni sekaligus teman Rania.
Srekk...
Pintu digeser dari dalam, dokter keluar dan suster di belakangnya. Rania langsung menyambut dokter itu dengan pertanyaan. “Bagaimana keadaan teman saya, Dok?” tanya Rania.
“Dia baik-baik saja, tapi lukanya cukup dalam. Syukurlah dia segera dibawa ke rumah sakit, sehingga bisa tertolong dengan pertolongan terbaik!” ujar dokter menerangkan keadaan Joni.
“Apakah kami boleh masuk?” tanya Alfin.
“Silakan, tapi jangan ganggu dia, dia butuh banyak waktu untuk istirahat!” kata dokter.
“Terima kasih, Dok!” Rania mengucapkan terima kasih dengan rasa penuh bersyukur.
Joni terlihat terbaring dengan selang infus di tangannya. Perutnya dibebal dengan perban berwarna putih, dia tersenyum ketika melihat Alfin dan Rania masuk.
“Bagaimana, Jon?” tanya Alfin.
“Aku baik-baik saja, tidak usah khawatir!” ujar Joni.
“Siapa juga yang khawatir?” Rania mulai kembali sebal dengan Joni. Memang, mereka berteman sejak kecil, jadi sudah biasa dengan keadaan seperti itu.
“Ayo pulang!” ajak Joni mencoba duduk, namun saat itu pula ia memegangi perutnya yang terluka.
“Sudah, besok saja pulangnya. Malam ini kita menginap di sini!” ujar Rania, membantu Joni untuk kembali berbaring.
“Kamu bawa handphone, Rania?” tanya Joni.
“Bawa!” jawab Rania mengeluarkan handphone dari tas kecilnya.
Joni menghubungi ibunya, keluarganya di rumah. Dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja, main ke rumah teman. Dia tidak menceritakan apa yang terjadi sebenarnya kepada keluarga, kepada ibunya.
Deg...
Saat itulah Rania teringat sesuatu. Dia belum mengabari keluarganya bahwa dia di rumah sakit. Dia juga baru ingat bahwa dia lupa mengunci pintu. Bagaimana jika sewaktu-waktu dua perampok itu kembali dan masuk ke dalam rumah. Bagaimana dengan ibunya? Hal-hal itulah yang membuat Rania gelisah. Akhirnya ia berusaha menelepon adiknya. Namun sayang, hampir lima kali ia telepon, sama sekali tidak ada jawaban dari seberang. Akhirnya Rania memutuskan untuk pulang.
“Joni, Alfin, aku pulang dahulu. Aku lupa belum mengunci pintu dan adikku tidak bisa dihubungi!” ujar Rania.
Joni dan Alfin mengerti dengan keadaan Rania. Joni berkata, “Hati-hati, bisa saja dua bajingan itu kembali lagi!”
“Iya, hati-hati. Jika ada apa-apa bisa langsung menghubungi kita!” kata Alfin.
Rania keluar rumah sakit dengan jalan tergesa-gesa. Ia meminjam motor Alfin dan mengendarainya.
Jalanan ramai, Surabaya malam seperti ini tidak ada istirahatnyam, hampir sama dengan siang hari. Yang membedakan hanya udara yang sedikit lebih sejuk, namun tetap pengap dengan bau knalpot dan mesin-mesin kendaraan.
Rania memacu motor secepat mungkin, mendahului beberapa kendaraan bahkan puluhan. Sesampainya di depan rumah, setelah memasuki pagar, betapa terjekutnya ia mengetahui pintu depan terbuka lebar. Buru-buru Rania turun dan masuk ke dalam rumah.“IBU!” Rania setengah berteriak memanggil ibunya dari ruang tengah, namun tidak ada jawaban.“IBU!”Masih tidak ada jawaban yang terdengar.Rania berjalan ke ruang belakang, dapur, kamar mandi, tidak ada. Ada satu tempat yang ia lupa, kamarnya sendiri dan adiknya. Dengan segera ia pergi ke kamar, namun naas, tidak ada siapa-siapa di sana.“Ibu, ibu ke mana?” Tidak terasa air mata Rania menetes. Adiknya juga tidak ada. Keadaan benar-benar sepi. Satu hal yang membuat Rania bertambah khawatir, pintu rumah yang terbuka lebar, serta pintu kamar ibunya.Rania mencoba menghubungi adiknya.Ting... ting... aituDari kamarnya terdengar suara handphone berbunyi, itu
Banyak teman Rania yang kaya, beruang, tapi tidak semudah itu mengatakan itu kepada mereka, Joni adalah salah satunya. Tidak mudah mengatakan tentang uang kepada teman, apalagi Joni sendiri juga tengah mendapatkan masalah. Entah siapa yang bsia membantu Rania, entah siapa yang akan ia mintai pertolongan.Malam hari, Rania duduk termenung di kursi depan kamar rumah sakit, matanya memandang kejauhan, sesekali memerhatikan dokter atau suster yang lewat, atau wajah-wajah pengunjung yang penuh dengan beban. Mungkin salah satu masalah dari mereka ada yang sama dengan masalah Rania, yaitu soal biaya.“Siapa yang harus aku mintai bantuan?” ujar Rania seperti putus asa terhadap nasibnya.Lima juta bukan nominal yang sedikit bagi Rania. Bahkan, tabungannya mungkin hanya berkisar antara lima satus ribuan, dia masih memerlukan empat juga setegah untuk melengkapi. Perlahan Rania bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar ruangan ibu, melihat dari kaca pin
agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.“Lima juta. Aku berhara
Dua hari sudah ibu pulang dari rumah sakit. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Hanya saja setiap ibu menarik napas karena terbatuk-batuk, saat itulah hati Rania tidak menentu karena khawatir. Namun semua itu sudah cukup bagi Rania, ibunya sehat. Rania untuk sementara ini mengirimkan surat kepada pihak kampus untuk tidak kuliah beberapa hari, ia menggantikan semua pekerjaan rumah sementara adiknya sekolah. Sore hari gantian Asya yang menjaga ibu sedang Rania berangkat bekerja.“Kamu kuliah saja, Nia, ibu sudah tidak apa-apa!” ujar ibu kepada Rania ketika mereka duduk bersama di depan televisi.“Aku sudah mengirim surat ke kampus, Bu! Jadi tidak apa-apa beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah!” sahut Rania sembari mengganti tayangan televisi.“Nanti ketinggalan pelajaran?” kata ibu lagi.“Tidak apa-apa, Nia bisa belajar sendiri, Bu. Yang penting,” Rania menghadap ibunya, “sekarang ibu sehat terlebih d
Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan.Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.
“Perkenalkan namaku Sinta, panggil saja aku dengan sebutan demikian!” ujar seorang wanita yang menamakan dengan diri dengan Sinta.“Namaku...”“Aku sudah tahu namamu, kau adalah Rania, bukan?”“Iya, aku Rania!”Rambut pirangnya melambai-lambai di bawa angin, lalu dia kembali berkata, “Aku yakin sekali pasti kamu datang sore ini. Aku yakin pasti kamu tengah membutuhkan uang yang banyak agar ibumu tetap hidup sehat!”“Apa pekerjaan yang bisa mbak Sinta berikan kepadaku?” Rania bertanya dengan polosnya.“Tenang, waktu masih sore. Aku akan menceritakan sebuah kisah yang akan membuat hidupmu lebih berwarna!” ujar Sinta. “Hidup ini memang sulit, Nia!” Sinta memulai ceritanya.Iya, memang sulit, batin Rania.“Tapi semua kesulitan pastilah ada jalan keluar yang akan menghantarkan pada kemudahan! Dahulu hidupku sama seperti hidupmu, Nia
Dua bulan berlalu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Rania setiap pagi kuliah kecuali hari libur. Beberapa bulan lagi Asya juga akan lulus dari sekolahnya. Sebuah tantangan yang baru telah datang, beban biaya hidup bertambah semakin banyak. Asya harus membayar uang ujian, juga uang pengobatan rutin untuk ibunya, satu bulan sekali. Semua itu adalah hasil dari kerja keras Rania, dibantu dengan ibunya yang sekarang berjualan berbagai macam kue.“Kak, sebentar lagi ujian!” kata Asya kepada kakaknya, Rania.“Biayanya berapa?” Rania langsung menebak pada apa yang akan dikatakan Asya kepadanya. Meskipun mereka berdua adalah adik-kakak, namun sepertinya mereka tidak banyak untuk saling bicara, tidak saling mengerti antara masalah satu dengan masalah yang lainnya.“Satu juta kalau tidak salah, Kak!” ujar Asya hati-hati.Sebenarnya Asya tidak bermaksud memberatkan hati kakaknya, namun semua ini harus dia lakukan, dia sendiri
“Uhuk-uhuk...”Terdengar suara tua terbatuk-batuk dari dalam kamar. Malam itu pukul sembilan, suasana sepi, hanya terdengar suara deru mesin kipas angin dan televisi dari ruang tengah. Tidak ada yang memperhatikan televisi itu, hanya nyamuk-nyamuk yang sesekali hinggap di layarnya.“Ibu sakit lagi, Dek?” tanya Rania pada adiknya.“Iya, Kak. Sudah dua hari ibu batu-batuk terus,” jawab Asya, adik Rania.Mereka berdua sedang berada di depan televisi yang menyala, suaranya lirih, terkalahkan dengan dengung mesin kipas angin.“Besok kamu bawa ibu ke puskesmas, iya, Dek!” perintah Rania. Memang Rania sendiri sejak pagi harus menyibukkan dengan diri. Pagi sampai siang kuliah, sedang sore sampai malam harus menjaga sebuah toko buku, bergantian dengan shif pagi.“Tidak mau, Kak, ibu. Aku tadi pagi sudah ajak ibu ke puskesmas, katanya tidak usah,” jelas Asya.“Sudah kamu belikan
Dua bulan berlalu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Rania setiap pagi kuliah kecuali hari libur. Beberapa bulan lagi Asya juga akan lulus dari sekolahnya. Sebuah tantangan yang baru telah datang, beban biaya hidup bertambah semakin banyak. Asya harus membayar uang ujian, juga uang pengobatan rutin untuk ibunya, satu bulan sekali. Semua itu adalah hasil dari kerja keras Rania, dibantu dengan ibunya yang sekarang berjualan berbagai macam kue.“Kak, sebentar lagi ujian!” kata Asya kepada kakaknya, Rania.“Biayanya berapa?” Rania langsung menebak pada apa yang akan dikatakan Asya kepadanya. Meskipun mereka berdua adalah adik-kakak, namun sepertinya mereka tidak banyak untuk saling bicara, tidak saling mengerti antara masalah satu dengan masalah yang lainnya.“Satu juta kalau tidak salah, Kak!” ujar Asya hati-hati.Sebenarnya Asya tidak bermaksud memberatkan hati kakaknya, namun semua ini harus dia lakukan, dia sendiri
“Perkenalkan namaku Sinta, panggil saja aku dengan sebutan demikian!” ujar seorang wanita yang menamakan dengan diri dengan Sinta.“Namaku...”“Aku sudah tahu namamu, kau adalah Rania, bukan?”“Iya, aku Rania!”Rambut pirangnya melambai-lambai di bawa angin, lalu dia kembali berkata, “Aku yakin sekali pasti kamu datang sore ini. Aku yakin pasti kamu tengah membutuhkan uang yang banyak agar ibumu tetap hidup sehat!”“Apa pekerjaan yang bisa mbak Sinta berikan kepadaku?” Rania bertanya dengan polosnya.“Tenang, waktu masih sore. Aku akan menceritakan sebuah kisah yang akan membuat hidupmu lebih berwarna!” ujar Sinta. “Hidup ini memang sulit, Nia!” Sinta memulai ceritanya.Iya, memang sulit, batin Rania.“Tapi semua kesulitan pastilah ada jalan keluar yang akan menghantarkan pada kemudahan! Dahulu hidupku sama seperti hidupmu, Nia
Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan.Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.
Dua hari sudah ibu pulang dari rumah sakit. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Hanya saja setiap ibu menarik napas karena terbatuk-batuk, saat itulah hati Rania tidak menentu karena khawatir. Namun semua itu sudah cukup bagi Rania, ibunya sehat. Rania untuk sementara ini mengirimkan surat kepada pihak kampus untuk tidak kuliah beberapa hari, ia menggantikan semua pekerjaan rumah sementara adiknya sekolah. Sore hari gantian Asya yang menjaga ibu sedang Rania berangkat bekerja.“Kamu kuliah saja, Nia, ibu sudah tidak apa-apa!” ujar ibu kepada Rania ketika mereka duduk bersama di depan televisi.“Aku sudah mengirim surat ke kampus, Bu! Jadi tidak apa-apa beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah!” sahut Rania sembari mengganti tayangan televisi.“Nanti ketinggalan pelajaran?” kata ibu lagi.“Tidak apa-apa, Nia bisa belajar sendiri, Bu. Yang penting,” Rania menghadap ibunya, “sekarang ibu sehat terlebih d
agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.“Lima juta. Aku berhara
Banyak teman Rania yang kaya, beruang, tapi tidak semudah itu mengatakan itu kepada mereka, Joni adalah salah satunya. Tidak mudah mengatakan tentang uang kepada teman, apalagi Joni sendiri juga tengah mendapatkan masalah. Entah siapa yang bsia membantu Rania, entah siapa yang akan ia mintai pertolongan.Malam hari, Rania duduk termenung di kursi depan kamar rumah sakit, matanya memandang kejauhan, sesekali memerhatikan dokter atau suster yang lewat, atau wajah-wajah pengunjung yang penuh dengan beban. Mungkin salah satu masalah dari mereka ada yang sama dengan masalah Rania, yaitu soal biaya.“Siapa yang harus aku mintai bantuan?” ujar Rania seperti putus asa terhadap nasibnya.Lima juta bukan nominal yang sedikit bagi Rania. Bahkan, tabungannya mungkin hanya berkisar antara lima satus ribuan, dia masih memerlukan empat juga setegah untuk melengkapi. Perlahan Rania bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar ruangan ibu, melihat dari kaca pin
Rania memacu motor secepat mungkin, mendahului beberapa kendaraan bahkan puluhan. Sesampainya di depan rumah, setelah memasuki pagar, betapa terjekutnya ia mengetahui pintu depan terbuka lebar. Buru-buru Rania turun dan masuk ke dalam rumah.“IBU!” Rania setengah berteriak memanggil ibunya dari ruang tengah, namun tidak ada jawaban.“IBU!”Masih tidak ada jawaban yang terdengar.Rania berjalan ke ruang belakang, dapur, kamar mandi, tidak ada. Ada satu tempat yang ia lupa, kamarnya sendiri dan adiknya. Dengan segera ia pergi ke kamar, namun naas, tidak ada siapa-siapa di sana.“Ibu, ibu ke mana?” Tidak terasa air mata Rania menetes. Adiknya juga tidak ada. Keadaan benar-benar sepi. Satu hal yang membuat Rania bertambah khawatir, pintu rumah yang terbuka lebar, serta pintu kamar ibunya.Rania mencoba menghubungi adiknya.Ting... ting... aituDari kamarnya terdengar suara handphone berbunyi, itu
Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.
“Kalian kira akan bisa mengalahkan kami?”Joni memberanikan diri untuk berkata. Semua sudah terjadi, dan tidak mungkin untuk kembali pulang, harga diri menjadi taruhan. “Aku berani melawan kalian sendirian. Namun, berhubung aku membawa dua temanku, kami akan melawan kalian bersama!” Dua teman Joni seandainya keadaannya tidak seperti ini maka akan tertawa.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanya salah seorang di depan itu.“Pergi dari sini atau kami akan memaksa kalian pergi?” Salah satu teman Joni berkata.“Jika kami tidak mau pergi dan kalian tidak bisa memaksa kami?”“Itu tidak akan terjadi!” ujar Joni berani.Hal yang tidak diduga Joni dan kawannya terjadi. Dua orang yang sepertinya akan merampok itu mengeluarkan pisau dari saku celananya. Joni semakin ketar-ketir. Pisau bersinar diterpa cahaya lampu samar-samar.“Bagaimana ini?” tanya Joni kep