Home / Romansa / Ranjang Kehidupan / Datangnya Bantuan

Share

Datangnya Bantuan

Author: Miko
last update Last Updated: 2022-03-21 14:47:09

agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.

Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.

“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.

“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.

“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.

“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.

“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.

“Lima juta. Aku berharap kamu bisa membantu, Niha, meminjamkan uang untukku,” ujar Rania, air matanya kembali meleleh.

Niha menyadari dan mengerti keadaan Rania saat ini. Niha juga kurang lebihnya tahu keadaan Rania yang menjadi tulang punggung keluarganya, ditinggal mati oleh bapaknya. Akan tetapi lima juta adalah uang yang besar, dia sendiri tidak punya uang sebanyak itu.

“Aku bisa membantu, Nia,” ujar Niha. “Tapi, aku tidak bisa membantu sepenuhnya, uangku tidak cukup untuk jumlah itu!”

“Tidak apa-apa, sebisanya!” ujar Rania malu-malu. “Maafkan aku yang telah merepotkanmu, Niha!”

Niha tertawa, “Halah, tidak apa-apa, aku juga sering meminta bantuanmu!”

Selesai berbicara dengan Niha akhirnya Rania tidak langsung kembali ke rumah sakit, dia mencari bantuan kepada yang lain. “Aku ijin dahulu tidak masuk pelajaran, Niha.” Rania menitip pesan kepada Niha.

Pukul delapan pagi, matahari bersinar terik, di atas sana langit biru bersih memancarkan keceriaan. Rania datang ke tempatnya bekerja menjadi penjaga toko, bukan untuk bekerja, melainkan untuk meminjam uang kepada salah satu temannya.

Perjalanan membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit menggunakan motor. Rania sengaja melupakan bahwa dia tidak punyai surat ijin mengemudi, dia lupakan semua. Yang ia ingat sekarang hanya satu, yaitu segera mencari pinjaman untuk biaya rumah sakit ibunya.

Dua puluh menit akhirnya dia sampai di depan toko, beberapa kendaraan parkir di depannya. “Hai, Rania, sudah datang kau?” sambut salah satu teman Rania. Memang, Rania kegian shif malam, bukan pagi seperti ini.

“Ada urusan penting yang harus aku lakukan, Bos!” ujar Rania melangkah masuk tanpa memedulikan orang yang menyapanya tadi.

“Siap!”

“Hai, selamat pagi!” ujar Rania kepada kasir yang menunggu, itu adalah teman Rania yang dia maksudkan.

“Hai, Rania, pagi benar kamu datang?” sapa dia kembali.

“Aku membutuhkan bantuanmu!” ujar Rania tanpa basa-basi.

Perempuan di depannya itu, yang mengenakan kaos putih bercelana panjang, rambutnya terurai, tersenyum bingung. “Bantuan apa yang bisa aku berikan?” tanya dia.

“Ibuku sakit.” Rania menjelaskan tetap dengan posisi berdiri. “Dan saat ini aku membutuhkan biaya untuk pengobatannya!”

“Berapa jumlahnya?”

“Tiga juta!”

“Wah, banyak sekali. Sayangnya aku tidak punya uang sebanyak itu!”

“Tidak apa-apa, aku harap kamu bisa menghutangiku sesuai dengan kemampuanmu saat ini!” Rania kembali meneteskan air mata.

“Aku punya dua juta, hanya itu, tidak ada yang lain!”

“Terima kasih!”

Rania keluar dari toko, mencari satu atau dua orang lagi yang bisa membantunya. Pukul sembilan pagi, ia ingat bahwa ibu dan adiknya belum sarapan, hanya minum susu dan makan roti tawar. Rania segera kembali ke rumah sakit setelah membeli makanan dari warung tepian jalan. Rania membeli bubur ayam untuk ibunya. Rania paling mengerti bahwa ketika ibunya sakit, maka beliau tidak bisa makan nasi, maka Rania selalu membelikannya bubur.

“Ibu, Asya, aku bawakan sarapan!” ujar Rania. Dia lupa bahwa di sana masih ada Joni, dan dia tidak membelikan sarapan untuknya.

“Ibu dan Asya sudah sarapan, Nia!” ujar ibunya berusaha tersenyum. “Joni sudah membelikan sarapan!”

“Telat kamu, Nia!” ujar Joni mencibir dengan senyum khasnya.

“Iya, sudah, bisa dibuat untuk makan siang!” ujar Rania tidak memedulikan Joni yang mengajaknya bercanda. Joni paham, pastilah Rania tengah dalam masalah namun dipendamnya sendiri.

“Nia, ayo keluar!” ajak Joni, Rania menurut di belakangnya.

“Tenang saja, aku sudah bayar semua biaya ibumu di rumah sakit ini!” jelas Joni.

Deg...

Saat itulah air mata Rania tidak dapat dibendung lagi. Rania menangis dalam diam, berusaha menahan air matanya namun tidak mampu. Joni mengelus rambutnya dari belakang, berusaha menenangkan Rania.

Rania segera mengelap air matanya dengan telapak tangan, segera mengeluarkan uang yang dia pinjam dari teman-temannya. “Ini aku ganti!” ujar Rania sembari menguulurkan uang lima juta rupiah kepada Joni.

“Tidak usah, itu untuk tabungan kamu saja!” Joni menolak dengan halus, memasukkannya kembali ke dalam tas Rania.

“Terima kasih, Jon. Kalau aku sudah punya uang dan jadi orang kaya akan aku kembalikan!” ujar Rania, air matanya kembali mengalir.

“Amien!” Joni mengamini, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, Rania tertawa.

“Pasti kamu belum makan?” tebak Joni. “Nih, aku belikan makanan kesukaanmu!” Joni mengulurkan sebuah bungkusan plastik hitam kepada Rania.

Rania tahu isinya, dan dia senang sekali.

Di sudut ruangan, seorang wanita dengan rok pendek, kacamata hitam, dan kaos super ketat mengawasi Rania dan Joni. Ada sebuah tatapan licik yang terselubung. Rania dan Joni tidak menyadarinya sama sekali. Apakah ini adalah sebuah awal dari keremangan hidup yang akan terjadi?

Related chapters

  • Ranjang Kehidupan   Masih Ada Tuhan

    Dua hari sudah ibu pulang dari rumah sakit. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Hanya saja setiap ibu menarik napas karena terbatuk-batuk, saat itulah hati Rania tidak menentu karena khawatir. Namun semua itu sudah cukup bagi Rania, ibunya sehat. Rania untuk sementara ini mengirimkan surat kepada pihak kampus untuk tidak kuliah beberapa hari, ia menggantikan semua pekerjaan rumah sementara adiknya sekolah. Sore hari gantian Asya yang menjaga ibu sedang Rania berangkat bekerja.“Kamu kuliah saja, Nia, ibu sudah tidak apa-apa!” ujar ibu kepada Rania ketika mereka duduk bersama di depan televisi.“Aku sudah mengirim surat ke kampus, Bu! Jadi tidak apa-apa beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah!” sahut Rania sembari mengganti tayangan televisi.“Nanti ketinggalan pelajaran?” kata ibu lagi.“Tidak apa-apa, Nia bisa belajar sendiri, Bu. Yang penting,” Rania menghadap ibunya, “sekarang ibu sehat terlebih d

    Last Updated : 2022-03-24
  • Ranjang Kehidupan   Awal Yang Suram

    Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan.Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.

    Last Updated : 2022-03-28
  • Ranjang Kehidupan   Itu Tidak Mungkin

    “Perkenalkan namaku Sinta, panggil saja aku dengan sebutan demikian!” ujar seorang wanita yang menamakan dengan diri dengan Sinta.“Namaku...”“Aku sudah tahu namamu, kau adalah Rania, bukan?”“Iya, aku Rania!”Rambut pirangnya melambai-lambai di bawa angin, lalu dia kembali berkata, “Aku yakin sekali pasti kamu datang sore ini. Aku yakin pasti kamu tengah membutuhkan uang yang banyak agar ibumu tetap hidup sehat!”“Apa pekerjaan yang bisa mbak Sinta berikan kepadaku?” Rania bertanya dengan polosnya.“Tenang, waktu masih sore. Aku akan menceritakan sebuah kisah yang akan membuat hidupmu lebih berwarna!” ujar Sinta. “Hidup ini memang sulit, Nia!” Sinta memulai ceritanya.Iya, memang sulit, batin Rania.“Tapi semua kesulitan pastilah ada jalan keluar yang akan menghantarkan pada kemudahan! Dahulu hidupku sama seperti hidupmu, Nia

    Last Updated : 2022-03-28
  • Ranjang Kehidupan   Terbersit Sebuah Pikiran

    Dua bulan berlalu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Rania setiap pagi kuliah kecuali hari libur. Beberapa bulan lagi Asya juga akan lulus dari sekolahnya. Sebuah tantangan yang baru telah datang, beban biaya hidup bertambah semakin banyak. Asya harus membayar uang ujian, juga uang pengobatan rutin untuk ibunya, satu bulan sekali. Semua itu adalah hasil dari kerja keras Rania, dibantu dengan ibunya yang sekarang berjualan berbagai macam kue.“Kak, sebentar lagi ujian!” kata Asya kepada kakaknya, Rania.“Biayanya berapa?” Rania langsung menebak pada apa yang akan dikatakan Asya kepadanya. Meskipun mereka berdua adalah adik-kakak, namun sepertinya mereka tidak banyak untuk saling bicara, tidak saling mengerti antara masalah satu dengan masalah yang lainnya.“Satu juta kalau tidak salah, Kak!” ujar Asya hati-hati.Sebenarnya Asya tidak bermaksud memberatkan hati kakaknya, namun semua ini harus dia lakukan, dia sendiri

    Last Updated : 2022-03-29
  • Ranjang Kehidupan   Maling di Tengah Malam

    “Uhuk-uhuk...”Terdengar suara tua terbatuk-batuk dari dalam kamar. Malam itu pukul sembilan, suasana sepi, hanya terdengar suara deru mesin kipas angin dan televisi dari ruang tengah. Tidak ada yang memperhatikan televisi itu, hanya nyamuk-nyamuk yang sesekali hinggap di layarnya.“Ibu sakit lagi, Dek?” tanya Rania pada adiknya.“Iya, Kak. Sudah dua hari ibu batu-batuk terus,” jawab Asya, adik Rania.Mereka berdua sedang berada di depan televisi yang menyala, suaranya lirih, terkalahkan dengan dengung mesin kipas angin.“Besok kamu bawa ibu ke puskesmas, iya, Dek!” perintah Rania. Memang Rania sendiri sejak pagi harus menyibukkan dengan diri. Pagi sampai siang kuliah, sedang sore sampai malam harus menjaga sebuah toko buku, bergantian dengan shif pagi.“Tidak mau, Kak, ibu. Aku tadi pagi sudah ajak ibu ke puskesmas, katanya tidak usah,” jelas Asya.“Sudah kamu belikan

    Last Updated : 2022-03-16
  • Ranjang Kehidupan   Menyakitkan

    “Kalian kira akan bisa mengalahkan kami?”Joni memberanikan diri untuk berkata. Semua sudah terjadi, dan tidak mungkin untuk kembali pulang, harga diri menjadi taruhan. “Aku berani melawan kalian sendirian. Namun, berhubung aku membawa dua temanku, kami akan melawan kalian bersama!” Dua teman Joni seandainya keadaannya tidak seperti ini maka akan tertawa.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanya salah seorang di depan itu.“Pergi dari sini atau kami akan memaksa kalian pergi?” Salah satu teman Joni berkata.“Jika kami tidak mau pergi dan kalian tidak bisa memaksa kami?”“Itu tidak akan terjadi!” ujar Joni berani.Hal yang tidak diduga Joni dan kawannya terjadi. Dua orang yang sepertinya akan merampok itu mengeluarkan pisau dari saku celananya. Joni semakin ketar-ketir. Pisau bersinar diterpa cahaya lampu samar-samar.“Bagaimana ini?” tanya Joni kep

    Last Updated : 2022-03-16
  • Ranjang Kehidupan   Teman Sejati

    Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.

    Last Updated : 2022-03-17
  • Ranjang Kehidupan   Ibu Hilang

    Rania memacu motor secepat mungkin, mendahului beberapa kendaraan bahkan puluhan. Sesampainya di depan rumah, setelah memasuki pagar, betapa terjekutnya ia mengetahui pintu depan terbuka lebar. Buru-buru Rania turun dan masuk ke dalam rumah.“IBU!” Rania setengah berteriak memanggil ibunya dari ruang tengah, namun tidak ada jawaban.“IBU!”Masih tidak ada jawaban yang terdengar.Rania berjalan ke ruang belakang, dapur, kamar mandi, tidak ada. Ada satu tempat yang ia lupa, kamarnya sendiri dan adiknya. Dengan segera ia pergi ke kamar, namun naas, tidak ada siapa-siapa di sana.“Ibu, ibu ke mana?” Tidak terasa air mata Rania menetes. Adiknya juga tidak ada. Keadaan benar-benar sepi. Satu hal yang membuat Rania bertambah khawatir, pintu rumah yang terbuka lebar, serta pintu kamar ibunya.Rania mencoba menghubungi adiknya.Ting... ting... aituDari kamarnya terdengar suara handphone berbunyi, itu

    Last Updated : 2022-03-17

Latest chapter

  • Ranjang Kehidupan   Terbersit Sebuah Pikiran

    Dua bulan berlalu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Rania setiap pagi kuliah kecuali hari libur. Beberapa bulan lagi Asya juga akan lulus dari sekolahnya. Sebuah tantangan yang baru telah datang, beban biaya hidup bertambah semakin banyak. Asya harus membayar uang ujian, juga uang pengobatan rutin untuk ibunya, satu bulan sekali. Semua itu adalah hasil dari kerja keras Rania, dibantu dengan ibunya yang sekarang berjualan berbagai macam kue.“Kak, sebentar lagi ujian!” kata Asya kepada kakaknya, Rania.“Biayanya berapa?” Rania langsung menebak pada apa yang akan dikatakan Asya kepadanya. Meskipun mereka berdua adalah adik-kakak, namun sepertinya mereka tidak banyak untuk saling bicara, tidak saling mengerti antara masalah satu dengan masalah yang lainnya.“Satu juta kalau tidak salah, Kak!” ujar Asya hati-hati.Sebenarnya Asya tidak bermaksud memberatkan hati kakaknya, namun semua ini harus dia lakukan, dia sendiri

  • Ranjang Kehidupan   Itu Tidak Mungkin

    “Perkenalkan namaku Sinta, panggil saja aku dengan sebutan demikian!” ujar seorang wanita yang menamakan dengan diri dengan Sinta.“Namaku...”“Aku sudah tahu namamu, kau adalah Rania, bukan?”“Iya, aku Rania!”Rambut pirangnya melambai-lambai di bawa angin, lalu dia kembali berkata, “Aku yakin sekali pasti kamu datang sore ini. Aku yakin pasti kamu tengah membutuhkan uang yang banyak agar ibumu tetap hidup sehat!”“Apa pekerjaan yang bisa mbak Sinta berikan kepadaku?” Rania bertanya dengan polosnya.“Tenang, waktu masih sore. Aku akan menceritakan sebuah kisah yang akan membuat hidupmu lebih berwarna!” ujar Sinta. “Hidup ini memang sulit, Nia!” Sinta memulai ceritanya.Iya, memang sulit, batin Rania.“Tapi semua kesulitan pastilah ada jalan keluar yang akan menghantarkan pada kemudahan! Dahulu hidupku sama seperti hidupmu, Nia

  • Ranjang Kehidupan   Awal Yang Suram

    Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan.Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.

  • Ranjang Kehidupan   Masih Ada Tuhan

    Dua hari sudah ibu pulang dari rumah sakit. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Hanya saja setiap ibu menarik napas karena terbatuk-batuk, saat itulah hati Rania tidak menentu karena khawatir. Namun semua itu sudah cukup bagi Rania, ibunya sehat. Rania untuk sementara ini mengirimkan surat kepada pihak kampus untuk tidak kuliah beberapa hari, ia menggantikan semua pekerjaan rumah sementara adiknya sekolah. Sore hari gantian Asya yang menjaga ibu sedang Rania berangkat bekerja.“Kamu kuliah saja, Nia, ibu sudah tidak apa-apa!” ujar ibu kepada Rania ketika mereka duduk bersama di depan televisi.“Aku sudah mengirim surat ke kampus, Bu! Jadi tidak apa-apa beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah!” sahut Rania sembari mengganti tayangan televisi.“Nanti ketinggalan pelajaran?” kata ibu lagi.“Tidak apa-apa, Nia bisa belajar sendiri, Bu. Yang penting,” Rania menghadap ibunya, “sekarang ibu sehat terlebih d

  • Ranjang Kehidupan   Datangnya Bantuan

    agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.“Lima juta. Aku berhara

  • Ranjang Kehidupan   Tidak Ada Jalan

    Banyak teman Rania yang kaya, beruang, tapi tidak semudah itu mengatakan itu kepada mereka, Joni adalah salah satunya. Tidak mudah mengatakan tentang uang kepada teman, apalagi Joni sendiri juga tengah mendapatkan masalah. Entah siapa yang bsia membantu Rania, entah siapa yang akan ia mintai pertolongan.Malam hari, Rania duduk termenung di kursi depan kamar rumah sakit, matanya memandang kejauhan, sesekali memerhatikan dokter atau suster yang lewat, atau wajah-wajah pengunjung yang penuh dengan beban. Mungkin salah satu masalah dari mereka ada yang sama dengan masalah Rania, yaitu soal biaya.“Siapa yang harus aku mintai bantuan?” ujar Rania seperti putus asa terhadap nasibnya.Lima juta bukan nominal yang sedikit bagi Rania. Bahkan, tabungannya mungkin hanya berkisar antara lima satus ribuan, dia masih memerlukan empat juga setegah untuk melengkapi. Perlahan Rania bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar ruangan ibu, melihat dari kaca pin

  • Ranjang Kehidupan   Ibu Hilang

    Rania memacu motor secepat mungkin, mendahului beberapa kendaraan bahkan puluhan. Sesampainya di depan rumah, setelah memasuki pagar, betapa terjekutnya ia mengetahui pintu depan terbuka lebar. Buru-buru Rania turun dan masuk ke dalam rumah.“IBU!” Rania setengah berteriak memanggil ibunya dari ruang tengah, namun tidak ada jawaban.“IBU!”Masih tidak ada jawaban yang terdengar.Rania berjalan ke ruang belakang, dapur, kamar mandi, tidak ada. Ada satu tempat yang ia lupa, kamarnya sendiri dan adiknya. Dengan segera ia pergi ke kamar, namun naas, tidak ada siapa-siapa di sana.“Ibu, ibu ke mana?” Tidak terasa air mata Rania menetes. Adiknya juga tidak ada. Keadaan benar-benar sepi. Satu hal yang membuat Rania bertambah khawatir, pintu rumah yang terbuka lebar, serta pintu kamar ibunya.Rania mencoba menghubungi adiknya.Ting... ting... aituDari kamarnya terdengar suara handphone berbunyi, itu

  • Ranjang Kehidupan   Teman Sejati

    Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.

  • Ranjang Kehidupan   Menyakitkan

    “Kalian kira akan bisa mengalahkan kami?”Joni memberanikan diri untuk berkata. Semua sudah terjadi, dan tidak mungkin untuk kembali pulang, harga diri menjadi taruhan. “Aku berani melawan kalian sendirian. Namun, berhubung aku membawa dua temanku, kami akan melawan kalian bersama!” Dua teman Joni seandainya keadaannya tidak seperti ini maka akan tertawa.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanya salah seorang di depan itu.“Pergi dari sini atau kami akan memaksa kalian pergi?” Salah satu teman Joni berkata.“Jika kami tidak mau pergi dan kalian tidak bisa memaksa kami?”“Itu tidak akan terjadi!” ujar Joni berani.Hal yang tidak diduga Joni dan kawannya terjadi. Dua orang yang sepertinya akan merampok itu mengeluarkan pisau dari saku celananya. Joni semakin ketar-ketir. Pisau bersinar diterpa cahaya lampu samar-samar.“Bagaimana ini?” tanya Joni kep

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status