Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan.
Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.
“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.
“Kakak, belum tidur?” Tiba-tiba Asya keluar dari dalam dan membuyarkan lamunan Rania.
“Belum, Dek! Kamu belum tidur?”
“Sudah, banyak nyamuk, jadi bangun lagi, deh!” ujar Asya memamerkan gigi rapinya.
“Kenapa tidak beli obat nyamuk?” tanya Rania.
“Asya tidak suka baunya, Kak!” jawab Asya. Dia berbohong. Sebenarnya yang membuat dia tidak membeli obat nyamuk adalah sebuah rasa prihatin. Dia tidak sampai hati membelikan uang yang diberikan kakaknya obat nyamuk. Asya mengerti betapa beratnya mencari uang, kendati dia sendiri belum penah melakukannya.
“Pakai kipas angin saja, nanti nyamuknya juga bakalan pergi!”
“Iya, Kak!”
Asya kembali masuk ke dalam rumah, masuk ke dalam kamarnya. Tidur.
Beberapa saat kemudian handphone Rania berbunyi, sebuah pesan singkat masuk. Nomor itu belum pernah menghubungi Rania sebelumnya, dia tidak mengenalnya.
“Siapa malam-malam ini kirim pesan?” tanya Rania pada gelapnya malam, pada suara gemerisik angin.
“Apakah kamu sudah tidur?”
Begitulah isi pesan singkat tersebut.
Rania membalas singkat dengan pertanyaan, “Siapa?”
Berselang tiga detik, nomor itu menelon Rania, Rania ragu-ragu mengangkatnya.
“Hai, Rania! Apa kabar? Kenapa malam-malam seperti ini belum tidur?” tanya suara dari seberang.
“Ini dengan siapa?” tanya balik Rania, dia tidak suka dengan basa-basi.
“Aku mengerti kamu tengah memikirkan jalan hidupmu, Rania.” Suara wanita dari seberang menebak-nebak, dan itu memang benar.
Suara wanita dari seberang benar-benar membuat Rania tercengang. Dia tidak pernah bercerita kepada siapapun, kecuali kepada teman-temannya, namun sekarang ada yang menebak nasib Rania dari kejauhan, yang bahkan Rania sendiri belum atau bahkan tidak bisa membayangkan wajah manusia itu.
“Sebenarnya kau siapa?” tanya Rania untuk yang kedua kalinya.
“Aku menawarkan pekerjaan kepadamu, dan kamu bisa mengobati ibumu, serta memenuhi kebutuhan keluarga!” ujar suara dari seberang lagi.
“Dari mana kau tahu bahwa aku tengah membutuhkan pekerjaan dan ibuku sakit?” tanya Rania lagi.
“Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah... aku menawarkan pekerjaan kepadamu dan gajinya tidak sepele!”
“Apa pekerjaannya?” Rania tertarik.
“Besok sore datanglah kau ke Taman Bunga Selatan!” ujar suara dari seberang.
“Untuk apa?”
Tot... tot... tot...
Telepon sudah dimatikan sepihak. Rania tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mengingat kata demi kata dari suara wanita itu. Separuh hati Rania langsung tertarik untuk menemuinya besok, namun hati lainnya mengatakan bahwa dia tidak akan memberikan manfaat apa-apa.
“Aku harus mencobanya, siapa tahu dia benar-benar akan memberikan pekerjaan kepadaku dan bayarannya cukup untuk keluarga!” ujar Rania kepada dirinya sendiri.
“Tidak-tidak, bagaimana jika adalah penipuan-penipuan yang sering terjadi di televisi?” Hati Rania yang lain menolak untuk datang.
“Ah, tapi apa untungnya menipuku?”
Rania mondar-mandir di teras sepertinya nyamuk yang tengah menyasar mangsanya. Rania ragu, namun separuh hatinya tertarik.
Pukul setengah dua malam barulah Rania bisa mengambil sebuah keputusan. Rania memutuskan untuk berangkat menemui suara wanita dari telepon. Besok, pada waktu yang ditentukan oleh penelepon, Rania akan datang menemuinya. Ini adalah sebuah rahasia. Tidak ada yang boleh mengetahui rencana yang masih samar-samar ini.
Rania masuk ke dalam rumah, samar-samar terdengar suara ibunya terbatuk-batuk. Rania berjalan mendekati kamar ibunya, mengintip dari balik sela-sela lubang pintu. Terlihat oleh Rania ibunya tengah membenahi selimutnya yang sedikit turun. Dengan wajah kasihan dan penu rasa bersalah, sebab tidak bisa menjaga ibunya dengan baik, Rania menatap itu semua. Kemudian beberapa saat berikutnya Rania masuk ke dalam kamarnya.
Malam berjalan, menyelam dengan deru angin yang menyapu bumi. Selanjutnya pagi datang dengan sinarnya yang cerah. Rania segera bangkit dari ranjangnya dan membuka jendela, nikmat nian tidak semalaman dengan nyenyak.
Ibu sudah bisa ditinggal, keadaannya berangsur-angsur membaik. Rania berangkat kuliah, Asya berangkat sekolah seperti biasa. Rania menunggu temannya di teras rumah, Asya berangkat terlebih dahulu. Semua berjalan begitu monoton, kehidupan ini biasa-biasa saja dan berjalan sama seperti dengan hari sebelumnya.
Sore harinya, pukul setengah lima Rania berangkat menuju taman yang dimaksudkan oleh penelepon. Rania berangkat setelah sebelumnya menghias diri dengan cukup. Dia mencegat angkutan umum di depan rumah. Begitulah susahnya bepergian ketika tidak punya kendaraan pribadi, itulah yang sekarang dirasakan oleh Rania.
Kurang lebih sepuluh menit akhirnya ada angkutan umum lewat. Sebuah mobil dengan warna dasar biru muda, akhirnya memudar dengan warna kehitam-hitaman. Kendaraan demi kendaraan saling berjajar, saling mendahului, dengan kepentingan yang berbeda-beda.
“Taman, Pak!” ujar Rania kepada sopir angkutan umum.
“Siap!” sahut sopir dengan jawaban mantap.
Kurang lebih dua puluh menit Rania sampai di taman, suasana ramai oleh hingar-bingar pengunjung. Taman itu tidak terlalu besar, namun pemandangannya sangat memanjakan mata. Muda-mudi berjalan, saling bergandengan mengadu kasih menebar senyum, anak-anak berjalan di depan orang tuanya dan berlari, kemudian orang tua berteriak, “Jangan lari-lari, Nak!”
Namanya juga anak-anak, bagaimana pun orang tua melarangnya, mereka akan tetap melakukan apa yang membuatnya bahagia.
“Hai, apakah kamu Rania?” Tiba-tiba ada seorang wanita berjalan menghampiri Rania. Rania terheran-heran dengan keadaan itu.
“Iya, benar. Ada apa?” tanya Rania.
“Kau sudah ditunggu di kursi paling ujung itu!” jawab wanita muda. “Semoga kau berhasil!” lanjutnya.
Wanita itu berkata lagi, “Aku akan melanjutkan perjalananku, ada job!” Dengan menebar senyum.
Rania memandang wanita itu dengan pandangan curiga. Ada rasa tidak nyaman di dalam hatinya. Namun Rania tetap melangkah menuju kursi taman paling ujung. Di sana ada seseorang dengan rambut pirang panjang memunggungi Rania.
“Perkenalkan namaku Sinta, panggil saja aku dengan sebutan demikian!” ujar seorang wanita yang menamakan dengan diri dengan Sinta.“Namaku...”“Aku sudah tahu namamu, kau adalah Rania, bukan?”“Iya, aku Rania!”Rambut pirangnya melambai-lambai di bawa angin, lalu dia kembali berkata, “Aku yakin sekali pasti kamu datang sore ini. Aku yakin pasti kamu tengah membutuhkan uang yang banyak agar ibumu tetap hidup sehat!”“Apa pekerjaan yang bisa mbak Sinta berikan kepadaku?” Rania bertanya dengan polosnya.“Tenang, waktu masih sore. Aku akan menceritakan sebuah kisah yang akan membuat hidupmu lebih berwarna!” ujar Sinta. “Hidup ini memang sulit, Nia!” Sinta memulai ceritanya.Iya, memang sulit, batin Rania.“Tapi semua kesulitan pastilah ada jalan keluar yang akan menghantarkan pada kemudahan! Dahulu hidupku sama seperti hidupmu, Nia
Dua bulan berlalu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Rania setiap pagi kuliah kecuali hari libur. Beberapa bulan lagi Asya juga akan lulus dari sekolahnya. Sebuah tantangan yang baru telah datang, beban biaya hidup bertambah semakin banyak. Asya harus membayar uang ujian, juga uang pengobatan rutin untuk ibunya, satu bulan sekali. Semua itu adalah hasil dari kerja keras Rania, dibantu dengan ibunya yang sekarang berjualan berbagai macam kue.“Kak, sebentar lagi ujian!” kata Asya kepada kakaknya, Rania.“Biayanya berapa?” Rania langsung menebak pada apa yang akan dikatakan Asya kepadanya. Meskipun mereka berdua adalah adik-kakak, namun sepertinya mereka tidak banyak untuk saling bicara, tidak saling mengerti antara masalah satu dengan masalah yang lainnya.“Satu juta kalau tidak salah, Kak!” ujar Asya hati-hati.Sebenarnya Asya tidak bermaksud memberatkan hati kakaknya, namun semua ini harus dia lakukan, dia sendiri
“Uhuk-uhuk...”Terdengar suara tua terbatuk-batuk dari dalam kamar. Malam itu pukul sembilan, suasana sepi, hanya terdengar suara deru mesin kipas angin dan televisi dari ruang tengah. Tidak ada yang memperhatikan televisi itu, hanya nyamuk-nyamuk yang sesekali hinggap di layarnya.“Ibu sakit lagi, Dek?” tanya Rania pada adiknya.“Iya, Kak. Sudah dua hari ibu batu-batuk terus,” jawab Asya, adik Rania.Mereka berdua sedang berada di depan televisi yang menyala, suaranya lirih, terkalahkan dengan dengung mesin kipas angin.“Besok kamu bawa ibu ke puskesmas, iya, Dek!” perintah Rania. Memang Rania sendiri sejak pagi harus menyibukkan dengan diri. Pagi sampai siang kuliah, sedang sore sampai malam harus menjaga sebuah toko buku, bergantian dengan shif pagi.“Tidak mau, Kak, ibu. Aku tadi pagi sudah ajak ibu ke puskesmas, katanya tidak usah,” jelas Asya.“Sudah kamu belikan
“Kalian kira akan bisa mengalahkan kami?”Joni memberanikan diri untuk berkata. Semua sudah terjadi, dan tidak mungkin untuk kembali pulang, harga diri menjadi taruhan. “Aku berani melawan kalian sendirian. Namun, berhubung aku membawa dua temanku, kami akan melawan kalian bersama!” Dua teman Joni seandainya keadaannya tidak seperti ini maka akan tertawa.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanya salah seorang di depan itu.“Pergi dari sini atau kami akan memaksa kalian pergi?” Salah satu teman Joni berkata.“Jika kami tidak mau pergi dan kalian tidak bisa memaksa kami?”“Itu tidak akan terjadi!” ujar Joni berani.Hal yang tidak diduga Joni dan kawannya terjadi. Dua orang yang sepertinya akan merampok itu mengeluarkan pisau dari saku celananya. Joni semakin ketar-ketir. Pisau bersinar diterpa cahaya lampu samar-samar.“Bagaimana ini?” tanya Joni kep
Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.
Rania memacu motor secepat mungkin, mendahului beberapa kendaraan bahkan puluhan. Sesampainya di depan rumah, setelah memasuki pagar, betapa terjekutnya ia mengetahui pintu depan terbuka lebar. Buru-buru Rania turun dan masuk ke dalam rumah.“IBU!” Rania setengah berteriak memanggil ibunya dari ruang tengah, namun tidak ada jawaban.“IBU!”Masih tidak ada jawaban yang terdengar.Rania berjalan ke ruang belakang, dapur, kamar mandi, tidak ada. Ada satu tempat yang ia lupa, kamarnya sendiri dan adiknya. Dengan segera ia pergi ke kamar, namun naas, tidak ada siapa-siapa di sana.“Ibu, ibu ke mana?” Tidak terasa air mata Rania menetes. Adiknya juga tidak ada. Keadaan benar-benar sepi. Satu hal yang membuat Rania bertambah khawatir, pintu rumah yang terbuka lebar, serta pintu kamar ibunya.Rania mencoba menghubungi adiknya.Ting... ting... aituDari kamarnya terdengar suara handphone berbunyi, itu
Banyak teman Rania yang kaya, beruang, tapi tidak semudah itu mengatakan itu kepada mereka, Joni adalah salah satunya. Tidak mudah mengatakan tentang uang kepada teman, apalagi Joni sendiri juga tengah mendapatkan masalah. Entah siapa yang bsia membantu Rania, entah siapa yang akan ia mintai pertolongan.Malam hari, Rania duduk termenung di kursi depan kamar rumah sakit, matanya memandang kejauhan, sesekali memerhatikan dokter atau suster yang lewat, atau wajah-wajah pengunjung yang penuh dengan beban. Mungkin salah satu masalah dari mereka ada yang sama dengan masalah Rania, yaitu soal biaya.“Siapa yang harus aku mintai bantuan?” ujar Rania seperti putus asa terhadap nasibnya.Lima juta bukan nominal yang sedikit bagi Rania. Bahkan, tabungannya mungkin hanya berkisar antara lima satus ribuan, dia masih memerlukan empat juga setegah untuk melengkapi. Perlahan Rania bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar ruangan ibu, melihat dari kaca pin
agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.“Lima juta. Aku berhara
Dua bulan berlalu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Rania setiap pagi kuliah kecuali hari libur. Beberapa bulan lagi Asya juga akan lulus dari sekolahnya. Sebuah tantangan yang baru telah datang, beban biaya hidup bertambah semakin banyak. Asya harus membayar uang ujian, juga uang pengobatan rutin untuk ibunya, satu bulan sekali. Semua itu adalah hasil dari kerja keras Rania, dibantu dengan ibunya yang sekarang berjualan berbagai macam kue.“Kak, sebentar lagi ujian!” kata Asya kepada kakaknya, Rania.“Biayanya berapa?” Rania langsung menebak pada apa yang akan dikatakan Asya kepadanya. Meskipun mereka berdua adalah adik-kakak, namun sepertinya mereka tidak banyak untuk saling bicara, tidak saling mengerti antara masalah satu dengan masalah yang lainnya.“Satu juta kalau tidak salah, Kak!” ujar Asya hati-hati.Sebenarnya Asya tidak bermaksud memberatkan hati kakaknya, namun semua ini harus dia lakukan, dia sendiri
“Perkenalkan namaku Sinta, panggil saja aku dengan sebutan demikian!” ujar seorang wanita yang menamakan dengan diri dengan Sinta.“Namaku...”“Aku sudah tahu namamu, kau adalah Rania, bukan?”“Iya, aku Rania!”Rambut pirangnya melambai-lambai di bawa angin, lalu dia kembali berkata, “Aku yakin sekali pasti kamu datang sore ini. Aku yakin pasti kamu tengah membutuhkan uang yang banyak agar ibumu tetap hidup sehat!”“Apa pekerjaan yang bisa mbak Sinta berikan kepadaku?” Rania bertanya dengan polosnya.“Tenang, waktu masih sore. Aku akan menceritakan sebuah kisah yang akan membuat hidupmu lebih berwarna!” ujar Sinta. “Hidup ini memang sulit, Nia!” Sinta memulai ceritanya.Iya, memang sulit, batin Rania.“Tapi semua kesulitan pastilah ada jalan keluar yang akan menghantarkan pada kemudahan! Dahulu hidupku sama seperti hidupmu, Nia
Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan.Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.
Dua hari sudah ibu pulang dari rumah sakit. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Hanya saja setiap ibu menarik napas karena terbatuk-batuk, saat itulah hati Rania tidak menentu karena khawatir. Namun semua itu sudah cukup bagi Rania, ibunya sehat. Rania untuk sementara ini mengirimkan surat kepada pihak kampus untuk tidak kuliah beberapa hari, ia menggantikan semua pekerjaan rumah sementara adiknya sekolah. Sore hari gantian Asya yang menjaga ibu sedang Rania berangkat bekerja.“Kamu kuliah saja, Nia, ibu sudah tidak apa-apa!” ujar ibu kepada Rania ketika mereka duduk bersama di depan televisi.“Aku sudah mengirim surat ke kampus, Bu! Jadi tidak apa-apa beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah!” sahut Rania sembari mengganti tayangan televisi.“Nanti ketinggalan pelajaran?” kata ibu lagi.“Tidak apa-apa, Nia bisa belajar sendiri, Bu. Yang penting,” Rania menghadap ibunya, “sekarang ibu sehat terlebih d
agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.“Lima juta. Aku berhara
Banyak teman Rania yang kaya, beruang, tapi tidak semudah itu mengatakan itu kepada mereka, Joni adalah salah satunya. Tidak mudah mengatakan tentang uang kepada teman, apalagi Joni sendiri juga tengah mendapatkan masalah. Entah siapa yang bsia membantu Rania, entah siapa yang akan ia mintai pertolongan.Malam hari, Rania duduk termenung di kursi depan kamar rumah sakit, matanya memandang kejauhan, sesekali memerhatikan dokter atau suster yang lewat, atau wajah-wajah pengunjung yang penuh dengan beban. Mungkin salah satu masalah dari mereka ada yang sama dengan masalah Rania, yaitu soal biaya.“Siapa yang harus aku mintai bantuan?” ujar Rania seperti putus asa terhadap nasibnya.Lima juta bukan nominal yang sedikit bagi Rania. Bahkan, tabungannya mungkin hanya berkisar antara lima satus ribuan, dia masih memerlukan empat juga setegah untuk melengkapi. Perlahan Rania bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar ruangan ibu, melihat dari kaca pin
Rania memacu motor secepat mungkin, mendahului beberapa kendaraan bahkan puluhan. Sesampainya di depan rumah, setelah memasuki pagar, betapa terjekutnya ia mengetahui pintu depan terbuka lebar. Buru-buru Rania turun dan masuk ke dalam rumah.“IBU!” Rania setengah berteriak memanggil ibunya dari ruang tengah, namun tidak ada jawaban.“IBU!”Masih tidak ada jawaban yang terdengar.Rania berjalan ke ruang belakang, dapur, kamar mandi, tidak ada. Ada satu tempat yang ia lupa, kamarnya sendiri dan adiknya. Dengan segera ia pergi ke kamar, namun naas, tidak ada siapa-siapa di sana.“Ibu, ibu ke mana?” Tidak terasa air mata Rania menetes. Adiknya juga tidak ada. Keadaan benar-benar sepi. Satu hal yang membuat Rania bertambah khawatir, pintu rumah yang terbuka lebar, serta pintu kamar ibunya.Rania mencoba menghubungi adiknya.Ting... ting... aituDari kamarnya terdengar suara handphone berbunyi, itu
Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.
“Kalian kira akan bisa mengalahkan kami?”Joni memberanikan diri untuk berkata. Semua sudah terjadi, dan tidak mungkin untuk kembali pulang, harga diri menjadi taruhan. “Aku berani melawan kalian sendirian. Namun, berhubung aku membawa dua temanku, kami akan melawan kalian bersama!” Dua teman Joni seandainya keadaannya tidak seperti ini maka akan tertawa.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanya salah seorang di depan itu.“Pergi dari sini atau kami akan memaksa kalian pergi?” Salah satu teman Joni berkata.“Jika kami tidak mau pergi dan kalian tidak bisa memaksa kami?”“Itu tidak akan terjadi!” ujar Joni berani.Hal yang tidak diduga Joni dan kawannya terjadi. Dua orang yang sepertinya akan merampok itu mengeluarkan pisau dari saku celananya. Joni semakin ketar-ketir. Pisau bersinar diterpa cahaya lampu samar-samar.“Bagaimana ini?” tanya Joni kep