Home / Romansa / Ranjang Kehidupan / Tidak Ada Jalan

Share

Tidak Ada Jalan

Author: Miko
last update Last Updated: 2022-03-21 14:03:00

Banyak teman Rania yang kaya, beruang, tapi tidak semudah itu mengatakan itu kepada mereka, Joni adalah salah satunya. Tidak mudah mengatakan tentang uang kepada teman, apalagi Joni sendiri juga tengah mendapatkan masalah. Entah siapa yang bsia membantu Rania, entah siapa yang akan ia mintai pertolongan.

Malam hari, Rania duduk termenung di kursi depan kamar rumah sakit, matanya memandang kejauhan, sesekali memerhatikan dokter atau suster yang lewat, atau wajah-wajah pengunjung yang penuh dengan beban. Mungkin salah satu masalah dari mereka ada yang sama dengan masalah Rania, yaitu soal biaya.

“Siapa yang harus aku mintai bantuan?” ujar Rania seperti putus asa terhadap nasibnya.

Lima juta bukan nominal yang sedikit bagi Rania. Bahkan, tabungannya mungkin hanya berkisar antara lima satus ribuan, dia masih memerlukan empat juga setegah untuk melengkapi. Perlahan Rania bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar ruangan ibu, melihat dari kaca pintu. Ibu tengah terbaring di sana, entah tidur atau pingsan. Asya di sampingnya meringkuk menyandarkan kepala pada sebagian kecil tempat tidur ibu, tangannya memegang tangan ibu yang lemas. Itu adalah penyemangat hidup Rania.

“Ran, kamu jangan bersedih!” Tiba-tiba ada suara dari belakang menyapanya. Rania kenal dengan suara itu.

“Hei, kamu kenapa malah ke sini, Jon?” tanya Rania heran sekalian khawatir.

“Aku sudah sembuh,” jawab Joni tidak merasa sakit sekalipun.

“Kok, kamu...” kata-kata Rania terhenti oleh suara Joni.

“Ada pesan masuk dari Asya, katanya ibumu masuk rumah sakit!” ujar Joni menerangkan perihal kedatangannya.

“Mana Alfin?” tanya Rania.

“Aku suruh dia pulang!”

Joni melangkah lemas menuju kursi putih di sudut ruangan, menyandarkan diri pada gagahnya dinding. Rania mengikutinya.

“Ibumu sakit apa?” tanya Joni.

“Entahlah, yang penting kronis!” jawab Rania asal-asalan.

Tapi dengan jawaban singkat itu Joni mengetahui bahwa Rania tengah dalam kesusahan, membutuhkan bantuan yang dia sulit untuk mengucapkannya. “Ada yang bisa aku bantu?” Joni menawarkan dengan ketulusan hati.

Rania menatap Joni sekilas, lalu membuang wajah. “Tidak ada, terima kasih,” ujar Rania. “Sok baik, kamu!” lanjut Rania.

“Yee... aku sungguh menawarkan bantuan, eh, malah ditolak!” Joni bersungut-sungut.

“Terima kasih. Nanti kalau aku butuh bantuan akan aku beri tahu!” ujar Rania, matanya sedikit mengantuk.

“Tidur saja kamu, Ran! Biar aku yang menunggu ibumu di luar sini!” Dengan tulus Joni menawarkan bantuan lagi.

“Seharusnya kamu yang segera tidur, Jon, lukamu belum benar-benar sembuh!”

Malam berlalu dengan cepatnya, dan Rania semakin memutar otak bagaimana untuk mendapatkan biaya yang sedemikian jumlahnya. Pukul setengah tiga akhirnya Rania membaringkan diri pada kursi, terlelap dalam dinginnya malam. Joni yang sedari tadi pura-pura tidur lantas bangkit dari posisi terbaringnya. Melepas jaket, menutupkannya pada tubuh Rania. Mereka adalah sahabat sejati yang takdir sulit untuk memisahkan.

Pukul lima pagi Joni beranjak dari kursinya, berjalan keluar rumah sakit, mencari warung terdekat. Joni bermaksud untuk membeli beberapa makanan ringan untuk mereka, juga minuman hangat. Jalanan mulai ramai, bahkan sejak subuh tadi. Kendaraan demi kendaraan saling merapat, memepet, saling mendahului. Mereka adalah pegawai kantoran yang harus datang tepat waktu, buruh pabrik yang menghidupi keluarga, para pencari kerja yang membawa ijasahnya ke mana-mana.

Satu warung sederhana di persimpangan jalan sudah membuka gerbangnya. Di sana banyak orang-orang berpakaian rapi duduk santai, kuli bangunan, sopir, bahkan beberapa wanita berdandan rapi. Joni masuk ke dalam, melihat seisi meja, banyak gorengan hangat tersaji.

“Susu putih hangat dua, susu putih dicampur teh satu, sama susu cokelat satu!” Joni memesan kepada penjaga warung, dia adalah ibu-ibu berjilbab hitam dengan celemek di depan tubuhnya.

“Siap!” jawabnya genit kepada Joni.

Joni mengambil plastik putih, lalu memasukkan beberapa gorengan, juga roti tawar. Beberapa saat kemudian semua pesanan sudah selesai disiapkan. “Silakan!” kata ibu itu ramah.

Tiga puluh ribu Joni membayar. Setelah itu Joni kembali berjalan menuju rumah sakit. Sesampainya dia di depan gerbang rumah sakit, ternyata keadaan lebih ramai dari pada ketika ia awal meninggalkannya. Rania tidak ada di kursi tempat ia membaringkan diri, Joni langsung melangkah menuju ruang ibunya Rania, mungkin di sana. Benar, Rania duduk di samping Asya.

“Assalamu’alaikum!” Joni berkata salam kepada mereka.

“W*’alaikum salam!” terdengar jawaban salam kompak, suara ibu paling lirih.

“Kamu dari mana, Jon?” tanya Rania setelah Joni mengambil kursi dan duduk.

“Beli minuman!” jawabnya.

Sekalian tadi Joni membeli empat gelas plastik. Joni membukakan susu putih untuk ibu, tampak wajah ibu lebih cerah dari sebelumnya, tapi rasa sakit masih tersimpan di sana. Ibu berusaha duduk, Asya membantunya.

“Terima kasih, Joni!” ujar ibu setelah sekali menyeruput susu putih di gelas plastik.

Joni hanya tertawa pelan. “Kalian puasa?” tanya Joni pada Rania dan Asya.

“Ini untuk aku, Mas?” tanya Asya kepada Joni.

“Iya, itu untuk kamu. Dan satunya lagi, itu untuk sesajen penunggu rumah sakit!” ujar Joni, melirik Rania. Asya tertawa, baru bangun langsung tertawa.

“Siapa?” Rania bertanya untuk meyakinkan.

“Kamu, lah!” sahut Joni.

Rania mengambil susu putih bercampur teh, itu adalah minuman kesukaan Rania. Ada cerita manis sekaligus mengharukan di balik minuman kesukaan Rania tersebut.

Pada suatu hari, Rania menangis meminta susu cokelat kepada bapaknya, hujan lebat, dan di rumah hanya ada susu putih. Akhirnya bapak berinisiatif untuk mencampur susu putih dengan teh agar warnanya berubah menjadi cokelat. Mulai saat itulah Rania menyukai minuman yang tidak terduga itu.

Ingat akan hal itu selalu membuat Rania menitikkan air mata. Tidak terasa air mata Rania mengalir, namun dengan segera ia menghapusnya sebelum orang-orang mengetahui.

“Hus, sudah tua dilarang menangis!” bisik Joni kepada Rania. Joni selalu tahu perubahan kecil pada wajah Rania.

“Aku masih ngantuk, bukan menangis!”

Joni tersenyum simpul, samar.

Rania teringat sebuah hal, dengan segera ia berpamitan kepada ibunya, Asya, dan Joni.

“Aku pergi dahulu, ada urusan penting dan mendadak!”

Semua menatap Rania dengan tatapan bingung.

Rania melangkah keluar rumah sakit tergesa-gesa, menuju parkiran dan segera menyalakan mesin motor, memacunya beradu dengan puluhan bahkan ratusan kendaraan lain.

Related chapters

  • Ranjang Kehidupan   Datangnya Bantuan

    agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.“Lima juta. Aku berhara

    Last Updated : 2022-03-21
  • Ranjang Kehidupan   Masih Ada Tuhan

    Dua hari sudah ibu pulang dari rumah sakit. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Hanya saja setiap ibu menarik napas karena terbatuk-batuk, saat itulah hati Rania tidak menentu karena khawatir. Namun semua itu sudah cukup bagi Rania, ibunya sehat. Rania untuk sementara ini mengirimkan surat kepada pihak kampus untuk tidak kuliah beberapa hari, ia menggantikan semua pekerjaan rumah sementara adiknya sekolah. Sore hari gantian Asya yang menjaga ibu sedang Rania berangkat bekerja.“Kamu kuliah saja, Nia, ibu sudah tidak apa-apa!” ujar ibu kepada Rania ketika mereka duduk bersama di depan televisi.“Aku sudah mengirim surat ke kampus, Bu! Jadi tidak apa-apa beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah!” sahut Rania sembari mengganti tayangan televisi.“Nanti ketinggalan pelajaran?” kata ibu lagi.“Tidak apa-apa, Nia bisa belajar sendiri, Bu. Yang penting,” Rania menghadap ibunya, “sekarang ibu sehat terlebih d

    Last Updated : 2022-03-24
  • Ranjang Kehidupan   Awal Yang Suram

    Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan.Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.

    Last Updated : 2022-03-28
  • Ranjang Kehidupan   Itu Tidak Mungkin

    “Perkenalkan namaku Sinta, panggil saja aku dengan sebutan demikian!” ujar seorang wanita yang menamakan dengan diri dengan Sinta.“Namaku...”“Aku sudah tahu namamu, kau adalah Rania, bukan?”“Iya, aku Rania!”Rambut pirangnya melambai-lambai di bawa angin, lalu dia kembali berkata, “Aku yakin sekali pasti kamu datang sore ini. Aku yakin pasti kamu tengah membutuhkan uang yang banyak agar ibumu tetap hidup sehat!”“Apa pekerjaan yang bisa mbak Sinta berikan kepadaku?” Rania bertanya dengan polosnya.“Tenang, waktu masih sore. Aku akan menceritakan sebuah kisah yang akan membuat hidupmu lebih berwarna!” ujar Sinta. “Hidup ini memang sulit, Nia!” Sinta memulai ceritanya.Iya, memang sulit, batin Rania.“Tapi semua kesulitan pastilah ada jalan keluar yang akan menghantarkan pada kemudahan! Dahulu hidupku sama seperti hidupmu, Nia

    Last Updated : 2022-03-28
  • Ranjang Kehidupan   Terbersit Sebuah Pikiran

    Dua bulan berlalu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Rania setiap pagi kuliah kecuali hari libur. Beberapa bulan lagi Asya juga akan lulus dari sekolahnya. Sebuah tantangan yang baru telah datang, beban biaya hidup bertambah semakin banyak. Asya harus membayar uang ujian, juga uang pengobatan rutin untuk ibunya, satu bulan sekali. Semua itu adalah hasil dari kerja keras Rania, dibantu dengan ibunya yang sekarang berjualan berbagai macam kue.“Kak, sebentar lagi ujian!” kata Asya kepada kakaknya, Rania.“Biayanya berapa?” Rania langsung menebak pada apa yang akan dikatakan Asya kepadanya. Meskipun mereka berdua adalah adik-kakak, namun sepertinya mereka tidak banyak untuk saling bicara, tidak saling mengerti antara masalah satu dengan masalah yang lainnya.“Satu juta kalau tidak salah, Kak!” ujar Asya hati-hati.Sebenarnya Asya tidak bermaksud memberatkan hati kakaknya, namun semua ini harus dia lakukan, dia sendiri

    Last Updated : 2022-03-29
  • Ranjang Kehidupan   Maling di Tengah Malam

    “Uhuk-uhuk...”Terdengar suara tua terbatuk-batuk dari dalam kamar. Malam itu pukul sembilan, suasana sepi, hanya terdengar suara deru mesin kipas angin dan televisi dari ruang tengah. Tidak ada yang memperhatikan televisi itu, hanya nyamuk-nyamuk yang sesekali hinggap di layarnya.“Ibu sakit lagi, Dek?” tanya Rania pada adiknya.“Iya, Kak. Sudah dua hari ibu batu-batuk terus,” jawab Asya, adik Rania.Mereka berdua sedang berada di depan televisi yang menyala, suaranya lirih, terkalahkan dengan dengung mesin kipas angin.“Besok kamu bawa ibu ke puskesmas, iya, Dek!” perintah Rania. Memang Rania sendiri sejak pagi harus menyibukkan dengan diri. Pagi sampai siang kuliah, sedang sore sampai malam harus menjaga sebuah toko buku, bergantian dengan shif pagi.“Tidak mau, Kak, ibu. Aku tadi pagi sudah ajak ibu ke puskesmas, katanya tidak usah,” jelas Asya.“Sudah kamu belikan

    Last Updated : 2022-03-16
  • Ranjang Kehidupan   Menyakitkan

    “Kalian kira akan bisa mengalahkan kami?”Joni memberanikan diri untuk berkata. Semua sudah terjadi, dan tidak mungkin untuk kembali pulang, harga diri menjadi taruhan. “Aku berani melawan kalian sendirian. Namun, berhubung aku membawa dua temanku, kami akan melawan kalian bersama!” Dua teman Joni seandainya keadaannya tidak seperti ini maka akan tertawa.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanya salah seorang di depan itu.“Pergi dari sini atau kami akan memaksa kalian pergi?” Salah satu teman Joni berkata.“Jika kami tidak mau pergi dan kalian tidak bisa memaksa kami?”“Itu tidak akan terjadi!” ujar Joni berani.Hal yang tidak diduga Joni dan kawannya terjadi. Dua orang yang sepertinya akan merampok itu mengeluarkan pisau dari saku celananya. Joni semakin ketar-ketir. Pisau bersinar diterpa cahaya lampu samar-samar.“Bagaimana ini?” tanya Joni kep

    Last Updated : 2022-03-16
  • Ranjang Kehidupan   Teman Sejati

    Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.

    Last Updated : 2022-03-17

Latest chapter

  • Ranjang Kehidupan   Terbersit Sebuah Pikiran

    Dua bulan berlalu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Rania setiap pagi kuliah kecuali hari libur. Beberapa bulan lagi Asya juga akan lulus dari sekolahnya. Sebuah tantangan yang baru telah datang, beban biaya hidup bertambah semakin banyak. Asya harus membayar uang ujian, juga uang pengobatan rutin untuk ibunya, satu bulan sekali. Semua itu adalah hasil dari kerja keras Rania, dibantu dengan ibunya yang sekarang berjualan berbagai macam kue.“Kak, sebentar lagi ujian!” kata Asya kepada kakaknya, Rania.“Biayanya berapa?” Rania langsung menebak pada apa yang akan dikatakan Asya kepadanya. Meskipun mereka berdua adalah adik-kakak, namun sepertinya mereka tidak banyak untuk saling bicara, tidak saling mengerti antara masalah satu dengan masalah yang lainnya.“Satu juta kalau tidak salah, Kak!” ujar Asya hati-hati.Sebenarnya Asya tidak bermaksud memberatkan hati kakaknya, namun semua ini harus dia lakukan, dia sendiri

  • Ranjang Kehidupan   Itu Tidak Mungkin

    “Perkenalkan namaku Sinta, panggil saja aku dengan sebutan demikian!” ujar seorang wanita yang menamakan dengan diri dengan Sinta.“Namaku...”“Aku sudah tahu namamu, kau adalah Rania, bukan?”“Iya, aku Rania!”Rambut pirangnya melambai-lambai di bawa angin, lalu dia kembali berkata, “Aku yakin sekali pasti kamu datang sore ini. Aku yakin pasti kamu tengah membutuhkan uang yang banyak agar ibumu tetap hidup sehat!”“Apa pekerjaan yang bisa mbak Sinta berikan kepadaku?” Rania bertanya dengan polosnya.“Tenang, waktu masih sore. Aku akan menceritakan sebuah kisah yang akan membuat hidupmu lebih berwarna!” ujar Sinta. “Hidup ini memang sulit, Nia!” Sinta memulai ceritanya.Iya, memang sulit, batin Rania.“Tapi semua kesulitan pastilah ada jalan keluar yang akan menghantarkan pada kemudahan! Dahulu hidupku sama seperti hidupmu, Nia

  • Ranjang Kehidupan   Awal Yang Suram

    Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan.Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.

  • Ranjang Kehidupan   Masih Ada Tuhan

    Dua hari sudah ibu pulang dari rumah sakit. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Hanya saja setiap ibu menarik napas karena terbatuk-batuk, saat itulah hati Rania tidak menentu karena khawatir. Namun semua itu sudah cukup bagi Rania, ibunya sehat. Rania untuk sementara ini mengirimkan surat kepada pihak kampus untuk tidak kuliah beberapa hari, ia menggantikan semua pekerjaan rumah sementara adiknya sekolah. Sore hari gantian Asya yang menjaga ibu sedang Rania berangkat bekerja.“Kamu kuliah saja, Nia, ibu sudah tidak apa-apa!” ujar ibu kepada Rania ketika mereka duduk bersama di depan televisi.“Aku sudah mengirim surat ke kampus, Bu! Jadi tidak apa-apa beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah!” sahut Rania sembari mengganti tayangan televisi.“Nanti ketinggalan pelajaran?” kata ibu lagi.“Tidak apa-apa, Nia bisa belajar sendiri, Bu. Yang penting,” Rania menghadap ibunya, “sekarang ibu sehat terlebih d

  • Ranjang Kehidupan   Datangnya Bantuan

    agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.“Lima juta. Aku berhara

  • Ranjang Kehidupan   Tidak Ada Jalan

    Banyak teman Rania yang kaya, beruang, tapi tidak semudah itu mengatakan itu kepada mereka, Joni adalah salah satunya. Tidak mudah mengatakan tentang uang kepada teman, apalagi Joni sendiri juga tengah mendapatkan masalah. Entah siapa yang bsia membantu Rania, entah siapa yang akan ia mintai pertolongan.Malam hari, Rania duduk termenung di kursi depan kamar rumah sakit, matanya memandang kejauhan, sesekali memerhatikan dokter atau suster yang lewat, atau wajah-wajah pengunjung yang penuh dengan beban. Mungkin salah satu masalah dari mereka ada yang sama dengan masalah Rania, yaitu soal biaya.“Siapa yang harus aku mintai bantuan?” ujar Rania seperti putus asa terhadap nasibnya.Lima juta bukan nominal yang sedikit bagi Rania. Bahkan, tabungannya mungkin hanya berkisar antara lima satus ribuan, dia masih memerlukan empat juga setegah untuk melengkapi. Perlahan Rania bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar ruangan ibu, melihat dari kaca pin

  • Ranjang Kehidupan   Ibu Hilang

    Rania memacu motor secepat mungkin, mendahului beberapa kendaraan bahkan puluhan. Sesampainya di depan rumah, setelah memasuki pagar, betapa terjekutnya ia mengetahui pintu depan terbuka lebar. Buru-buru Rania turun dan masuk ke dalam rumah.“IBU!” Rania setengah berteriak memanggil ibunya dari ruang tengah, namun tidak ada jawaban.“IBU!”Masih tidak ada jawaban yang terdengar.Rania berjalan ke ruang belakang, dapur, kamar mandi, tidak ada. Ada satu tempat yang ia lupa, kamarnya sendiri dan adiknya. Dengan segera ia pergi ke kamar, namun naas, tidak ada siapa-siapa di sana.“Ibu, ibu ke mana?” Tidak terasa air mata Rania menetes. Adiknya juga tidak ada. Keadaan benar-benar sepi. Satu hal yang membuat Rania bertambah khawatir, pintu rumah yang terbuka lebar, serta pintu kamar ibunya.Rania mencoba menghubungi adiknya.Ting... ting... aituDari kamarnya terdengar suara handphone berbunyi, itu

  • Ranjang Kehidupan   Teman Sejati

    Genap pucat wajah Joni ketika memasuki halaman rumah sakit yang luas itu. Rania dan teman Joni langsung membopong Joni menuju ruang gawat darurat. Seorang satpam memandang mereka dengan wajah datar, dia sudah biasa bahkan dengan kematian sekali pun, jadi dia tidak begitu khawatir dengan kedatangan Rania dan teman-temannya yang membopong Joni.Di lorong yang terang oleh lampu itu Rania dihentikan oleh seorang suster, memakai seragam serba hitam. Rok putihnya selutut, rambutnya diikat dengan pengikat berwarna hitam. “Ada apa ini?” tanya suster itu dengan santainya.“Teman kami sedang luka parah!” jawab Rania dengan raut wajah khawatir, dia benar-benar baru menemani orang yang terluka sekali ini.“Apakah kalian sudah mendaftar?” tanya suster lagi.“Apakah tidak bisa nanti saja, Bu?” tanya Rania.“Tidak bisa, semua harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku!” ujar suster bersikeras.

  • Ranjang Kehidupan   Menyakitkan

    “Kalian kira akan bisa mengalahkan kami?”Joni memberanikan diri untuk berkata. Semua sudah terjadi, dan tidak mungkin untuk kembali pulang, harga diri menjadi taruhan. “Aku berani melawan kalian sendirian. Namun, berhubung aku membawa dua temanku, kami akan melawan kalian bersama!” Dua teman Joni seandainya keadaannya tidak seperti ini maka akan tertawa.“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanya salah seorang di depan itu.“Pergi dari sini atau kami akan memaksa kalian pergi?” Salah satu teman Joni berkata.“Jika kami tidak mau pergi dan kalian tidak bisa memaksa kami?”“Itu tidak akan terjadi!” ujar Joni berani.Hal yang tidak diduga Joni dan kawannya terjadi. Dua orang yang sepertinya akan merampok itu mengeluarkan pisau dari saku celananya. Joni semakin ketar-ketir. Pisau bersinar diterpa cahaya lampu samar-samar.“Bagaimana ini?” tanya Joni kep

DMCA.com Protection Status