Airen membelokkan mobilnya untuk memasuki sebuah daerah perumahan menengah ke atas. Sesaat ia melihat kembali alamat yang telah diberikan Airel untuk memastikan bahwa tujuannya telah benar. Tepat di rumah bertuliskan nomor 34B, ia pun memarkirkan mobilnya. Sebuah hunian sederhana yang didominasi oleh warna cokelat telah berdiri kokoh di hadapannya. Meski hanya satu lantai, tapi dari depan sudah bisa dipastikan bahwa bangunan itu sangat luas.
Airen memencet bel dua kali tapi belum juga ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Saat hendak menekan untuk ketiga kalinya, terdengar suara kunci pintu yang hendak dibuka. Seorang pria berperawakan sedang menjulurkan kepala dengan pintu setengah terbuka.
"Oh, Airel," ujar pria itu lega. "Silahkan masuk! Maaf telah membuatmu menunggu, tadi aku masih di kamar mandi."
"Aku bukan Airel tapi Airen," koreksi Airen.
"Oh, maaf. Aku pikir Airel yang datang. Lagi pula aku masih belum bisa membedakan kalian berdua."
"Ti
Tepat pukul tiga sore Airen tiba di rumah Mira. Ia memang telah membuat janji untuk bertemu dengan Anggi dan Mira di sore hari, tepatnya setelah Anggi selesai konsultasi medis dengan Dokter Hardian."Bagaimana hasil konsultasinya?" tanya Airen pada Anggi yang ada di hadapannya."Katanya ada perubahan ke arah yang lebih baik," balas Anggi sambil memandang Airen.Airen menautkan alisnya lalu berkata, "Kau setuju?"Anggi tersenyum semringah. "Setidaknya aku merasa lebih kuat mejalani ini karena ada dukungan dari kalian.""Aku mengerti ini bukanlah hal yang mudah dan aku sangat salut padamu," puji Airen."Airen benar, kau jauh lebih kuat dibandingkan kami," timpal Mira."Tapi mengenai obat ... aku kemarin mengalami sedikit masalah," cerita Anggi."Masalah bagaimana?" selidik Airen."Aku tidak pernah mengonsumsi obat seperti itu sebelumnya. Pada bulan kedua aku cukup merasa ketergantungan tapi tubuhku serasa ada penolakan set
Alfie duduk di hadapan Inspektur Yoga. Jarak mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja kerja yang ada di antara mereka. Sesekali mereka menyesap kopi sambil saling bicara."Saya harus meminta keterangan Pak Alfie mengenai korban yang bernama Yofi itu. Lagi pula berdasarkan hasil forensik, kami menemukan banyak riwayat panggilan Bapak di ponsel korban untuk dua bulan terakhir," kata Inspektur Yoga lalu meletakkan cangkir kopinya."Ya, kami adalah teman akrab. Bukankah hal yang wajar jika kami terus menjaga komunikasi?""Saya setuju akan hal itu," jawab Inspektur Yoga lalu mencondongkan badannya ke depan. "Kapan Bapak terakhir kali bertemu dengannya?"Alfie melirik matanya ke atas sekilas lalu kembali menatap pupil cokelat milik Inspektur Yoga. "Hampir sebulan yang lalu.""Apakah itu di sebuah kafe yang sesuai dengan pesan singkat yang telah Bapak kirimkan padanya?""Ya, benar," jawab Alfie singkat disertai anggukan samar.Alfie menyesap
Waktu telah menunjukkan pukul 23.40, tapi Si Kembar belum bisa memejamkan mata. Mereka menatap langit-langit sambil rebahan di atas tempat tidur. Mereka juga terus bertukar cerita lalu berdiskusi mengenai penyelidikan yang telah dilakukan."Kuharap informasi mengenai kematian Claudia bisa sangat membantu. Setidaknya bisa membuat Edi untuk buka mulut. Aku bisa merasakan betul dari gerak-gerik tubuhnya mengatakan ia sedang menyimpan rahasia penting.""Apa ia terlihat berbohong?" tanya Airen"Tidak. Sebenarnya Edi juga tidak tahu mengenai peneror itu. Ia juga tidak terlihat merasa memiliki musuh. Namun aku menyadari ia sedang menutupi rahasia lain yang menurutnya sebuah kesalahan namun ia tak berani mengakuinya.""Jadi maksudmu rahasia itu bisa saja menjadi dasar seseorang menginginkan nyawanya?" tanya Airen lagi berusaha mengerti."Ya, dan Edi tidak menyadari itu," tegas Airel."Bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu hanya berdasarkan fis
"Kenapa dengan Anggi?" tanya Dokter Hardian dengan suara beratnya."Apakah Anggi belum menceritakan tentang kehamilannya?" jawab Airel dengan tanya."Dia sudah memberitahuku tentang kehamilannya. Apakah kau ingin protes lagi tentang alprazolam?" balas Dokter Hardian disertai tawa kecil. "Jika memang iya, kau tak perlu khawatir. Aku tahu untuk penggunaan alprazolam memang sangat tidak dianjurkan bagi wanita hamil, tapi aku tidak mungkin menghentikannya langsung. Oleh karena itu, aku akan menuruni dosisnya secara berkala," terang Dokter Hardian tanpa melepas tatapan ke Airel.Airel kembali menyesap teh, dari tempatnya duduk ia bisa milihat manik mata dan ekspresi pria berkacamata yang ada di hadapannya. Keheningan seketika menyergap mereka untuk sesaat. Tanpa suara dan perbincangan mereka hanya saling menatap seolah saling beradu argumen dalam pikiran. Airel merasakan bahwa Dokter Hardian juga sedang membaca gerak-geriknya. Lagi pula bukan hal yang aneh jika seora
Airel melipatkan lengan di dada. Netranya lekat memperhatikan tiap-tiap orang yang diinterogasi oleh Bripka Adi dari balik cermin dua arah. Lebih dari tujuh orang telah diinterogasi oleh polisi itu, tapi Airel selalu menunjukkan ekspresi yang sama."Bagaimana, Rel? Kau menemukan sesuatu?" berondong Aipda Hendri yang ada di sebelahnya.Airel menggelengkan kepalanya. "Nihil, semuanya sama.""Apa kau yakin?" tanya lelaki itu lagi membuat Airel memicing tajam ke arahnya.Lelaki berperawakan sedang itu melengos ke samping. "Maksudku kesimpulan dari keseluruhan yang telah kau amati." Buru-buru ia meralat ucapannya.Airel terdiam sejenak. "Untuk keseluruhan tidak ada yang mencurigakan. Semuanya normal pada umumnya seperti rasa takut, ragu atau gugup karena ditanya-tanya oleh seorang polisi. Sampai orang di daftar terakhir pun aku tidak menemukan ada yang berusaha berbohong atau menutupi rahasia."Aipda Hendri berdeham pelan seraya memegang dagu seo
Airen terbangun dari tidur siang karena perutnya terus berbunyi pertanda minta diisi. Kebetulan Airel juga sedang memasak di dapur, jadi aroma masakan Airel mampu menggoda indra penciumannya. Kemudian ia berjalan menuju dapur dengan tangan kanan masih memegang buku merah. Ya, sejak pagi ia memang berusaha memahami isi buku merah hingga tertidur."Aku lapar," ujar Airen terduduk lesu dan menempelkan pipinya di meja makan."Tunggu sebentar. Ini sudah siap dan tinggal disalin," balas Airel sambil mengambil dua piring kosong.Airen menegakkan posisi duduknya lalu meletakkan buku merah di atas meja. "Buku ini benar-benar sudah menguras energiku," keluhnya membuat Airel tersenyum simpul."Padahal dari tadi aku hanya melihatmu tidur di sofa," ledek Airel sembari meletakkan piring yang telah diisi dengan nasi goreng dan telur ceplok di atasnya."Aku betul-betul menyelidiki isi buku ini," sangkal Airen lalu memasukkan sendokan pertama ke mulutnya.Ai
Mira belum bisa menenangkan dirinya meski pemakaman Anggi sudah usai. Air matanya berulang kali berair tiap mengingat kenangan bersama sahabatnya itu. Ia tertunduk lesu saat melihat gambar dirinya dan Anggi dalam sebuah foto yang ada di atas pangkuannya. Dua gadis kecil tersenyum lebar seakan tidak pernah merasakan pahitnya hidup.Airel dan Airen duduk di samping Mira. "Kita akan lewati ini bersama, Anggi pasti akan sedih jika kau terus menangis." Airel menenangkan sembari mengusap-usap bahu Mira.Mira menyeka air matanya lalu melihat si Kembar bergantian. "Terima kasih," ujarnya. Lalu ia menunjukkan liontin biru yang sedang dikenakannya pada si Kembar. "Ini adalah pemberian dari Anggi, dengan ini aku akan selalu mengingatnya." Mira mengecup liontin yang berbentuk tetesan air itu dengan mata terpejam seakan merasakan kehadiran yang begitu dekat dari sahabatnya.Mira membuka matanya perlahan, terlihat dia berusaha tegar untuk tidak terus menangisi kepergian Anggi
Airel duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Matanya lurus menatap Edi yang ada di hadapannya. Sama dengan pertemuan sebelumnya, mereka hanya dipisahkan oleh dinding kaca yang dilapisi dengan terali besi."Aku sudah menduga kau pasti akan memintaku untuk datang lagi," ujar Airen tersenyum semringah.Padahal tanpa diminta Edi pun, Airel tetap akan datang. Namun semuanya seperti kebetulan yang telah diatur. Pada hari sebelumnya, Airel mendapatkan telepon dari sipir yang telah ia jadikan sebagai perantara dirinya dan Edi. Sipir itu mengatakan bahwa Edi ingin membicarakan hal yang penting dengan Airel."Sudahlah, Rel. Langsung ke inti permasalahannya saja, aku akan membantumu tapi aku tidak tahu hal apa yang kau ingin aku lakukan.""Baiklah," Airel menegakkan tubuhnya. Tatapannya menembus manik mata milik Edi lalu dengan anggun Airel berkata, "Apakah kau pernah melakukan hal buruk atau merugikan orang lain di masa lalu? Sehingga ada orang yang memiliki cuku