Share

- 39 -

Author: Arsenerka
last update Last Updated: 2021-10-22 14:13:11

Airel melipatkan lengan di dada. Netranya lekat memperhatikan tiap-tiap orang yang diinterogasi oleh Bripka Adi dari balik cermin dua arah. Lebih dari tujuh orang telah diinterogasi oleh polisi itu, tapi Airel selalu menunjukkan ekspresi yang sama.

"Bagaimana, Rel? Kau menemukan sesuatu?" berondong Aipda Hendri yang ada di sebelahnya.

Airel menggelengkan kepalanya. "Nihil, semuanya sama."

"Apa kau yakin?" tanya lelaki itu lagi membuat Airel memicing tajam ke arahnya.

Lelaki berperawakan sedang itu melengos ke samping. "Maksudku kesimpulan dari keseluruhan yang telah kau amati." Buru-buru ia meralat ucapannya.

Airel terdiam sejenak. "Untuk keseluruhan tidak ada yang mencurigakan. Semuanya normal pada umumnya seperti rasa takut, ragu atau gugup karena ditanya-tanya oleh seorang polisi. Sampai orang di daftar terakhir pun aku tidak menemukan ada yang berusaha berbohong atau menutupi rahasia."

Aipda Hendri berdeham pelan seraya memegang dagu seo

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ramalan Buku Merah   - 40 -

    Airen terbangun dari tidur siang karena perutnya terus berbunyi pertanda minta diisi. Kebetulan Airel juga sedang memasak di dapur, jadi aroma masakan Airel mampu menggoda indra penciumannya. Kemudian ia berjalan menuju dapur dengan tangan kanan masih memegang buku merah. Ya, sejak pagi ia memang berusaha memahami isi buku merah hingga tertidur."Aku lapar," ujar Airen terduduk lesu dan menempelkan pipinya di meja makan."Tunggu sebentar. Ini sudah siap dan tinggal disalin," balas Airel sambil mengambil dua piring kosong.Airen menegakkan posisi duduknya lalu meletakkan buku merah di atas meja. "Buku ini benar-benar sudah menguras energiku," keluhnya membuat Airel tersenyum simpul."Padahal dari tadi aku hanya melihatmu tidur di sofa," ledek Airel sembari meletakkan piring yang telah diisi dengan nasi goreng dan telur ceplok di atasnya."Aku betul-betul menyelidiki isi buku ini," sangkal Airen lalu memasukkan sendokan pertama ke mulutnya.Ai

    Last Updated : 2021-10-24
  • Ramalan Buku Merah   - 41 -

    Mira belum bisa menenangkan dirinya meski pemakaman Anggi sudah usai. Air matanya berulang kali berair tiap mengingat kenangan bersama sahabatnya itu. Ia tertunduk lesu saat melihat gambar dirinya dan Anggi dalam sebuah foto yang ada di atas pangkuannya. Dua gadis kecil tersenyum lebar seakan tidak pernah merasakan pahitnya hidup.Airel dan Airen duduk di samping Mira. "Kita akan lewati ini bersama, Anggi pasti akan sedih jika kau terus menangis." Airel menenangkan sembari mengusap-usap bahu Mira.Mira menyeka air matanya lalu melihat si Kembar bergantian. "Terima kasih," ujarnya. Lalu ia menunjukkan liontin biru yang sedang dikenakannya pada si Kembar. "Ini adalah pemberian dari Anggi, dengan ini aku akan selalu mengingatnya." Mira mengecup liontin yang berbentuk tetesan air itu dengan mata terpejam seakan merasakan kehadiran yang begitu dekat dari sahabatnya.Mira membuka matanya perlahan, terlihat dia berusaha tegar untuk tidak terus menangisi kepergian Anggi

    Last Updated : 2021-10-28
  • Ramalan Buku Merah   - 42 -

    Airel duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Matanya lurus menatap Edi yang ada di hadapannya. Sama dengan pertemuan sebelumnya, mereka hanya dipisahkan oleh dinding kaca yang dilapisi dengan terali besi."Aku sudah menduga kau pasti akan memintaku untuk datang lagi," ujar Airen tersenyum semringah.Padahal tanpa diminta Edi pun, Airel tetap akan datang. Namun semuanya seperti kebetulan yang telah diatur. Pada hari sebelumnya, Airel mendapatkan telepon dari sipir yang telah ia jadikan sebagai perantara dirinya dan Edi. Sipir itu mengatakan bahwa Edi ingin membicarakan hal yang penting dengan Airel."Sudahlah, Rel. Langsung ke inti permasalahannya saja, aku akan membantumu tapi aku tidak tahu hal apa yang kau ingin aku lakukan.""Baiklah," Airel menegakkan tubuhnya. Tatapannya menembus manik mata milik Edi lalu dengan anggun Airel berkata, "Apakah kau pernah melakukan hal buruk atau merugikan orang lain di masa lalu? Sehingga ada orang yang memiliki cuku

    Last Updated : 2021-10-28
  • Ramalan Buku Merah   - 43 -

    Airen terlihat fokus duduk di ruang tamu. Tangan kirinya memegang sebuah kertas yang sudah lecek dan tangan kanannya memegang buku merah. Matanya berkali-kali silih berganti menatap kertas itu lalu ke buku merah lagi. Tak lama kemudian senyumnya mengembang, ia menemukan sesuatu yang membuat usahanya tidak sia-sia.Airel datang dari arah dapur langsung duduk di samping adiknya. Ia meletakkan dua cangkir minuman favorit mereka, cokelat hangat. Melihat Airen yang tersenyum sendiri, membuat Airel penasaran."Apa yang telah kau temukan?" tanya Airel seraya menaikkan sebelah alisnya.Airen menyerahkan kertas yang lecek pada kakaknya. Airel melihatnya sekilas, kertas itu berisi tulisan, "Kafe Digulis sekitar pukul 15.00-16.00". Sesaat Airel mengernyitkan dahinya, ia tahu itu adalah kertas yang telah diberikan si peneror pada Anggi.Kemudian Airen meletakkan buku merah di hadapan Airel tepat di halaman lirik lagu Jeremy."Keduanya menggunakan tuli

    Last Updated : 2021-10-29
  • Ramalan Buku Merah   - 44 -

    Airen masih tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Puluhan foto-foto Kirana disimpan oleh Alfie, bahkan beberapa foto tampak kemesraan di antara mereka berdua. Airen merasa heran dengan kedekatan itu. Ada hubungan seperti apa antara ibunya dengan Alfie? Bukankah mereka hanya berteman?Selain foto-foto itu, Airen juga menemukan sebuah kotak cincin berwarna biru dongker, warna kesukaan ibunya. Ia membuka kotak itu dan tampak sebuah cincin emas di dalamnya. Ia pun mengeluarkan cincin itu dan melihatnya lebih detail. Terukir nama ibunya di bagian dalam cincin.Ada apalagi ini? Setelah foto mesra, sekarang malah ada sebuah cincin, apakah mereka pernah menikah? Atau mereka menjalin hubungan di belakang ayah? batin Airen kian penasaran.Kemudian Airen mengecek barang lainnya, ada dua buah kertas—satunya tergulung dan satunya lagi terlipat dua—di bawah tumpukan foto. Ia membuka kertas yang terlipat dua dan berukuran lebih besar dari kertas s

    Last Updated : 2021-10-30
  • Ramalan Buku Merah   - 45 -

    Airel berjalan lesu mendatangi Alfie. Ia masih tidak tahu harus percaya pada siapa. Apakah kepada kembarannya atau lelaki beruban yang ada di dekatnya? Airel menarik kursi lain lalu duduk di samping Alfie. Matanya lekat menatap Alfie yang duduk tersandar sembari tangan kanan memegang dada."Tidak semua yang dikatakan Airen adalah kebenaran, meski beberapa hal Paman tidak bisa menyangkal," Alfie mulai bersuara dengan mata sengaja terpejam. Ia seakan merasakan sakit teramat dalam yang menghujam dadanya. "Yofi benar, harusnya aku tidak memendam terlalu lama rahasia ini. Semuanya bak bola salju yang kian hari semakin membesar. Dan hari ini bola itu telah menghantam Airen."Airel tidak memberikan respon apa-apa. Ia hanya duduk terdiam di dekat Alfie. Selain memberikan waktu untuk pamannya menenangkan diri, Airel masih berusaha untuk memahami perselisihan yang tengah terjadi dari dua sisi."Paman memang menyukai ibumu bahkan sebelum ia mengenal ayahmu. Ia satu-satunya

    Last Updated : 2021-10-31
  • Ramalan Buku Merah   - 46 -

    Wanita itu menarik kursi karyu yang ada di depan Airen. Ia meletakkan tas bahunya di meja lalu langsung duduk. "Apakah kau sedang menunggu seseorang?" tanya wanita itu pada Airen lalu memberi kode pada pelayan untuk menghampirinya. "Tidak, aku hanya datang sendiri," balas Airen berusaha menutupi kecanggungannya. Wanita itu tampak tak enak hati. "Apa kau butuh waktu sendiri?" Airen tersenyum tawar. "Hanya kebetulan memang sendiri. Bagaimana denganmu?" Belum sempat wanita itu menjawab, seorang pelayan yang telah dipanggilnya datang menghampiri. "Satu cappucino less sugar dan roti bakar manis dengan topping keju," ujarnya memesan makanan dan minuman. "Kau tidak ingin menambah pesanan lagi, Rel? Aku yang akan mentraktirmu, anggap saja sebagai salam perkenalan dariku." Airen berusaha terus tersenyum meski otaknya sedang berpikir. Airen tidak mengerti maksud wanita yang terus memanggilnya Airel itu. Salam perkenalan? Apakah mereka

    Last Updated : 2021-11-01
  • Ramalan Buku Merah   - 47 -

    Seulas senyum kecil terukir di bibir Mira, ia memberikan sambutan hangat pada Airel yang baru tiba di kafe. Mereka telah membuat janji bertemu di kafe Digulis, tempat dimana untuk pertama kali mereka saling kenal. "Kenapa Airen tidak ikut?" tanya Mira yang hanya melihat Airel datang seorang diri. Biasanya mereka selalu bersama dan tidak akan berpisah jika bukan urusan penting. Airel tidak langsung menjawab dan terdiam beberapa saat. "Apa Airen sakit?" Mira kembali bertanya. "Airen kabur dari rumah," jawab Airel singkat membuat Mira terkejut. "Apa sebabnya ia kabur? Kalian bertengkar ya?" "Panjang ceritanya, lebih baik kita bahas tentang Anggi saja dulu," pinta Airel dan berusaha tenang. "Tapi, Rel. Kenapa kita tidak mengutamakan Airen dulu?" "Paman Alfie juga sedang mencari Airen. Jangan terlalu khawatir dan membuat kita jadi gegabah. Kita harus tenang untuk menghadapi hal-hal semacam ini." Mira mengangguk samar

    Last Updated : 2021-11-02

Latest chapter

  • Ramalan Buku Merah   - 107 -

    Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers

  • Ramalan Buku Merah   - 106 -

    Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i

  • Ramalan Buku Merah   - 105 -

    "Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru

  • Ramalan Buku Merah   - 104 -

    Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du

  • Ramalan Buku Merah   - 103 -

    Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak

  • Ramalan Buku Merah   - 102 -

    Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire

  • Ramalan Buku Merah   - 101 -

    Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau

  • Ramalan Buku Merah   - 100 -

    Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se

  • Ramalan Buku Merah   - 99 -

    Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s

DMCA.com Protection Status