Waktu telah menunjukkan pukul 23.40, tapi Si Kembar belum bisa memejamkan mata. Mereka menatap langit-langit sambil rebahan di atas tempat tidur. Mereka juga terus bertukar cerita lalu berdiskusi mengenai penyelidikan yang telah dilakukan.
"Kuharap informasi mengenai kematian Claudia bisa sangat membantu. Setidaknya bisa membuat Edi untuk buka mulut. Aku bisa merasakan betul dari gerak-gerik tubuhnya mengatakan ia sedang menyimpan rahasia penting."
"Apa ia terlihat berbohong?" tanya Airen
"Tidak. Sebenarnya Edi juga tidak tahu mengenai peneror itu. Ia juga tidak terlihat merasa memiliki musuh. Namun aku menyadari ia sedang menutupi rahasia lain yang menurutnya sebuah kesalahan namun ia tak berani mengakuinya."
"Jadi maksudmu rahasia itu bisa saja menjadi dasar seseorang menginginkan nyawanya?" tanya Airen lagi berusaha mengerti.
"Ya, dan Edi tidak menyadari itu," tegas Airel.
"Bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu hanya berdasarkan fis
"Kenapa dengan Anggi?" tanya Dokter Hardian dengan suara beratnya."Apakah Anggi belum menceritakan tentang kehamilannya?" jawab Airel dengan tanya."Dia sudah memberitahuku tentang kehamilannya. Apakah kau ingin protes lagi tentang alprazolam?" balas Dokter Hardian disertai tawa kecil. "Jika memang iya, kau tak perlu khawatir. Aku tahu untuk penggunaan alprazolam memang sangat tidak dianjurkan bagi wanita hamil, tapi aku tidak mungkin menghentikannya langsung. Oleh karena itu, aku akan menuruni dosisnya secara berkala," terang Dokter Hardian tanpa melepas tatapan ke Airel.Airel kembali menyesap teh, dari tempatnya duduk ia bisa milihat manik mata dan ekspresi pria berkacamata yang ada di hadapannya. Keheningan seketika menyergap mereka untuk sesaat. Tanpa suara dan perbincangan mereka hanya saling menatap seolah saling beradu argumen dalam pikiran. Airel merasakan bahwa Dokter Hardian juga sedang membaca gerak-geriknya. Lagi pula bukan hal yang aneh jika seora
Airel melipatkan lengan di dada. Netranya lekat memperhatikan tiap-tiap orang yang diinterogasi oleh Bripka Adi dari balik cermin dua arah. Lebih dari tujuh orang telah diinterogasi oleh polisi itu, tapi Airel selalu menunjukkan ekspresi yang sama."Bagaimana, Rel? Kau menemukan sesuatu?" berondong Aipda Hendri yang ada di sebelahnya.Airel menggelengkan kepalanya. "Nihil, semuanya sama.""Apa kau yakin?" tanya lelaki itu lagi membuat Airel memicing tajam ke arahnya.Lelaki berperawakan sedang itu melengos ke samping. "Maksudku kesimpulan dari keseluruhan yang telah kau amati." Buru-buru ia meralat ucapannya.Airel terdiam sejenak. "Untuk keseluruhan tidak ada yang mencurigakan. Semuanya normal pada umumnya seperti rasa takut, ragu atau gugup karena ditanya-tanya oleh seorang polisi. Sampai orang di daftar terakhir pun aku tidak menemukan ada yang berusaha berbohong atau menutupi rahasia."Aipda Hendri berdeham pelan seraya memegang dagu seo
Airen terbangun dari tidur siang karena perutnya terus berbunyi pertanda minta diisi. Kebetulan Airel juga sedang memasak di dapur, jadi aroma masakan Airel mampu menggoda indra penciumannya. Kemudian ia berjalan menuju dapur dengan tangan kanan masih memegang buku merah. Ya, sejak pagi ia memang berusaha memahami isi buku merah hingga tertidur."Aku lapar," ujar Airen terduduk lesu dan menempelkan pipinya di meja makan."Tunggu sebentar. Ini sudah siap dan tinggal disalin," balas Airel sambil mengambil dua piring kosong.Airen menegakkan posisi duduknya lalu meletakkan buku merah di atas meja. "Buku ini benar-benar sudah menguras energiku," keluhnya membuat Airel tersenyum simpul."Padahal dari tadi aku hanya melihatmu tidur di sofa," ledek Airel sembari meletakkan piring yang telah diisi dengan nasi goreng dan telur ceplok di atasnya."Aku betul-betul menyelidiki isi buku ini," sangkal Airen lalu memasukkan sendokan pertama ke mulutnya.Ai
Mira belum bisa menenangkan dirinya meski pemakaman Anggi sudah usai. Air matanya berulang kali berair tiap mengingat kenangan bersama sahabatnya itu. Ia tertunduk lesu saat melihat gambar dirinya dan Anggi dalam sebuah foto yang ada di atas pangkuannya. Dua gadis kecil tersenyum lebar seakan tidak pernah merasakan pahitnya hidup.Airel dan Airen duduk di samping Mira. "Kita akan lewati ini bersama, Anggi pasti akan sedih jika kau terus menangis." Airel menenangkan sembari mengusap-usap bahu Mira.Mira menyeka air matanya lalu melihat si Kembar bergantian. "Terima kasih," ujarnya. Lalu ia menunjukkan liontin biru yang sedang dikenakannya pada si Kembar. "Ini adalah pemberian dari Anggi, dengan ini aku akan selalu mengingatnya." Mira mengecup liontin yang berbentuk tetesan air itu dengan mata terpejam seakan merasakan kehadiran yang begitu dekat dari sahabatnya.Mira membuka matanya perlahan, terlihat dia berusaha tegar untuk tidak terus menangisi kepergian Anggi
Airel duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Matanya lurus menatap Edi yang ada di hadapannya. Sama dengan pertemuan sebelumnya, mereka hanya dipisahkan oleh dinding kaca yang dilapisi dengan terali besi."Aku sudah menduga kau pasti akan memintaku untuk datang lagi," ujar Airen tersenyum semringah.Padahal tanpa diminta Edi pun, Airel tetap akan datang. Namun semuanya seperti kebetulan yang telah diatur. Pada hari sebelumnya, Airel mendapatkan telepon dari sipir yang telah ia jadikan sebagai perantara dirinya dan Edi. Sipir itu mengatakan bahwa Edi ingin membicarakan hal yang penting dengan Airel."Sudahlah, Rel. Langsung ke inti permasalahannya saja, aku akan membantumu tapi aku tidak tahu hal apa yang kau ingin aku lakukan.""Baiklah," Airel menegakkan tubuhnya. Tatapannya menembus manik mata milik Edi lalu dengan anggun Airel berkata, "Apakah kau pernah melakukan hal buruk atau merugikan orang lain di masa lalu? Sehingga ada orang yang memiliki cuku
Airen terlihat fokus duduk di ruang tamu. Tangan kirinya memegang sebuah kertas yang sudah lecek dan tangan kanannya memegang buku merah. Matanya berkali-kali silih berganti menatap kertas itu lalu ke buku merah lagi. Tak lama kemudian senyumnya mengembang, ia menemukan sesuatu yang membuat usahanya tidak sia-sia.Airel datang dari arah dapur langsung duduk di samping adiknya. Ia meletakkan dua cangkir minuman favorit mereka, cokelat hangat. Melihat Airen yang tersenyum sendiri, membuat Airel penasaran."Apa yang telah kau temukan?" tanya Airel seraya menaikkan sebelah alisnya.Airen menyerahkan kertas yang lecek pada kakaknya. Airel melihatnya sekilas, kertas itu berisi tulisan, "Kafe Digulis sekitar pukul 15.00-16.00". Sesaat Airel mengernyitkan dahinya, ia tahu itu adalah kertas yang telah diberikan si peneror pada Anggi.Kemudian Airen meletakkan buku merah di hadapan Airel tepat di halaman lirik lagu Jeremy."Keduanya menggunakan tuli
Airen masih tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Puluhan foto-foto Kirana disimpan oleh Alfie, bahkan beberapa foto tampak kemesraan di antara mereka berdua. Airen merasa heran dengan kedekatan itu. Ada hubungan seperti apa antara ibunya dengan Alfie? Bukankah mereka hanya berteman?Selain foto-foto itu, Airen juga menemukan sebuah kotak cincin berwarna biru dongker, warna kesukaan ibunya. Ia membuka kotak itu dan tampak sebuah cincin emas di dalamnya. Ia pun mengeluarkan cincin itu dan melihatnya lebih detail. Terukir nama ibunya di bagian dalam cincin.Ada apalagi ini? Setelah foto mesra, sekarang malah ada sebuah cincin, apakah mereka pernah menikah? Atau mereka menjalin hubungan di belakang ayah? batin Airen kian penasaran.Kemudian Airen mengecek barang lainnya, ada dua buah kertas—satunya tergulung dan satunya lagi terlipat dua—di bawah tumpukan foto. Ia membuka kertas yang terlipat dua dan berukuran lebih besar dari kertas s
Airel berjalan lesu mendatangi Alfie. Ia masih tidak tahu harus percaya pada siapa. Apakah kepada kembarannya atau lelaki beruban yang ada di dekatnya? Airel menarik kursi lain lalu duduk di samping Alfie. Matanya lekat menatap Alfie yang duduk tersandar sembari tangan kanan memegang dada."Tidak semua yang dikatakan Airen adalah kebenaran, meski beberapa hal Paman tidak bisa menyangkal," Alfie mulai bersuara dengan mata sengaja terpejam. Ia seakan merasakan sakit teramat dalam yang menghujam dadanya. "Yofi benar, harusnya aku tidak memendam terlalu lama rahasia ini. Semuanya bak bola salju yang kian hari semakin membesar. Dan hari ini bola itu telah menghantam Airen."Airel tidak memberikan respon apa-apa. Ia hanya duduk terdiam di dekat Alfie. Selain memberikan waktu untuk pamannya menenangkan diri, Airel masih berusaha untuk memahami perselisihan yang tengah terjadi dari dua sisi."Paman memang menyukai ibumu bahkan sebelum ia mengenal ayahmu. Ia satu-satunya