Suasana kediaman Si Kembar tidak seperti biasanya. Pagi itu mereka harus sarapan tanpa Alfie. Biasanya mereka bertiga akan menyantap roti selai kacang dan cokelat hangat buatan Airel. Lalu membincangkan kejadian kemarin atau rencana yang akan dilakukan pada hari itu.
Sesekali Airen masih mengecek ponselnya, mungkin saja ada kabar tentang Alfie. Namun terpaksa netranya lagi-lagi tidak mendapati kabar apa pun mengenai pamannya.
"Kita tunggu saja sampai nanti siang. Jika belum ada kabar dari paman, kita harus ambil tindakan," ujar Airel.
"Iya," balas Airen singkat.
Airel meletakkan buku merah di meja. "Sekarang lebih baik kita pecahkan maksud dari deretan angka ini."
Mata Airen tertuju pada delapan belas angka yang berderet itu. "231431512 623313936" tertera dengan jenis tulisan sancreek di sampul buku. Warnanya putih kusam namun tetap jelas terlihat pada buku yang berwarna merah darah.
"Apakah angka-angka ini mewakili
"Dimana Paman Alfie? Bagaimana keadaannya sekarang?" Airel melempar tanya pada Inspektur Yoga."Ia masih tertidur di kamar," jawab Inspektur Yoga dengan suara baritonnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kemarin setelah selesai perbincangan kita mengenai hasil forensik, sikap Pak Alfie mendadak berubah. Dan dini hari tadi sekitar pukul tiga dia datang ke rumahku dalam keadaan mabuk. Apakah kalian sedang berselisih?"Airel mengedikkan bahunya. "Tidak sama sekali," balas Airel pelan. Ia merenungkan sikap Alfie yang tak seperti biasanya. Mulai dari tidak memberi kabar hingga mabuk berat, padahal sebelumnya Alfie tidak pernah mau meminum alkohol. "Tapi aku mungkin tahu penyebabnya," sambungnya lagi."Apa itu?" tanya Inspektur Yoga penasaran."Sketsa wajah jenazah kemarin sangat mirip dengan wajah sahabat Paman Alfie. Namun aku belum memastikan langsung padanya.""Hem, pantas saja ia terlihat bersedih.""Kita tunggu saja sampai ia sadar," usul
Suasana di ruang tamu menjadihening. Alfie duduk di hadapan Airen dan Airel bak seorang yang sedang membuat pengakuan. Si Kembar memilih diam dan memasang wajah polos. Mereka menunggu Alfie bersuara lebih dulu.Alfie menghirup oksigen lalu mengembuskannya perlahan untuk mengatur irama pernapasannya. Meski kepalanya masih sedikit pening, tapi mengingat Yofi dan melihat wajah Si Kembar yang penuh harap membuatnya harus menguatkan diri lebih lama."Paman harap kalian bisa merahasiakan apa yang akan paman ceritakan terutama tentang diri paman sendiri," ujar Alfie memulai cerita dengan suara paraunya.Airen dan Airel mengangguk setuju.Alfie melirikkan bola matanya ke atas untuk mengingat-ingat kenangan masa lalunya. "Namanya adalah Yofi, lengkapnya Yofinus Andri. Semenjak pertemuan di pub malam itu, kami menjadi sangat akrab hingga dua tahun lamanya. Sampai suatu hari Yofi mengetahui rahasia paman."Airen mendebas kasar. "Hidup Paman terlalu bany
"Jadi, apa alasannya menurut Paman?" ulang Airel penasaran dengan spekulasi Alfie mengenai alasan terbunuhnya Yofi.Alfie memegang dagu seolah sedang mengingat sambil berpikir. "Untuk bergabung dengan Ethereal tidaklah mudah. Kami harus melewati penilaian yang rumit. Setelah lolos pun kami juga akan diberi pelatihan tambahan dan ditempa untuk meningkatkan potensi diri sehingga tidak heran kalau beberapa anggota Ethereal memiliki kemampuan atau keahlian khusus di bidang tertentu, termasuk Yofi.""Memangnya apa keahliannya?"Alfie menerawang pandangannya ke langit-langit. Kepalanya kembali dipenuhi dengan ingatan tentang sahabatnya itu. Wajah sendu yang selalu membuatnya kagum karena dalam sekejap Yofi bisa mengubah wajahnya ke dalam bentuk paras lain. Ia juga selalu ingat ucapan Yofi saat melakukan peyamaran. "Janganlah melihat seseorang dari parasnya, karena semua itu akan menipumu. Sekarang aku sedang melakukannya." Kini ia hanya bisa tersenyum getir menerima k
Airel mengamati keadaan sekitarnya sembari menunggu seseorang. Pandangannya menyapu seisi ruangan yang luasnya tak lebih dari empat meter persegi. Pada ruangan itu terdapat meja kayu kecil yang menempel ke dinding dan sebuah telepon kabel di atasnya. Tepat di hadapan Airel juga ada ruangan lain yang ukurannya sama dengan ruangan yang sedang ditempatinya. Kedua ruangan itu hanya terpisah oleh kaca tebal yang kemudian dipagari oleh terali besi.Sosok yang ditunggu Airel pun tiba. Seorang lelaki bertubuh tegap mengenakan baju biru dongker masuk bersama seorang sipir ke dalam ruangan yang ada di depannya. Lelaki itu pun duduk tepat di hadapan Airel dengan tatapan kemarahan. Sorot matanya seakan menyuarakan apa yang ada di benaknya."Waktu kunjungannya sepuluh menit," ujar sipir itu lalu keluar dan menunggu di balik pintu kaca."Bagaimana keadaanmu, Ed?" tanya Airel pada Edi.Bukannya menjawab, Edi malah kembali mencecar dengan tanya. "Cih, aku muak dengan bas
Airen membelokkan mobilnya untuk memasuki sebuah daerah perumahan menengah ke atas. Sesaat ia melihat kembali alamat yang telah diberikan Airel untuk memastikan bahwa tujuannya telah benar. Tepat di rumah bertuliskan nomor 34B, ia pun memarkirkan mobilnya. Sebuah hunian sederhana yang didominasi oleh warna cokelat telah berdiri kokoh di hadapannya. Meski hanya satu lantai, tapi dari depan sudah bisa dipastikan bahwa bangunan itu sangat luas.Airen memencet bel dua kali tapi belum juga ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Saat hendak menekan untuk ketiga kalinya, terdengar suara kunci pintu yang hendak dibuka. Seorang pria berperawakan sedang menjulurkan kepala dengan pintu setengah terbuka."Oh, Airel," ujar pria itu lega. "Silahkan masuk! Maaf telah membuatmu menunggu, tadi aku masih di kamar mandi.""Aku bukan Airel tapi Airen," koreksi Airen."Oh, maaf. Aku pikir Airel yang datang. Lagi pula aku masih belum bisa membedakan kalian berdua.""Ti
Tepat pukul tiga sore Airen tiba di rumah Mira. Ia memang telah membuat janji untuk bertemu dengan Anggi dan Mira di sore hari, tepatnya setelah Anggi selesai konsultasi medis dengan Dokter Hardian."Bagaimana hasil konsultasinya?" tanya Airen pada Anggi yang ada di hadapannya."Katanya ada perubahan ke arah yang lebih baik," balas Anggi sambil memandang Airen.Airen menautkan alisnya lalu berkata, "Kau setuju?"Anggi tersenyum semringah. "Setidaknya aku merasa lebih kuat mejalani ini karena ada dukungan dari kalian.""Aku mengerti ini bukanlah hal yang mudah dan aku sangat salut padamu," puji Airen."Airen benar, kau jauh lebih kuat dibandingkan kami," timpal Mira."Tapi mengenai obat ... aku kemarin mengalami sedikit masalah," cerita Anggi."Masalah bagaimana?" selidik Airen."Aku tidak pernah mengonsumsi obat seperti itu sebelumnya. Pada bulan kedua aku cukup merasa ketergantungan tapi tubuhku serasa ada penolakan set
Alfie duduk di hadapan Inspektur Yoga. Jarak mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja kerja yang ada di antara mereka. Sesekali mereka menyesap kopi sambil saling bicara."Saya harus meminta keterangan Pak Alfie mengenai korban yang bernama Yofi itu. Lagi pula berdasarkan hasil forensik, kami menemukan banyak riwayat panggilan Bapak di ponsel korban untuk dua bulan terakhir," kata Inspektur Yoga lalu meletakkan cangkir kopinya."Ya, kami adalah teman akrab. Bukankah hal yang wajar jika kami terus menjaga komunikasi?""Saya setuju akan hal itu," jawab Inspektur Yoga lalu mencondongkan badannya ke depan. "Kapan Bapak terakhir kali bertemu dengannya?"Alfie melirik matanya ke atas sekilas lalu kembali menatap pupil cokelat milik Inspektur Yoga. "Hampir sebulan yang lalu.""Apakah itu di sebuah kafe yang sesuai dengan pesan singkat yang telah Bapak kirimkan padanya?""Ya, benar," jawab Alfie singkat disertai anggukan samar.Alfie menyesap
Waktu telah menunjukkan pukul 23.40, tapi Si Kembar belum bisa memejamkan mata. Mereka menatap langit-langit sambil rebahan di atas tempat tidur. Mereka juga terus bertukar cerita lalu berdiskusi mengenai penyelidikan yang telah dilakukan."Kuharap informasi mengenai kematian Claudia bisa sangat membantu. Setidaknya bisa membuat Edi untuk buka mulut. Aku bisa merasakan betul dari gerak-gerik tubuhnya mengatakan ia sedang menyimpan rahasia penting.""Apa ia terlihat berbohong?" tanya Airen"Tidak. Sebenarnya Edi juga tidak tahu mengenai peneror itu. Ia juga tidak terlihat merasa memiliki musuh. Namun aku menyadari ia sedang menutupi rahasia lain yang menurutnya sebuah kesalahan namun ia tak berani mengakuinya.""Jadi maksudmu rahasia itu bisa saja menjadi dasar seseorang menginginkan nyawanya?" tanya Airen lagi berusaha mengerti."Ya, dan Edi tidak menyadari itu," tegas Airel."Bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu hanya berdasarkan fis