“Ada apa?” tanya Ming Lan lembut.
“Tentang Xiao You.”
Gerakan Ming Lan terhenti. “Kita bicarakan lain waktu saja. Aku tidak ingin merusak—.” Kalimat Ming Lan terjeda, manakala tangan Gao Ping menumpangi tangannya.
“Dengarkan aku. Aku ingin bicara jujur padamu. Aku menaruh kecurigaan pada pelayanmu itu. Kadang, aku merasa dia sedang mengawasiku dan menunggu waktu yang tepat menjatuhkanku.”
Senyum Ming Lan merekah menanggapi protes suaminya. “Tidakkah itu terlalu berlebihan, Yang Mulia?”
“Ming’er, kali ini, dengarkan aku. Aku tidak menganggap ini sebagai candaan. Beberapa kali aku melihatnya sedang … entahlah, seperti melakukan ritual aneh dan merapalkan sesuatu.” Gao Ping bingung menggambarkan tindakan Xiao You yang pernah dipergokinya beberapa kali di dalam kamar istrinya.
Dahi Ming Lan mengernyit. “Benarkah?”
Ming Lan mulai bergerak
“Aku yang membunuh mendiang raja Wang Li. Bahkan, tidak hanya mendiang raja Wang Li, aku juga membunuh Wang Su.” Mulut Gao Ping ternganga mendengar pengakuan Ming Lan. Tangan yang merangkul bahu Ming Lan merosot perlahan. Keheningan melingkupi ruang kamar itu beberapa saat lamanya hingga Ming Lan kembali angkat suara. “Apa kau masih akan tetap berada di sisiku setelah tahu kebenarannya?” tanya Ming Lan membuat Gao Ping tersadar dan mengatupkan bibirnya gugup. Gao Ping berdehem sangat keras sampai Ming Lan berpikir, mungkin leher pria itu terluka. “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.” Gao Ping beringsut menjauh mengikuti nalurinya. Ming Lan tersenyum masam, dia sudah membayangkan reaksi suaminya. Beringsut menjauh adalah reaksi yang paling sopan dan sederhana dalam bayangannya. “Aku tahu. Kau bukan tidak mengerti, hanya menolak untuk mengerti,” desah Ming Lan pasrah. Buru-buru, Gao Ping meraih Ming Lan lagi. Merangkum kedua sisi wa
“Hentikan!” teriak Suying dengan wajah merah padam. “Lancang!”Suying bergegas melintasi ruangan menghampiri dua prajurit yang berdiri kaku di tempatnya. Di tangan mereka masing-masing, sedang memegang kotak pribadi Suying yang rencananya akan mereka serahkan pada Li Deyun.Plak. Plak.Masing-masing pipi mendapat satu tamparan keras dari tangan mungil Lan Suying.“Lancang!” teriak Suying lagi. “Pengawal!”“Hadir!” jawab dua pria berseragam berbeda dari dua prajurit istana.Telunjuk Suying yang bergetar karena murka, menunjuk lurus. “Tangkap dan penggal mereka!” titahnya dengan geram. “Gantung kepala mereka di gerbang kota!”Dua pengawal Suying menghormat sebelum bergerak menjalankan perintah.Tidak tinggal diam, dua prajurit utusan Wang Yang menggamit kotak dengan lengan kiri dan menghunus pedang yang tergantung di pinggang dengan tangan kanan.
“Bu, katakan padaku yang sebenarnya. Siapa yang datang ke sini? Apa ada yang mengancammu?” Zihao mengguncang bahu Ye Rong lembut. “Bu, katakan.” Alih-alih menjawab, Ye Rong hanya diam menatap Zihao. “Bu, atau aku akan membakar istana ini!” Zihao marah melihat reaksi ibunya. Ye Rong menundukkan pandangannya seraya menghela napas panjang. Samar, kepalanya menggeleng. “Tidak ada yang menyelinap masuk. Aku yang menyelinap keluar,” akunya. Raut wajah Zihao melunak, tangannya turun perlahan dari bahu Ye Rong. “Benarkah?” tanya Zihao menyisakan sedikit keraguan. “Ada hal penting yang harus aku katakan padamu.” Seketika, Zihao sadar ke mana arah pembicaraan itu. Pemuda itu berdiri dengan kasar, menjauhi ibunya. “Kalau yang ibu ingin katakan adalah pergi meninggalkan istana, tidak perlu kita bicarakan. Aku tidak akan pergi dari sini sebelum mendapatkan apa yang aku mau. Keadilan!” tegas Zihao membelakangi ibunya. “Hao’er, dengar
Taman KebahagiaanZihao berjalan tanpa tujuan sejak keluar dari kediaman. Ia melangkah terseok dan kadang limbung seperti prajurit yang berhasil lolos dari medan perang dengan penuh luka di badan, sampai tanpa sengaja kaki kirinya tersangkut tumit kanannya dan Zihao tersungkur ke tanah.Zening sudah lama berdiri termenung di pinggir danau memikirkan mendiang ayahnya dan hari pernikahannya yang semakin dekat, ditemani Yuru—dayang pengganti Ru Lan, hingga suara berdebum menyadarkannya.“Suara apa itu?” gumam Zening seraya mengedarkan pandangan ke sekitar danau yang gelap. Kakinya spontan berjalan menuju pusat suara.“Nona,” tegur Yuru. “Sebaiknya kita kembali saja. Kita sudah lama berada di luar,” ujarnya memperingatkan seraya menghadang Zening dengan tubuhnya.“Apa kau mendengarnya? Ada suara seperti orang jatuh.” Zening bergerak ke kanan menghindari tubuh Yuru. “Ayo, kita harus melihatnya!
“Nona! Nona!” teriak Yuru sambil mengejar Zening yang berlari dua kali lebih cepat darinya. “Nona, sebaiknya kita kembali! Nona!”“Astaga!” Zening mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik, mendelik ke arah Yuru yang menyusulnya. “Kenapa kau berisik sekali?!”Yuru segera berlutut begitu berhadapan dengan Zening. “Ampun, Nona. Jangan marah, Nona. Hamba tidak ingin Nona dihukum karena melanggar titah raja!” papar Yuru dengan tegas. “Yang Mulia berpesan agar—.”“Hentikan ocehanmu!” potong Zening. “Aku hanya ingin memastikan apa yang sedang terjadi. Apa kau juga akan melarangku?!”“Ampun, Nona. Hamba tidak berani.” Yuru tertunduk dalam.“Bagus.” Zening berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya, kali ini lebih tenang dari sebelumnya.***Penjara Istana Yongjin“Yang Mulia!” sapa dua pengawal ya
“Dia apa?”“Dia bukan Wang Hao.”Wang Yang memicing bingung. “Bukan Wang Hao, maksud Bibi?”“Dia bukan keturunan dinasti ini,” imbuh Song Bin cepat. “Lebih tepatnya, dia tidak layak menyandang marga Wang di depan namanya.”“Aku semakin bingung,” aku Wang Yang. “Tolong katakan dengan jelas apa yang Bibi ketahui.”“Dia adalah keturunan Zhao. Ye Rong hamil setelah malam itu.”“Tapi, bisa saja itu anak ayah. Bukankah dia tetap menjadi selir?” tanya Wang Yang.Wang Yang tidak ingin kehilangan harapannya untuk memiliki sekutu dalam tujuan balas dendamnya. Berdasar cerita yang baru didengarnya, Wang Yang yakin, Hao’er memiliki tujuan yang sama dengannya, menghancurkan Suying dan Ziliang.Song Bin menggeleng. “Ayahmu tidak pernah sekalipun menyentuh Ye Rong. Tepatnya, dia tidak mengizinkan ayahmu menyentuhnya. Setelah
Balai Pengobatan Istana“Bagaimana kondisinya?” tanya Deyun pada pengawal yang berjaga di luar pintu kamar.“Tabib sedang memeriksanya, Jenderal.”Setelah menerima kabar dari Wang Yang tentang adiknya dan Zihao di tepi danau, Deyun bergegas menemui pemuda itu. Sudah saatnya Deyun menjelaskan kejadian yang sebenarnya agar pemuda itu tidak terus salah paham dan mengganggu adiknya.Deyun masuk ke dalam kamar. Dilihatnya, Zihao sedang tertidur pulas.“Bagaimana kondisinya?” tanya Deyun pada tabib yang sedang menuliskan resep obat.“Jenderal,” sapa tabib itu. “Dia hanya terguncang. Saya sudah menuliskan resep obat untuk membuatnya lebih tenang dan banyak istirahat agar kondisinya segera pulih,” sambung tabib itu seraya menyerahkan resep obat.“Terima kasih, Tabib.”Sepeninggalnya tabib istana, Deyun duduk di sisi ranjang menatap Wang Hao yang sudah menanggalkan topengnya. Ditatapnya wajah tampan pemuda itu beberapa saat.“Kau sudah salah mengira selama ini,” gumam Deyun iba.“Kalau kau han
Paviliun HouxiangDeyun meminta pelayan kediamannya menyiapkan dua kamar untuk tamunya, sedangkan ia sendiri bergegas masuk ke ruang belajar untuk mencari buku harian Daehan. Surat yang Ye Rong berikan padanya, membuatnya semakin penasaran untuk membuktikan dugaannya. Lama berkutat dengan kumpulan buku bacaan ayahnya, Deyun menyungging senyum lega manakala melihat buku lusuh bersampul cokelat.“Akhirnya …,” gumamnya lega.Dibukanya dengan cepat halaman demi halaman. Tiba-tiba, Deyun berhenti di tengah buku. Matanya bergerak cepat membaca tulisan tangan Daehan. Mulutnya komat-kamit seiring gerakan telunjuknya di atas kertas.“Tidak mungkin. Ini tidak mungkin.”“Jenderal!” Seorang prajurit memanggil Deyun dari balik pintu.Buru-buru, Deyun menutup buku di tangannya dan menormalkan mimiknya. “Masuk.”Prajurit itu memberi hormat. “Lapor, Jenderal. Ada penyusup menyerang kamar tamu.”Senyum miring terbit di bibir jenderal muda itu. “Mereka tidak ingin membuang waktu rupanya,” gumam Deyun.