Setelah bertahun-tahun berlatih keras, Lie Feng akhirnya menguasai Jurus Tapak Dewa. Ia mampu melepaskan kekuatan spiritual dahsyat, menciptakan bayangan seribu tangan yang menghancurkan lawan seketika.
"Lie Feng," kata Guru Agung, suaranya berat namun lembut, "Kekuatan ini harus digunakan dengan bijak. Untuk kebaikan, bukan kejahatan." Lie Feng mengangguk, matanya berbinar. "Saya berjanji, Guru Agung. Saya akan melindungi yang lemah dan menegakkan keadilan." Lie Feng, kini pemuda tampan dengan mata tajam, berdiri di reruntuhan Kuil Dewa Langit. Rambut hitamnya berkilauan. Tubuhnya, hasil latihan keras, memancarkan kekuatan dan kelenturan luar biasa. Guru Agung mengamati dari kejauhan. "Perjalananmu baru dimulai, Lie Feng. Dunia persilatan penuh bahaya dan intrik." Suatu senja, Guru Agung memanggil Lie Feng. Mereka menuju ruangan rahasia, beraroma rempah kuno. Di tengah ruangan, altar kuno dengan patung dewa yang megah. Senjata kuno mengelilinginya. "Lie Feng," Guru Agung menunjuk senjata-senjata itu, "Kau kuasai Jurus Tapak Dewa, tapi itu bukan segalanya. Kau harus menguasai Jurus Pedang Dewa Abadi, Jurus Pedang Langit, Jurus Kecepatan Dewa, dan Jurus Mata Dewa." "Jurus-jurus itu… sangat banyak, Guru Agung," kata Lie Feng, sedikit ragu. "Ya," jawab Guru Agung, "tapi seorang pendekar sejati harus serba bisa." Guru Agung menjelaskan setiap jurus. Lie Feng berlatih tanpa henti, tubuhnya sakit, tapi tekadnya kuat. "Ini sangat sulit, Guru Agung," keluh Lie Feng suatu hari, tubuhnya dipenuhi luka. Guru Agung tersenyum tipis. "Kesulitan mengasah ketajamanmu, Lie Feng. Jangan menyerah." Suatu malam, di bawah bulan purnama, Lie Feng menguasai keempat jurus itu. Kekuatannya meningkat berkali lipat. "Saya… saya berhasil, Guru Agung!" seru Lie Feng dengan gembira. Guru Agung mengangguk bangga. "Kini kau siap menghadapi tantangan." Kabar kekuatan Lie Feng menyebar. Banyak yang meminta bantuannya. "Tolong lindungi desa kami dari bandit!" pinta seorang warga desa, suaranya penuh keputusasaan. "Jangan khawatir," jawab Lie Feng, "Saya akan melindungi kalian." Namun, ketenaran Lie Feng menarik perhatian Kelompok Naga Hitam, dipimpin Lord Vashta. "Jurus Tapak Dewa… akan menjadi milikku!" geram Lord Vashta. Kelompok Naga Hitam menyerang Kuil Dewa Langit. Lie Feng melawan, menggunakan semua jurusnya. "Kalian tidak akan berhasil!" teriak Lie Feng, serangannya dahsyat. Para penyerang kewalahan, tapi mereka licik dan terlatih. Lie Feng menghadapi pemimpin penyerang, seorang yang kuat dengan pedang aneh. "Kau kuat, anak muda," kata pemimpin itu, "tapi kau bukan tandingan ku." Lie Feng fokus, menggunakan Jurus Mata Dewa. Ia menyerang dengan kombinasi jurus, menjatuhkan pemimpin itu. Setelah mengalahkan penyerang Kelompok Naga Hitam, Lie Feng merasa kelelahan namun puas. Ia membersihkan pedangnya, sebuah pedang panjang yang ia tempa sendiri selama bertahun-tahun latihan. Pedang itu seolah-olah berbisik tentang pertempuran yang telah dilalui. "Lie Feng," suara Guru Agung memecah kesunyian, "Serangan ini hanyalah permulaan. Lord Vashta tidak akan menyerah begitu saja." Lie Feng mengangguk setuju. "Saya tahu, Guru Agung. Kekuatan Jurus Tapak Dewa telah menarik perhatian banyak pihak yang berbahaya." "Kau harus lebih berhati-hati," Guru Agung melanjutkan, "Lord Vashta adalah ahli silat yang sangat licik dan berbahaya. Ia memiliki banyak mata-mata di seluruh penjuru negeri." "Saya akan waspada, Guru Agung," jawab Lie Feng, "Saya akan terus mengasah kemampuan saya dan selalu waspada terhadap ancaman yang mungkin datang." Beberapa minggu kemudian, Lie Feng menerima sebuah pesan rahasia. Pesan itu berisi informasi tentang rencana Lord Vashta untuk menyerang sebuah desa kecil yang terletak di kaki Gunung Tian Shan. Desa itu dikenal dengan keindahan alamnya dan penduduknya yang ramah, namun mereka tidak memiliki kemampuan untuk membela diri dari serangan Kelompok Naga Hitam. "Saya harus pergi," kata Lie Feng kepada Guru Agung. "Saya harus melindungi desa itu." Guru Agung mengangguk. "Pergilah, Lie Feng. Gunakanlah semua kemampuanmu untuk melindungi mereka. Ingatlah janjimu untuk melindungi yang lemah." Lie Feng bergegas menuju desa tersebut. Ia tiba di desa tersebut pada malam hari, tepat sebelum serangan Kelompok Naga Hitam dimulai. Ia melihat puluhan anggota Kelompok Naga Hitam mengepung desa, senjata mereka siap untuk menyerang. "Hentikan!" teriak Lie Feng, suaranya menggema di seluruh desa. Para anggota Kelompok Naga Hitam terkejut melihat Lie Feng. Mereka tidak menyangka bahwa Lie Feng akan datang ke desa tersebut. "Kau… kau Lie Feng?" kata pemimpin penyerang, suaranya penuh keheranan. "Ya," jawab Lie Feng, "Dan aku akan menghentikan kalian." Pertempuran sengit pun dimulai. Lie Feng menggunakan semua kemampuannya, Jurus Tapak Dewa, Jurus Pedang Dewa Abadi, Jurus Pedang Langit, Jurus Kecepatan Dewa, dan Jurus Mata Dewa. Ia bergerak dengan cepat dan lincah, menghindari serangan para penyerang dan menyerang balik dengan dahsyat. Meskipun jumlahnya banyak, para anggota Kelompok Naga Hitam kewalahan menghadapi Lie Feng. Lie Feng berhasil mengalahkan mereka satu per satu, hingga akhirnya hanya tersisa pemimpin penyerang. "Kau memang kuat, Lie Feng," kata pemimpin penyerang, "tapi aku tidak akan menyerah!" Lie Feng menghadapi pemimpin penyerang dengan serius. Ia tahu bahwa pemimpin penyerang tersebut adalah seorang ahli silat yang sangat berbahaya. Ia harus menggunakan semua kemampuannya untuk mengalahkannya. Setelah pertarungan yang panjang dan melelahkan, Lie Feng berhasil mengalahkan pemimpin penyerang. Para anggota Kelompok Naga Hitam yang masih tersisa langsung melarikan diri. Lie Feng telah menyelamatkan desa tersebut. Penduduk desa bersorak gembira atas kemenangan Lie Feng. Mereka berterima kasih atas keberanian dan kebaikan Lie Feng. Lie Feng merasa lega dan puas karena telah berhasil melindungi mereka. Namun, ia tahu bahwa pertempuran melawan Lord Vashta masih jauh dari selesai. Lord Vashta pasti akan kembali dengan rencana yang lebih berbahaya. Lie Feng harus terus berlatih dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Perjalanannya sebagai Pendekar Tapak Dewa masih panjang dan penuh dengan bahaya. Para penyerang lainnya lari. Lie Feng menang, tapi ia tahu, ini baru permulaan.Guru Agung, dengan jubahnya yang usang, memimpin Lie Feng menyusuri lorong gelap Kuil Dewa Langit. Udara dingin dan lembap menyelimuti mereka. "Guru Agung, apakah kita akan sampai?" Suaranya gemetar sedikit karena kegelapan."Sabar, Lie Feng. Jalan menuju pencerahan selalu berliku dan penuh tantangan. Ketakutanmu adalah ujian pertamamu." "Tapi... gelap sekali, Guru Agung. Aku takut." Guru Agung berhenti, menoleh ke Lie Feng. "Ketakutan adalah bagian dari kehidupan, Lie Feng. Yang penting adalah bagaimana kau menghadapinya. Lihatlah ukiran di dinding ini. Mereka adalah kisah para pendekar terdahulu. Mereka juga menghadapi ketakutan, tetapi mereka mengalahkannya dengan keberanian dan tekad." Lie Feng menunjuk ke sebuah ukiran yang menggambarkan seorang pendekar melawan naga. "Apakah dia berhasil, Guru Agung?" Guru Agung tersenyum. "Itulah yang akan kau pelajari, Lie Feng. Setiap ukiran menyimpan sebuah pelajaran. Setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh lebih kuat." Lie Fen
Guru Agung mengamati Lie Feng dari kejauhan. Mata tua itu berbinar bangga. Lie Feng, yang dulu anak kecil mungil, kini berdiri tegap, gagah perkasa. Gerakannya lincah, setiap pukulan dan tendangannya penuh kekuatan dan presisi.Guru Agung bergumam pelan didalam hati "Dia telah tumbuh menjadi pendekar yang hebat..." Lie Feng menyelesaikan serangkaian gerakan Jurus Tapak Dewa, keringat membasahi dahinya. Ia menoleh ke arah Guru Agung. "Guru Agung, apakah saya sudah cukup baik?" Guru Agung tersenyum. "Kau telah menguasai Jurus Tapak Dewa, Lie Feng. Tetapi perjalananmu belum berakhir. Dunia persilatan penuh dengan tantangan dan bahaya. Kau harus selalu siap.""Saya siap menghadapi apapun, Guru Agung. Saya akan selalu berlatih dan meningkatkan kemampuan saya." Guru Agung mengangguk. "Itulah semangat yang harus kau miliki. Tetapi kekuatan bukanlah segalanya. Kebijaksanaan dan pengendalian diri jauh lebih penting." Guru Agung membawa Lie Feng ke sebuah ruangan rahasia yang tersembunyi j
Lie Feng, yang kini menguasai Jurus Tapak Dewa, Pedang Dewa Abadi, dan Pedang Langit, berdiri tegak di puncak gunung. Angin berhembus kencang, membelai rambutnya yang hitam legam. Ia merasa tak terkalahkan."Guru Agung," panggil Lie Feng, suaranya bergema di antara tebing-tebing terjal, "Apakah aku sudah cukup kuat?"Guru Agung, yang duduk bersila di atas batu besar, membuka matanya perlahan. Senyum tipis terukir di wajahnya yang keriput. "Kuat? Kau memang kuat, Lie Feng. Tetapi kekuatan sejati bukan hanya terletak pada teknik bertarung. Ada banyak hal lain yang harus kau pelajari."Lie Feng mengerutkan dahi. "Apa yang masih kurang, Guru Agung?""Sabar, Lie Feng. Aku akan menunjukkannya padamu." Guru Agung berdiri, dan dengan gerakan ringan, ia menuntun Lie Feng menuju sebuah lorong tersembunyi di balik air terjun.Di dalam ruangan rahasia itu, udara terasa dingin dan lembap. Bau tanah dan kayu lapuk memenuhi hidung. Lie Feng terkesima melihat ukiran-ukiran kuno di dinding, men
Guru Agung, sosok tua dengan janggut putih panjang dan mata yang memancarkan kebijaksanaan berabad-abad, menunjuk ke gulungan kuno di hadapan Lie Feng. "Jurus Mata Dewa," katanya, suaranya berat dan berwibawa, "bukan sekadar teknik bela diri. Ia adalah perjalanan spiritual yang panjang dan penuh tantangan. Tingkat pertama, mengendalikan energi spiritual untuk meningkatkan penglihatan, adalah fondasinya. Rasakan aliran Chi dalam dirimu, Lie Feng. Biarkan ia mengalir seperti sungai yang tenang."Lie Feng, pemuda berwajah tegas dengan mata yang tajam, memejamkan mata. Ia mencoba mengikuti petunjuk Guru Agung, tetapi merasa kesulitan. "Guru," katanya setelah beberapa saat, suaranya sedikit putus asa, "saya kesulitan merasakan aliran Chi. Rasanya seperti... kosong."Guru Agung tersenyum sabar. "Kesabaran, Lie Feng. Ini bukanlah balapan. Bayangkan Chi sebagai cahaya matahari yang menyinari seluruh tubuhmu. Rasakan hangatnya, lihatlah cahayanya."Lie Feng mencoba lagi, kali ini de
Perpisahan di Kuil Dewa Langit. Matahari terbenam di balik puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi, mewarnai langit dengan warna jingga dan ungu. Lie Feng berdiri di depan Guru Agung, pedang Dewa Abadi terhunus di sisinya. Ia telah menguasai semua jurus silat yang diajarkan Guru Agung, tetapi hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk: bangga, takut, dan juga sedikit sedih. "Lie Feng," Guru Agung memulai, suaranya berat dan berwibawa, "kau telah berhasil menguasai semua jurus silat yang telah ku ajarkan. Kau telah menjadi pendekar yang hebat. Tetapi, perjalananmu belum berakhir. Kau harus keluar dari Kuil Dewa Langit dan menghadapi dunia luar. Dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik." Lie Feng mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Saya mengerti, Guru Agung. Saya telah siap menghadapi tantangan apapun." "Bagus," Guru Agung berkata, suaranya sedikit melembut. "Tetapi, ingatlah selalu pelajaran yang telah ku ajarkan. Gunakan kekuatanmu untuk kebaikan, bukan untuk kejahatan. Li
Dengan gerakan cepat dan tepat, Lie Feng melepaskan serangan demi serangan. Ia menggunakan semua jurus silat yang ia kuasai, menciptakan kombinasi serangan yang mematikan. Pria tua itu berusaha melawan, tetapi ia mulai kewalahan. Ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan Lie Feng dan Mei Lin "Kau benar-benar keras kepala!" geram pria tua itu, tongkatnya berputar-putar mencoba menangkis serangan Lie Feng. "Kau yang keras kepala! Mengapa kau menyerang wanita itu?" balas Lie Feng, amarahnya membara. Lie Feng, dengan amarah yang membara, melanjutkan serangannya. Pedang Dewa Abadi menari-nari di udara, menciptakan pusaran angin yang memotong udara. Jurus Roh Pedang yang baru saja dikuasainya, menambahkan kekuatan misterius pada setiap serangannya. Pedang itu seakan memiliki kehidupan sendiri, bergerak sesuai dengan kehendak Lie Feng, menghindari serangan balik pria tua itu dengan presisi yang menakjubkan. Setiap benturan antara pedang dan tongkat menghasilkan suara dentuman
Kabar tentang keberanian dan kekuatan Lie Feng menyebar bak gelombang pasang di dunia persilatan. Ia, Pendekar Tapak Dewa, bukan hanya sekadar legenda, tetapi kenyataan yang menakjubkan. Kemenangannya atas Tuan Besar Bai Yue dan penyelamatannya terhadap berbagai desa dari ancaman bandit telah mengukuhkan namanya sebagai pahlawan. Namun, Lie Feng tetap rendah hati, selalu mengingat bimbingan Guru Agungnya.Di sebuah kedai teh ramai di kota, beberapa pendekar sedang berdiskusi.Pendekar A "Kau dengar kabar tentang Lie Feng? Kabarnya, ia mengalahkan seluruh pasukan bandit di Lembah Bayangan hanya dalam satu malam!"Pendekar B "Benar! Aku mendengarnya dari seorang pedagang yang melintas di sana. Katanya, Lie Feng menggunakan jurus yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sungguh menakjubkan!""Aku dengar dia juga menyelamatkan Putri Seruni dari cengkeraman penjahat. Pahlawan sejati!"Pendekar yang satu nya berkata, "Memang, tapi aku penasaran, sekuat apa sebenarnya dia?""Ent
Angin malam mengoyak reruntuhan Kuil Dewa Langit dengan raungan yang nyaris seperti jeritan hantu. Tetapi angin yang berbisik cerita-cerita dari masa lalu, membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan bau rempah-rempah kuno dan debu berabad-abad."Tempat ini... benar-benar mati," gumam seorang prajurit berjubah hitam, suaranya bergetar diterpa angin. "Apakah kita yakin harus mencari di sini?""Perintah adalah perintah," jawab rekannya, matanya menyipit menembus kegelapan. "Kita harus menemukan apa yang mereka sembunyikan, apa pun itu.""Lihat," prajurit pertama menunjuk ke reruntuhan di depan mereka. "Bangunan itu... dulunya pasti sangat megah.""Tapi sekarang hanya tinggal puing-puing," sahut rekannya, mendengus. "Seperti harapan yang terkubur.""Apa maksud dari ukiran-ukiran ini?" tanya prajurit pertama, mengamati dinding yang remuk. "Apakah ini semacam peringatan?""Entahlah," jawab rekannya, mengangkat bahu. "Yang penting kita menemukan apa yang kita cari, lalu pergi dari te
Kabar tentang keberanian dan kekuatan Lie Feng menyebar bak gelombang pasang di dunia persilatan. Ia, Pendekar Tapak Dewa, bukan hanya sekadar legenda, tetapi kenyataan yang menakjubkan. Kemenangannya atas Tuan Besar Bai Yue dan penyelamatannya terhadap berbagai desa dari ancaman bandit telah mengukuhkan namanya sebagai pahlawan. Namun, Lie Feng tetap rendah hati, selalu mengingat bimbingan Guru Agungnya.Di sebuah kedai teh ramai di kota, beberapa pendekar sedang berdiskusi.Pendekar A "Kau dengar kabar tentang Lie Feng? Kabarnya, ia mengalahkan seluruh pasukan bandit di Lembah Bayangan hanya dalam satu malam!"Pendekar B "Benar! Aku mendengarnya dari seorang pedagang yang melintas di sana. Katanya, Lie Feng menggunakan jurus yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sungguh menakjubkan!""Aku dengar dia juga menyelamatkan Putri Seruni dari cengkeraman penjahat. Pahlawan sejati!"Pendekar yang satu nya berkata, "Memang, tapi aku penasaran, sekuat apa sebenarnya dia?""Ent
Dengan gerakan cepat dan tepat, Lie Feng melepaskan serangan demi serangan. Ia menggunakan semua jurus silat yang ia kuasai, menciptakan kombinasi serangan yang mematikan. Pria tua itu berusaha melawan, tetapi ia mulai kewalahan. Ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan Lie Feng dan Mei Lin "Kau benar-benar keras kepala!" geram pria tua itu, tongkatnya berputar-putar mencoba menangkis serangan Lie Feng. "Kau yang keras kepala! Mengapa kau menyerang wanita itu?" balas Lie Feng, amarahnya membara. Lie Feng, dengan amarah yang membara, melanjutkan serangannya. Pedang Dewa Abadi menari-nari di udara, menciptakan pusaran angin yang memotong udara. Jurus Roh Pedang yang baru saja dikuasainya, menambahkan kekuatan misterius pada setiap serangannya. Pedang itu seakan memiliki kehidupan sendiri, bergerak sesuai dengan kehendak Lie Feng, menghindari serangan balik pria tua itu dengan presisi yang menakjubkan. Setiap benturan antara pedang dan tongkat menghasilkan suara dentuman
Perpisahan di Kuil Dewa Langit. Matahari terbenam di balik puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi, mewarnai langit dengan warna jingga dan ungu. Lie Feng berdiri di depan Guru Agung, pedang Dewa Abadi terhunus di sisinya. Ia telah menguasai semua jurus silat yang diajarkan Guru Agung, tetapi hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk: bangga, takut, dan juga sedikit sedih. "Lie Feng," Guru Agung memulai, suaranya berat dan berwibawa, "kau telah berhasil menguasai semua jurus silat yang telah ku ajarkan. Kau telah menjadi pendekar yang hebat. Tetapi, perjalananmu belum berakhir. Kau harus keluar dari Kuil Dewa Langit dan menghadapi dunia luar. Dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik." Lie Feng mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Saya mengerti, Guru Agung. Saya telah siap menghadapi tantangan apapun." "Bagus," Guru Agung berkata, suaranya sedikit melembut. "Tetapi, ingatlah selalu pelajaran yang telah ku ajarkan. Gunakan kekuatanmu untuk kebaikan, bukan untuk kejahatan. Li
Guru Agung, sosok tua dengan janggut putih panjang dan mata yang memancarkan kebijaksanaan berabad-abad, menunjuk ke gulungan kuno di hadapan Lie Feng. "Jurus Mata Dewa," katanya, suaranya berat dan berwibawa, "bukan sekadar teknik bela diri. Ia adalah perjalanan spiritual yang panjang dan penuh tantangan. Tingkat pertama, mengendalikan energi spiritual untuk meningkatkan penglihatan, adalah fondasinya. Rasakan aliran Chi dalam dirimu, Lie Feng. Biarkan ia mengalir seperti sungai yang tenang."Lie Feng, pemuda berwajah tegas dengan mata yang tajam, memejamkan mata. Ia mencoba mengikuti petunjuk Guru Agung, tetapi merasa kesulitan. "Guru," katanya setelah beberapa saat, suaranya sedikit putus asa, "saya kesulitan merasakan aliran Chi. Rasanya seperti... kosong."Guru Agung tersenyum sabar. "Kesabaran, Lie Feng. Ini bukanlah balapan. Bayangkan Chi sebagai cahaya matahari yang menyinari seluruh tubuhmu. Rasakan hangatnya, lihatlah cahayanya."Lie Feng mencoba lagi, kali ini de
Lie Feng, yang kini menguasai Jurus Tapak Dewa, Pedang Dewa Abadi, dan Pedang Langit, berdiri tegak di puncak gunung. Angin berhembus kencang, membelai rambutnya yang hitam legam. Ia merasa tak terkalahkan."Guru Agung," panggil Lie Feng, suaranya bergema di antara tebing-tebing terjal, "Apakah aku sudah cukup kuat?"Guru Agung, yang duduk bersila di atas batu besar, membuka matanya perlahan. Senyum tipis terukir di wajahnya yang keriput. "Kuat? Kau memang kuat, Lie Feng. Tetapi kekuatan sejati bukan hanya terletak pada teknik bertarung. Ada banyak hal lain yang harus kau pelajari."Lie Feng mengerutkan dahi. "Apa yang masih kurang, Guru Agung?""Sabar, Lie Feng. Aku akan menunjukkannya padamu." Guru Agung berdiri, dan dengan gerakan ringan, ia menuntun Lie Feng menuju sebuah lorong tersembunyi di balik air terjun.Di dalam ruangan rahasia itu, udara terasa dingin dan lembap. Bau tanah dan kayu lapuk memenuhi hidung. Lie Feng terkesima melihat ukiran-ukiran kuno di dinding, men
Guru Agung mengamati Lie Feng dari kejauhan. Mata tua itu berbinar bangga. Lie Feng, yang dulu anak kecil mungil, kini berdiri tegap, gagah perkasa. Gerakannya lincah, setiap pukulan dan tendangannya penuh kekuatan dan presisi.Guru Agung bergumam pelan didalam hati "Dia telah tumbuh menjadi pendekar yang hebat..." Lie Feng menyelesaikan serangkaian gerakan Jurus Tapak Dewa, keringat membasahi dahinya. Ia menoleh ke arah Guru Agung. "Guru Agung, apakah saya sudah cukup baik?" Guru Agung tersenyum. "Kau telah menguasai Jurus Tapak Dewa, Lie Feng. Tetapi perjalananmu belum berakhir. Dunia persilatan penuh dengan tantangan dan bahaya. Kau harus selalu siap.""Saya siap menghadapi apapun, Guru Agung. Saya akan selalu berlatih dan meningkatkan kemampuan saya." Guru Agung mengangguk. "Itulah semangat yang harus kau miliki. Tetapi kekuatan bukanlah segalanya. Kebijaksanaan dan pengendalian diri jauh lebih penting." Guru Agung membawa Lie Feng ke sebuah ruangan rahasia yang tersembunyi j
Guru Agung, dengan jubahnya yang usang, memimpin Lie Feng menyusuri lorong gelap Kuil Dewa Langit. Udara dingin dan lembap menyelimuti mereka. "Guru Agung, apakah kita akan sampai?" Suaranya gemetar sedikit karena kegelapan."Sabar, Lie Feng. Jalan menuju pencerahan selalu berliku dan penuh tantangan. Ketakutanmu adalah ujian pertamamu." "Tapi... gelap sekali, Guru Agung. Aku takut." Guru Agung berhenti, menoleh ke Lie Feng. "Ketakutan adalah bagian dari kehidupan, Lie Feng. Yang penting adalah bagaimana kau menghadapinya. Lihatlah ukiran di dinding ini. Mereka adalah kisah para pendekar terdahulu. Mereka juga menghadapi ketakutan, tetapi mereka mengalahkannya dengan keberanian dan tekad." Lie Feng menunjuk ke sebuah ukiran yang menggambarkan seorang pendekar melawan naga. "Apakah dia berhasil, Guru Agung?" Guru Agung tersenyum. "Itulah yang akan kau pelajari, Lie Feng. Setiap ukiran menyimpan sebuah pelajaran. Setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh lebih kuat." Lie Fen
Setelah bertahun-tahun berlatih keras, Lie Feng akhirnya menguasai Jurus Tapak Dewa. Ia mampu melepaskan kekuatan spiritual dahsyat, menciptakan bayangan seribu tangan yang menghancurkan lawan seketika."Lie Feng," kata Guru Agung, suaranya berat namun lembut, "Kekuatan ini harus digunakan dengan bijak. Untuk kebaikan, bukan kejahatan."Lie Feng mengangguk, matanya berbinar. "Saya berjanji, Guru Agung. Saya akan melindungi yang lemah dan menegakkan keadilan."Lie Feng, kini pemuda tampan dengan mata tajam, berdiri di reruntuhan Kuil Dewa Langit. Rambut hitamnya berkilauan. Tubuhnya, hasil latihan keras, memancarkan kekuatan dan kelenturan luar biasa.Guru Agung mengamati dari kejauhan. "Perjalananmu baru dimulai, Lie Feng. Dunia persilatan penuh bahaya dan intrik."Suatu senja, Guru Agung memanggil Lie Feng. Mereka menuju ruangan rahasia, beraroma rempah kuno. Di tengah ruangan, altar kuno dengan patung dewa yang megah. Senjata kuno mengelilinginya."Lie Feng," Guru Agung menun
Angin malam mengoyak reruntuhan Kuil Dewa Langit dengan raungan yang nyaris seperti jeritan hantu. Tetapi angin yang berbisik cerita-cerita dari masa lalu, membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan bau rempah-rempah kuno dan debu berabad-abad."Tempat ini... benar-benar mati," gumam seorang prajurit berjubah hitam, suaranya bergetar diterpa angin. "Apakah kita yakin harus mencari di sini?""Perintah adalah perintah," jawab rekannya, matanya menyipit menembus kegelapan. "Kita harus menemukan apa yang mereka sembunyikan, apa pun itu.""Lihat," prajurit pertama menunjuk ke reruntuhan di depan mereka. "Bangunan itu... dulunya pasti sangat megah.""Tapi sekarang hanya tinggal puing-puing," sahut rekannya, mendengus. "Seperti harapan yang terkubur.""Apa maksud dari ukiran-ukiran ini?" tanya prajurit pertama, mengamati dinding yang remuk. "Apakah ini semacam peringatan?""Entahlah," jawab rekannya, mengangkat bahu. "Yang penting kita menemukan apa yang kita cari, lalu pergi dari te