Perpisahan di Kuil Dewa Langit.
Matahari terbenam di balik puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi, mewarnai langit dengan warna jingga dan ungu. Lie Feng berdiri di depan Guru Agung, pedang Dewa Abadi terhunus di sisinya. Ia telah menguasai semua jurus silat yang diajarkan Guru Agung, tetapi hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk: bangga, takut, dan juga sedikit sedih. "Lie Feng," Guru Agung memulai, suaranya berat dan berwibawa, "kau telah berhasil menguasai semua jurus silat yang telah ku ajarkan. Kau telah menjadi pendekar yang hebat. Tetapi, perjalananmu belum berakhir. Kau harus keluar dari Kuil Dewa Langit dan menghadapi dunia luar. Dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik." Lie Feng mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Saya mengerti, Guru Agung. Saya telah siap menghadapi tantangan apapun." "Bagus," Guru Agung berkata, suaranya sedikit melembut. "Tetapi, ingatlah selalu pelajaran yang telah ku ajarkan. Gunakan kekuatanmu untuk kebaikan, bukan untuk kejahatan. Lindungi orang yang lemah, dan berjuang melawan ketidakadilan." "Saya tidak akan pernah melupakan pelajaranmu, Guru Agung," Lie Feng menjawab dengan suara yang bergetar. "Pergilah," Guru Agung melanjutkan, mengangguk pelan. "Pergilah ke Gunung Tian Shan. Di sana, kau akan menghadapi tantangan yang lebih besar. Di sana, kau akan menemukan takdirmu." Lie Feng membungkuk hormat kepada Guru Agung. "Terima kasih, Guru Agung. Saya akan pergi sekarang." Lie Feng meninggalkan Kuil Dewa Langit, membawa pedang Dewa Abadi dan semua pengetahuan yang telah ia pelajari. Ia menatap ke langit malam yang gelap, dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkilauan. Ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Perjalanan Menuju Gunung Tian Shan. Perjalanan Lie Feng menuju Gunung Tian Shan sangatlah panjang dan melelahkan. Ia harus melewati hutan-hutan lebat, sungai-sungai yang deras, dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Ia menghadapi berbagai macam bahaya, seperti binatang buas, perampok, dan pendekar-pendekar jahat. Tetapi, Lie Feng selalu berhasil mengatasi semua tantangan tersebut dengan keberanian dan kecakapannya dalam ilmu persilatan. Suatu hari, Lie Feng bertemu dengan seorang wanita muda yang cantik dan anggun. Wanita itu bernama Mei Lin, dan ia adalah seorang pendekar yang terampil. Mereka saling bertukar cerita dan pengalaman, dan mereka menjadi teman baik. Mei Lin membantu Lie Feng dalam perjalanannya, dan mereka saling mendukung satu sama lain. "Lie Feng," kata Mei Lin suatu hari, "aku mendengar bahwa kau akan pergi ke Gunung Tian Shan. Gunung itu sangat berbahaya. Apakah kau yakin ingin pergi ke sana?" Lie Feng mengangguk dengan mantap. "Ya, aku yakin. Aku harus pergi ke sana untuk menemukan takdirmu." "Baiklah," Mei Lin berkata, "aku akan menemanimu. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi." Lie Feng dan Mei Lin melanjutkan perjalanan mereka menuju Gunung Tian Shan. Perjalanan mereka semakin sulit seiring mereka mendekati gunung yang terkenal berbahaya itu. Tebing-tebing curam, jalan setapak dan licin, serta cuaca yang tak menentu menjadi tantangan tersendiri. Namun, keahlian silat Lie Feng dan kecerdasan Mei Lin membantu mereka melewati rintangan. Suatu sore, saat mereka beristirahat di sebuah lembah tersembunyi, mereka mendengar suara pertempuran dari kejauhan. Rasa ingin tahu mendorong mereka untuk menyelidiki sumber suara tersebut. Dengan hati-hati, mereka mendekati sumber suara, menyelinap di antara pepohonan dan semak-semak yang lebat. Mereka menemukan sebuah arena pertempuran yang tersembunyi di balik tebing batu. Dua orang pendekar sedang bertarung dengan sengit. Salah satunya adalah seorang pria tua dengan jubah hitam, yang tampak sangat kuat dan berpengalaman. Yang lainnya adalah seorang wanita muda dengan pakaian putih, yang tampak lincah dan gesit. "Mereka bertarung dengan sangat sengit," kata Mei Lin, suaranya berbisik. "Ya," Lie Feng menjawab, "aku rasa kita harus membantu wanita itu." Tanpa ragu, Lie Feng dan Mei Lin masuk ke arena pertempuran. Lie Feng mengacungkan pedang Dewa Abadi, sedangkan Mei Lin mengeluarkan sepasang kipas yang tampak sederhana, tetapi memancarkan aura yang kuat. "Hentikan!" Lie Feng berteriak, suaranya menggema di lembah. Pria tua itu berhenti bertarung dan menatap Lie Feng dan Mei Lin dengan tatapan tajam. "Siapa kalian?" tanyanya dengan suara berat. "Kami adalah pendekar yang kebetulan lewat," jawab Lie Feng. "Kami tidak ingin ikut campur, tetapi kami tidak bisa membiarkanmu melukai wanita itu." "Oh, begitu?" Pria tua itu tertawa dingin. "Kalian terlalu naif. Kalian tidak akan bisa mengalahkanku." "Kita akan lihat," kata Lie Feng. Ia mengayunkan pedang Dewa Abadi, melepaskan serangan yang cepat dan tepat. Pertempuran pun dimulai. Lie Feng dan Mei Lin melawan pria tua itu dengan segenap kemampuan mereka. Lie Feng menggunakan Jurus Tapak Dewa dan Jurus Kecepatan Dewa, sedangkan Mei Hua menggunakan kipasnya dengan lincah dan gesit. Mereka berhasil menahan serangan pria tua itu, tetapi mereka juga menyadari bahwa pria tua itu sangat kuat. "Mei Lin, kau gunakan jurus tercepatmu!" Lie Feng berteriak di tengah pertempuran. Mei Lin mengangguk dan melepaskan jurus tercepat yang dimilikinya. Dengan gerakan yang sangat cepat dan lincah, ia berhasil menghindari serangan pria tua itu dan memberikan serangan balik yang kuat. Lie Feng, dengan mata menyala, meluncurkan serangan dahsyat. Jurus Tapak Dewa yang menggetarkan tanah beradu dengan pukulan kuat pria tua berjubah hitam itu. Udara bergetar hebat saat kedua kekuatan itu berbenturan, menciptakan gelombang kejut yang membuat dedaunan berterbangan. Lie Feng, memanfaatkan Jurus Kecepatan Dewa, bergerak dengan kecepatan kilat, menghindari serangan balik pria tua itu yang hampir mengenai jantungnya. Pedang Dewa Abadi menyambar, menciptakan kilatan cahaya yang menyilaukan saat ia mencoba menusuk jantung lawannya. Namun, pria tua itu dengan cekatan menangkis serangan tersebut dengan tongkatnya yang terbuat dari kayu hitam pekat, suara benturannya menggelegar seperti guntur. Mei Hua, dengan kecerdasan dan kelincahannya, menciptakan ilusi dengan kipasnya. Gerakannya begitu cepat sehingga mata hampir tak mampu mengikuti. Kipas-kipas itu berputar-putar, menciptakan pusaran angin yang mengganggu konsentrasi pria tua itu. Ia mencoba menyerang, tetapi serangannya selalu meleset, terhalang oleh ilusi yang diciptakan Mei Lin. Namun, pria tua itu bukanlah orang sembarangan. Ia merasakan aura kekuatan yang terpancar dari Mei Lin, dan ia menyadari bahwa wanita muda itu bukanlah lawan yang mudah dikalahkan. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menembus ilusi tersebut. "Jurus Mata Dewa!" Lie Feng berteriak, matanya fokus pada kelemahan pria tua itu. Ia melihat bahwa pria tua itu sedikit goyah di kakinya, dan ia segera memanfaatkan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia meluncurkan serangan yang tepat mengenai kaki pria tua itu, menjatuhkannya ke tanah. Pria tua itu terhuyung, tetapi ia segera bangkit kembali. Ia menatap Lie Feng dan Mei Lin dengan tatapan penuh kebencian. "Kalian memang kuat," ucapnya dengan suara bergetar, "tetapi kalian belum bisa mengalahkanku!" Ia mengayunkan tongkatnya dengan penuh tenaga, melepaskan serangan yang dahsyat. Lie Feng dan Mei Lin berusaha menghindar, tetapi serangan itu terlalu cepat. Lie Feng berhasil menghindar, tetapi Mei Lin terkena serangan tersebut. Ia terhuyung ke belakang, darah mengalir dari lengannya. Lie Feng mengarahkan pedang Dewa Abadi ke arah pria tua itu, siap untuk memberikan serangan balik yang lebih dahsyat. Ia mengaktifkan Pedang Langit, meningkatkan kekuatan dan daya hancur serangannya. "Kau akan membayar perbuatanmu!" teriak Lie Feng.Dengan gerakan cepat dan tepat, Lie Feng melepaskan serangan demi serangan. Ia menggunakan semua jurus silat yang ia kuasai, menciptakan kombinasi serangan yang mematikan. Pria tua itu berusaha melawan, tetapi ia mulai kewalahan. Ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan Lie Feng dan Mei Lin "Kau benar-benar keras kepala!" geram pria tua itu, tongkatnya berputar-putar mencoba menangkis serangan Lie Feng. "Kau yang keras kepala! Mengapa kau menyerang wanita itu?" balas Lie Feng, amarahnya membara. Lie Feng, dengan amarah yang membara, melanjutkan serangannya. Pedang Dewa Abadi menari-nari di udara, menciptakan pusaran angin yang memotong udara. Jurus Roh Pedang yang baru saja dikuasainya, menambahkan kekuatan misterius pada setiap serangannya. Pedang itu seakan memiliki kehidupan sendiri, bergerak sesuai dengan kehendak Lie Feng, menghindari serangan balik pria tua itu dengan presisi yang menakjubkan. Setiap benturan antara pedang dan tongkat menghasilkan suara dentuman
Kabar tentang keberanian dan kekuatan Lie Feng menyebar bak gelombang pasang di dunia persilatan. Ia, Pendekar Tapak Dewa, bukan hanya sekadar legenda, tetapi kenyataan yang menakjubkan. Kemenangannya atas Tuan Besar Bai Yue dan penyelamatannya terhadap berbagai desa dari ancaman bandit telah mengukuhkan namanya sebagai pahlawan. Namun, Lie Feng tetap rendah hati, selalu mengingat bimbingan Guru Agungnya.Di sebuah kedai teh ramai di kota, beberapa pendekar sedang berdiskusi.Pendekar A "Kau dengar kabar tentang Lie Feng? Kabarnya, ia mengalahkan seluruh pasukan bandit di Lembah Bayangan hanya dalam satu malam!"Pendekar B "Benar! Aku mendengarnya dari seorang pedagang yang melintas di sana. Katanya, Lie Feng menggunakan jurus yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sungguh menakjubkan!""Aku dengar dia juga menyelamatkan Putri Seruni dari cengkeraman penjahat. Pahlawan sejati!"Pendekar yang satu nya berkata, "Memang, tapi aku penasaran, sekuat apa sebenarnya dia?""Ent
(Bab 11: Bayangan Naga Hitam)"Ketenaran Lie Feng telah mencapai puncaknya," bisik Razak, pengintai andalan Lord Vashta, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gemerlap lilin di ruang rahasia sang Lord. "Pendekar Tapak Dewa... sebuah ancaman bagi kita. Kabarnya, ia mengalahkan pasukan bandit di Lembah Bayangan hanya dalam semalam. Kemampuannya menguasai angin dan tanah sungguh luar biasa."Lord Vashta, duduk di singgasananya yang terbuat dari batu obsidian, tertawa dingin. Gelak tawa itu bergema di ruangan, memantul dari dinding-dinding yang dihiasi tengkorak naga hitam. "Ancaman? Dia hanyalah anak kecil yang berani! Dia mengira dirinya dewa? Kelompok Naga Hitam akan menghancurkannya!" Ia menepuk meja, membuat beberapa cangkir teh porselen bergetar. "Kekuatannya mungkin mengesankan, tapi ia belum pernah merasakan kekuatan sejati Kelompok Naga Hitam."Razak menunduk hormat. "Tentu, Lord Vashta. Para prajurit terbaik telah siap. Senjata-senjata terkuat telah diasah. Kita
"Langit... langit penuh bayangan!" seru Mei Lin, suaranya bergetar. Gelap pekat menyelimuti desa, bukan hanya awan, tetapi ratusan sosok hitam yang menukik dari langit malam. "Itu mereka! Kelompok Naga Hitam!"Lie Feng menarik napas dalam-dalam, matanya menyala dengan tekad. "Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga. Mei Lin, siapkan dirimu!""Siap!" jawab Mei Lin, memegang erat kipas anginnya. "Aku tidak akan membiarkan mereka melukai siapa pun!"Serangan dimulai dengan gemuruh. Para prajurit Kelompok Naga Hitam menyerbu seperti gelombang pasang, pedang dan tombak mereka menari-nari di bawah cahaya bulan yang redup. "Mati!" teriak seorang prajurit, menyerang Lie Feng dengan tombak yang berkilauan."Permainan anak-anak!" Lie Feng menangkis tombak itu dengan mudah, kemudian melancarkan serangan balasan dengan Jurus Dewa Pemecah Angin. "Rasakan ini!" Angin berputar-putar, menciptakan pusaran angin yang menghantam beberapa prajurit sekaligus, menghasilkan suara DUARR ya
Lie Feng merangkak ke sisi Mei Lin, yang terbaring tak sadarkan diri, luka-lukanya menganga. Darah segar membasahi tanah di sekitarnya. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar karena kelelahan dan amarah. "Mei Lin!" Ia berteriak, suaranya serak.Ia memeriksa luka Mei Lin, beberapa sayatan cukup dalam. Ia tahu ia harus segera membawanya ke tempat aman dan mengobati lukanya. "Kita harus pergi dari sini," ia bergumam, mencoba mengangkat Mei Lin.Namun, tubuhnya terlalu lemah. Luka-lukanya sendiri masih terasa nyeri. Ia butuh bantuan. Tapi siapa yang bisa ia percayai? Semua orang di desa ini mungkin sudah menjadi korban serangan Kelompok Naga Hitam.Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia bersiap untuk melawan, tetapi yang muncul bukanlah prajurit Kelompok Naga Hitam, melainkan seorang wanita tua dengan pakaian sederhana. Rambutnya putih, wajahnya keriput, tetapi matanya tajam dan berwibawa."Kau terluka parah," kata wanita tua itu, suaranya t
Lie Feng berdiri tegak, napas memburu, tetapi matanya berbinar dengan kekuatan. Di hadapannya tergeletak tubuh seorang prajurit Kelompok Naga Hitam yang sangat kuat, baju besinya hancur berkeping-keping, bukti kekuatan dahsyat yang baru saja ia lepaskan. Pertempuran itu singkat, tetapi intens. Lie Feng telah menguasai kekuatan Tapak Dewa, ilmu silat legendaris yang diajarkan oleh Guru Agungnya selama bertahun-tahun, dan ia menggunakannya untuk pertama kalinya dalam pertempuran sesungguhnya. "Huf... huf..." Lie Feng menarik napas dalam-dalam, merasakan aliran energi dahsyat yang masih bergelora di dalam tubuhnya. Luka-luka menganga di lengan dan kakinya, darah segar masih mengalir, tetapi rasa sakit itu sirna di hadapan kekuatan luar biasa yang baru saja ia kendalikan. "Kekuatan ini... benar-benar luar biasa!" Lie Feng bergumam, matanya tertuju pada tangannya yang masih sedikit gemetar karena sisa-sisa kekuatan Tapak Dewa. "Kekuatan Tapak Dewa... sebenarnya ada di dalam diriku selam
Udara di sekitar Kuil Dewa Langit terasa berbeda. Sebuah ketenangan yang dalam menyelimuti tempat suci itu, diselingi oleh desiran angin yang lembut di antara pepohonan kuno yang mengelilinginya. Lie Feng, diiringi Tuan Gu, melangkah memasuki kompleks kuil yang megah, batu-batu yang membentuk bangunan itu tampak seperti telah berdiri selama berabad-abad, menyaksikan sejarah panjang peradaban manusia. Sinar matahari menembus celah-celah atap kuil, menciptakan pola cahaya yang menari-nari di lantai yang terbuat dari batu marmer putih.Seorang pendeta tua dengan rambut dan jenggot putih panjang menyambut mereka. Wajahnya keriput, mencerminkan usia dan kebijaksanaan yang dalam, tetapi matanya berbinar dengan cahaya spiritual yang kuat. Ia mengenakan jubah putih bersih, tanda kesucian dan kedamaian."Selamat datang, Pendekar Lie Feng," kata pendeta tua itu, suaranya lembut dan merdu. "Kami telah menantikan kedatanganmu.""Terima kasih," jawab Lie Feng, menundukkan kepal
Lie Feng berdiri di puncak gunung, angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Di tangannya, ia merasakan kekuatan Tapak Dewa yang baru saja dikuasainya di Kuil Dewa Langit. "Kekuatan ini… sungguh luar biasa," gumamnya. "Tapi, tanggung jawabnya juga sangat besar."Tuan Gu, yang berdiri di sampingnya, mengangguk. "Benar, Lie Feng. Kekuatan ini harus digunakan untuk kebaikan. Jangan pernah biarkan ia jatuh ke tangan yang salah.""Aku mengerti, Guru Agung," jawab Lie Feng. "Aku akan menggunakan kekuatan ini untuk melindungi orang-orang yang tak berdaya.""Baiklah," kata Tuan Gu. "Sekarang, kita harus kembali ke desa. Ada banyak hal yang harus kita lakukan."Kembali di desa, sambutan hangat menanti mereka. "Lie Feng! Kau kembali!" teriak seorang anak kecil, berlari menghampiri mereka. "Kami sangat merindukanmu!""Terima kasih," kata Lie Feng, tersenyum. "Aku senang bisa kembali."Seorang tetua desa mendekat. "Lie Feng, kami mendengar kau telah menguasai kekuatan Tapak D
Ketegangan menyelimuti Perguruan Naga Teratai. Getaran yang terasa beberapa hari lalu semakin kuat, mengindikasikan bahwa ancaman itu semakin dekat. Para petarung, di bawah kepemimpinan Lie Feng, Lin Xue, dan Mei Lin, terus memperkuat pertahanan dan meningkatkan kewaspadaan. Mereka berlatih dengan tekun, menajamkan intuisi dan memperkuat kerja sama tim mereka.Suatu malam, saat bulan purnama bersinar terang, getaran itu mencapai puncaknya. Tanah berguncang hebat, dan suara gemuruh menggelegar di udara. Para petarung siaga penuh, pedang mereka terhunus, siap menghadapi apa pun yang akan datang."Itu dia!" teriak Jian, matanya melihat sesuatu di ujung hutan di dekat perguruan. "Ada sesuatu yang sedang mendekati!"Semua petarung menatap ke arah ujung hutan. Di tengah kegelapan, mereka melihat sesosok bayangan besar bergerak mendekati perguruan. Bayangan itu memancarkan aura yang sangat mengancam, aura yang beg
Matahari terbit di ufuk timur, mewarnai langit dengan warna jingga keemasan. Udara pagi masih sejuk, membawa kesegaran yang menenangkan. Di halaman Perguruan Naga Teratai, para petarung berkumpul untuk latihan rutin. Namun, latihan kali ini berbeda. Lie Feng telah memperkenalkan metode pelatihan baru yang menekankan pada pengembangan kekuatan batin dan kerja sama tim yang lebih efektif."Hari ini, kita akan fokus pada intuisi," kata Lie Feng, suaranya tenang tetapi tegas. "Kemampuan untuk merasakan bahaya sebelum ia datang adalah senjata paling ampuh yang kita miliki.""Bagaimana kita melatih intuisi kita?" tanya Jian, salah satu petarung muda, dengan penasaran. "Apakah kita harus berlatih merasakan getaran di tanah seperti yang terjadi sebelumnya?""Itu salah satu caranya," jawab Lin Xue. "Tetapi intuisi itu lebih dari sekadar merasakan getaran fisik. Itu adalah kemampuan untuk merasakan energi di sekitar kita, untuk merasakan bah
Matahari pagi menyinari Perguruan Naga Teratai, cahaya keemasannya menerangi wajah-wajah para petarung yang berkumpul di halaman luas. Suasana berbeda dari beberapa minggu lalu. Ketegangan dan ketakutan telah sirna, diganti oleh suasana yang tenang tetapi penuh dengan kekuatan baru. Mereka telah melewati ujian api, dan dari uji itu, mereka muncul lebih kuat dan lebih bijak.Lie Feng berdiri di depan mereka, senyum tersungging di bibirnya. "Teman-teman," katanya, suaranya bergema di seluruh halaman, "kita telah melewati masa yang sangat sulit. Kita telah menghadapi pengkhianatan, kehilangan, dan ancaman yang sangat besar. Tetapi kita telah melewatinya bersama-sama. Kita telah membangun kembali kepercayaan kita, dan dari abu kehancuran, kita telah menemukan kekuatan baru.""Kekuatan baru itu bukan hanya tentang kemampuan bertarung kita," lanjutnya, "tetapi juga tentang kebijaksanaan dan kekuatan
Keheningan yang menyelimuti ruangan bawah tanah itu terasa berat, dipenuhi dengan ketegangan yang belum sepenuhnya hilang. Lie Feng, Lin Xue, Mei Lin, dan dua petarung lainnya, Jian dan Ling, berdiri di tengah puing-puing batu-batu hitam yang telah hancur. Debu berterbangan di udara, menciptakan suasana yang menyeramkan."Kita berhasil," kata Mei Lin, suaranya bergetar karena kelelahan dan lega. "Kita berhasil menghancurkan sumber energi mereka.""Ya," jawab Lie Feng, namun ekspresinya masih dipenuhi dengan kewaspadaan. "Tetapi ini belum berarti semuanya telah berakhir. Masih ada banyak batu lainnya di jaringan terowongan ini.""Kita harus mencari tahu apakah ada sarang lainnya," kata Lin Xue. "Dan kita harus menghancurkannya sebelum mereka dapat memulihkan kekuatan mereka.""Aku setuju," kata Lie Feng. "Jian, Ling, kalian akan mencari sarang lainnya di sekitar ruangan ini. Lin Xue dan Mei Lin akan mene
Kepercayaan yang Terbangun KembaliLie Feng menatap peta terowongan bawah tanah yang baru saja Lin Xue selesaikan. Garis-garis rumit menggambarkan jaringan terowongan yang luas dan kompleks di bawah Perguruan Naga Teratai. Suasana di ruangan itu tegang, dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketegasan."Sarang mereka jauh lebih besar dari yang kita perkirakan," kata Lin Xue, suaranya serius. "Dan batu-batu itu… mereka tampaknya berfungsi sebagai sumber energi bagi makhluk-makhluk itu.""Kita harus memutuskan sumber energi itu," kata Mei Lin, suaranya penuh dengan ketegasan. "Jika kita bisa menghancurkan sumber energi mereka, kita bisa melemahkan mereka.""Itu ide yang baik," kata Lie Feng. "Tetapi bagaimana cara kita menghancurkan sumber energi mereka tanpa menghancurkan perguruan ini juga?""Kita harus berhati-hati," kata Lin Xue. "Kita harus merencanakan segalanya dengan teliti. Kita tidak bisa membiarkan diri
Bulan purnama menerangi halaman perguruan, menciptakan suasana tenang dan damai. Meskipun bayangan ancaman baru masih menghantui, suasana di perguruan telah berubah drastis. Kepercayaan, yang pernah retak karena pengkhianatan Zhao Li, perlahan tapi pasti mulai terbangun kembali.Lie Feng duduk di pinggir danau, mengamati para petarung berlatih dengan semangat baru. Senyum tersungging di bibirnya. Ia melihat perubahan signifikan pada mereka. Mereka lebih terbuka, lebih percaya diri, dan ikatan persahabatan di antara mereka semakin kuat."Mereka sudah jauh lebih baik," kata Lin Xue, mendekati Lie Feng. Ia duduk di samping Lie Feng, menikmati keheningan malam yang menenangkan."Ya," jawab Lie Feng. "Mereka telah belajar untuk mempercayai satu sama lain lagi. Itulah yang paling penting.""Kepercayaan adalah fondasi dari segalanya," kata Lin Xue. "Tanpa kepercayaan, kita tidak akan bisa mengatasi semua tantangan yang akan datang.""Kau benar," kata Lie Feng. "Dan kita telah melewati banyak
Sinar matahari pagi menembus jendela-jendela perguruan, menerangi wajah-wajah lelah namun bertekad. Lie Feng berdiri di tengah halaman, tatapannya menyapu wajah-wajah muridnya. Bekas luka pertarungan dengan Zhao Li masih terasa, bukan hanya di tubuh, tetapi juga di jiwa mereka. Kepercayaan yang retak, rasa takut yang membayangi, dan rasa bersalah yang mengerat hati mereka. Lie Feng tahu, jalan menuju pemulihan akan panjang dan penuh tantangan."Teman-teman," suara Lie Feng memecah kesunyian pagi, "kita telah melewati badai. Kita telah menghadapi pengkhianatan dan kehilangan. Tetapi kita tidak akan menyerah. Kita akan bangkit bersama, lebih kuat dari sebelumnya. Perjalanan ini tidak mudah, tetapi kita akan melewatinya bersama-sama."Suasana hening sejenak, hanya diiringi oleh kicauan burung di pohon-pohon sekitar. Mei Lin, yang selalu kuat, menunjukkan kerentanannya dengan menunduk. "Aku… aku masih takut," katanya, suaranya bergetar. "Taku
Hari-hari berikutnya dijalani dengan intensitas yang berbeda. Lie Feng, dengan bimbingan Lin Xue, melaksanakan rencana pemulihan yang terstruktur. Bukan hanya latihan fisik yang keras, tetapi juga sesi-sesi diskusi terbuka, meditasi di tempat-tempat tenang di sekitar perguruan, dan bahkan kegiatan-kegiatan yang lebih santai seperti berkebun bersama atau memasak makanan tradisional. Tujuannya adalah untuk membangun kembali kepercayaan dan ikatan di antara para petarung, menciptakan lingkungan yang mendukung dan menghilangkan rasa takut dan curiga."Mei Lin," kata Lie Feng lembut suatu pagi, menemukan Mei Lin duduk sendirian di dekat air terjun kecil di belakang perguruan, "Kau terlihat murung. Ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?"Mei Lin menoleh, matanya berkaca-kaca. "Aku masih takut, Lie Feng," akuinya, suaranya bergetar. "Takut akan pengkhianatan lagi. Takut akan kehilangan kepercayaan pada orang lain."Lie Feng duduk di sampingnya, menawar
Keheningan mencekam Perguruan Bela Diri Naga Teratai. Debu pertarungan telah mengendap, namun suasana tetap berat. Meskipun Zhao Li telah kembali, bekas luka yang ditinggalkannya jauh lebih dalam daripada luka fisik yang terlihat. Kepercayaan, seperti porselen yang pecah, membutuhkan waktu dan usaha yang sangat besar untuk diperbaiki. Lie Feng, meskipun telah mengalahkan Zhao Li, merasakan beban berat di hatinya. Ia tahu pertarungan itu bukan sekadar adu kekuatan fisik, melainkan pertempuran psikologis yang menguji ketahanan mental setiap orang."Lie Feng," kata Master Jian, suaranya lembut tetapi penuh dengan kekhawatiran, mendekati Lie Feng yang sedang berlatih sendirian di halaman belakang. "Kau baik-baik saja?"Lie Feng menghentikan gerakannya, menarik napas dalam-dalam. "Aku baik-baik saja, Master," jawabnya, tetapi suaranya tidak sekuat biasanya. "Hanya sedikit lelah."Master Jian menatap