Saat itu pegawai senior Majestic Height menoleh ke belakang dan mendapati deretan pasukan pengawal di depan lobby tengah membungkuk dalam diikuti dengan seluruh pegawai Majestic Height yang juga turut menunduk merendah.
Sialnya bagi pegawai hotel senior itu, tak ada siapa pun yang berjalan keluar menuju lobby kecuali pria muda yang hendak ia tampar.
Seketika itu juga, pria itu menurunkan tangannya, ia lekas-lekas membungkukkan badan serendah mungkin sembari bergumam dengan kalimat yang terbata-bata.
“Tuan Muda… Tuan Muda, kami mohon maaf atas keterlambatan kami menyambut anda…”
Calvin tersenyum sinis, ia berhenti sejenak demi menepuk-nepuk pundak pegawai yang nyaris ingin menamparnya tersebut.
“Bukankah tadi kau terlihat ingin menamparku? Kenapa mendadak memberi hormat?” tanya Calvin dengan nada santai.
Tubuh si pegawai itu bergetar hebat, ia mendapati giginya bergemelatuk dan merasakan kerongkongannya kesulitan mengucapkan kata-kata.
Calvin menyeringai lebar lalu berkata, “Jangan gemetaran begitu, tenanglah sedikit, moodku sedang baik jadi kemungkinan terburuknya hanyalah kau dipecat dari jabatanmu.”
Meski Calvin hanya bercanda, setidaknya itu cukup untuk membuat pegawai itu gemetaran hebat dan gelisah bukan main.
Sementara itu, begitu Calvin tiba di depan lobby hotel, segenap pasukan elite membuat barisan khusus seperti sedang bersiap mengantar kepergian Calvin Reed dari hotel.
“Tuan Reed, silakan masuk ke mobil,” ucap William Jones selaku kepala pengawal elite.
Calvin memasuki mobil dengan William sebagai driver. Segera setelah mobil melaju meninggalkan Majestic Height Hotel, Calvin membuka percakapan.
“Biar kutebak, para war gods saat ini sedang menjadi kaki tangan sang presiden? Dan president sedang ingin memata-mataiku dengan memanfaatkan tiga cecunguk itu?” tanya Calvin kepada William.
Sejenak, William Jones nyaris tersedak oleh napasnya sendiri. Tiga cecunguk yang dimaksud oleh Calvin Reed tentu saja adalah The Southern King, The Dragon Emperor, and The Knight of the Night. Nyatanya, tiga sosok tersebut merupakan tiga jagoan panglima perang terhebat yang tersohor dan ditakuti oleh banyak pihak.
Dengan entengnya, Calvin Reed menyebut ketiganya sebagai ‘cecunguk’. Tentu saja sosok yang bisa berkata demikian adalah jagoan di atas jagoan. Dan, hal itu membuat William lagi-lagi bergidik membayangkan kengerian Calvin Reed.
“Ya, sepertinya begitu, Tuan Reed,” jawab William setelah ia selesai menguasai sensasi ngeri di dadanya. “Apakah saya perlu menolak undangan jamuan makan mereka, Tuan?”
Calvin menggeleng. “Anggap saja mereka sedang berjuang memata-mataiku, tapi bukankah itu terlalu konyol? Ha ha, terima saja undangannya. Aku tak mengendus adanya ancaman di agenda jamuan makan itu.”
William Jones mengangguk, sejauh ini, ia selalu mempercayai semua keputusan yang diambil oleh tuannya itu. Maka, William Jones segera menelepon salah satu dari war gods dan mengatakan jika Calvin Reed menerima undangan mereka.
Setelah urusan undangan jamuan makan itu selesai, Calvin Reed meminta William untuk mengantarnya pergi ke suatu tempat.
“William, di wilayah barat Maplewood City, ada sebuah perumahan elite yang bernama Alexandria residence. Bawa aku ke sana kurang dari lima belas menit dari sekarang.”
Mendengar perintah Calvin Reed, William segera menginjak pedal gas dan melaju dengan kecepatan maksimal. Ia telah dilatih secara langsung oleh Calvin untuk mengemudi dalam kecepatan tinggi dengan potensi risiko paling minim.
Empat belas menit kemudian…
Calvin turun dari mobil dan meminta William pergi, ia tak ingin terlihat mencolok di depan keluarga calon mertuanya. Lebih-lebih, saat ia hendak membatalkan perjodohan dengan tunangannya.
“Dengan melihat keadaanku yang sederhana ini, kukira mereka bisa dengan mudah menyetujui pembatalan perjodohan kami,” gumam Calvin sesaat sebelum ia memasuki mansion milik keluarga Miller.
Beberapa tahun sebelum hari itu, kakek angkat Calvin telah mengatur perjodohannya dengan seorang cucu keluarga Miller. Meski Calvin dan tunangannya belum pernah bertemu dan saling kenal, kakek-kakek mereka telah bersepakat untuk menyatukan keduanya.
Namun, ada satu hal besar yang membuat Calvin memutuskan untuk membatalkan perjodohan.
“Emily, bertahanlah sedikit…”
Terdengar suara jeritan dari halaman depan mansion. Tanpa memedulikan security yang hendak menanyainya, Calvin bergegas berlari menuju ke sumber suara. Ia yakin seseorang sedang berada dalam keadaan darurat.
“Tuan Miller, putri anda sudah tak memiliki kesempatan hidup,” ucap seorang dokter senior, dokter nomor satu di Maplewood City.
Edward Miller menggelengkan kepala. Ia menatap dengan putus asa ke arah Emely Miller, putrinya, yang telah tergeletak kaku di atas tanah dengan keadaan mulut berbusa.
“Dokter, semua orang menyebutmu sebagai dokter hebat tanpa tanding! Kau harus bisa menyembuhkan putriku,” teriak Edward putus asa.
Dokter senior itu menggeleng beberapa kali. “Saat aku tiba di sini, kemungkinan besar lambung putrimu sudah pecah. Sudahlah, tak seorangpun bisa mengembalikan nyawa putrimu, Tuan Miller.”
“Aku bisa!”
Edward Miller dan David Longman – sang dokter, serempak menoleh ke sumber suara. Mereka berdua dikejutkan oleh kedatangan Calvin Reed yang tiba-tiba.
“Bocah muda, ini bukan waktunya untuk bercanda!” bentak David Longman, si dokter senior.
“Aku tahu,” ucap Calvin seraya berjongkok mengamati keadaan Emily.
Calvin Reed nyaris terjungkal karena terkejut begitu ia melihat wajah perempuan yang tak sadarkan diri itu nyatanya memiliki kemiripan nyaris 100% dengan perempuan yang semalam tidur dengannya.
Tapi, tentu saja di saat yang genting seperti itu ia tak berhak memikirkan sesuatu yang mengganggu di kepalanya. Segera, Calvin menyentuh pergelangan tangan Emily.
“Aku bisa mengobatinya,” ucap Calvin seraya duduk dan bersiap melakukan sesuatu.
“Bocah gila!” bentak si dokter lagi. “Pergi dari sini sebelum kau mengacau lebih jauh!”
Namun, sebelum sang dokter bertindak mengusir Calvin, Edward Miller berlutut sambil menangis tertahan.
“Anak muda, jika kau memang serius dengan ucapanmu, lakukanlah, obati putriku. Aku akan berhutang nyawa kepadamu.”
Sementara itu di arah jam sebelas, Dahlia tampak tak begitu nyaman dengan apa yang ia lakukan. Bahunya kaku, senyumnya tidak tulus. Davis memaksanya untuk menampilkan gerak-gerik betapa Dahlia terobsesi padanya. Pria itu membusungkan dada, senyumnya congkak.Bagi Davis, itu keren. Tapi bagi Dahlia, itu memuakkan.‘Jika sekali saja kau terlihat tak tergila-gila padaku, bersiap-siaplah mengemasi barangmu, barang adikmu, dan barang ayahmu. Kalian semua tak layak mengungsi di villaku!’Kalimat itu terus terngiang di telinga Dahlia, ancaman Davis yang dilontarkan sesaat sebelum mereka datang ke pesta. Sebentar lagi, pria itu akan menyerahkan Dahlia kepada Corey Turner. Tak ada ruginya untuk sedikit bersenang-senang lebih dulu, pikirnya.“Dahlia…” desis Davis sambil menyapukan pandangannya ke para tamu undangan yang mulai memasuki aula utama. Ia menunduk sedikit ke telinga Dahlia, nadanya tajam. “Sesekali, kecup pipiku dengan manja di hadapan para tamu!” bisiknya dengan ancaman yang terselip
Langkah Calvin bergema di koridor marmer yang terlapisi karpet ungu tua. Lampu gantung kristal di atasnya memantulkan bayangan gemerlap ke dinding, seakan menciptakan ilusi dunia lain yang lebih berbahaya di balik pesta ini.Musik lembut menyambutnya dari kejauhan. Alunan saxophone klasik dipadukan dengan denting piano, membungkus malam dengan kemewahan yang nyaris membuat Calvin menguap. Ia menoleh sebentar ke arah sumber suara, lalu menghela napas panjang seolah mempersiapkan dirinya menghadapi malam penuh basa-basi yang menyebalkan.Saat ia menyeberangi lorong menuju aula utama, seorang wanita muda menghampiri dari sisi kanan. Rambutnya terurai rapi, gaun merah marun pas badan, dan senyumnya... palsu sempurna. Ia berjalan anggun, namun langkahnya tegas dan jelas diarahkan padanya.Beberapa detik sebelumnya, perempuan itu tampak mengamati layar ponselnya dan wajah Calvin secara bergantian. Jari telunjuknya sempat mengusap layar, lalu ia mendongak, matanya menyipit seolah sedang menc
Kade Graves seorang diri dalam mode primanya, memiliki kemampuan melumpuhkan seluruh pasukannya yang berjumlah empat puluh orang itu. Namun saat mereka menyaksikan sang pemimpin tak mampu bertahan lebih dari lima menit saat berhadapan dengan Calvin Reed, kesadaran akan kekuatan lawan menyapu seluruh arena. Dalam sekejap, keempat puluh anak buah Kade menjatuhkan diri serempak, berlutut menghadap mobil Calvin dengan penuh takzim.“Terima kasih untuk kemurahan hati Anda, Tuan Muda!” seru mereka serentak. Suara lantang itu menggema, mengiris udara malam yang hening. Beberapa dari mereka bahkan menundukkan kepala hingga menyentuh tanah, seolah menyambut pengampunan dari dewa perang.Setelah penghormatan selesai, salah satu wakil Kade, pria jangkung dengan lengan penuh bekas luka, segera memberi instruksi. Tangannya menunjuk tegas, membagi kelompok. Beberapa orang segera menyingkirkan patahan pohon pinus yang menimpa kap mobil Calvin. Yang lain menggotong tubuh Kade yang nyaris tak sadarkan
“Namaku Kade Graves,” ujar si pria bertato kalajengking itu sembari melangkah satu tapak ke depan. Cahaya lampu jalan memantulkan kilau samar dari permukaan tintanya. Ia membuka satu kancing kemejanya di bagian leher, gerakannya lambat dan penuh kendali, seperti seekor ular yang bersiap mengganti kulit. Dengan mata terpejam sejenak, ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Calvin dengan senyum tipis yang lebih terasa seperti ejekan daripada keramahan.“Anak muda, jujur aku kagum dengan kemampuanmu,” gumamnya, suaranya berat namun tenang. “Kuberi satu nasihat gratis: jangan buru-buru merayakan kemenangan.”Calvin hanya mengangkat bahu perlahan. Dahi sedikit berkerut, namun sorot matanya tetap tenang, nyaris dingin. Ia menyandarkan satu bahu ke bodi mobil sambil menatap Graves tanpa gentar.“Aku hanya sedang bernapas di sini,” ujarnya pelan, nada suaranya nyaris datar, “tak kurang, tak lebih.”Senyum Graves perlahan memudar. Hatinya meradang, terlebih karena kemampuan aura pekat yang
Sementara itu, di dalam mobil hitam yang terparkir tenang di tengah jalan gelap, Calvin Reed menggulung perlahan lengan kemeja putihnya hingga ke siku. Gerakannya tenang, presisi, seolah sedang bersiap untuk memasuki panggung pertunjukan yang sudah ia hafal luar kepala. Matanya menatap ke depan, pada kerumunan pria bertubuh besar yang mengepung kendaraan mereka dengan ekspresi siap menghajar.Di kursi depan, William Jones menoleh, tapi belum sempat membuka mulut, Calvin lebih dulu bergumam ringan, nada suaranya tenang, namun tegas.“Kau tetap di mobil. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”Sebuah anggukan cepat dan patuh menjadi satu-satunya jawaban dari William, meski sorot matanya masih tampak sedikit kekhawatiran.Pintu mobil terbuka.Udara malam yang berat langsung menyergap masuk saat Calvin melangkah keluar, satu kaki demi satu, dengan langkah santai bak pria yang keluar dari restoran, bukan dari arena penyergapan. Matanya menyapu kerumunan singkat, senyumnya tipis namun mematikan.
Di waktu yang sama di tempat lain, Davis Moore tengah duduk santai di balkon lantai dua rumah mewahnya. Angin malam yang lembut membelai wajahnya, sementara ia menyandarkan punggung pada kursi rotan lebar, satu kaki disilangkan santai di atas yang lain. Tangan kanannya memegang rokok elektrik berwarna hitam perak, mengepulkan uap tipis yang melayang ke udara. Di tangan kirinya, ponsel tertempel di telinga. Tawa kecilnya terdengar ringan namun mengandung kepuasan yang tak bisa disembunyikan.Rasa kesalnya pada Calvin Reed yang sempat membara, perlahan mulai mencair. Digantikan oleh sensasi kemenangan yang manis dan menusuk. Tatapan matanya menyipit, mengarah pada langit yang mulai berpendar ungu kehitaman, seolah menikmati momen pembalasan ini.“Begitulah aku menghargai martabatku. Cukup tinggi, bukan?” ujarnya ringan sambil menghembuskan asap dari sela bibirnya yang melengkung angkuh. Bahunya sedikit terangkat, menegaskan kebanggaan dalam kalimatnya. Ia tertawa pelan, tawa tipis namun