Emily Miller masih dalam keadaan terbujur kaku dengan bibir mengeluarkan busa. Meski sekilas gadis itu tampak seperti sudah tak bernyawa, Calvin merasa menyembuhkan Emily bukanlah hal yang sulit.
“Ada satu syarat sebelum aku memulai penyembuhan,” ucap Calvin seraya menempelkan tangannya ke urat nadi leher Emily.
Edward Miller mengangguk setuju. “Apa pun syaratmu, aku setuju. Bahkan jika kau meminta imbalan khusus, aku akan memenuhi semua kemauanmu.”
“Tak ada yang boleh mengganggu proses pengobatanku.” Calvin bergumam seraya menggerakkan tangannya seolah ingin membuka kancing dada Emely.
“Bagaimana bisa Tuan Miller terkecoh oleh bualan pemuda asing seperti dia?” salah seorang asisten David Longman berbisik ke telinga temannya dengan ekspresi penuh kebencian.
“Ssst… Biarkan dia termakan oleh kebodohannya sendiri, dia membiarkan pemuda itu menyentuh putrinya, itu artinya dia benar-benar tak menghargai Dokter Longman,” balas rekannya.
Saat Calvin benar-benar membuka kancing dada Emily, lalu bersiap menempelkan tangannya tepat ke ulu hati gadis itu, David Longman mengerutkan alis dan bergumam sinis.
“Sial, bocah ini ternyata hanya pemuda cabul yang berpura-pura menjadi penolong, lihat, sekarang dia menempelkan telapak tangannya ke ulu hati, sebentar lagi ia akan meraba-raba tubuh Emily!”
Calvin tak merespon hinaan David Longman, ia bahkan seperti membenarkan ucapan David, kini jari jemari Calvin telah bergerak perlahan meraba inchi demi inchi permukaan kulit Emily, membuat dua asisten David Longman semakin murka melihatnya.
“Dokter Longman, bolehkah kami menelepon polisi sekarang? Pemuda cabul itu hanya sedang memanfaatkan keadaan Nona Emily!” pinta salah satu asisten David Longman.
Sebelum David menjawab, asistennya yang lain juga menimpali, “Yang seperti ini tak bisa dibiarkan, Dokter Longman. Bagaimanapun Nona Emily adalah pasien anda, anda harus melakukan sesuatu…”
Mendengar dua asisten David Longman sedang mengolok-oloknya, Calvin tersenyum sinis lalu sejenak melirik keduanya. “Panggillah polisi, katakan jika ada seorang dokter yang tak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi nyawa pasiennya. Mari kita lihat hukuman apa yang menunggu dokter idola kalian.”
David Longman seketika marah, ia ingin menghantamkan pukulan kepada Calvin, namun sedetik sebelum itu terjadi, Edward Miller mendorong tubuh David Longman ke belakang. Menjauhkan dokter senior tersebut dari Calvin dan Emily.
“Dokter Longman, kumohon jangan ganggu pemuda itu. Nyawa Emily sedang menjadi taruhannya, tolong biarkan dia mencoba,” pinta Edward Miller dalam nada memohon.
“Tuan Edward, anda boleh putus asa tetapi jangan bertindak bodoh seperti ini! Anda akan sangat menyesal setelah anda menyadari kebodohan anda!” bentak David Longman yang mulai kehilangan kesabaran menghadapi keadaan.
Dua asisten David Longman bergegas menopang tubuh David dari belakang seolah sedang memberi perlindungan kepada dokter senior tersebut.
“Tuan Miller, Dokter Longman adalah jenius paling jenius di Maplewood. Semua diagnose Dokter Longman memiliki akurasi 100%, tindakan anda benar-benar telah menghina senior kami!” ucap asisten David Longman pada Edward Miller.
Edward Miller hanya bisa meminta maaf kepada semua pihak. Namun tentu saja, dua asisten David Longman tak menerima permintaan maaf Edward begitu saja.
“Usir pemuda itu, dan hargailah semua pendapat senior kami, dengan begitu Dokter Longman tak akan menganggap tindakan anda sebagai penghinaan terhadap senior kami,” ucap salah satu asisten David.
Permintaan itu membuat Edward Miller terdiam. Ia melihat Calvin yang saat ini masih meraba-raba tubuh putrinya dengan ekspresi serius.
Sementara itu, Calvin mendongakkan kepala ke arah Edward yang sedang berada dalam dilemma, “jika aku tak segera menyelesaikan pengobatanku, sebentar lagi putrimu akan mati. Pilihanmu ada dua, mengusirku, atau meminta mereka diam.”
Edward Miller menelan ludah. Nada bicara Calvin yang tenang dan serius membuatnya sulit untuk tak mempercayai pemuda itu. Maka, lagi-lagi Edward Miller menoleh ke arah David Longman dan dua asistennya.
“Tuan-tuan, tolong… Tolong tenanglah selama pemuda itu mengobati putriku, aku belum siap kehilangan putriku, kumohon…”
“Tuan Miller, sejak kapan anda menjadi sebodoh ini? Lihat pemuda itu, lihat juga tubuh putrimu, pemuda itu justru akan mempercepat kematian putrimu!” bentak David Longman penuh geram. “Oh, andai pemuda itu benar-benar bisa melakukan hal berguna untuk putrimu, kukira aku tak akan keberatan bersujud di kakinya demi memintanya menjadi guruku!” kelakar David Longman dan di saat yang sama, terdengar suara yang membuat semua orang terkejut.
Cough!
Cough!
Semua orang mendengar suara Emily terbatuk!
Gadis yang diprediksi David Longman akan mati dalam beberapa menit itu kini justru terlihat membuka mata!
Sementara itu di arah jam sebelas, Dahlia tampak tak begitu nyaman dengan apa yang ia lakukan. Bahunya kaku, senyumnya tidak tulus. Davis memaksanya untuk menampilkan gerak-gerik betapa Dahlia terobsesi padanya. Pria itu membusungkan dada, senyumnya congkak.Bagi Davis, itu keren. Tapi bagi Dahlia, itu memuakkan.‘Jika sekali saja kau terlihat tak tergila-gila padaku, bersiap-siaplah mengemasi barangmu, barang adikmu, dan barang ayahmu. Kalian semua tak layak mengungsi di villaku!’Kalimat itu terus terngiang di telinga Dahlia, ancaman Davis yang dilontarkan sesaat sebelum mereka datang ke pesta. Sebentar lagi, pria itu akan menyerahkan Dahlia kepada Corey Turner. Tak ada ruginya untuk sedikit bersenang-senang lebih dulu, pikirnya.“Dahlia…” desis Davis sambil menyapukan pandangannya ke para tamu undangan yang mulai memasuki aula utama. Ia menunduk sedikit ke telinga Dahlia, nadanya tajam. “Sesekali, kecup pipiku dengan manja di hadapan para tamu!” bisiknya dengan ancaman yang terselip
Langkah Calvin bergema di koridor marmer yang terlapisi karpet ungu tua. Lampu gantung kristal di atasnya memantulkan bayangan gemerlap ke dinding, seakan menciptakan ilusi dunia lain yang lebih berbahaya di balik pesta ini.Musik lembut menyambutnya dari kejauhan. Alunan saxophone klasik dipadukan dengan denting piano, membungkus malam dengan kemewahan yang nyaris membuat Calvin menguap. Ia menoleh sebentar ke arah sumber suara, lalu menghela napas panjang seolah mempersiapkan dirinya menghadapi malam penuh basa-basi yang menyebalkan.Saat ia menyeberangi lorong menuju aula utama, seorang wanita muda menghampiri dari sisi kanan. Rambutnya terurai rapi, gaun merah marun pas badan, dan senyumnya... palsu sempurna. Ia berjalan anggun, namun langkahnya tegas dan jelas diarahkan padanya.Beberapa detik sebelumnya, perempuan itu tampak mengamati layar ponselnya dan wajah Calvin secara bergantian. Jari telunjuknya sempat mengusap layar, lalu ia mendongak, matanya menyipit seolah sedang menc
Kade Graves seorang diri dalam mode primanya, memiliki kemampuan melumpuhkan seluruh pasukannya yang berjumlah empat puluh orang itu. Namun saat mereka menyaksikan sang pemimpin tak mampu bertahan lebih dari lima menit saat berhadapan dengan Calvin Reed, kesadaran akan kekuatan lawan menyapu seluruh arena. Dalam sekejap, keempat puluh anak buah Kade menjatuhkan diri serempak, berlutut menghadap mobil Calvin dengan penuh takzim.“Terima kasih untuk kemurahan hati Anda, Tuan Muda!” seru mereka serentak. Suara lantang itu menggema, mengiris udara malam yang hening. Beberapa dari mereka bahkan menundukkan kepala hingga menyentuh tanah, seolah menyambut pengampunan dari dewa perang.Setelah penghormatan selesai, salah satu wakil Kade, pria jangkung dengan lengan penuh bekas luka, segera memberi instruksi. Tangannya menunjuk tegas, membagi kelompok. Beberapa orang segera menyingkirkan patahan pohon pinus yang menimpa kap mobil Calvin. Yang lain menggotong tubuh Kade yang nyaris tak sadarkan
“Namaku Kade Graves,” ujar si pria bertato kalajengking itu sembari melangkah satu tapak ke depan. Cahaya lampu jalan memantulkan kilau samar dari permukaan tintanya. Ia membuka satu kancing kemejanya di bagian leher, gerakannya lambat dan penuh kendali, seperti seekor ular yang bersiap mengganti kulit. Dengan mata terpejam sejenak, ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Calvin dengan senyum tipis yang lebih terasa seperti ejekan daripada keramahan.“Anak muda, jujur aku kagum dengan kemampuanmu,” gumamnya, suaranya berat namun tenang. “Kuberi satu nasihat gratis: jangan buru-buru merayakan kemenangan.”Calvin hanya mengangkat bahu perlahan. Dahi sedikit berkerut, namun sorot matanya tetap tenang, nyaris dingin. Ia menyandarkan satu bahu ke bodi mobil sambil menatap Graves tanpa gentar.“Aku hanya sedang bernapas di sini,” ujarnya pelan, nada suaranya nyaris datar, “tak kurang, tak lebih.”Senyum Graves perlahan memudar. Hatinya meradang, terlebih karena kemampuan aura pekat yang
Sementara itu, di dalam mobil hitam yang terparkir tenang di tengah jalan gelap, Calvin Reed menggulung perlahan lengan kemeja putihnya hingga ke siku. Gerakannya tenang, presisi, seolah sedang bersiap untuk memasuki panggung pertunjukan yang sudah ia hafal luar kepala. Matanya menatap ke depan, pada kerumunan pria bertubuh besar yang mengepung kendaraan mereka dengan ekspresi siap menghajar.Di kursi depan, William Jones menoleh, tapi belum sempat membuka mulut, Calvin lebih dulu bergumam ringan, nada suaranya tenang, namun tegas.“Kau tetap di mobil. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”Sebuah anggukan cepat dan patuh menjadi satu-satunya jawaban dari William, meski sorot matanya masih tampak sedikit kekhawatiran.Pintu mobil terbuka.Udara malam yang berat langsung menyergap masuk saat Calvin melangkah keluar, satu kaki demi satu, dengan langkah santai bak pria yang keluar dari restoran, bukan dari arena penyergapan. Matanya menyapu kerumunan singkat, senyumnya tipis namun mematikan.
Di waktu yang sama di tempat lain, Davis Moore tengah duduk santai di balkon lantai dua rumah mewahnya. Angin malam yang lembut membelai wajahnya, sementara ia menyandarkan punggung pada kursi rotan lebar, satu kaki disilangkan santai di atas yang lain. Tangan kanannya memegang rokok elektrik berwarna hitam perak, mengepulkan uap tipis yang melayang ke udara. Di tangan kirinya, ponsel tertempel di telinga. Tawa kecilnya terdengar ringan namun mengandung kepuasan yang tak bisa disembunyikan.Rasa kesalnya pada Calvin Reed yang sempat membara, perlahan mulai mencair. Digantikan oleh sensasi kemenangan yang manis dan menusuk. Tatapan matanya menyipit, mengarah pada langit yang mulai berpendar ungu kehitaman, seolah menikmati momen pembalasan ini.“Begitulah aku menghargai martabatku. Cukup tinggi, bukan?” ujarnya ringan sambil menghembuskan asap dari sela bibirnya yang melengkung angkuh. Bahunya sedikit terangkat, menegaskan kebanggaan dalam kalimatnya. Ia tertawa pelan, tawa tipis namun