“Xavier!” Rachel berlari ke arah pria yang terjatuh di lantai. Yoru membantu Rachel membawa pria itu dan meletakkannya di kursi panjang yang ada di ruang tamu. Sementara Lixue cepat-cepat menutup pintu yang terbuka. Angin dingin masuk ke dalam rumah dan mengakibatkan api di perapian mengecil. Lixue menambah kayu di perapian supaya udara lebih hangat.“Bisakah kau ambilkan baskom dan air?” pinta Rachel kepada Lixue setelah melihat anggukan dari Lixue, wanita itu berjalan dengan cepat lalu kembali dengan sebuah kotak di tangannya. Dia membuka kotak yang berisi peralatan dan juga beberapa botol kaca dan benda-benda kecil yang terlihat seperti obat.“Terima kasih Lixue,” ucap Rachel mengambil kain dan membersihkan luka-luka pria tersebut. Tangan dan kaki Xavier penuh luka, beberapa luka menganga mengeluarkan cairan merah kental yang sebagian sudah mengering.“Siapa yang mengejar kalian?” tanya Rachel tanpa menoleh sedikitpun ke arah Yoru maupun Lixue, dia fokus membersihkan luka-luka di t
Ergions, sebuah wilayah yang dihuni oleh Elf. Sebuah benua yang terpisah dari benua utama. Hanya ada dua bagian di wilayah ini, Ergions dan Woodclift. Tanah para elf berupa hutan lebat yang tidak terjamah oleh manusia termasuk orang-orang Woodclift meskipun berada di satu wilayah yang sama, satu benua yang sama.Seorang pangeran Elf tengah bernyanyi dan memainkan harpa. Sebuah harpa yang memiliki kekuatan ajaib yang mampu menumbuhkan berbagai macam tanaman dan memberikan kesuburan tanah, separah apa pun kondisinya.“Kenapa berhenti?” Moura Elwood, gadis yang menjadi jiwa dari pohon kehidupan menatap Lou Sherwood, sang Pangeran Elf.“Kau sudah cukup subur, satu hingga tiga abad pun pohon ini masih akan berdiri kokoh,” ucap Lou Sherwood. Dia terlihat bosan dan meletakkan harpanya serta berhenti bernyanyi.“Kita sudah membicarakan ini ribuan kali, Pangeran Lou,” ucap Moura.“Sekali saja, hanya sekali,” pinta sang pangeran menatap ke arah Elf terpilih.Moura Elwood, salah satu elf terpili
Rasa penasaran membuat Pangeran Lou terus mencari informasi tentang celah dimensi. Dia berkeliling kota Avari untuk mendapatkan informasi. Sesekali dia mengagumi arsitektor kota yang menyatu dengan alam, sangat indah. Pohon-pohon besar dengan rumah yang menempel di pohon tersebut, juga keindahan rumah pohon yang benar-benar rumah pohon dengan pohon yang masih hidup.“Aku benar-benar iri,” gumam Pangeran Lou melihat semua yang dia lihat di Kota Avari.“Apa yang membuatmu iri, Pangeran?” Seorang wanita dengan gaun sewarna daun mint berada di sebelahnya. Gaun indah dengan butiran kemilau intan membuat gaun itu terlihat mewah, begitu pula sebuah mahkota yang bertengger di atas kepalanya.“Ratu Esmeralda!” seru Pangeran Lou yang kemudian membungkuk memberi salam. “Maafkan atas kelancangan saya,” lanjut Pangeran Lou.“Ada yang ingin Pangeran tanyakan?” tanya Ratu Esmeralda, seakan bisa membaca pikiran sang ratu berjalan dengan anggun dan mempersilakan sang pangeran untuk duduk dalam jamuann
Lou Sherwood mulai membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat sebuah langit-langit kamar yang tinggi. Ornamen serba putih yang terlihat elegant. Lalu hawa dingin yang menyentuh kulitnya terasa begitu nyata.“Aku masih hidup,” gumamnya.Dia menoleh ke samping, pemandangan yang tak kalah elok terlihat jelas. Seorang wanita dengan rambut putih sepih salju mengenakan gaun tebal dengan bulu-bulu binatang di bagian leher. Dia terlihat begitu anggun saat berjalan dengan rambut panjang yang terjalin begitu rapi dan indah. Mata biru sapphire menatap dirinya, kedua pasang mata itu terkunci dalam satu tatapan yang sama.“Kau sudah siuman, syukurlah,” ucap wanita itu mendekati Lou“Apa ini di surga?” tanya Lou yang hanya terpikir satu tempat indah dengan bidadari.“Ini Istana Es, Anda ditemukan terluka dan tabib sudah mengobati luka-luka Anda,” jawab wanita itu dengan suara lembut yang indah. Seakan sebuah lonceng berbunyi, berdentang begitu merdu mengalunkan nada-nada yang disebut cinta. Gelora
Lixue berdiri menghadap danau yang telah beku, jika saja dia tidak hafal tempat itu mungkin saja dirinya akan menginjak lapisan tipis es di permukaan danau dan berakhir tenggelam.“Bagaimana mengeluarkan Eirlys,” gumam Lixue. Dia teringat dengan percakapan yang dilakuannya dengan Yuan semalam.“Apa kau sudah baik-baik saja? Aku ingin bicara.” Lixue menatap Yuan secara langsung setelah mereka semua selesai makan malam. Semua mata memandang mereka.Yuan mengangguk, lalu mereka berdua berjalan menjauh dari yang lain. Rachel memanggil keduanya lalu memberikan sebuah tempat untuk mereka berdua berbicara, kamar yang terlihat seperti ruang kerja. Terdapat satu meja besar dengan tumpukan buku lalu beberapa kursi, rak yang dipenuhi buku-buku tersusun rapi. Beberapa benda-benda yang terlihat kuno tertata rapi di rak lain. Rachel membawakan minuman hangat lalu keluar dan mempersilakan mereka berdua berbincang di ruang itu.“Dia cukup baik,” ucap Lixue mengambil cangkir yang berisi minuman hangat
Yuan memandangi danau bersama dengan Xavier. Mereka berkeliling dan mencari sesuatu yang mungkin memiliki petunjuk. Apapun yang menarik dan terlihat aneh tidak luput dari perhatian mereka.“Bagaimana bisa Lixue tidak tahu caranya,” ucap Xavier sembari melempar kerikil yang dia temukan ke arah danau. Kerikil tersebut tidak tenggelam karena lapisan tipis es di atas permukaan danau.“Esnya tidak tebal, bukankah seharusnya es di danau cukup tepal selama waktu yang begitu lama?” gumam Yuan. dia merasa aneh dengan permukaan es yang tipis di atas danau.Bayangan yang muncul dari balik pohon menyita perhatian Xavier dan juga Yuan, seorang wanita dengan keranjang penuh tanaman tiba-tiba muncul dan bergabung dengan mereka.“Itu karena beberapa waktu lalu musim berganti, kau tahu meskipun selalu tertutup es ada kalanya tempat ini sedikit hangat dan air danau mencair. Kami bahkan pernah menyelam sampai ke dasar danau,” sahut Rachel menyambung pembicaraan mereka.“Tidak ada istana di bawah?” Yuan
Yuan menoleh ke arah Lixue, mereka berdua saling mengangguk tanda mengerti satu sama lain. Lixue berlari kecil ke salah satu pola yang terukir di sekeliling danau dia meletakkan liontinnya di sana. Sebuah tempat yang pas dengan liontinnya. Lixue memutar liontin itu searah jarum jam lalu pendaran cahaya mulai terlihat dari liontin tersebut. Satu per satu lingkaran yang mengelilingi danau menyala. Satu persatu cahaya-cahaya menyilaukan tersebut membentuk aurora indah di langit.“Indahnya!” Yui memuji keindahan langit akibat dari cahaya yang dikeluarkan lingkaran sihir. Dia berfokus pada danau yang kini mulai mencair lapisan esnya. “Aku tidak sabar melihat istana es muncul!” serunya begitu girang.Mereka semua memandang ke arah danau. Sedetik, dua detik kemudian menit demi menit berlalu hingga hampir satu jam lamanya menunggu, tetapi tidak ada tanda-tanda ada istana es yang akan naik ke permukaan.“Ini tidak benar, pasti ada yang salah.” Lixue memeriksa kembali liontin dan memutarnya ke
Langkah kaki pria yang disebut jenderal zombie oleh Leiz terhenti saat beberapa orang tiba-tiba memaksa masuk menemui sang raja. Beberapa penjaga yang melarang mereka masuk seakan tidak dihiraukan, mereka tetap memaksa bahkan mendobrak pintu dari luar.“Wah, ada apa ini para jenderal datang bersama-sama, apa ada laporan genting?”Leiz tersenyum, dia melihat ada Razen di antara para jenderal. Senyuman itu langsung luntur saat dia melihat satu jenderal yang baru saja dia angkat karena berhasil membawakan Yuan ke hadapannya.“Julian, sudah kuberikan jabatan dan sekarang kau berkhianat untuk menentangku,” batin Leiz mengepalkan tangannya dengan mata tajam mengarah pada pria itu.Suasana ruangan menjadi memanas, para jenderal berdiri berjajar dan mulai memberikan argumennya satu per satu menyanggah kedudukan raja dan menginginkan sang raja mundur. Sebelum Razen mulai membuka mulutnya sang raja pun menyela mereka.“Tidak nyaman berbicara seperti ini, bagaimana kalau kita ke ruang pertemuan
Yui dan Yuan berdiri di luar dinding istana, hembusan angin lembut membelai rambut mereka. Jemari mereka dengan hati-hati menaburkan benih-benih ajaib dari dunia atas ke tanah yang dahulu gersang. Di bawah sentuhan mereka, dunia bawah yang dulunya kelam kini dipenuhi berbagai warna—hijau rumput yang merayap, kuning keemasan bunga-bunga liar, segala macam tanaman mulai mengular dari dalam tanah. Yui menoleh, alisnya berkerut melihat saudaranya. "Yuan, kau tidak apa-apa?" tanyanya, memperhatikan kembarannya yang tengah memainkan harpa keemasan—benda legendaris yang diperebutkan banyak makhluk.Yuan menggeleng pelan, jemarinya masih menari di atas senar harpa. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat, matanya tetap terfokus pada alat musik di tangannya.Kebangkitan Yuan beberapa waktu lalu sungguh menggemparkan seluruh kerajaan. Bukan hanya wujudnya yang telah berubah sempurna sebagai raja kegelapan, tetapi juga reaksi tidak biasa dari harpa ajaib tersebut. Harpa keemasan itu bersinar terang,
Cahaya keemasan menyusup di antara dedaunan saat Raja Arlen membimbing Yui menyusuri jalan setapak menuju area tidak jauh dari Pohon Kehidupan. Angin lembut menerbangkan helaian rambut Yui, sementara matanya menangkap sosok Rafael yang tengah berbincang serius dengan Moura di kejauhan, wajah keduanya tampak khidmat di bawah naungan cabang-cabang raksasa."Sebelah sini," ujar Raja Arlen sambil menunjuk dengan jemarinya yang panjang dan ramping. Jubah kerajaannya berdesir lembut menyapu rumput saat ia memimpin Yui menuju sebuah pondok mungil yang hampir tersembunyi di balik rimbunnya aneka bunga warna-warni. Aroma manis nektar merebak di udara, menggelitik indra penciuman.Pintu pondok terbuka dengan derit pelan. Seorang pria melangkah keluar, mengenakan tunik berwarna lumut khas kaum elf yang melekat sempurna di tubuhnya. Namun, tidak seperti para elf lainnya, telinga pria itu tidak meruncing dan wajahnya tidak memancarkan keanggunan abadi yang biasa dimiliki kaum elf."Yoru!" pekik Y
Yui mendarat dengan lincah setelah melompat dari punggung Fury, naga hitam milik Rafael. Rambut panjangnya melambai tertiup angin saat kakinya menyentuh tanah. Matanya berbinar melihat sosok yang telah menunggunya."Kakak!"Yui menghambur ke pelukan Yuasa, jemarinya mencengkeram erat jubah sang kakak sementara aroma khas dedaunan segar menguar dari tubuh Yuasa. Mata keduanya berkaca-kaca, pertemuan yang menggetarkan jiwa setelah sekian lama terpisah."Kau baik-baik saja, Yui? Bagaimana tubuhmu setelah bangkit kembali?" tanya Yuasa sambil meneliti setiap inci wajah adiknya. Jemarinya yang ramping menyentuh pipi Yui, memancarkan energi keemasan yang menelusuri setiap sel dalam tubuh sang adik. "Setelah semua ini selesai, biarkan kakak menyembuhkanmu."Dahi Yuasa berkerut dalam. Sensasi dingin menjalar dari tubuh Yui—sesuatu yang sangat janggal. Api Suzaku yang seharusnya berkobar hangat kini terasa beku seperti es abadi."Tentu, untuk saat ini kakak fokus saja dengan pernikahan. Urusan
Malam di Kota Naga. Bintang-bintang bertaburan seperti permata di langit malam Kota Naga. Rafael berdiri sendirian di balkon gedung tertinggi, kedua tangannya mencengkeram pagar besi yang dingin sementara matanya menelusuri konstelasi-konstelasi yang berkilauan. Hembusan angin malam meniup rambut gelapnya, mengirimkan sensasi dingin yang menusuk tulang, namun Rafael tak bergeming.Suara langkah kaki lembut terdengar di belakangnya. Rafael menoleh, alisnya terangkat saat mengenali sosok yang mendekat."Yuichi?"Sosok itu tersenyum. Wajahnya merupakan versi maskulin dari Yui, garis rahang yang sama, mata yang sama, tetapi dengan ketegasan yang hanya dimiliki seorang ayah."Sendirian?" tanya Yuichi, suaranya merdu membelah keheningan malam.Rafael mengangguk pelan, lalu menggerakkan tangannya ke arah kursi kosong di sampingnya. Yuichi melangkah maju dan duduk, jubah hitamnya melambai pelan tertiup angin."Malam ini indah meskipun tanpa bulan," ucap Rafael, matanya kembali menatap cakraw
Bunga putih mungil bertebaran di aula, mirip kepingan dandelion yang rapuh. Setiap tamu berjalan perlahan, meletakkan bunga kecil tanda penghormatan terakhir. Bunga-bunga itu mencerminkan ketangguhan luar biasa, seperti kehidupan yang bertahan di balik kerasnya dunia bawah, membisu namun tak terkalahkan. Mereka menyebutnya bunga bintang roh. Eirlys menatap Yuan yang terpejam, sosoknya tenang seakan tertidur lelap. Alunan harpa mengalir lembut memenuhi aula, melukiskan kesedihan yang mencekam setiap sudut ruang. Matanya menyipit saat menyadari bunga putih di dekat Yuan mulai membeku, embun es merangkak perlahan mengubah kelopak menjadi kristal dingin. Hawa sejuk mulai merambat, menusuk tulang."Mungkinkah?!"Dalam sekejap, Eirlys bangkit dari tempatnya. Langkahnya cepat mendekati peti kaca tempat Yuan dibaringkan. Jemarinya mendorong penutup tebal dengan tekad membara. Jantungnya berdebar dengan kencang, sebuah api harapan muncul. "Putri Eirlys, relakan Yang Mulia!" Xavier bergerak c
Senar harpa emas kaum elf bergetar lembut, berbeda dari instrumen biasa. Energi yang digunakan untuk menggerakkan senar ini sangat banyak. Eirlys membiarkan jemarinya terkulai di atas senar, tenaga terampas habis. Napasnya terengah-engah, seakan udara di sekitarnya menghisap oksigen dari paru-parunya."Eirlys!" Lixue melompat mendekati, gemetar mengambil harpa keemasan dari tangan sang adik. Dengan lembut, dia meletakkan instrumen berkilau itu di meja terdekat. "Istirahatlah sekarang." Lengannya melingkari pinggang Eirlys, memapah tubuh lemah itu menuju kursi panjang. Dengan hati-hati, dia mengangkat kaki adiknya dan membiarkan Eirlys setengah berbaring."Kak, bagaimana Yuan?" bisik Eirlys, kekhawatiran menembus kelelahan yang menyelimutinya.Lixue menggenggam tangan adiknya, mencoba menenangkan. "Dia akan baik-baik saja. Ingat, Tuan Xavier dan Tuan Ernest sedang menyiapkan ramuan untuknya." Dalam hati, dia berdoa agar takdir berkata lain. “Semoga Yuan bertahan, setidaknya biarkan Eir
Jalanan di depan Yuan terlihat asing. Jalan dengan bebatuan hitam, meskipun itu batu, tetapi tidak terasa seperti batu biasa. Dia mengamati orang-orang yang berjalan menuju ke satu arah yang sama, sebuah gerbang besar di ujung jalan, gerbang yang tidak terlihat jelas tulisan namanya. Yuan masih sangat jauh dari gerbang itu. “Akhirnya perjalanan terakhir,” gumam Yuan yang tahu di mana dia sekarang. Dunia orang mati. Kaki Yuan berhenti melangkah saat seorang wanita dengan jubah putih berdiri di hadapannya, muncul begitu saja hingga dia hampir jatuh tersungkur karena kaget. “Lenora!”“Pangeran Yuan, apa yang Anda lakukan di sini!” Suara Lenora terdengar penuh kekesalan dan amarah seakan dia sedang memarahi seorang anak nakal. “Hah?” Reaksi Yuan mendengar ucapan Lenora. Dia tidak tahu harus menjawab apa, tentu saja dia di sini karena nyawanya sudah terpisah dari tubuhnya. “Kuulangi, Pangeran, ah tidak, Yang Mulia Raja Yuan, kembalilah sekarang juga!” Lenora berkata dengan nada lebih
“Apa aliran air ini sudah dimantrai?” tanya pria yang menampilkan lengan hitamnya. Dia mengambil air dan menyiramkannya ke tangan hitamnya. “Mantra Genbu dari Putri Yui. Dengan adanya mantra ini tidak akan ada pencurian air untuk kepentingan pribadi yang ingin menjual air ini.” Penjaga itu kemudian terlihat menghela napas panjang sebelum kembali berbicara. “Sayangnya, kabar buruk terdengar di istana. Kabarnya Yang mulia saat ini dalam kondisi kritis.” Mendengar penuturan penjaga tersebut, pria yang sepanjang jalan selalu memberikan argumen tidak menyukai raja yang sekarang terlihat marah. “Apa katamu! Lalu kenapa mengundang kami jika dia sendiri dalam keadaan kritis, bukankah dia tidak akan bisa menyembuhkan kami!” suara pria itu terdengar begitu keras hingga mengundang perhatian orang-orang di sekitar. “Tuan tenang saja, di istana semua sudah dipersiapkan.” Penjaga gerbang berusaha menekan amarah pria itu, tetapi tidak berhasil. “Lebih baik kita pulang saja!” Pria dengan lengan
Dunia bawah lebih berwarna. Langit yang biru membawa semangat baru. Kepala desa dan para pemimpin wilayah lainnya menjalankan perintah yang diberikan Yuan, raja mereka untuk mendata dan membawa penduduk dengan tingkat kontaminasi 80 %. Mereka yang telah mengalami kontaminasi bertahun-tahun dipilah dan dibawa ke ibukota untuk bertemu langsung dengan sang raja. “Apa benar kontaminasi ini bisa hilang? Rasanya aku sudah pasrah dengan kondisi ini seumur hidupku.” Pria dengan tangan dan kaki yang sudah menghitam karena kontaminasi terlihat pesimis. Meskipun begitu, setelah menatap langit biru ada secercah harapan di hatinya. “Kalau sang raja bisa menghilangkan kontaminasi di dunia bawah, kurasa bisa juga menghilangkan kontaminasi di tubuhku.” Semua penduduk dengan tingkat kontaminasi parah sudah mulai berangkat menuju ibukota. Mereka menaruh harapan yang sangat besar kepada sang raja, harapan kesembuhan dari kontaminasi yang selama ini menyiksa diri mereka.“Kudengar sang raja masih belia