Home / All / Raina / Prolog

Share

Raina
Raina
Author: itsluvi_

Prolog

Author: itsluvi_
last update Last Updated: 2021-08-16 12:22:56

Bagaimana rasanya merindukan seseorang yang tidak merindukan kita?

Rasanya seperti memeluk pohon kaktus. Semakin erat kamu memeluk, maka akan semakin sakit.

Aku melintas pada satu masa. Di mana kebahagiaanku menyertakan dirimu. Bila saja dulu aku peka terhadap perasaanmu, mungkin aku tak akan menderita seperti ini saat kehilanganmu. Meratapi semua waktu yang terlewatkan begitu saja, tak pernah sedikit pun aku bayangkan jika kehilanganmu jauh lebih menyeramkan dibanding berhadapan dengan dosen pembimbing skripsi. Jauh lebih sulit daripada mencari jarum ditumpukan jerami dan jauh lebih menyiksa daripada sakitnya datang bulan.

Aku mencintaimu, tapi aku sadar cintaku ini terlambat sebab kamu memilih bersanding dengan wanita lain. Sedangkan aku hanya seonggok raga yang tak punya arti lagi di hidupmu. Meronta pada Tuhan pun tidak akan pernah mengembalikan apa yang sudah menjadi masa lalu.

Akan tetapi, mengenang masa lalu kurasa lebih menyenangkan daripada mendikte masa depan.

Terima kasih sudah mencintaiku sedemikian sabarnya, tanpa rasa pamrih dan menuntut balasan. Maaf atas segala penolakanku, yang membuatmu memilih pergi karena terlalu lelah untuk menunggu hatiku. Walaupun kebersamaan kita sudah berakhir, minimal aku tahu jika kamu pernah mencintaiku.

Udara kota Bandung pagi ini cukup dingin, meski begitu tetap saja tak bisa mendinginkan suhu hati yang sedang memanas. Menarik napas berulang kali, aku menegapkan langkah menyongsong asa. Kuharap apa yang kutapaki sekarang hanyalah bualan mimpi yang membelenggu.

Sekalipun tetesan embun masih melekat pada hijaunya daun, sekalipun burung camar masih bersorak ramai, kenyataannya hari ini tidak pernah ingin aku lalui.

Bunda menggandeng lenganku, tersenyum manis menjadi penguat hati. Meski tahu, Bunda tak pernah sedikit pun menyinggung soal hubunganku dan dia. Bunda pasti peka terhadap ketidaknyamananku berada di tempat ini, bagaimana terlukanya hatiku hari ini. Tempat ini yang akan menjadi saksi bagaimana aku akan kehilangan dia yang selalu merengkuhku saat aku terluka tempo dulu.

Mengumbar senyum palsu pada setiap tamu yang menyapa dengan senyum ramah. Aku tahu jika orang Bandung memang terkenal ramah tamah. Duduk bersembunyi di antara ribuan orang yang hadir menyaksikan, hatiku sesak dipenuhi nestapa yang menertawakan.

Dia di sana, duduk gagah di depan penghulu dan wali nikah dengan balutan beskap putih yang membalut tubuhnya. Aku tak bisa menebak gurat ekspresinya, tapi kutahu dia bahagia. Lelaki yang semakin tampan dan matang di usianya yang bahkan baru menginjak angka duapuluh tiga tahun itu.

Dia berdiri, menyambut calon pengantin wanita dengan senyuman merekah. Melempar tatapan syarat makna. Indah, saat aku melihat senyumnya lagi. Walaupun senyum itu kini bukan lagi tersemat untukku. Aku sendiri, memilih untuk menyerah. Membiarkan dia meneruskan kebahagiaan bersama wanita yang akan resmi menjadi ratu dalam hidupnya. Mengarungi lautan rumah tangga tanpa adanya peranku di dalamnya.

Lalu pantaskan aku marah pada Takdir? Takdir yang berkonspirasi dengan alam untuk menjauhkan aku dengan dia.

Semua yang sudah menjadi kenangan tidak mungkin bisa kuputar ulang.

“Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Maheswari binti Rahman Yusuf dengan maskawin tersebut, tunai.”

Ribuan nuklir meledak dalam hati. Jika saja aku tak berada dalam keramaian sudah bisa kupastikan air mataku akan mengalir sederas hujan semalam. Ah, hujan yang bersenandung pun tak mampu membawa dia kembali padaku.

“Haii...” Aku menyapa, tatkala dia menyempatkan diri menghampiriku saat resepsi. Aku memang belum naik ke pelaminan untuk mengucapkan selamat, rasanya terlalu berat menyaksikan sendiri betapa bahagianya mereka yang sudah terikat dalam status suami-istri.

“Datang sendiri?” Aku tahu dia sedang berusaha menahan kecanggungan.

Aku tersenyum miris. “Memangnya siapa lagi? Gandenganku udah jadi milik orang.” Berusaha bercanda, seenggaknya menghibur diri. Dia tak menanggapi sindiranku. Sadar Raina, itu tidak akan berpengaruh apapun lagi.

“Cie, yang udah nikah. Gimana rasanya?”

“Ya gitu.”

“Aku pikir kamu bakal nikah di atas tigapuluh tahunan. Mengingat bagaimana antipatinya kamu terhadap kaumku. Ternyata justru kamu yang nikah duluan sementara aku jodohnya pun belum ada.” Aku terkekeh, menahan rasa sakit yang terus meremas hati.

Aku merindukannya, Tuhan.

Si Manusia Flat...

Raka....

Nama itu berlagu lirih dalam sanubari. Terpenjara dalam hati yang mendalam. Menyisakan kesakitan yang kian tak terpadamkan.

Lalu harus bagaimana aku sekarang? Aku menatapnya yang sejak tadi memang memusatkan perhatiannya padaku tanpa banyak bicara. Wibawanya semakin terlihat seiringin berjalannya waktu. Aku ingin memeluknya saat ini juga. Aku ingin menangis dalam rengkuhan lengan kokohnya.

“Aku minta maaf, Rain.”

“Huh...” Kuembuskan napas berat. Tertawa hambar sambil mengusap air mata sialan yang jatuh tanpa tahu malu. “Boleh nggak sih, kalau aku nangis?”

Dia adalah Raka. Lelaki yang menyayangiku dengan tulus namun kubuang tiada arti. Raka adalah alasan penantianku. Raka adalah alasan kenapa sampai saat ini aku betah dengan status single. Tapi sekarang, lelaki yang berdiri tegap di depanku ini bukan lagi Raka yang dulu mencintaiku. Cintanya padaku mungkin habis dimakan waktu.

“Aku nggak mau munafik, Ka. Jujur aku berharap aku yang jadi mempelai kamu. Namaku yang kamu sebut dalam ijab kabul tadi pagi. Aku berharap tangan kamu yang menyambut tangan Ayah di depan penghulu.”

Dia mematung.

“Aku tetap di sini, Ka. Nunggu kamu buat datang melamarku pada Ayah. Tapi ternyata penantianku kamu balas sama surat undangan.”

“Rain....”

“Aku tidak pandai menyembunyikan luka, Ka. Sekalipun lima tahun yang lalu kamu bilang, jika jalan kita berbeda kita harus tetap bahagia. Kenyataannya aku sakit melihat kamu bersanding tapi bukan denganku.”

“Rain....”

“Sudah cukup, Ka. Aku tidak mungkin jadi duri dalam rumah tangga kalian. Bahagia selalu, Ka. Jaga Dinda.”

“Boleh peluk kamu?”

“Asalkan setelahnya aku nggak diusir tamu undangan karena berani peluk-peluk pengantin cowoknya.”

Dia merengkuh tubuh hampa ini dengan eratnya. Menyalurkan kerinduan yang sudah mengudara. “Kalau kamu balik ke Jakarta, kamu harus udah kasih aku keponakan.”

“Aku sayang kamu, Rain.”

Kalau sayang, kenapa kamu tidak menikahiku?

Related chapters

  • Raina   Satu

    Wanita di usia dua puluh enam tahun dan belum nikah? Maka pertanyaan yang sering mampir ke telinga adalah.... Kapan nikah? Telingaku sudah tidak asing dengan pertanyaan itu, lebih tepatnya pertanyaan yang sering aku abaikan. Tidak peduli jika pertanyaan itu datangnya dari orang tua ataupun keluargaku yang lain. Yang jelas, dan entah kenapa aku masih betah hidup menyendiri seperti ini. Aku sarjana Ilmu Administrasi, tapi enggan bekerja di perusahaan yang membutuhkan jasaku. Aku tidak nyaman dengan pekerjaan yang mengharuskanku memakai pakaian formal tiap harinya. Bahkan tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaannya pun kutolak. Dan lebih memilih membuka usaha sendiri. Setahun yang lalu, aku dan sahabatku––Ghina, merintis restoran atau lebih cocok disebut kafe tempat orang-orang bersantai, yang sampai sekarang cukup banyak peminatnya. Laba yang didapat tiap bulan juga terus bertambah. “Mbak, ada Mas Galih nyariin Mbak,” kata salah

    Last Updated : 2021-08-16
  • Raina   Dua

    Kesulitanku sejak ditinggal Raka adalah melepaskan diri dari bayangan semu keindahan yang ingin aku ciptakan bersamanya. Jujur, aku tidak pernah memiliki keinginan untuk membangun masa depan dengannya. Tapi itu dulu. Nyatanya waktu menyadarkan aku, bahwa ada Raka yang selama ini aku abaikan. Nahasnya, saat perasaanku mulai berkembang menjadi rasa cinta. Raka dengan seenaknya pergi dengan alasan mengejar cita-citanya sebagai pilot. See, dia berhasil mematahkan hatiku. Dia memilih untuk tidak menjadikanku kekasihnya pada waktu itu. Komunikasi kami masih sering dalam tahun-tahun pertama. Kupikir Raka tidak akan menjadikanku kekasihnya, namun setelah beberapa tahun kami LDR, dia datang dan menyatakan keinginannya untuk menjalin hubungan. Akhirnya, kami sepakat untuk menjalin hubungan. Beberapa bulan setelahnya, Raka tiba-tiba menghilang. Dia hanya sekali dua kali mengunjungiku, sebelum memutuskanku hanya dengan tiga baris kata via SMS. Entah kenapa, Raka

    Last Updated : 2021-08-16
  • Raina   Tiga

    Sunyinya malam ini seakan menjadi saksi bahwa rinduku tak menemukan tempat singgahnya lagi. Sebenarnya malas untuk ikut reuni, tapi Ghina menyeretku tanpa memedulikan ocehanku yang hampir berbusa. Dia enak, punya gandengan halal. Lalu apa kabar denganku? Bisa-bisa aku jadi cemoohan mereka yang hadir. Aku yakin pertanyaan mereka tidak akan jauh dari kata nikah. Kapan nikah? Buruan nikah, nanti stok cowok keburu habis. Dipikir cowok itu barang langka yang harus dilestarikan. "Senyum kali, Rain. Kali aja lo di sana ketemu jodoh." Ghina menoleh ke belakang dan tersenyum usil. "Nanti gue kenalin sama teman yang masih bujangan, Rain. Dia udah mapan bebet, bibit, bobotnya. Tinggal lo tunggangin." Erfan yang mengemudi masih sempet-sempetnya mengedipkan mata jahil padaku dari kaca depan mobil. "Kampret, Erfan! Paling si Galih kan yang masih bujangan? Ck, bujangan lapuk." "Nah itu tahu, sama Wisnu satu lagi." Erfan lantas tertawa

    Last Updated : 2021-08-16
  • Raina   Empat

    Tugasku di hari minggu, mengantar Zio dan Ara bermain di Mal. Mau nolak, kasihan sama Kak Kinan yang sedang hamil tua. Masa dia dengan perut buncitnya lari-larian di Mal untuk mengejar dua Kurcaci Kembarnya? Bisa melahirkan di tengah jalan mungkin. Sementara Kak Arsen sebagai Ayah, sangat tidak berperi-keayahan. Masa hari minggu, malah ke luar kota. Bilangnya ada kerjaan. Awas saja kalau ketahuan main serong, kurajam dia. Eh, maksudnya minta Kak Kinan buat merajam asetnya. Sumpah, kaki pegal seharian keliling Mal. Bermain di timezone pula. Ara dan Zio memang menyusahkan. Setelah mereka mengantuk, baru lah mereka mengajak pulang. Aku bagaikan Nanny yang tidak dibayar majikannya. Sepertinya ada yang salah dengan mobilku. Aku keluar untuk mengecek. Sial! Ban mobil depanku kempes. Segera mengambil ponsel, aku mendial nomor Galih. "Gal, jemput gue dong! Ini ban mobil gue bocor kayaknya," ujarku tanpa basa-basi. "Posisi lo di mana?" "Mal yan

    Last Updated : 2021-08-16
  • Raina   Lima

    Menipu hati itu sulit, ujungnya sakit. Rasanya semakin pelik, tidak ada hikmah yang bisa dipetik dari ingkarnya sebuah janji manis.Rapuh sudah pasti. Ghina bilang aku bodoh karena mengharapkan hal yang mustahil. Kembali bersama Raka, memang hanya sebatas khayalan. Tapi aku butuh penjelasannya. Penjelasan kenapa dia memilih Dinda daripada aku, sementara dia dengan entengnya mengucapkan kata sayang padaku di hari resepsi pernikahannya.Bulshit!Kenyataannya, Raka yang aku kenal baik dulu jauh berbanding terbalik dengan Raka yang duduk di sebelahku sekarang. Bukan hanya fisiknya yang berubah, hatinya juga demikian. Buktin

    Last Updated : 2021-09-13
  • Raina   Enam

    Pulau Tidung merupakan salah satu tempat wisata favorit di kawasan Kepulauan Seribu. Menikmati sunset di atas Jembatan Cinta yang legendaris. Jembatan Cinta adalah jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil.Tidak perlu menjadi matahari yang selalu menunjukan keagungannya sepanjang hari. Cukup menjadi senja yang selalu di nantikan keindahannya. Karena pesona senja tidak pernah mengecewakan, dia adalah pemenang dari segala keangkuhan yang dikuasai matahari.Aku gak tahu alasan kenapa Galih membawaku ke sini. Untuk satu bulan ke depan, aku memberinya waktu untuk membuka kembali pintu hatiku. Aku juga berusaha untuk membukanya sendiri, menerima kehadiran lelaki lain untuk mengisi ruang di hatiku menggantikan sosok yang sudah lama menjadi penguasanya.Duduk santai di atas jembatan dengan kaki menjuntai. Galih duduk di sebelahku, mengabadikan setiap moment indah yang diciptakan semesta begitu indah dengan cameranya.“Gal?&rd

    Last Updated : 2021-09-13
  • Raina   Tujuh

    Fahmi menggelar pesta ulang tahun anak pertamanya malam ini. Dia mengundang teman-temannya termasuk Galih. Aku menolak hadir, tapi Galih memaksaku untuk menemaninya. Dia bilang biar tidak ada yang bertanya Mana calon istrinya?Ck. Padahal aku belum menerimanya sebagai calon suami. Hanya menerima kehadirannya, dan kalau memang hatiku menerimanya dengan baik bukan tidak mungkin aku akan menerima pinangannya.“Gal, buruan dong!”“Iya, Honey. Bentar lagi tinggal pake minyak rambut,” teriak Galih dari kamarnya.

    Last Updated : 2021-09-13
  • Raina   Delapan

    Kumpul keluarga di zaman sekarang mungkin akan sulit dilakukan, hampir semua orang--tidak semuanya tapi kebanyakan lebih mementingkan kesibukan daripada keluarga.Berbeda dengan tradisi keluargaku, weekend adalah waktu yang wajib dihabiskan untuk keluarga, dari pagi sampai pagi lagi. Artinya 24 jam non-stop.Bagi yang sudah memiliki pasangan dan juga anak, hal seperti ini tidak membosankan. Tapi bagi jomblo kesepian sepertiku, weekend adalah saat-saat menyebalkan. Karena aku harus alih profesi menjadi nanny ketiga keponakanku. Zio, Ara dan Alcan.Iri sebenarnya, kadang terlintas dalam benak, kapan aku

    Last Updated : 2021-09-13

Latest chapter

  • Raina   Epilog

    Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.

  • Raina   Tiga Puluh Enam

    Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.

  • Raina   Tiga Puluh Lima

    Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku

  • Raina   Tiga Puluh Empat

    Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak

  • Raina   Tiga Puluh Tiga

    “Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja

  • Raina   Tiga Puluh Dua

    Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men

  • Raina   Tiga Puluh Satu

    Rasa cemasku menguap saat dokter bilang kondisi Raka stabil dan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ia hanya kelelahan dan tidak sanggup lagi melawan.Raka memang salah, tapi yang Kak Arsen lakukan itu keterlaluan.“Kakak pulang ya, Rain. Dicariin Al terus. Kamu gak papa Kakak tinggal sendiri?”Aku hanya menggeleng pelan. Menatap sayu Kak Arkan. Kepalaku pening dan mataku terasa perih dan berat.“Kamu hati-hati. Jangan banyak pikiran! Kasian bayinya kalau ibunya stress.”Satu hal yang membuatku jatuh cinta sama Kak Arkan, kepribadiannya. Setiap menyikapi permasalahan, dia selalu bisa mengontrol emosinya. Aku punya dua orang kakak, mereka mirip dalam segi wajah tapi tidak dalam kepribadian. Kak Arsen dengan tempramentalnya dan Kak Arkan dengan kedewasaannya.“Makasih ya, Kak. Udah mau bawa Raka ke rumah sakit.”Kak Arkan terdiam, menelisik wajahku dengan lekat sebelum lengan kekarnya menarikku ke dalam

  • Raina   Tiga Puluh

    Menolak permintaan Ayah sama saja bunuh diri. Aku membatalkan niatku untuk pertama kalinya memeriksa kandungan bersama Raka dengan beralasan harus mengurus si kembar karena Kak Arsen kerja dan Kak Kinan yang super sibuk mengurus si bungsu yang baru lahir. Untungnya Raka percaya dan tidak jadi menemuiku.Duduk di hadapan Ayah dan Bunda, pikiran kalut serta degub jantung yang abnormal. Menundukan kepala, sebab tidak mampu membalas sorotan tajam dari Bunda dan Ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Biasanya Bunda akan langsung ngomel-ngomel. Tapi kali ini, Bunda hanya diam.Ayah berdeham cukup keras. Perasaanku semakin tida

  • Raina   Dua Puluh Sembilan

    Gundah, satu kata yang menggambarkan keadaan hatiku pagi ini. Dinner sederhana di tukang sate namun terkesan romantis semalam seolah lenyap dengan datangnya kabar dari Galih. Galih bilang, Mamanya siap bertemu jam delapan pagi sebelum berangkat untuk menjenguk suaminya.Aku menyetujui. Walaupun berat, tapi aku ingin selesai secepatnya supaya tidak terus kepikiran yang pada akhirnya membuatku stress. Sementara aku baca dari berbagai artikel online, jika ibu hamil tidak boleh banyak pikiran.Tidak ada jemputan, aku memilih naik Grab-Car karena kondisi badan yang tidak memungkinkan untuk menyetir. Sementara Galih tidak mungkin menjemputku, dan Raka harus mengantar ibunya periksa ke dokter. Efek shock yang berujung turunnya kondisi kesehatan dari Tante Marina.Setelah membayar Grab-Car, aku langsung membuka pintu gerbang rumah Galih. Terlihat Galih sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja abu tua yang dikenakan.“Gak telat

DMCA.com Protection Status