Kesulitanku sejak ditinggal Raka adalah melepaskan diri dari bayangan semu keindahan yang ingin aku ciptakan bersamanya. Jujur, aku tidak pernah memiliki keinginan untuk membangun masa depan dengannya. Tapi itu dulu. Nyatanya waktu menyadarkan aku, bahwa ada Raka yang selama ini aku abaikan.
Nahasnya, saat perasaanku mulai berkembang menjadi rasa cinta. Raka dengan seenaknya pergi dengan alasan mengejar cita-citanya sebagai pilot. See, dia berhasil mematahkan hatiku. Dia memilih untuk tidak menjadikanku kekasihnya pada waktu itu.
Komunikasi kami masih sering dalam tahun-tahun pertama. Kupikir Raka tidak akan menjadikanku kekasihnya, namun setelah beberapa tahun kami LDR, dia datang dan menyatakan keinginannya untuk menjalin hubungan. Akhirnya, kami sepakat untuk menjalin hubungan.
Beberapa bulan setelahnya, Raka tiba-tiba menghilang. Dia hanya sekali dua kali mengunjungiku, sebelum memutuskanku hanya dengan tiga baris kata via SMS. Entah kenapa, Raka bisa setega itu padaku. Apa mungkin dia hanya ingin balas dendam padaku, karena aku terlambat menyadari kalau sebenarnya dia mencintaiku?
Ah, Raka.
And after all this time, you're still the one I love.
Terdengar klise. Tapi, cinta memang seunik itu.
Kuembuskan napas lelah, ternyata hanya dengan memikirkan dan merindukan kenanganku bersama Raka dulu membuat hatiku lelah. Rasanya ingin berhenti, menata kehidupan yang baru. Meski sulit, aku ingin sekali mengubah hidupku yang seperti monokrom ini menjadi pelangi seperti dulu lagi, iya seperti ketika aku bersamanya.
Bermain di rumah Ghina sampai malam, lagi pula kegiatan wanita single sepertiku apalagi selain mengacaukan rumah orang. Termasuk rumah Ghina. Sekarang mau mengajak Ghina shopping tidak sebebas dulu, Ghina mesti izin sama Erfan––suaminya. Dan kampretnya, Erfan tidak pernah mengizinkan Ghina pergi shopping kalo tidak bersamanya.
Ya kali gue dijadiin obat nyamuk.
“Rain, titip Calvin dulu. Laki gue datang kayaknya,” ujar Ghina. Mengasongkan Calvin padaku, segera aku menggendong balita bermata minim ini. Dan membiarkan dia menjemput sang pangeran hati yang baru pulang mencari nafkah.
“Weh, tamunya kok gak pernah berubah. Gak bosen tiap hari berkunjung ke istana gue, Rain?”
Itu sindiran garis keras dari Erfan. Aku mendengkus seraya memutar bola mata. “Protes aja lo,” balasku.
“Jagoan, Papa. Sini sama Papa.” Erfan merentangkan kedua tangannya di depan Calvin, dan Calvin langsung meronta ingin digendong sang Ayah. Erfan mengangkat Calvin tinggi-tinggi, membuat balita itu tergelak. Ah, coba saya aku dan Raka menikah. Pasti bahagia seperti keluarga kecil Ghina.
Ah, kenapa harus Raka lagi?
“Dapat undangan reuni.” Erfan mengeluarkan kertas undangan berukuran kecil dari dalam tasnya.
Ghina mengambil undangan itu. “Reuni apa, Yang?”
“SMA Luzardi, angkatan kita.”
Aku mengernyit. “Kok, gue nggak dapat?”
“Dapat kali. Cuma dianterin ke rumah lo paling,” kata Erfan. “Arman yang punya ide,” imbuhnya.
“Arman yang mana, sih?” tanyaku.
“Arman, yang jadi Ketos angkatan kita. Dia bilang udah lama nggak ada acara reuni akbar buat angkatan kita,” jelas Erfan.
“Wajib datang nih?”
Erfan mengangkat bahunya. “Nggak harus, sih, tapi barang kali lo kangen teman-teman lo waktu SMA.”
“Gak mau datang ah, pasti nanti Raka datang sama anak bininya,” cicitku berspekulasi.
“Gagal move on sih lo,” cibir Erfan, tertawa.
Aku mendelik sebal.
“Acaranya seminggu lagi, kita datang yuk? Meet up gitu sama teman lama,” ujar Ghina antusias. “Pokoknya lo wajib datang, acaranya malam minggu juga, Rain.”
“Kok gitu, sih?” protesku.
“Demi kesejahteraan bersama, Raina sayangku.”
“Bisa makin ringsek hati gue kalau lihat Raka ngegandeng pinggang istrinya dan juga gendong anaknya.” Aku mengembuskan napas lelah.
Sepasang suami istri di depanku justru tertawa di atas penderitaanku. Double sableng! Seharusnya mereka memberikan solusi terbaik bukan malah menertawakan kehampaan hati ini. Tapi buat apa juga, solusi mereka selalu keluar dari jalur aman. Erfan berdiri, dia pergi ke kamar untuk memindahkan Calvin. Karena bayi bermata minim itu sudah tertidur pulas di pangkuannya.
“Galih nganggur kali, Rain. Bisa tuh lo pamerin depan anak-anak nanti. Anggap aja Galih itu batu loncatan move on lo dari Raka.”
“Ogah,” tolakku cepat. “Stop bahas Galih!” imbuhku.
“Galih bakal jadi lurus kalau udah nikah, Rain.” Erfan yang baru kembali dari kamar Calvin mulai membela sahabatnya. “Dia itu tipe cowo yang emang tahu situasi dan kondisi. Ada saat di mana dia serius dan ada saat di mana dia lagi bercanda. Walaupun bercandanya suka berlebihan, ya maklum aja kebanyakan gaul sama manusia absurd kayak Wisnu.”
“Iya, bela aja terus teman lo,” decakku.
Erfan tertawa. “Rain, gue gak bela Galih. Seandainya nih, Raka yang ada di posisi Galih, gue pasti bela dia juga. Cuma masalahnya Raka udah punya istri, Rain. Dan di antara teman-teman gue cuma Galih sama Wisnu yang belum nikah.”
“Gue gak tertarik jadiin Galih calon suami,” pungkasku. Lalu mengecek jam dinding yang di rumah Ghina. “Gue balik deh, udah jam tujuh. Nanti gue pikir-pikir lagi buat datang ke reuni.”
Kalau aku memutuskan datang, dan Raka juga datang bersama keluarganya. Maka siap-siap hatiku kembali tergores luka yang belum kering sepenuhnya.
“Hati-hati lo, gak usah ngebut-ngebut nyetirnya,” dumel Ghina.
“Siap, Ghin. Gue masih sayang sama nyawa gue sendiri.” Aku menyeringai lebar. Menyampirkan tas miniku. “Puas-puasin deh lo berdua kelonan, see you.”
***
Mengernyitkan alis saat melihat mobil Galih terparkir di depan rumahku. Iya, aku sudah sangat hafal betul plat nomor polisi mobil Galih. Karena setiap hari, dia selalu gentayangan di sekitarku.
Melangkah memasuki pintu rumah yang terbuka lebar, aku mengucap salam dan menyapa orang rumah dengan cetar seperti biasa.
“Nah, tuh, anaknya pulang.” Bunda berseru.
Berdecak pelan, menatap tajam pada Galih yang kini malah tersenyum lebar padaku. Ada makna apa di balik senyumnya yang lebar itu?
“Sini, Rain. Duduk,” kata Ayah.
“Bentar, Yah. Ke kamar dulu,” jawabku. Langsung meninggalkan ruang tamu menuju kamar.
Aku punya firasat buruk dengan kedatangan Galih. Selain gak waras dia juga nekat. Berani melakukan apa pun asalkan apa yang dia inginkan bisa dia dapatkan. See, aku merasakan sesuatu yang ganjal di balik kedatangan Galih ke rumahku. Apalagi sampai mengobrol dengan Ayah.
Dengan malas aku kembali turun ke lantai bawah, mengambil segelas air putih dari dispenser sebelum bergabung ke ruang tamu dan duduk di sebelah Bunda. Melirik Galih sejenak, aura ketegangan terlihat di wajahnya.
“Galih datang ke sini untuk meminta restu Ayah.”
Penuturan Ayah meembuatku tersedak saat minum. Aku langsung melayangkan tatapan bertanya pada Galih dan sayangnya hanya dibalas dengan senyum misterius.
“Maksudnya apa, Yah?”
“Iya, jadi Galih berniat melamar kamu dan menikahi kamu. Kenapa kamu gak bilang kalau sudah pacaran selama setahun sama Galih?”
“Apa?” Aku tercengang.
Setahun ndasmu, Gal.
“Iya, kan? Kok kamu kaget gitu?” Ayah menatapku bingung.
Aku meringis sambil menggaruk leher bagian belakang. Kenapa Ayah mudah terhasut dengan tipu muslihat si Biji Selasih?
“Gak pa-pa, Yah.” Aku berkilah dengan ekspresi lesu.
“Nah, jadi gimana? Kamu terima Galih, Rain?” Kali ini Bunda yang betanya.
“Aku mau bicara dulu sama Galih,” putusku. Lalu memberi kode kepada Galih untuk segera bangkit dan mengikutiku ke samping rumah. Aku perlu berbicara empat mata dengan Galih.
“Lo tuh cowok paling nekat dan gak waras yang pernah gue temui,” makiku saat sudah berhadapan dengannya.
Dia justru tertawa dengan begitu santainya. “Gue nekat karena gue serius, Rain.”
“Tapi gak harus sama gue, Gal.” Rasanya ingin mencakar-cakar wajah Galih dengan kuku panjangku. Sumpah, greget banget sama pria seperti Galih.
“Gue maunya nikah sama lo, gimana?”
“Tapi gue gak mau!” sungutku.
“Gue akan bikin lo menjadi mau,” ujar Galih lugas, membuatku merinding tiba-tiba.
“Gal, di luar sana banyak cewek-cewek cantik yang lebih cantik dan sempurna dibanding gue. Gue gak mau nyakitin hati lo sama hati gue sendiri. Gue gak mau jadiin lo pelampiasan di saat hati gue masih dimiliki oleh orang lain yang sayangnya gak ditakdirkan buat gue miliki.”
“Lepasin bayang-bayang Raka, Rain. Lo gak akan bisa selamanya hidup dengan bayangan semu. Lo butuh pendamping hidup, dan izinkan gue buat mendampingi lo.”
“Gampang banget lo ngomong,” jawabku emosi. “Yang sakit hati di sini tuh gue, Gal.”
“Iya, gue tahu. Dan izinkan gue buat menyembuhkan sakit hati lo.”
Aku melongo menatap Galih. Speechless. Tidak mampu membalas kalimatnya.
“Lo mau, 'kan?” Galih menyentuh penggelengan tanganku. Dengan cepat aku menghindar.
“Gak!” tolakku tegas.
“Rain, sekali aja lo coba buka hati lo buat gue. Atau minimal satu bulan, lo kasih waktu buat kita bersama dan mengenal satu sama lain. Jika sebulan itu berhasil, gue mau lo terima gue. Namun, jika sebulan gak berhasil, okay, gue akan lepasin lo.”
Aku menghela napas, lalah berdebat dengannya. “Baik, hanya satu bulan,” putusku akhirnya. “Tapi, tidak untuk tunangan atau apa pun itu. Hanya jalan.”
“Gue setuju,” jawab Galih. Dapat kulihat sebuah lengkungan senyum yang menyiratkan kelegaan terbit dari bibirnya.
“Dan lo harus ngomong sama orang tua gue.”
“Iya, gue bakal bilang,” ujarnya. “Udah ngomongnya?”
Aku menganggukkan kepala.
“Ya udah, kita balik ke dalam lagi,” ajak Galih.
Lagi-lagi aku menjawabnya hanya dengan anggukan kepala.
Lalu, berjalan duluan kembali ke rumah. Sementara Galih mengekor di belakangku. Semoga keputusan yang kuambil tidak akan membuatku menyesal. Meski aku masih berharap Raka kembali, namun aku tahu hal itu adalah sebuah kemustahilan. Raka sudah bahagia, sementara aku masih meratapi kepergiannya.
“Jadi, gimana?” Ayah bertanya padaku.
“Galih yang akan jelasin, Yah.” Aku melempar tatapan pada Galih, memintanya untuk berkata jujur pada Ayah.
Sialan banget dia ngaku-ngaku sebagai kekasihku.
“Begini, Om.” Galih berdehem. Kulihat jakunnya naik turun, artinya dia baru saja meneguk saliva. “Sebenarnya, saya sama Raina belum pernah pacaran. Maaf, saya berbohong sama Om tadi. Tapi, kalau niat saya untuk melamar Raina itu serius. Hanya saja, Raina ternyata belum siap. Kita sepakat untuk mencoba mengenal lebih dekat satu sama lain selama satu bulan,” paparnya.
Aku menatap kagum. Seorang Galih dengan otak setengah warasnya bisa berbicara dengan serius di depan orang tuaku.
“Baiklah, semua keputusan ada di tangan kalian,” ujar Ayah. “Hanya Ayah sarankan, jangan main-main mengambil keputusan. Kalian sudah sama-sama dewasa, pikirkan matang-matang sebelum bertindak.”
“Iya, Yah,” balasku menggangguk pun dengan Galih.
Berharap ini akan menjadi awal yang baik untuk hidupku dan kisah asmaraku yang sudah lama kuabaikan.
Raina, lo harus move on. Gak ada lagi Raka dalam hidup lo. Dia sudah mati, bersama luka yang dia torehkan. Ditinggal nikah, tanpa satu kepastian. Adalah satu hal yang menyakitkan.
Sunyinya malam ini seakan menjadi saksi bahwa rinduku tak menemukan tempat singgahnya lagi. Sebenarnya malas untuk ikut reuni, tapi Ghina menyeretku tanpa memedulikan ocehanku yang hampir berbusa. Dia enak, punya gandengan halal. Lalu apa kabar denganku? Bisa-bisa aku jadi cemoohan mereka yang hadir. Aku yakin pertanyaan mereka tidak akan jauh dari kata nikah. Kapan nikah? Buruan nikah, nanti stok cowok keburu habis. Dipikir cowok itu barang langka yang harus dilestarikan. "Senyum kali, Rain. Kali aja lo di sana ketemu jodoh." Ghina menoleh ke belakang dan tersenyum usil. "Nanti gue kenalin sama teman yang masih bujangan, Rain. Dia udah mapan bebet, bibit, bobotnya. Tinggal lo tunggangin." Erfan yang mengemudi masih sempet-sempetnya mengedipkan mata jahil padaku dari kaca depan mobil. "Kampret, Erfan! Paling si Galih kan yang masih bujangan? Ck, bujangan lapuk." "Nah itu tahu, sama Wisnu satu lagi." Erfan lantas tertawa
Tugasku di hari minggu, mengantar Zio dan Ara bermain di Mal. Mau nolak, kasihan sama Kak Kinan yang sedang hamil tua. Masa dia dengan perut buncitnya lari-larian di Mal untuk mengejar dua Kurcaci Kembarnya? Bisa melahirkan di tengah jalan mungkin. Sementara Kak Arsen sebagai Ayah, sangat tidak berperi-keayahan. Masa hari minggu, malah ke luar kota. Bilangnya ada kerjaan. Awas saja kalau ketahuan main serong, kurajam dia. Eh, maksudnya minta Kak Kinan buat merajam asetnya. Sumpah, kaki pegal seharian keliling Mal. Bermain di timezone pula. Ara dan Zio memang menyusahkan. Setelah mereka mengantuk, baru lah mereka mengajak pulang. Aku bagaikan Nanny yang tidak dibayar majikannya. Sepertinya ada yang salah dengan mobilku. Aku keluar untuk mengecek. Sial! Ban mobil depanku kempes. Segera mengambil ponsel, aku mendial nomor Galih. "Gal, jemput gue dong! Ini ban mobil gue bocor kayaknya," ujarku tanpa basa-basi. "Posisi lo di mana?" "Mal yan
Menipu hati itu sulit, ujungnya sakit. Rasanya semakin pelik, tidak ada hikmah yang bisa dipetik dari ingkarnya sebuah janji manis.Rapuh sudah pasti. Ghina bilang aku bodoh karena mengharapkan hal yang mustahil. Kembali bersama Raka, memang hanya sebatas khayalan. Tapi aku butuh penjelasannya. Penjelasan kenapa dia memilih Dinda daripada aku, sementara dia dengan entengnya mengucapkan kata sayang padaku di hari resepsi pernikahannya.Bulshit!Kenyataannya, Raka yang aku kenal baik dulu jauh berbanding terbalik dengan Raka yang duduk di sebelahku sekarang. Bukan hanya fisiknya yang berubah, hatinya juga demikian. Buktin
Pulau Tidung merupakan salah satu tempat wisata favorit di kawasan Kepulauan Seribu. Menikmati sunset di atas Jembatan Cinta yang legendaris. Jembatan Cinta adalah jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil.Tidak perlu menjadi matahari yang selalu menunjukan keagungannya sepanjang hari. Cukup menjadi senja yang selalu di nantikan keindahannya. Karena pesona senja tidak pernah mengecewakan, dia adalah pemenang dari segala keangkuhan yang dikuasai matahari.Aku gak tahu alasan kenapa Galih membawaku ke sini. Untuk satu bulan ke depan, aku memberinya waktu untuk membuka kembali pintu hatiku. Aku juga berusaha untuk membukanya sendiri, menerima kehadiran lelaki lain untuk mengisi ruang di hatiku menggantikan sosok yang sudah lama menjadi penguasanya.Duduk santai di atas jembatan dengan kaki menjuntai. Galih duduk di sebelahku, mengabadikan setiap moment indah yang diciptakan semesta begitu indah dengan cameranya.“Gal?&rd
Fahmi menggelar pesta ulang tahun anak pertamanya malam ini. Dia mengundang teman-temannya termasuk Galih. Aku menolak hadir, tapi Galih memaksaku untuk menemaninya. Dia bilang biar tidak ada yang bertanya Mana calon istrinya?Ck. Padahal aku belum menerimanya sebagai calon suami. Hanya menerima kehadirannya, dan kalau memang hatiku menerimanya dengan baik bukan tidak mungkin aku akan menerima pinangannya.“Gal, buruan dong!”“Iya, Honey. Bentar lagi tinggal pake minyak rambut,” teriak Galih dari kamarnya.
Kumpul keluarga di zaman sekarang mungkin akan sulit dilakukan, hampir semua orang--tidak semuanya tapi kebanyakan lebih mementingkan kesibukan daripada keluarga.Berbeda dengan tradisi keluargaku, weekend adalah waktu yang wajib dihabiskan untuk keluarga, dari pagi sampai pagi lagi. Artinya 24 jam non-stop.Bagi yang sudah memiliki pasangan dan juga anak, hal seperti ini tidak membosankan. Tapi bagi jomblo kesepian sepertiku, weekend adalah saat-saat menyebalkan. Karena aku harus alih profesi menjadi nanny ketiga keponakanku. Zio, Ara dan Alcan.Iri sebenarnya, kadang terlintas dalam benak, kapan aku
Mobil Galih berhenti tepat di depan gerbang rumah Kak Arkan. Aku yang memintanya mengantarku ke sini. Bukan berniat kabur, intinya aku malas pulang.“Tunggu di sini aja,” kataku pada Galih sambil membuka pintu mobil.“Lama gak?” tanya Galih.“Gak,” jawabku singkat. Turun dari mobil Galih aku segera membuka pintu gerbang rumah Kak Arkan.Aku suka gaya rumah ini, halaman tidak terlalu luas di bagian depan. Namun Kak Arkan memberi halaman yang luas di bagian belakang rumah, dengan adanya kolam renang dan taman yang dia sediakan untuk bermain anak-anaknya atau pun tempat kumpul keluarga.“Kak!” Aku berteriak sambil mengetuk pintu.Tak berselang lama, wajah Kak Arkan muncul dari balik pintu. “Ngapain teriak-teriak. Tamu itu harusnya sopan,” tegurnya.“Kak, aku nginap ya?” Aku menampilkan wajah memelasku senatural mungkin, sebuah trik agar Kak Arkan percaya pada adik ca
Soal pesan dari Raka kemarin, aku sempat bimbang antara mengiyakan tawarannya atau menolak. Semalaman aku berpikir, saat tidak menemukan jawaban yang tepat aku memutuskan cerita sama Galih, dan menuruti ide kampretnya. Yakni menemui Raka dengan mengajak Galih.Kebetulan arah apartemen Galih itu searah dengan kampus tempat mengajar Kak Arkan, jadi pagi ini aku diantar Kak Arkan untuk sampai ke apartemen Galih dan membangunkan si Biji Selasih yang pastinya masih sibuk bergelut dengan dunia mimpinya.Ternyata salah, penampilan Galih sudah rapi. Sebelum berangkat kami terlibat obrolan, bukan obrolan santai karena setiap kali berbicara dengannya emosiku selalu naik tanpa diminta.“Ngapain sih mau tinggal di apartemen, lo masih punya rumah, Rain.” Nada protes dilontarkan Galih saat aku memintanya untuk mencarikanku apartemen.Hidup sendiri di apartemen sepertinya bukan hal yang sulit. Tidak akan ada lagi ocehan Bunda yang memintaku menikah. Hidupku
Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.
Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.
Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak
“Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja
Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men
Rasa cemasku menguap saat dokter bilang kondisi Raka stabil dan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ia hanya kelelahan dan tidak sanggup lagi melawan.Raka memang salah, tapi yang Kak Arsen lakukan itu keterlaluan.“Kakak pulang ya, Rain. Dicariin Al terus. Kamu gak papa Kakak tinggal sendiri?”Aku hanya menggeleng pelan. Menatap sayu Kak Arkan. Kepalaku pening dan mataku terasa perih dan berat.“Kamu hati-hati. Jangan banyak pikiran! Kasian bayinya kalau ibunya stress.”Satu hal yang membuatku jatuh cinta sama Kak Arkan, kepribadiannya. Setiap menyikapi permasalahan, dia selalu bisa mengontrol emosinya. Aku punya dua orang kakak, mereka mirip dalam segi wajah tapi tidak dalam kepribadian. Kak Arsen dengan tempramentalnya dan Kak Arkan dengan kedewasaannya.“Makasih ya, Kak. Udah mau bawa Raka ke rumah sakit.”Kak Arkan terdiam, menelisik wajahku dengan lekat sebelum lengan kekarnya menarikku ke dalam
Menolak permintaan Ayah sama saja bunuh diri. Aku membatalkan niatku untuk pertama kalinya memeriksa kandungan bersama Raka dengan beralasan harus mengurus si kembar karena Kak Arsen kerja dan Kak Kinan yang super sibuk mengurus si bungsu yang baru lahir. Untungnya Raka percaya dan tidak jadi menemuiku.Duduk di hadapan Ayah dan Bunda, pikiran kalut serta degub jantung yang abnormal. Menundukan kepala, sebab tidak mampu membalas sorotan tajam dari Bunda dan Ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Biasanya Bunda akan langsung ngomel-ngomel. Tapi kali ini, Bunda hanya diam.Ayah berdeham cukup keras. Perasaanku semakin tida
Gundah, satu kata yang menggambarkan keadaan hatiku pagi ini. Dinner sederhana di tukang sate namun terkesan romantis semalam seolah lenyap dengan datangnya kabar dari Galih. Galih bilang, Mamanya siap bertemu jam delapan pagi sebelum berangkat untuk menjenguk suaminya.Aku menyetujui. Walaupun berat, tapi aku ingin selesai secepatnya supaya tidak terus kepikiran yang pada akhirnya membuatku stress. Sementara aku baca dari berbagai artikel online, jika ibu hamil tidak boleh banyak pikiran.Tidak ada jemputan, aku memilih naik Grab-Car karena kondisi badan yang tidak memungkinkan untuk menyetir. Sementara Galih tidak mungkin menjemputku, dan Raka harus mengantar ibunya periksa ke dokter. Efek shock yang berujung turunnya kondisi kesehatan dari Tante Marina.Setelah membayar Grab-Car, aku langsung membuka pintu gerbang rumah Galih. Terlihat Galih sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja abu tua yang dikenakan.“Gak telat