Wanita di usia dua puluh enam tahun dan belum nikah? Maka pertanyaan yang sering mampir ke telinga adalah....
Kapan nikah?
Telingaku sudah tidak asing dengan pertanyaan itu, lebih tepatnya pertanyaan yang sering aku abaikan. Tidak peduli jika pertanyaan itu datangnya dari orang tua ataupun keluargaku yang lain. Yang jelas, dan entah kenapa aku masih betah hidup menyendiri seperti ini.
Aku sarjana Ilmu Administrasi, tapi enggan bekerja di perusahaan yang membutuhkan jasaku. Aku tidak nyaman dengan pekerjaan yang mengharuskanku memakai pakaian formal tiap harinya. Bahkan tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaannya pun kutolak. Dan lebih memilih membuka usaha sendiri. Setahun yang lalu, aku dan sahabatku––Ghina, merintis restoran atau lebih cocok disebut kafe tempat orang-orang bersantai, yang sampai sekarang cukup banyak peminatnya. Laba yang didapat tiap bulan juga terus bertambah.
“Mbak, ada Mas Galih nyariin Mbak,” kata salah satu karyawanku ketika aku mengontrol bagian kitchen.
“Suruh tunggu sebentar, Wi. Nanti aku temui,” jawabku seraya mencuci tangan di wastafel.
Galih Prasetya Wijaya, dia adalah salah satu sahabat Raka saat SMA. Akhir-akhir ini, Galih memang gencar mendekatiku. Sering kali dia mengajakku untuk menikah dengan gaya bercandanya dia yang garing. Aku tahu jika ada maksud serius di balik ucapannya setiap kali mengajakku menikah. Walaupun dia menyampaikannya dengan to the point, tidak ada tuh kesan romantis seperti di drama Korea yang sering kutonton. Kunci dia itu cuma tiga kata,
Kita nikah, yuk?
Coba di mana kesan romantisnya?
Sebenarnya, aku hanya sebatas mengenal Galih saat SMA. Tidak sedekat sekarang. Kedekatan kami bermula saat dia pun menghadiri acara resepsi pernikahan Raka tiga tahun yang lalu. Ah, mengingat masa itu selalu membuat hatiku seperti teriris sembilu.
Aku menghampiri Galih yang duduk di pojok kafe sambil menikmati segelas jus melon. Jas Dokternya dia sampirkan di kepala kursi.
“Eh, calon Bidadari Surga gue,” sapaan khas Galih padaku.
“Ngapain, sih?” tanyaku ketus, duduk di depannya sambil bersidekap.
“Menemui calon istri dong,” jawabnya tertawa.
“In your dreams,” sungutku.
“Semua bisa gue realisasikan,” balasnya dengan percaya diri.
“Dan gue sama sekali gak berminat,” ucapku final.
Galih menyeringai, lalu melipat kedua tangannya di atas meja dengan tatapan yang sejak tadi menghujamku. “Apa, sih, alasan lo nolak gue terus? Gue tuh mapan, pekerjaan gue jelas, wajah gue ganteng dan ada manis-manisnya.”
Aku mendengkus keras. Galih memang senarsis itu. Jangan heran!
“Gue jamin semua kebutuhan lo baik kebutuhan fisik atau rohani pasti terpenuhi,” kata Galih mengedipkan satu matanya. “Gue ini bibit unggul, kagak mungkin gagal deh sperma gue.”
Manusia paling tidak waras yang kukenal.
Aku pikir hatiku sudah mati saat hari di mana Raka menikah. Rasanya sakit sekali, semua orang yang berada di posisiku pasti akan terluka dan sakit hati melihat pria yang dicintainya duduk di depan penghulu tapi bukan kita yang menjadi mempelai wanitanya. Beruntung kewarasanku masih seratus persen hingga bunuh diri karena cinta tidak ada dalam daftar hidupku.
“Eh, nikah sama lo itu ada di urutan terakhir daftar jodoh idaman gue,” cetusku.
“Anjir! Nikah sama gue nggak bakal bikin hidup lo susah kali, lo mau gaya hidup kayak apa? Kaum sosialita? Persis artis-artis zaman now, yang bisa travelling pake Jet pribadi? Boleh. Lo tinggal bilang nominal uang bulanan yang lo mau?”
“Serius lo mampu?” tanyaku dibuat antusias.
Galih mengangguk angkuh. Cih, kubuang ke Pulau Komodo si Biji Selasih ini biar jadi santapan lezat hewan melata asli Indonesia itu.
“Sepuluh juta,” cetusku tanpa berpikir.
“What???” Matanya melotot. “Sinting, ya, lo? Sepuluh juta sebulan mau lo pake apa?”
“Di era sekarang mana ada harga barang kurang dari seratus ribu. Lipstik gue aja harganya mahal. Belum bedak, eye shadow, pensil alis, blush on, skin care lainnya. Lima juta mah abis buat beli make up. Terus gue juga kudu shopping baju-baru ter-update, tas branded, sepatu. Belum lagi nyalon, banyak bukan kebutuhan gue?”
“Lo mau belanja apa bikin suami bangkrut? Gila, sepuluh juta dalam sebulan dikali per tahun bisa gue pake kredit mobil sama bangun rumah, Rain.” Galih menggeleng dramatis.
“Halah, bilang aja lo nggak mampu,” sindirku.
Galih melempar tatapan setajam silet untukku. “Lo kurangin dikit uang bulanan lo deh, Rain. Hidup itu jangan boros-boros. Inget masih ada kaum duafa yang perlu kita bantu.”
“Ya udah, gue gak mau nikah sama lo. Lagian lo mah sok-sokan segala pake ngajak nikah, minyak wangi lo aja bau terasi.”
“Haram, anjir. Lo matre banget, sih, jadi cewek. Emang niat lo dari awal nolak gue, kan?” sindirnya.
“Nah, itu lo tahu. Satu kali lagi lo ngajak nikah, gue kasih satu lusin sepatu bekas.”
“Apa yang salah coba kalau lo nikah sama gue? Lo single, gue single, udah klop banget buat bersatu. Ngisi kekosongan hati gitu.”
“Preett, gak usah puitis deh. Gak cocok!”
“Lah, dulu aja dikirimin puisi alay Raka masih disimpan sampai sekarang. Itu juga kalung udah berkarat aja masih dipake.”
“Galih! Gue kutuk lo jadi kecebong anyut!” geramku kesal.
“Gak pa-pa yang penting lo jadi Putri Keongnya,” cengirnya nyebelin.
Aku bergidik ngeri. “Ogah banget, segini cantiknya lo samain sama keong.”
Galih terbahak. Menjadikannya sebagai teman bukan sesuatu yang buruk. Setidaknya Galih adalah penghibur di hidupku yang monoton. Meskipun begitu, kehadiran Galih masih tidak bisa melumpuhkan waktu yang membuatku terus mengingat masa lalu.
Cukup menjadikannya teman tanpa harus terjebak lagi dalam situasi cinta. Karena jujur, cinta pada teman atau bahkan sahabat sendiri itu jauh lebih menyakitkan jika tidak berbalas. Dan aku berharap semua yang Galih utarakan barusan tidak melibatkan hati.
Galih pamit, dia ada jadwal praktik jam satu siang. Galih bekerja sebagai dokter umum di salah satu rumah sakit swasta, dan dia sekarang sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya. Kadang aku merasa heran, profesinya sebagai dokter tidak sebanding dengan sikapnya di luar pekerjaan. Tengil dan tidak waras.
Tak lama setelah Galih pulang, Ghina datang membawa anaknya yang masih berusia sembilan bulan. Namanya Calvin, matanya sipit karena memiliki darah Tionghoa dari Erfan, suami Ghina. Sementara rambutnya keriting mirip Ghina.
“Calvin kesayangan Tante, sini gendong sama Tante.” Aku mengulurkan kedua tanganku, dan Calvin langsung merespon dengan mangangkat kedua tangannya. Langsung aku ambil alih Calvin ke dari gendongan Ghina.
“Galih habis dari sini?” tanya Ghina sambil duduk di kursi yang tadi diduduki Galih.
“Yups,” jawabku singkat. “Apa, Sayang?” tanyaku pada Calvin yang memandangku polos. Lalu tanpa kuduga, Calvin menjambak rambutku.
“Aaww, jangan dijambak, Sayang. Nanti Tante nangis loh,” Calvin justru tertawa, mungkin dia merasa aku sedang mengajaknya bercanda. Perlahan aku melepaskan tangan Calvin dari rambutku.
“Galih ngapain ke sini?”
“Gak ada kerjaan lain selain ngajak merit,” jawabku.
“Apa, sih, yang lo tunggu, Rain? Raka?” sindir Ghina dengan tatapan mencemooh. “Come on, Beb. All have passed from three years ago. Raka udah nikah. Sedangkan hidup lo masih begini-begini aja.”
“Gue gak lagi nunggu Raka, Nong,” kilahku.
“Terus apa yang lo tunggu? Rain, Galih udah ngajak lo buat nikah. Gue tahu dia serius. Kalau dia gak serius, gak mungkin lebih dari tiga kali dia ngajak lo nikah meskipun selalu lo tolak.”
“Semua gak sesimpel itu, Nong,” Aku melengkungkan senyum getir. “Lo tahu gak, kalau rasa kecewa itu punya level yang lebih tinggi daripada marah? Dan gue, lagi berada pada titik di mana gue kecewa sama takdir yang Tuhan kasih buat gue.”
“Hell, lo gak boleh ngomong gitu,” tegur Ghina dengan mata melotot. “Gue tahu semua masih tentang Raka. Tapi, nyatanya dia pergi gitu aja tanpa kasih lo kepastian. Oke, lo pernah LDR sama dia. Tapi, nyatanya? Never enough, Rain. Lo tetap kecewa bukan?”
Mataku terpejam seraya mengembuskan napas berat. Seberapa pun aku berharap, kenyataannya Raka tetap tidak bisa aku miliki. Jika cinta tidak harus memiliki, mengapa dulu Engkau menyisipkan cinta untuk Raka di ruang hatiku, Tuhan?
“Bangun, Rain. Kejar kebahagiaan lo. Kejar impian lo. Bukan malah menutup diri seperti ini,” ujar Ghina menatapku nanar.
“Gue gak menutup diri,” sangkalku. “Gue menikmati hidup gue yang sekarang. Dan gue gak peduli sama omongan orang.”
Ghina mengambil lenganku untuk digenggam. Dia menyunggingkan senyuman termanisnya untukku. “Lepaskan apa yang seharusnya lo lepaskan. Karena hidup mengajarkan kita tentang sebuah proses untuk membangun kehidupan yang lebih baik.”
“I love you, Nong,” bisikku, mataku sampai berkaca-kaca mendengar kalimat bijaknya. Mungkin ini saatnya aku keluar dari rasa kecewa yang memenjarakan hatiku.
“Sayangnya rasa cinta gue sudah gue berikan seluruhnya buat suami gue,” kekeh Ghina.
Duhai waktu, berpihaklah padaku mulai detik ini.
Kesulitanku sejak ditinggal Raka adalah melepaskan diri dari bayangan semu keindahan yang ingin aku ciptakan bersamanya. Jujur, aku tidak pernah memiliki keinginan untuk membangun masa depan dengannya. Tapi itu dulu. Nyatanya waktu menyadarkan aku, bahwa ada Raka yang selama ini aku abaikan. Nahasnya, saat perasaanku mulai berkembang menjadi rasa cinta. Raka dengan seenaknya pergi dengan alasan mengejar cita-citanya sebagai pilot. See, dia berhasil mematahkan hatiku. Dia memilih untuk tidak menjadikanku kekasihnya pada waktu itu. Komunikasi kami masih sering dalam tahun-tahun pertama. Kupikir Raka tidak akan menjadikanku kekasihnya, namun setelah beberapa tahun kami LDR, dia datang dan menyatakan keinginannya untuk menjalin hubungan. Akhirnya, kami sepakat untuk menjalin hubungan. Beberapa bulan setelahnya, Raka tiba-tiba menghilang. Dia hanya sekali dua kali mengunjungiku, sebelum memutuskanku hanya dengan tiga baris kata via SMS. Entah kenapa, Raka
Sunyinya malam ini seakan menjadi saksi bahwa rinduku tak menemukan tempat singgahnya lagi. Sebenarnya malas untuk ikut reuni, tapi Ghina menyeretku tanpa memedulikan ocehanku yang hampir berbusa. Dia enak, punya gandengan halal. Lalu apa kabar denganku? Bisa-bisa aku jadi cemoohan mereka yang hadir. Aku yakin pertanyaan mereka tidak akan jauh dari kata nikah. Kapan nikah? Buruan nikah, nanti stok cowok keburu habis. Dipikir cowok itu barang langka yang harus dilestarikan. "Senyum kali, Rain. Kali aja lo di sana ketemu jodoh." Ghina menoleh ke belakang dan tersenyum usil. "Nanti gue kenalin sama teman yang masih bujangan, Rain. Dia udah mapan bebet, bibit, bobotnya. Tinggal lo tunggangin." Erfan yang mengemudi masih sempet-sempetnya mengedipkan mata jahil padaku dari kaca depan mobil. "Kampret, Erfan! Paling si Galih kan yang masih bujangan? Ck, bujangan lapuk." "Nah itu tahu, sama Wisnu satu lagi." Erfan lantas tertawa
Tugasku di hari minggu, mengantar Zio dan Ara bermain di Mal. Mau nolak, kasihan sama Kak Kinan yang sedang hamil tua. Masa dia dengan perut buncitnya lari-larian di Mal untuk mengejar dua Kurcaci Kembarnya? Bisa melahirkan di tengah jalan mungkin. Sementara Kak Arsen sebagai Ayah, sangat tidak berperi-keayahan. Masa hari minggu, malah ke luar kota. Bilangnya ada kerjaan. Awas saja kalau ketahuan main serong, kurajam dia. Eh, maksudnya minta Kak Kinan buat merajam asetnya. Sumpah, kaki pegal seharian keliling Mal. Bermain di timezone pula. Ara dan Zio memang menyusahkan. Setelah mereka mengantuk, baru lah mereka mengajak pulang. Aku bagaikan Nanny yang tidak dibayar majikannya. Sepertinya ada yang salah dengan mobilku. Aku keluar untuk mengecek. Sial! Ban mobil depanku kempes. Segera mengambil ponsel, aku mendial nomor Galih. "Gal, jemput gue dong! Ini ban mobil gue bocor kayaknya," ujarku tanpa basa-basi. "Posisi lo di mana?" "Mal yan
Menipu hati itu sulit, ujungnya sakit. Rasanya semakin pelik, tidak ada hikmah yang bisa dipetik dari ingkarnya sebuah janji manis.Rapuh sudah pasti. Ghina bilang aku bodoh karena mengharapkan hal yang mustahil. Kembali bersama Raka, memang hanya sebatas khayalan. Tapi aku butuh penjelasannya. Penjelasan kenapa dia memilih Dinda daripada aku, sementara dia dengan entengnya mengucapkan kata sayang padaku di hari resepsi pernikahannya.Bulshit!Kenyataannya, Raka yang aku kenal baik dulu jauh berbanding terbalik dengan Raka yang duduk di sebelahku sekarang. Bukan hanya fisiknya yang berubah, hatinya juga demikian. Buktin
Pulau Tidung merupakan salah satu tempat wisata favorit di kawasan Kepulauan Seribu. Menikmati sunset di atas Jembatan Cinta yang legendaris. Jembatan Cinta adalah jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil.Tidak perlu menjadi matahari yang selalu menunjukan keagungannya sepanjang hari. Cukup menjadi senja yang selalu di nantikan keindahannya. Karena pesona senja tidak pernah mengecewakan, dia adalah pemenang dari segala keangkuhan yang dikuasai matahari.Aku gak tahu alasan kenapa Galih membawaku ke sini. Untuk satu bulan ke depan, aku memberinya waktu untuk membuka kembali pintu hatiku. Aku juga berusaha untuk membukanya sendiri, menerima kehadiran lelaki lain untuk mengisi ruang di hatiku menggantikan sosok yang sudah lama menjadi penguasanya.Duduk santai di atas jembatan dengan kaki menjuntai. Galih duduk di sebelahku, mengabadikan setiap moment indah yang diciptakan semesta begitu indah dengan cameranya.“Gal?&rd
Fahmi menggelar pesta ulang tahun anak pertamanya malam ini. Dia mengundang teman-temannya termasuk Galih. Aku menolak hadir, tapi Galih memaksaku untuk menemaninya. Dia bilang biar tidak ada yang bertanya Mana calon istrinya?Ck. Padahal aku belum menerimanya sebagai calon suami. Hanya menerima kehadirannya, dan kalau memang hatiku menerimanya dengan baik bukan tidak mungkin aku akan menerima pinangannya.“Gal, buruan dong!”“Iya, Honey. Bentar lagi tinggal pake minyak rambut,” teriak Galih dari kamarnya.
Kumpul keluarga di zaman sekarang mungkin akan sulit dilakukan, hampir semua orang--tidak semuanya tapi kebanyakan lebih mementingkan kesibukan daripada keluarga.Berbeda dengan tradisi keluargaku, weekend adalah waktu yang wajib dihabiskan untuk keluarga, dari pagi sampai pagi lagi. Artinya 24 jam non-stop.Bagi yang sudah memiliki pasangan dan juga anak, hal seperti ini tidak membosankan. Tapi bagi jomblo kesepian sepertiku, weekend adalah saat-saat menyebalkan. Karena aku harus alih profesi menjadi nanny ketiga keponakanku. Zio, Ara dan Alcan.Iri sebenarnya, kadang terlintas dalam benak, kapan aku
Mobil Galih berhenti tepat di depan gerbang rumah Kak Arkan. Aku yang memintanya mengantarku ke sini. Bukan berniat kabur, intinya aku malas pulang.“Tunggu di sini aja,” kataku pada Galih sambil membuka pintu mobil.“Lama gak?” tanya Galih.“Gak,” jawabku singkat. Turun dari mobil Galih aku segera membuka pintu gerbang rumah Kak Arkan.Aku suka gaya rumah ini, halaman tidak terlalu luas di bagian depan. Namun Kak Arkan memberi halaman yang luas di bagian belakang rumah, dengan adanya kolam renang dan taman yang dia sediakan untuk bermain anak-anaknya atau pun tempat kumpul keluarga.“Kak!” Aku berteriak sambil mengetuk pintu.Tak berselang lama, wajah Kak Arkan muncul dari balik pintu. “Ngapain teriak-teriak. Tamu itu harusnya sopan,” tegurnya.“Kak, aku nginap ya?” Aku menampilkan wajah memelasku senatural mungkin, sebuah trik agar Kak Arkan percaya pada adik ca
Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.
Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.
Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak
“Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja
Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men
Rasa cemasku menguap saat dokter bilang kondisi Raka stabil dan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ia hanya kelelahan dan tidak sanggup lagi melawan.Raka memang salah, tapi yang Kak Arsen lakukan itu keterlaluan.“Kakak pulang ya, Rain. Dicariin Al terus. Kamu gak papa Kakak tinggal sendiri?”Aku hanya menggeleng pelan. Menatap sayu Kak Arkan. Kepalaku pening dan mataku terasa perih dan berat.“Kamu hati-hati. Jangan banyak pikiran! Kasian bayinya kalau ibunya stress.”Satu hal yang membuatku jatuh cinta sama Kak Arkan, kepribadiannya. Setiap menyikapi permasalahan, dia selalu bisa mengontrol emosinya. Aku punya dua orang kakak, mereka mirip dalam segi wajah tapi tidak dalam kepribadian. Kak Arsen dengan tempramentalnya dan Kak Arkan dengan kedewasaannya.“Makasih ya, Kak. Udah mau bawa Raka ke rumah sakit.”Kak Arkan terdiam, menelisik wajahku dengan lekat sebelum lengan kekarnya menarikku ke dalam
Menolak permintaan Ayah sama saja bunuh diri. Aku membatalkan niatku untuk pertama kalinya memeriksa kandungan bersama Raka dengan beralasan harus mengurus si kembar karena Kak Arsen kerja dan Kak Kinan yang super sibuk mengurus si bungsu yang baru lahir. Untungnya Raka percaya dan tidak jadi menemuiku.Duduk di hadapan Ayah dan Bunda, pikiran kalut serta degub jantung yang abnormal. Menundukan kepala, sebab tidak mampu membalas sorotan tajam dari Bunda dan Ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Biasanya Bunda akan langsung ngomel-ngomel. Tapi kali ini, Bunda hanya diam.Ayah berdeham cukup keras. Perasaanku semakin tida
Gundah, satu kata yang menggambarkan keadaan hatiku pagi ini. Dinner sederhana di tukang sate namun terkesan romantis semalam seolah lenyap dengan datangnya kabar dari Galih. Galih bilang, Mamanya siap bertemu jam delapan pagi sebelum berangkat untuk menjenguk suaminya.Aku menyetujui. Walaupun berat, tapi aku ingin selesai secepatnya supaya tidak terus kepikiran yang pada akhirnya membuatku stress. Sementara aku baca dari berbagai artikel online, jika ibu hamil tidak boleh banyak pikiran.Tidak ada jemputan, aku memilih naik Grab-Car karena kondisi badan yang tidak memungkinkan untuk menyetir. Sementara Galih tidak mungkin menjemputku, dan Raka harus mengantar ibunya periksa ke dokter. Efek shock yang berujung turunnya kondisi kesehatan dari Tante Marina.Setelah membayar Grab-Car, aku langsung membuka pintu gerbang rumah Galih. Terlihat Galih sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja abu tua yang dikenakan.“Gak telat