Pulau Tidung merupakan salah satu tempat wisata favorit di kawasan Kepulauan Seribu. Menikmati sunset di atas Jembatan Cinta yang legendaris. Jembatan Cinta adalah jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil.
Tidak perlu menjadi matahari yang selalu menunjukan keagungannya sepanjang hari. Cukup menjadi senja yang selalu di nantikan keindahannya. Karena pesona senja tidak pernah mengecewakan, dia adalah pemenang dari segala keangkuhan yang dikuasai matahari.
Aku gak tahu alasan kenapa Galih membawaku ke sini. Untuk satu bulan ke depan, aku memberinya waktu untuk membuka kembali pintu hatiku. Aku juga berusaha untuk membukanya sendiri, menerima kehadiran lelaki lain untuk mengisi ruang di hatiku menggantikan sosok yang sudah lama menjadi penguasanya.
Duduk santai di atas jembatan dengan kaki menjuntai. Galih duduk di sebelahku, mengabadikan setiap moment indah yang diciptakan semesta begitu indah dengan cameranya.
“Gal?” panggilku.
“Hmm,” Galih menjawab tanpa menoleh, dia memfokuskan pandangannya pada objek yang hendak dia potret.
Menghela napas berat, sejujurnya penjelasan Raka kemarin--ah, bukan. Tapi keinginan Raka untuk diberikan kesempatan terus mengudara dalam benak. Jika aku mau, aku mungkin sudah memberinya kesempatan. Well, itu yang aku dan hatiku mau. Tapi, aku tidak ingin egois. Keputusanku memberi Galih kesempatan harus ku pertanggungjawabkan.
“Bantu gue buat ngelepasin bayang-bayang Raka di hidup gue. Sumpah gue capek terus-menerus hidup dalam bayang-bayang orang yang gak pasti jadi milik gue.”
Galih menghentikan aktivitasnya, menurunkan cameranya dan membiarkan camera tersebut menggantung di lehernya. Lantas menatapku dengan tatapan bertanya. Lalu seulas senyum dia ukir untukku.
“Of course. Dari dulu keinginan gue emang kayak gitu, Rain. Cuma elo-nya yang sama sekali gak bisa melihat secara kasat mata kehadiran gue di samping lo.”
Aku tersenyum miris. Semua memang salahku yang terlalu dibutakan oleh cinta yang tidak diikuti dengan takdir.
“Lo ngomong gini bukan karena abis ketemu lagi sama Raka di acara reuni 'kan?” tebak Galih.
“Itu salah satunya. Lihat dia gandeng cewek lain, buat gue mikir. Ternyata gue gak punya arti apa-apa lagi di hidupnya. Tapi, kenapa perasaan gue ke dia sulit dihilangkan? Padahal dulu gue menolak perasaan cinta gue ke dia.”
Kadang cinta selucu itu. Yang dulu menolak malah jadi cinta. Begitu sulit untuk dilupakan.
Galih tertawa, seolah apa yang ku katakan tadi adalah sebuah lelucon yang harus ditertawakan. Aku mendengkus, tanganku tak tinggal diam. Mencubit lengannya cukup keras hingga dia mengaduh kesakitan dan menghentikan tawanya.
“Menanggalkan seseorang yang sudah lama bersemanyam di hati itu, gue yakin sulit. Cuma hidup lo gak stuck di situ-situ aja. Lo masih bisa hidup walaupun tanpa Raka di samping lo, 'kan?”
Aku mengangguk.
“Hidup gak pernah sepicik itu untuk memilih orang yang pantas bahagia. Dan takdir Tuhan pun demikian, orang yang menurut lo baik dan cocok buat lo kenyataannya belum pasti jadi jodoh lo.”
Kalimat Galih menjadi tamparan keras untukku. Aku menganggap Tuhan tidak adil, padahal aku sendiri bukan manusia sempurna yang pantas berbicara seperti itu.
“Gal?”
“Apa?” Galih langsung nyolot. Aku terkejut, sedetik kemudian dia malah tertawa renyah. “Lo mau tanya gue dapet ilmu bijak dari mana?”
Aku menggeleng.
“Bantu gue!” balasku skeptis.
“Iya, Raina. Gue bantu lo.”
Galih mengecek ponselnya sejenak. Sepertinya dia mendapat pesan penting dari seseorang yang membuatnya mengerutkan dahi ketika membalasnya.
“Okay,” serunya sambil menyimpan ponsel di saku bagian dalam jaketnya. “Di awali dari panggilan lo-gue yang harus dihilangkan. Berubah jadi aku-kamu.”
Aku tercengang dengan mulut terbuka. Apa katanya? Aku-kamu, please... Itu akan terasa sangat canggung.
“Kenapa harus gitu?” tanyaku nyolot.
“Namanya juga orang pacaran, jadi wajar dong panggilannya aku-kamu? Atau lo mau panggil gue Mas, dan panggil nama lo sendiri ketika berinteraksi sama gue kayak Kakak lo sama istrinya?”
“Gal, please... Kita bukan anak kecil yang baru kenal cinta.”
“Gue pikir status bagi cewek itu penting. Karena yang gue telaah, cewek itu pengin diakui sebagai orang yang berharga di mata cowoknya,” katanya dengan percaya diri.
Aku melongo. Mengerutkan dahi sambil menatap Galih yang justru menampilkan raut wajah geli. “Tapi, kita udah sama-sama dewasa. Dua puluh enam tahun, masa harus pacar-pacaran?”
“Why? Ada yang salah dengan itu?”
“Otak lo yang salah!” sungutku sebal.
Galih tertawa sejenak, sebelum merubah ekspresinya menjadi serius. Galih memegang kedua bahuku. Sinar matanya menyorot bola mataku dalam. “Okay, terserah lo. Asalkan lo dengerin gue baik-baik. Gue emang kampret, sekampret-kampretnya orang kampret. Tapi satu yang gue percaya, dalam mencintai itu gak boleh main-main kalau gak mau karma mampir di hidup kita. Dan perasaan gue sama lo, mulanya emang hanya sekedar ketertarikan. Gue bangga ngelihat lo begitu tegar melihat orang yang lo sayangi menikah dengan wanita lain. Lo bahkan ngucapin doa yang terbaik buat pernikahan Raka yang seharusnya gak pantas Raka terima.”
Rasa nyeri kembali hadir setiap kali mengingat kenangan menyedihkan dulu. “Hari itu menjadi titik rapuh bagi gue. Gue sok jagoan dengan menyembunyikan rasa sakit yang gue terima. Apalagi gue gak tahu alasan dia menikahi Dinda, itu yang sulit gue terima.”
Aku menghembuskan napas lelah sebelum kembali bercerita, “Kemarin sebenarnya gue ketemu Raka. Pas gue mau balik dari Mall dan mobil gue kempes itu ada mobil Raka lewat. Dia baru balik kerja mungkin, terus dia nawarin buat nganter gue sama ponakan gue pulang. Ya udah, gue ikut.”
“Terus?” tanya Galih penasaran.
“Canggung,” jawabku singkat.
“Gak ada obrolan sama sekali?”
“Gue minta penjelasan, dan yeah dia jelasin alasan pernikahannya dengan Dinda.”
Cengkeraman di bahuku mengendur, bahkan Galih menurunkan kedua tangannya dari bahuku. Memalingkan wajah, menatap jauh ke ufuk barat. “Peluang buat lo sebenarnya masih ada, Rain.”
“Kayak yang gue bilang di awal, Gal. Gue udah gak punya arti apa-apa lagi di hidupnya. Ada Diandra, entah kenapa gue yakin Raka punya hubungan spesial dengan wanita yang dia ajak ke reuni itu.”
“Ya udah, lo mau move on 'kan?” Galih menoleh ke arahku.
Aku mengangguk, meski setengah hatiku menolaknya.
“Gue akan berusaha buat lo cinta sama gue asalkan lo tetap di samping gue. Jangan noleh ke belakang lagi, kita tatap arah yang ada di depan kita bersama-sama. Lo mau?” Galih menggapai jemariku, menggenggamnya. Seolah genggaman itu menyiratkan keyakinan.
“Ajari gue, Gal.”
“Siap.”
Erfan benar, Galih dapat menempatkan kapan dia harus bercanda dan kapan dia serius.
“Gal?”
“Hmm.”
“Gue gak pernah jadiin lo pelampiasan atau apapun itu,” cicitku lemah.
“Tapi kok gue ngerasanya begitu ya?” Galih berkata begitu membuatku merasa bersalah. Secara tidak langsung aku memang menjadikannya pelampiasan atas rasa cinta yang tidak mungkin aku miliki lagi bersama Raka. Tapi Galih menawarkanku kepastian untuk masa depan, lantas bisakah aku menerimanya?
“Gue lagi berusaha, Gal. Makanya bantu gue supaya benar-benar lepas dari Raka.”
“Apa yang bikin sulit buat ngelepasin dia?”
Aku menggeleng. “Gue sendiri gak tahu kenapa sulit move on gini. Padahal gue cepet kok move on dari mantan-mantan gue pas SMA.”
“Raka yang paling lama tinggal di hati lo, bahkan lo sampai menutup mata untuk menerima kehadiran laki-laki lain yang menawarkan masa depan buat lo. Ada gue, Rain. Gue bahkan rela lo jadiin pelampisan gini. Tapi satu yang gue yakini, sejauh ini hasil yang gue dapat gak pernah mengkhianati usaha.” Senyuman yang Galih lontarkan sangat tulus.
“Thanks for everything, Gal. Sedikitnya lo udah bikin hidup gue berwarna lagi.”
“Dan gue akan terus melukiskan jutaan warna di hidup lo. Itu juga kalau lo mau, Rain.”
“Iya, gue mau.”
Belajar mengikhlaskan, Raina.
Galih merengkuhku dalam dekapannya. Entah, sampai detik ini belum ada perasaan spesial setiap kali berdekatan dengannya.
©©©
Fahmi menggelar pesta ulang tahun anak pertamanya malam ini. Dia mengundang teman-temannya termasuk Galih. Aku menolak hadir, tapi Galih memaksaku untuk menemaninya. Dia bilang biar tidak ada yang bertanya Mana calon istrinya?Ck. Padahal aku belum menerimanya sebagai calon suami. Hanya menerima kehadirannya, dan kalau memang hatiku menerimanya dengan baik bukan tidak mungkin aku akan menerima pinangannya.“Gal, buruan dong!”“Iya, Honey. Bentar lagi tinggal pake minyak rambut,” teriak Galih dari kamarnya.
Kumpul keluarga di zaman sekarang mungkin akan sulit dilakukan, hampir semua orang--tidak semuanya tapi kebanyakan lebih mementingkan kesibukan daripada keluarga.Berbeda dengan tradisi keluargaku, weekend adalah waktu yang wajib dihabiskan untuk keluarga, dari pagi sampai pagi lagi. Artinya 24 jam non-stop.Bagi yang sudah memiliki pasangan dan juga anak, hal seperti ini tidak membosankan. Tapi bagi jomblo kesepian sepertiku, weekend adalah saat-saat menyebalkan. Karena aku harus alih profesi menjadi nanny ketiga keponakanku. Zio, Ara dan Alcan.Iri sebenarnya, kadang terlintas dalam benak, kapan aku
Mobil Galih berhenti tepat di depan gerbang rumah Kak Arkan. Aku yang memintanya mengantarku ke sini. Bukan berniat kabur, intinya aku malas pulang.“Tunggu di sini aja,” kataku pada Galih sambil membuka pintu mobil.“Lama gak?” tanya Galih.“Gak,” jawabku singkat. Turun dari mobil Galih aku segera membuka pintu gerbang rumah Kak Arkan.Aku suka gaya rumah ini, halaman tidak terlalu luas di bagian depan. Namun Kak Arkan memberi halaman yang luas di bagian belakang rumah, dengan adanya kolam renang dan taman yang dia sediakan untuk bermain anak-anaknya atau pun tempat kumpul keluarga.“Kak!” Aku berteriak sambil mengetuk pintu.Tak berselang lama, wajah Kak Arkan muncul dari balik pintu. “Ngapain teriak-teriak. Tamu itu harusnya sopan,” tegurnya.“Kak, aku nginap ya?” Aku menampilkan wajah memelasku senatural mungkin, sebuah trik agar Kak Arkan percaya pada adik ca
Soal pesan dari Raka kemarin, aku sempat bimbang antara mengiyakan tawarannya atau menolak. Semalaman aku berpikir, saat tidak menemukan jawaban yang tepat aku memutuskan cerita sama Galih, dan menuruti ide kampretnya. Yakni menemui Raka dengan mengajak Galih.Kebetulan arah apartemen Galih itu searah dengan kampus tempat mengajar Kak Arkan, jadi pagi ini aku diantar Kak Arkan untuk sampai ke apartemen Galih dan membangunkan si Biji Selasih yang pastinya masih sibuk bergelut dengan dunia mimpinya.Ternyata salah, penampilan Galih sudah rapi. Sebelum berangkat kami terlibat obrolan, bukan obrolan santai karena setiap kali berbicara dengannya emosiku selalu naik tanpa diminta.“Ngapain sih mau tinggal di apartemen, lo masih punya rumah, Rain.” Nada protes dilontarkan Galih saat aku memintanya untuk mencarikanku apartemen.Hidup sendiri di apartemen sepertinya bukan hal yang sulit. Tidak akan ada lagi ocehan Bunda yang memintaku menikah. Hidupku
Tidak semua warna tampak setiap kali pelangi muncul, dan tidak setiap senyuman berarti kebahagiaan. Ya, memang. Tapi pelangi tetap indah tanpa adanya semua warna, tidak seperti hidupku. Saat satu warna tidak ada, maka hidupku tidak sempurna.Warna hidupku lenyap satu. Iya, itu ada dalam diri seseorang. Galih benar, aku terbelenggu masa lalu. Dibutakan oleh keindahan yang pernah terjadi di masa itu. Bersamanya, bersama dia yang kini duduk di hadapanku. Membidik ke arahku tanpa mengeluarkan kata.Sesuai kesepakatan, aku menemui Raka di salah satu Cafe yang dulu sering kami jadikan tempat nongkrong. Nama Cafe ini tetap sama, namun interiornya yang sudah banyak berubah. Menjadi lebih elegan.
Hari ini pembukaan toko kue baruku dan Ghina. Awalnya Ghina yang punya ide buka toko kue, ya semacam cake para selebritis yang sempat booming. Di mana satu sama lain saling berlomba menciptakan sebuah usaha yang sama. Ghina juga ternyata tidak mau kalah, dia menciptakan resep sendiri dengan berinovasi. Kue lupis, siapa yang tidak tahu?Kue tradisional yang Ghina modifikasi dengan berbagai varian rasa. Ghina memang the best kalau soal kuliner. Bunda saja yang jago buat aneka macam kue, sekarang tersaingi oleh sahabatku tercinta ini. Untuk nama kue lupisnya sendiri, kami menggabungkan nama kami yaitu Raighin Lupis. Kami bakal merintis usaha ini dari awal, modal disiapkan semaksimal mungkin.“Galih gak dateng?” tanya Ghina yang berdiri di sampingku sambil menggendong Calvin. Kami berdua sedang menyambut para tamu yang hadir. Kebanyakan dari tamu itu customer di Cafe juga dari kalangan teman-teman dan keluarga, kelua
Berbicara soal Galih, aku bukan menyanjungnya. Tapi kegigihannya memang harus aku akui. Dia lelah setelah operasi tadi yang entah berjalan berapa lama, belum lagi kemacetan di Jakarta yang kadang sulit dihindari. Dan Ia masih memaksakan diri buat menemuiku.Sayangnya, kegigihannya belum memberi efek di hatiku. Sekadar kagum sama kegigihannya, dan belum mencapai rasa cinta.“Awas lo gak usah modus sama nyokap bokap gue. Kalo modus, tinggal milih pipi kanan atau kiri yang mau gue tonjok,” ancamku mengacungkan kepalan tangan ke arah wajahnya.“Tanpa gue modus mereka udah kasih gue lampu ijo, Rain.” Galih ter
Hari ini mungkin akan menjadi awal dari segalanya. Setiap ada acara besar rumahku selalu disulap bak ballroom hotel. Tamu undangan sudah mulai memenuhi ruangan. Banyak kolega-kolega Ayah juga kolega ayahnya Galih yang hadir. Sementara aku hanya mengundang teman dekatku saja sewaktu kuliah dan sekolah.Galih lebih banyak tamu undangannya, teman sekolah, kuliah dan teman satu profesinya. Termasuk Raka. Mau tidak mau aku harus mengakui kalau Raka dan Galih itu sangat akrab saat sekolah, bahkan Raka hanya akrab dengan segelintir orang saja. Sahabatnya yang kutahu hanya sesama anggota ekskul futsal. Galih, Erfan, Wisnu, Anwar, Fahmi dan Dipo.Mataku memanas saat sebuah cincin mungil melekat erat di jari manisku. Aku menatap Galih, lelaki itu melontarkan senyum manisnya untukku. Senyuman yang justru menyayat hati, karena aku merasa secara tidak langsung aku menyakitinya. Perasaan Galih terpaut padaku sementara perasaanku masih terombang-ambing.Selesai memasa
Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.
Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.
Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak
“Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja
Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men
Rasa cemasku menguap saat dokter bilang kondisi Raka stabil dan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ia hanya kelelahan dan tidak sanggup lagi melawan.Raka memang salah, tapi yang Kak Arsen lakukan itu keterlaluan.“Kakak pulang ya, Rain. Dicariin Al terus. Kamu gak papa Kakak tinggal sendiri?”Aku hanya menggeleng pelan. Menatap sayu Kak Arkan. Kepalaku pening dan mataku terasa perih dan berat.“Kamu hati-hati. Jangan banyak pikiran! Kasian bayinya kalau ibunya stress.”Satu hal yang membuatku jatuh cinta sama Kak Arkan, kepribadiannya. Setiap menyikapi permasalahan, dia selalu bisa mengontrol emosinya. Aku punya dua orang kakak, mereka mirip dalam segi wajah tapi tidak dalam kepribadian. Kak Arsen dengan tempramentalnya dan Kak Arkan dengan kedewasaannya.“Makasih ya, Kak. Udah mau bawa Raka ke rumah sakit.”Kak Arkan terdiam, menelisik wajahku dengan lekat sebelum lengan kekarnya menarikku ke dalam
Menolak permintaan Ayah sama saja bunuh diri. Aku membatalkan niatku untuk pertama kalinya memeriksa kandungan bersama Raka dengan beralasan harus mengurus si kembar karena Kak Arsen kerja dan Kak Kinan yang super sibuk mengurus si bungsu yang baru lahir. Untungnya Raka percaya dan tidak jadi menemuiku.Duduk di hadapan Ayah dan Bunda, pikiran kalut serta degub jantung yang abnormal. Menundukan kepala, sebab tidak mampu membalas sorotan tajam dari Bunda dan Ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Biasanya Bunda akan langsung ngomel-ngomel. Tapi kali ini, Bunda hanya diam.Ayah berdeham cukup keras. Perasaanku semakin tida
Gundah, satu kata yang menggambarkan keadaan hatiku pagi ini. Dinner sederhana di tukang sate namun terkesan romantis semalam seolah lenyap dengan datangnya kabar dari Galih. Galih bilang, Mamanya siap bertemu jam delapan pagi sebelum berangkat untuk menjenguk suaminya.Aku menyetujui. Walaupun berat, tapi aku ingin selesai secepatnya supaya tidak terus kepikiran yang pada akhirnya membuatku stress. Sementara aku baca dari berbagai artikel online, jika ibu hamil tidak boleh banyak pikiran.Tidak ada jemputan, aku memilih naik Grab-Car karena kondisi badan yang tidak memungkinkan untuk menyetir. Sementara Galih tidak mungkin menjemputku, dan Raka harus mengantar ibunya periksa ke dokter. Efek shock yang berujung turunnya kondisi kesehatan dari Tante Marina.Setelah membayar Grab-Car, aku langsung membuka pintu gerbang rumah Galih. Terlihat Galih sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja abu tua yang dikenakan.“Gak telat