Beranda / Semua / Raina / Tiga Belas

Share

Tiga Belas

Penulis: itsluvi_
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Berbicara soal Galih, aku bukan menyanjungnya. Tapi kegigihannya memang harus aku akui. Dia lelah setelah operasi tadi yang entah berjalan berapa lama, belum lagi kemacetan di Jakarta yang kadang sulit dihindari. Dan Ia masih memaksakan diri buat menemuiku.

Sayangnya, kegigihannya belum memberi efek di hatiku. Sekadar kagum sama kegigihannya, dan belum mencapai rasa cinta.

“Awas lo gak usah modus sama nyokap bokap gue. Kalo modus, tinggal milih pipi kanan atau kiri yang mau gue tonjok,” ancamku mengacungkan kepalan tangan ke arah wajahnya.

“Tanpa gue modus mereka udah kasih gue lampu ijo, Rain.” Galih ter

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Raina   Empat Belas

    Hari ini mungkin akan menjadi awal dari segalanya. Setiap ada acara besar rumahku selalu disulap bak ballroom hotel. Tamu undangan sudah mulai memenuhi ruangan. Banyak kolega-kolega Ayah juga kolega ayahnya Galih yang hadir. Sementara aku hanya mengundang teman dekatku saja sewaktu kuliah dan sekolah.Galih lebih banyak tamu undangannya, teman sekolah, kuliah dan teman satu profesinya. Termasuk Raka. Mau tidak mau aku harus mengakui kalau Raka dan Galih itu sangat akrab saat sekolah, bahkan Raka hanya akrab dengan segelintir orang saja. Sahabatnya yang kutahu hanya sesama anggota ekskul futsal. Galih, Erfan, Wisnu, Anwar, Fahmi dan Dipo.Mataku memanas saat sebuah cincin mungil melekat erat di jari manisku. Aku menatap Galih, lelaki itu melontarkan senyum manisnya untukku. Senyuman yang justru menyayat hati, karena aku merasa secara tidak langsung aku menyakitinya. Perasaan Galih terpaut padaku sementara perasaanku masih terombang-ambing.Selesai memasa

  • Raina   Lima Belas

    Duduk melamun di Cafe, menatap lurus lalu lalang kendaraan dari balik kaca besar di depanku. Beberapa kali aku menghela napas berat. Segelas matcha tersaji di meja dan belum sama sekali kucicip. Jika bercermin, wajahku amat sangat mengenaskan. Mata panda, pucat, kusam seperti tidak punya sinar yang cerah.Meringis pilu seraya menatap lipatan kertas yang menjadi tersangka kenapa air mataku jatuh dengan derasnya semalam. Lipatan kertas sederhana namun punya isi yang bermakna. Hatiku sesak setiap kali membaca kata per-kata tulisan tangan milik Raka yang ia tuangkan dalam secarik kertas yang kini berada dalam genggamanku.Entahlah...

  • Raina   Enam Belas

    Keberangkatanku ke Palembang pagi ini hanya diantar Galih ke Airport. Aku memberanikan diri untuk berangkat sendiri tanpa ditemani siapapun. Rencananya Galih ikut, tetapi tidak dapat izin dari rumah sakit.Emang stress dia. Ya gak bakal dikasih izin.Lagi pula aku bukan anak kecil yang harus dimomong ke mana-mana. Kalau pun nyasar, teknologi sudah canggih sekarang. Jadi apa yang harus ditakutkan? Aku berani.Dan resenya Galih itu, dia menyerocos sepanjang jalan. Sudah seperti ibu-ibu yang anaknya hendak pergi camping ataupun study tour. Banyak sekali pepatah dan larangannya.“Pokoknya sampai sana lo harus kabarin gue, kalau ada apa-apa di hotel langsung telepon pihak hotelnya, kalau nyasar di jalan lo buka aplikasi Maps, makan harus tiga kali sehari, jangan lupa ngemil, jangan kerja terlalu diforsir, dan jangan lupa sama gue.”Serentetan wejangan itu dia lafalkan dalam satu tarikan napas. Aku jawab iy

  • Raina   Tujuh Belas

    Aku pernah ditawari untuk kerja di perusahaan Ayah, tapi menolak karena ingin berwirausaha. Menurutku wirausaha itu tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga, ya minimal kalau sudah maju aku hanya perlu ongkang-angking menerima laba dari hasil penjualan. Pada kenyataannya, kerja di sebuah instansi ataupun berwirausaha sama-sama capeknya.Harus aku akui, tanpa Ghina aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kedewasaan Ghina yang mampu mengontrol setiap pekerjaan.“Ini gue harus gimana, Ghin?”Ghina menggeram di ujung sambungan telepon. “Ya udah lo tinggal ngomong santai, lo bilang makasih udah berkunjung atau apalah itu semacam basa-basi atau persuasi gitu biar mereka ketagihan.”“Berbusa dong mulut gue?”“Bagi orang yang bisa nyerocos kayak lo itu satu hal yang biasa. Lo pasti bisa, okay?”“Hmm...”“Ya udah, gue sibuk nih. Nanti gue telepon lagi, fightin

  • Raina   Delapan Belas

    Munafik jika aku bilang tidak senang ketika melewati waktu berdua dengan Raka di sisa hari ini. Tapi di sisi lain, rasa bersalah karena berbohong pada Galih dan menyembunyikan fakta kalau aku bertemu, ah bukan sekadar bertemu tapi hari ini aku malah jalan dengan Raka. Sesuatu yang bisa saja orang sebut sebagai perselingkuhan.Tapi Raka kembali menjadi Raka yang dulu, Raka yang menjadi sahabatku dan dengan suka rela menemaniku ke mana pun aku pergi. Itu dulu, terjadi ketika kami masih duduk di bangku SMA. Dan hari ini, Raka-ku telah kembali.“Kamu pasti sering ke Palembang?” tebakku, ketika kami baru saja sampai di hotel malam harinya.

  • Raina   Sembilan Belas

    Bagai ufuk barat dan timur, kita ini sepasang tapi tidak searah. ~RAINA~Kalau saja tidak akan di cap sebagai pasien rumah sakit jiwa, rasanya ingin sekali aku membanting semua barang yang ada di kamar hotel ini juga memecahkan cermin yang masih berani mengejek bayanganku.Tapi buat apa menyesalinya. Aku pun tidak menolaknya. Aku pun hanyut dalam permainannya. Aku pun... Ah, sudahlah. Terlalu banyak membela diri padahal tidak pantas sama sekali.Dering ponsel kembali menyadarkanku pada kenyataan jika ini bukan mimpi. Dan kejadian semalam nyata terjadi.Mencari letak ponsel yang lupa kutaruh dari semalam. Bahkan aku sampai tidak memikirkan di mana keberadaan benda pipih itu. Aku terlalu larut dalam balutan rindu yang pada akhirnya membuatku menyesal dengan sendirinya.Kelabakan mencari ponsel, aku sampai mengeluarkan semua isi tas yang kemarin ku pakai jalan-jalan. Satu dari banyaknya benda yang jatuh di at

  • Raina   Dua Puluh

    Galih menjemputku di bandara. Dia maksa. Padahal sudah kubilang, aku lebih baik naik taksi. Bukan tidak ingin dijemput, tapi pasti dia akan curiga dengan keadaan mataku yang bengkaknya luar biasanya ini. Terlebih bentuk mataku yang sedikit sipit, membuat bengkaknya semakin terlihat.“Ah, calon imam lo kangen banget ini.”Galih tidak segan untuk memelukku walaupun masih di bandara. Aku membiarkannya sejenak sebelum mendorong tubuhnya menjauh. Dia tidak protes.“Mata lo kenapa, Rain?” matanya memicing mengamati mataku.“Efek gak bisa pup, gue nangis.”“Parah banget, gitu aja nangis,” ledeknya menarik pipiku. “Sampai sekarang masih gak bisa pup? Pepayanya gak beli?”Aku hanya menggelengkan kepalanya.“Lo udah sarapan belum, kok lemes banget gitu?” Galih bertanya seraya menggendong ranselku.“Udah,” jawabku singkat.Aku terkesiap saat lengann

  • Raina   Dua Puluh Satu

    Sebulan berlalu, aku kembali menata hidupku. Mencoba melupakan kejadian yang terjadi sebulan ke belakang. Terus bersugesti dalam hati, dan menganggap kejadian malam itu hanya mimpi. Lagi pula sebulan ini aku tidak pernah melihat Raka di mana pun. Jadi larut dalam penyesalan juga tidak akan menyelesaikan masalah, lebih baik berjalan maju, berpikir positif, dan berharap yang terbaik.Hari ini aku sibuk membereskan barang di apartemen dengan bantuan Galih dan Ghina. Aku resmi keluar dari rumah dan pindah ke apartemen. Rencana pindah dari beberapa minggu yang lalu, tapi harus tertunda karena Kak Kinan melahirkan. Dan aku yang kebagian mengurus si kembar. Itu membuatku kewalahan karena mereka super aktif dan tidak bisa diam.Ditambah lagi tour ke beberapa kota untuk membuka cabang Raighin Lupis. Beruntung kali ini ditemani sama Ghina, dan tidak bertemu Raka seperti sebuah kebetulan lagi.“Rain, ini figura keluarga bagusnya dipasang di sini deh biar kel

Bab terbaru

  • Raina   Epilog

    Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.

  • Raina   Tiga Puluh Enam

    Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.

  • Raina   Tiga Puluh Lima

    Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku

  • Raina   Tiga Puluh Empat

    Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak

  • Raina   Tiga Puluh Tiga

    “Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja

  • Raina   Tiga Puluh Dua

    Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men

  • Raina   Tiga Puluh Satu

    Rasa cemasku menguap saat dokter bilang kondisi Raka stabil dan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ia hanya kelelahan dan tidak sanggup lagi melawan.Raka memang salah, tapi yang Kak Arsen lakukan itu keterlaluan.“Kakak pulang ya, Rain. Dicariin Al terus. Kamu gak papa Kakak tinggal sendiri?”Aku hanya menggeleng pelan. Menatap sayu Kak Arkan. Kepalaku pening dan mataku terasa perih dan berat.“Kamu hati-hati. Jangan banyak pikiran! Kasian bayinya kalau ibunya stress.”Satu hal yang membuatku jatuh cinta sama Kak Arkan, kepribadiannya. Setiap menyikapi permasalahan, dia selalu bisa mengontrol emosinya. Aku punya dua orang kakak, mereka mirip dalam segi wajah tapi tidak dalam kepribadian. Kak Arsen dengan tempramentalnya dan Kak Arkan dengan kedewasaannya.“Makasih ya, Kak. Udah mau bawa Raka ke rumah sakit.”Kak Arkan terdiam, menelisik wajahku dengan lekat sebelum lengan kekarnya menarikku ke dalam

  • Raina   Tiga Puluh

    Menolak permintaan Ayah sama saja bunuh diri. Aku membatalkan niatku untuk pertama kalinya memeriksa kandungan bersama Raka dengan beralasan harus mengurus si kembar karena Kak Arsen kerja dan Kak Kinan yang super sibuk mengurus si bungsu yang baru lahir. Untungnya Raka percaya dan tidak jadi menemuiku.Duduk di hadapan Ayah dan Bunda, pikiran kalut serta degub jantung yang abnormal. Menundukan kepala, sebab tidak mampu membalas sorotan tajam dari Bunda dan Ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Biasanya Bunda akan langsung ngomel-ngomel. Tapi kali ini, Bunda hanya diam.Ayah berdeham cukup keras. Perasaanku semakin tida

  • Raina   Dua Puluh Sembilan

    Gundah, satu kata yang menggambarkan keadaan hatiku pagi ini. Dinner sederhana di tukang sate namun terkesan romantis semalam seolah lenyap dengan datangnya kabar dari Galih. Galih bilang, Mamanya siap bertemu jam delapan pagi sebelum berangkat untuk menjenguk suaminya.Aku menyetujui. Walaupun berat, tapi aku ingin selesai secepatnya supaya tidak terus kepikiran yang pada akhirnya membuatku stress. Sementara aku baca dari berbagai artikel online, jika ibu hamil tidak boleh banyak pikiran.Tidak ada jemputan, aku memilih naik Grab-Car karena kondisi badan yang tidak memungkinkan untuk menyetir. Sementara Galih tidak mungkin menjemputku, dan Raka harus mengantar ibunya periksa ke dokter. Efek shock yang berujung turunnya kondisi kesehatan dari Tante Marina.Setelah membayar Grab-Car, aku langsung membuka pintu gerbang rumah Galih. Terlihat Galih sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja abu tua yang dikenakan.“Gak telat

DMCA.com Protection Status