Tugasku di hari minggu, mengantar Zio dan Ara bermain di Mal. Mau nolak, kasihan sama Kak Kinan yang sedang hamil tua. Masa dia dengan perut buncitnya lari-larian di Mal untuk mengejar dua Kurcaci Kembarnya? Bisa melahirkan di tengah jalan mungkin.
Sementara Kak Arsen sebagai Ayah, sangat tidak berperi-keayahan. Masa hari minggu, malah ke luar kota. Bilangnya ada kerjaan. Awas saja kalau ketahuan main serong, kurajam dia. Eh, maksudnya minta Kak Kinan buat merajam asetnya.
Sumpah, kaki pegal seharian keliling Mal. Bermain di timezone pula. Ara dan Zio memang menyusahkan. Setelah mereka mengantuk, baru lah mereka mengajak pulang. Aku bagaikan Nanny yang tidak dibayar majikannya.
Sepertinya ada yang salah dengan mobilku. Aku keluar untuk mengecek. Sial! Ban mobil depanku kempes. Segera mengambil ponsel, aku mendial nomor Galih.
"Gal, jemput gue dong! Ini ban mobil gue bocor kayaknya," ujarku tanpa basa-basi.
"Posisi lo di mana?"
"Mal yang dekat rumahnya Kak Arsen."
"Tunggu sejam lagi ya?"
Aku melotot. "Apa? Lo gila ya?"
"Gue lagi ada pasien. Bentar lagi ya, Sayang?"
"Kalau sayang ke sini jemput!" sungutku kesal.
"Lagi nyari nafkah dulu, Sayang. Buat masa depan kita." Nada suara Galih terkesan santai.
"Halah! Udah gue naik taksi online aja, pusing gue sama si Kurcaci Kembar yang udah ngerengek ngajak pulang."
"Ya udah, take care, Honey. Kalau udah nyampe jangan lupa kabari calon imammu ini ya." Galih tertawa pelan. Harusnya aku ada di depannya, terus menyumpal mulutnya dengan batu krikil.
"Calon Imam ndasmu, Gal," dengkusku.
"Iya, iya. Raina Ishika Ryder mana pernah sih move on."
"Sialan! Okay, bye Biji Selasih." Aku mematikan sambungan secara sepihak.
Aku melongokkan kepala ke dalam mobil. Ara dan Zio tampak asik memainkan mainan yang baru mereka beli. "Bang Zio, Kak Ara, ayo keluar! Mobilnya bocor, kita naik taksi aja."
"Yah, Tein!" Keduanya kompak mengeluh. Ekspresi cemberut mereka tunjukan sambil keluar dari dalam mobil. Sekadar informasi, mereka memanggilku Tein alias Tante Rain.
"Makanya Tein, beli mobil tuh yang kayak Papi." Zio berbicara sinis.
"Besar, udah gitu bagus," sambung Ara.
Aku berdecak, "Iya, nanti Tein minta dibelikan mobil sama Papi kalian."
"Jangan dong!" seru Zio.
"Kok, jangan?"
"Tein kan udah besar masa masih minta uang?"
Skak mat! Kenapa mulut Zio menduplikat mulut Kak Arsen?
"Heh, kecil-kecil mulutnya udah dicabein. Emang dasar keturunan tukang nyinyir!"
"Nyinyir itu apa, Tein?" Ara memandangku dengan ekspresi polos.
"Nyinyir mobil," cetusku membuat plesetan. Harusnya yang benar itu nyetir mobil. Lumayan, membuat keponakan kembarku berpikir keras.
"Nyinyir mobil itu apa, Tein?" lagi-lagi Ara bertanya. Dia kalau belum puas, akan terus bertanya seperti itu.
"Bisa diem gak, sih? Tein pusing nih kalau kalian ngomong terus."
Muka Ara berubah suram. Dia memeluk boneka barbienya sambil memanyunkan bibir. "Tein jahat. Nanti kita bilangin Papi, ya Bang?"
"Iya, Ra."
"Ara mau pulang, Tein!" rengeknya mengguncang lenganku.
"Iya, sabar. Ini Tein mau pesan taksi online."
"Taksi online itu apa, Tein?"
"Diem!!!" teriakku.
"Hiks, Tein galak! Ara bilangin Papi biar dijewer nanti kayak Bang Zio."
Aku mengacak-ngacak rambut, frustasi. Bisa tua sebelum waktunya kalau aku mengasuh mereka setiap hari. Please, jangan sampai! Aku ini belum nikah.
Kuputuskan untuk tidak memesan taksi online dan memilih menaiki taksi biasa saja.
"Ya udah, ayo ke depan. Kita tunggu Taksi biasa aja," putusku, sudah terlajur jengkel sama kelakuan Ara dan Zio. Menggandeng lengan Zio dan Ara untuk keluar dari basement. Biarlah soal mobil, nanti minta diderek saja.
Menunggu taksi di trotoar jalan, Zio dan Ara sudah mencak-mencak sambil merengek minta pulang. Begini susahnya mengurus dua anak sekaligus.
Honda HR-V hitam berhenti tepat di sampingku, dahiku berkerut sambil menebak-nebak siapa gerangan orang yang parkir mobil sembarangan.
"Lagi ngapain?"
Demi apa?
Raka?
Jantungku langsung berdegub lebih kencang dari biasanya. Rasa hangat menjalar tiba-tiba. Aku menggigit bibir bawah, kosa kata dalam kepalaku mendadak hilang. Apalagi dia sekarang mengenakan seragam pilot. Gagah. Harus aku akui itu.
"Rain?"
Yaa Tuhan, dia memanggil namaku.
"Lagi nunggu taksi, Om. Om siapa?" tanya Zio tanpa rasa malu.
"Panggil Om Raka aja," jawabnya. "Mau pulang?" tanya dia lagi.
Aku mengangguk kecil.
"Ayo, aku antar!" ajaknya.
Menggeleng kecil. Tidak! Untuk apa, Rain? Taksi banyak. Jangan mau!
Tapi hatiku menginginkannya.
"Tein, ayo!!!"
Sial! Zio dan Ara malah memaksaku. Mereka kompak mengguncang-guncang lenganku dengan tidak sabaran.
Aku memejamkan mata, lantas melirik Raka sebentar lalu mengangguk.
"Bang Zio duduk di depan ya?" pintaku. Berharap Zio mau.
"Gak mau, mau di belakang sama Ara."
Kupasrah deh. Membuka pintu belakang untuk membantu Zio dan Ara naik serta menyimpan barang belanjaan. Meski ragu, aku tetap naik dan duduk di sebelah Raka.
Berusaha keras mengontrol keinginan untuk tidak menoleh ke arah Raka. Selama beberapa menit berlalu dengan keheningan yang mencekam.
"Apa kabar, Rain?"
Aku tertawa miris sambil menoleh, "setelah sekian lama, kamu tanya kabarku, Ka?"
"Memangnya salah?"
"Aku baik," jawabku ketus.
"Oh," cicitnya. "By the way, kalung itu masih kamu pakai? Aku pikir kamu sudah membuangnya."
"Apa?" dahiku berkerut. Lalu menyentuh kalung berwarna silver yang menjadi kado ulang tahunku yang ke-17 darinya. "Ini?"
Anggukan dari Raka membenarkan tebakanku. Aku tertawa geli sekaligus miris. "Ngapain dibuang? Sayang, kan? Lagian belinya pakai uang."
"Siapa tahu kamu kecewa sama aku dan nggak mau pake kalung itu lagi."
Aku kembali tertawa sinis, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjatuhkan air mata. "Iya, aku emang kecewa. Perempuan mana yang nggak sakit bila dicampakan gitu aja setelah sekian lama menunggu. Kamu pikir itu sebentar, Ka?"
Raka mematung.
Aku melirik dua keponakanku di belakang, mereka sudah terlelap. Entah kenapa emosiku langsung tersulut, mungkin kecewaku sudah mencapai batas maksimal.
"Tapi aku nggak sepicik itu. Kalung ini adalah kenangan berwujud yang kamu kasih buatku. Sekaligus pertanda kalau kita pernah bersama dalam satu waktu."
Raka bungkam. Rahangnya mengetat dan jemarinya mencengkram setir cukup kuat. Mencoba tidak peduli, aku memilih mengganti obrolan. "Oh iya, Diandra itu siapanya kamu?"
"Teman kerja," dia menjawab datar. "Dia pramugari di maskapaiku," imbuhnya.
"Yakin cuma teman? Bukan calon istri?"
"Bukan," lagi dia menjawab cepat dan singkat.
Aku mengukir senyum palsu, bagaimana bisa aku tersenyum dengan ketulusan jika di situasi saat ini hatiku sedang bergejolak. "Kalau bukan calon istri ngapain dibawa reuni? Itu tuh mengisyaratkan banget kalau kamu sama dia punya hubungan spesial."
"Lho, emang ada yang salah kalau aku ajak dia? Itu hak aku dong," selorohnya yang membuat hati berdenyut nyeri.
Aku diam sejenak, mengumpulkan segenap kekuatanku untuk melawan argumennya. "Iya sih terserah kamu. Dijadikan calon istri juga gak papa, Ka. Kamu sendiri, dia juga sendiri. Jadi kenapa tidak mencoba?"
"Kalau kamu?" Dia membungkamku dengan cepat. "Kamu, single?"
Aku memilih tidak menggubrisnya. Kembali menjadikan Diandra sebagai subjek obrolan kurasa lebih baik. Ah, bukan obrolan, lebih tepatnya sesi wawancara.
Oke, aku menyerah untuk membahas Diandra lagi. By the way, aku masih penasaran tentang Dinda. Ingin bertanya tapi gengsiku mengalahkan keinginanku. Seandainya tidak bertanya darimana aku akan mendapatkan jawaban. Ragu-ragu aku meliriknya, mata Raka memandang lurus jalanan di depan.
"Soal, Dinda?" aku mencicit gugup.
"Kenapa Dinda?" Raka malah bertanya balik lengkap dengan nada datarnya.
"Yang Fahmi bilang tentang rumah tangga kamu... Apa itu benar?"
Dia menoleh sekilas dengan tatap mata yang tak bisa aku artikan. "Ya," jawabnya singkat.
"Kenapa?"
"Gak cocok," jawabnya singkat. "Dinda selingkuh," imbuhnya, yang sukses membuatku terperangah.
"Alasan kenapa kamu menikahi Dinda itu kenapa?"
Maafkan mulutku yang tidak bisa dikontrol ini.
Tidak ada tanggapan dari Raka. Bahkan dengan gerakan kepala pun tidak.
"Tell me something, Ka." Ada lirih dalam nada suaraku. "Aku butuh penjelasan sekalipun itu terlambat."
Menepikan mobil ke sisi jalan, Raka menjambak erat rambutnya sebelum menatapku dalam. Ada kepedihan dari sorot matanya. Dia menutup matanya seraya menarik napasnya perlahan sebelum menyandarkan punggungnya.
"Waktu itu...,"
©©©
Menipu hati itu sulit, ujungnya sakit. Rasanya semakin pelik, tidak ada hikmah yang bisa dipetik dari ingkarnya sebuah janji manis.Rapuh sudah pasti. Ghina bilang aku bodoh karena mengharapkan hal yang mustahil. Kembali bersama Raka, memang hanya sebatas khayalan. Tapi aku butuh penjelasannya. Penjelasan kenapa dia memilih Dinda daripada aku, sementara dia dengan entengnya mengucapkan kata sayang padaku di hari resepsi pernikahannya.Bulshit!Kenyataannya, Raka yang aku kenal baik dulu jauh berbanding terbalik dengan Raka yang duduk di sebelahku sekarang. Bukan hanya fisiknya yang berubah, hatinya juga demikian. Buktin
Pulau Tidung merupakan salah satu tempat wisata favorit di kawasan Kepulauan Seribu. Menikmati sunset di atas Jembatan Cinta yang legendaris. Jembatan Cinta adalah jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil.Tidak perlu menjadi matahari yang selalu menunjukan keagungannya sepanjang hari. Cukup menjadi senja yang selalu di nantikan keindahannya. Karena pesona senja tidak pernah mengecewakan, dia adalah pemenang dari segala keangkuhan yang dikuasai matahari.Aku gak tahu alasan kenapa Galih membawaku ke sini. Untuk satu bulan ke depan, aku memberinya waktu untuk membuka kembali pintu hatiku. Aku juga berusaha untuk membukanya sendiri, menerima kehadiran lelaki lain untuk mengisi ruang di hatiku menggantikan sosok yang sudah lama menjadi penguasanya.Duduk santai di atas jembatan dengan kaki menjuntai. Galih duduk di sebelahku, mengabadikan setiap moment indah yang diciptakan semesta begitu indah dengan cameranya.“Gal?&rd
Fahmi menggelar pesta ulang tahun anak pertamanya malam ini. Dia mengundang teman-temannya termasuk Galih. Aku menolak hadir, tapi Galih memaksaku untuk menemaninya. Dia bilang biar tidak ada yang bertanya Mana calon istrinya?Ck. Padahal aku belum menerimanya sebagai calon suami. Hanya menerima kehadirannya, dan kalau memang hatiku menerimanya dengan baik bukan tidak mungkin aku akan menerima pinangannya.“Gal, buruan dong!”“Iya, Honey. Bentar lagi tinggal pake minyak rambut,” teriak Galih dari kamarnya.
Kumpul keluarga di zaman sekarang mungkin akan sulit dilakukan, hampir semua orang--tidak semuanya tapi kebanyakan lebih mementingkan kesibukan daripada keluarga.Berbeda dengan tradisi keluargaku, weekend adalah waktu yang wajib dihabiskan untuk keluarga, dari pagi sampai pagi lagi. Artinya 24 jam non-stop.Bagi yang sudah memiliki pasangan dan juga anak, hal seperti ini tidak membosankan. Tapi bagi jomblo kesepian sepertiku, weekend adalah saat-saat menyebalkan. Karena aku harus alih profesi menjadi nanny ketiga keponakanku. Zio, Ara dan Alcan.Iri sebenarnya, kadang terlintas dalam benak, kapan aku
Mobil Galih berhenti tepat di depan gerbang rumah Kak Arkan. Aku yang memintanya mengantarku ke sini. Bukan berniat kabur, intinya aku malas pulang.“Tunggu di sini aja,” kataku pada Galih sambil membuka pintu mobil.“Lama gak?” tanya Galih.“Gak,” jawabku singkat. Turun dari mobil Galih aku segera membuka pintu gerbang rumah Kak Arkan.Aku suka gaya rumah ini, halaman tidak terlalu luas di bagian depan. Namun Kak Arkan memberi halaman yang luas di bagian belakang rumah, dengan adanya kolam renang dan taman yang dia sediakan untuk bermain anak-anaknya atau pun tempat kumpul keluarga.“Kak!” Aku berteriak sambil mengetuk pintu.Tak berselang lama, wajah Kak Arkan muncul dari balik pintu. “Ngapain teriak-teriak. Tamu itu harusnya sopan,” tegurnya.“Kak, aku nginap ya?” Aku menampilkan wajah memelasku senatural mungkin, sebuah trik agar Kak Arkan percaya pada adik ca
Soal pesan dari Raka kemarin, aku sempat bimbang antara mengiyakan tawarannya atau menolak. Semalaman aku berpikir, saat tidak menemukan jawaban yang tepat aku memutuskan cerita sama Galih, dan menuruti ide kampretnya. Yakni menemui Raka dengan mengajak Galih.Kebetulan arah apartemen Galih itu searah dengan kampus tempat mengajar Kak Arkan, jadi pagi ini aku diantar Kak Arkan untuk sampai ke apartemen Galih dan membangunkan si Biji Selasih yang pastinya masih sibuk bergelut dengan dunia mimpinya.Ternyata salah, penampilan Galih sudah rapi. Sebelum berangkat kami terlibat obrolan, bukan obrolan santai karena setiap kali berbicara dengannya emosiku selalu naik tanpa diminta.“Ngapain sih mau tinggal di apartemen, lo masih punya rumah, Rain.” Nada protes dilontarkan Galih saat aku memintanya untuk mencarikanku apartemen.Hidup sendiri di apartemen sepertinya bukan hal yang sulit. Tidak akan ada lagi ocehan Bunda yang memintaku menikah. Hidupku
Tidak semua warna tampak setiap kali pelangi muncul, dan tidak setiap senyuman berarti kebahagiaan. Ya, memang. Tapi pelangi tetap indah tanpa adanya semua warna, tidak seperti hidupku. Saat satu warna tidak ada, maka hidupku tidak sempurna.Warna hidupku lenyap satu. Iya, itu ada dalam diri seseorang. Galih benar, aku terbelenggu masa lalu. Dibutakan oleh keindahan yang pernah terjadi di masa itu. Bersamanya, bersama dia yang kini duduk di hadapanku. Membidik ke arahku tanpa mengeluarkan kata.Sesuai kesepakatan, aku menemui Raka di salah satu Cafe yang dulu sering kami jadikan tempat nongkrong. Nama Cafe ini tetap sama, namun interiornya yang sudah banyak berubah. Menjadi lebih elegan.
Hari ini pembukaan toko kue baruku dan Ghina. Awalnya Ghina yang punya ide buka toko kue, ya semacam cake para selebritis yang sempat booming. Di mana satu sama lain saling berlomba menciptakan sebuah usaha yang sama. Ghina juga ternyata tidak mau kalah, dia menciptakan resep sendiri dengan berinovasi. Kue lupis, siapa yang tidak tahu?Kue tradisional yang Ghina modifikasi dengan berbagai varian rasa. Ghina memang the best kalau soal kuliner. Bunda saja yang jago buat aneka macam kue, sekarang tersaingi oleh sahabatku tercinta ini. Untuk nama kue lupisnya sendiri, kami menggabungkan nama kami yaitu Raighin Lupis. Kami bakal merintis usaha ini dari awal, modal disiapkan semaksimal mungkin.“Galih gak dateng?” tanya Ghina yang berdiri di sampingku sambil menggendong Calvin. Kami berdua sedang menyambut para tamu yang hadir. Kebanyakan dari tamu itu customer di Cafe juga dari kalangan teman-teman dan keluarga, kelua
Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.
Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.
Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak
“Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja
Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men
Rasa cemasku menguap saat dokter bilang kondisi Raka stabil dan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ia hanya kelelahan dan tidak sanggup lagi melawan.Raka memang salah, tapi yang Kak Arsen lakukan itu keterlaluan.“Kakak pulang ya, Rain. Dicariin Al terus. Kamu gak papa Kakak tinggal sendiri?”Aku hanya menggeleng pelan. Menatap sayu Kak Arkan. Kepalaku pening dan mataku terasa perih dan berat.“Kamu hati-hati. Jangan banyak pikiran! Kasian bayinya kalau ibunya stress.”Satu hal yang membuatku jatuh cinta sama Kak Arkan, kepribadiannya. Setiap menyikapi permasalahan, dia selalu bisa mengontrol emosinya. Aku punya dua orang kakak, mereka mirip dalam segi wajah tapi tidak dalam kepribadian. Kak Arsen dengan tempramentalnya dan Kak Arkan dengan kedewasaannya.“Makasih ya, Kak. Udah mau bawa Raka ke rumah sakit.”Kak Arkan terdiam, menelisik wajahku dengan lekat sebelum lengan kekarnya menarikku ke dalam
Menolak permintaan Ayah sama saja bunuh diri. Aku membatalkan niatku untuk pertama kalinya memeriksa kandungan bersama Raka dengan beralasan harus mengurus si kembar karena Kak Arsen kerja dan Kak Kinan yang super sibuk mengurus si bungsu yang baru lahir. Untungnya Raka percaya dan tidak jadi menemuiku.Duduk di hadapan Ayah dan Bunda, pikiran kalut serta degub jantung yang abnormal. Menundukan kepala, sebab tidak mampu membalas sorotan tajam dari Bunda dan Ayah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Biasanya Bunda akan langsung ngomel-ngomel. Tapi kali ini, Bunda hanya diam.Ayah berdeham cukup keras. Perasaanku semakin tida
Gundah, satu kata yang menggambarkan keadaan hatiku pagi ini. Dinner sederhana di tukang sate namun terkesan romantis semalam seolah lenyap dengan datangnya kabar dari Galih. Galih bilang, Mamanya siap bertemu jam delapan pagi sebelum berangkat untuk menjenguk suaminya.Aku menyetujui. Walaupun berat, tapi aku ingin selesai secepatnya supaya tidak terus kepikiran yang pada akhirnya membuatku stress. Sementara aku baca dari berbagai artikel online, jika ibu hamil tidak boleh banyak pikiran.Tidak ada jemputan, aku memilih naik Grab-Car karena kondisi badan yang tidak memungkinkan untuk menyetir. Sementara Galih tidak mungkin menjemputku, dan Raka harus mengantar ibunya periksa ke dokter. Efek shock yang berujung turunnya kondisi kesehatan dari Tante Marina.Setelah membayar Grab-Car, aku langsung membuka pintu gerbang rumah Galih. Terlihat Galih sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan kemeja abu tua yang dikenakan.“Gak telat