"Diam kamu!" Lelaki kurus berkulit hitam namun tampak sangar dengan tubuh penuh tato itu tanpa belas kasihan terus menendang bocah yang tak berdaya. Tangisan dan teriakan sang bocah sama sekali tak menimbulkan rasa kasihan pada diri si lelaki. Rasa takut dan sakit bercampur dirasakan bocah itu. Kaki dan tangannya terikat tali tambang dengan kuat. Ia tergolek lemah di lantai kayu yang basah dan berbau amis.
Tiba-tiba badan si lelaki terhuyung, seorang bocah kecil lainnya menendang-nendang dari belakang. "Jangan sentuh adikku !" Tentu saja tak ada pengaruh berarti. Lelaki itu berbalik dengan marah lalu dengan beringas mengangkat badan si bocah kedua.Entah bagaimana caranya tali yang mengikat kaki si bocah kedua telah terlepas. Namun itu tak memberikan keuntungan apapun. Tubuh si bocah dengan entengnya diangkat oleh si lelaki bengis lalu dilempar ke lautan. Sekejap saja badan si bocah menghilang ditelan ombak."Abaang ... Abang!" Si bocah pertama terus berteriak histeris hingga suaranya parau lalu menghilang, kemudian ia hanya dapat meronta lemah dan membuka mulut tanpa suara. Air mata mengalir deras di mata beningnya yang berangsur kemerahan. Lalu ia diam, tak sadarkan diri.Di ruangan lain seorang wanita terikat pada sebuah kursi yang diikatkan lagi pada sebuah tiang kayu. Wanita itu menatap sekeliling, puluhan tong berwarna biru kehijauan karena lumut tertata rapi menutupi pandangannya. Ia menatap langit-langit, ruangan ini cukup besar. Goyangan dan getaran yang dirasakan langsung membuatnya menyadari tengah berada dalam sebuah kapal laut.Wanita itu mencoba menggerakkan tangan, namun hanya perih yang dirasakan. Ia ingat sudah terlalu banyak meronta hingga luka menghiasi lengan dan kakinya. "Mas ... Kakak...apakah kalian baik-baik saja?" Suara lirih dan lemah keluar dari mulutnya. Ia tak tahu dimana suami dan anak sulungnya. Beberapa jam lalu dua buah hatinya yang terkecil juga telah direnggut paksa dari pelukannya.Bau amis ikan berbaur dengan bau zat kimia yang cukup membuatnya sesak. Di sudut ruangan tampak teronggok puluhan kaleng cairan Aseton. Disebelahnya tumpukan kardus tersusun rapi, pada kardus itu tertera merek salah satu minuman penambah energi yang sangat terkenal di negeri ini.Di sudut lainnya berserakan kardus-kardus bertuliskan nama sebuah merek obat batuk. Lalu beberapa botol tanpa nama berserakan di depannya. Terdengar suara orang-orang yang tertawa-tawa dibalik barisan tong. Suara denting botol dan omongan-omongan yang meracau menunjukkan sedang ada pesta hilangnya kesadaran disana.Srek!Srek!Tiga buah tong tergeser, empat laki-laki muncul dari balik barisan tong. Si wanita menatap ketakutan. Para laki-laki itu berjalan melewatinya. Mereka ke sudut ruangan mengambil tumpukan kaleng Aseton dan kardus-kardus minuman energi, bolak balik memindahkan barang-barang tersebut ke ruang yang lebih luas dibalik jejeran tong tanpa memerdulikan keberadaan si wanita.Pandangan wanita itu kini bisa melihat lebih jelas ke depan. Ia menyaksikan para lelaki itu mencampurkan berbagai cairan, termasuk Aseton, obat-obatan dan minuman energi. Tak ada takaran, mereka mencampurkan sesuka hati lalu mengemasnya pada botol-botol air mineral.Tiba-tiba seorang laki-laki menatap wanita itu, ia meraih botol yang telah dikemas lalu mendekati si wanita yang gemetar ketakutan."Kamu haus?""Ya ... beri saya air minum." Suara yang serak menegaskan keinginannya akan seteguk air."Minumlah ini." Si lelaki menyodorkan botol yang dibawanya."Ti .. tidak ... tidak. Beri saya air mineral saja.""Hahaha ... tidak ada air seperti itu disini. Hanya ada air laut yang sangat asin diluar sana atau minuman oplosan yang menyegarkan ini.""Tidak! Tidak! Jangan!" Tangan lelaki itu dengan paksa membuka mulut si wanita, mendongakan kepalanya dengan kasar lalu menggelontorkan minuman yang dibawanya ke mulutnya. Sia-sia saja pemberontakan wanita itu, tenggorokannya langsung terasa panas, ia tersedak dan terbatuk. Lelaki kejam itu terus memaksanya minum hingga pandangannya berputar dan hilang kesadaran.***Seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun berlari dalam kegelapan menuju rumahnya di pesisir pantai. Hanya mengenakan celana pendek yang basah dan bertelanjang dada, kakinya yang tanpa sandal dipenuhi pasir. Setibanya di depan sebuah rumah semi permanen ia mendorong pintu yang tak terkunci. Ia berjalan perlahan mencari lampu minyak dan korek api lalu menyalakannya. Tak ada ayah atau ibunya, semua anak di daerah itu terbiasa ditinggalkan orangtuanya pada malam hari. Sang ayah mengarungi lautan untuk mendapatkan sisa ikan tangkapan kapal yang besar. Dan sang ibu memilah-milah ikan hasil tangkapan untuk dijual di pelelangan.Anak itu mengambil sebuah buku dan pensil, dalam keremangan cahaya ia menggambar dengan cepat. Hanya gambar sederhana tanpa warna. Puas dengan hasilnya, anak itu merobek dua lembar kertas. Ia menggulung kertas itu lalu membawanya kembali berlari keluar.***Deretan karangan bunga duka cita memenuhi jalan menuju rumah Surya Arga Kusuma. Seorang pengusaha sukses yang memiliki beberapa perusahaan besar. Ratusan pelayat silih berganti menyampaikan ucapan belasungkawa. Duka tak terelakkan. Istri dan salah satu dari ketiga anaknya ditemukan mengambang di tengah lautan. Ia berjuang berdiri dan menyalami para tamu. Dua anaknya yang lain tak kuasa menahan kesedihan dan memilih mengurung diri di kamar.Perlahan ia menghampiri satu keluarga yang duduk di jejeran kursi pelayat paling belakang. Mereka adalah sepasang suami istri dan satu anaknya."Terima kasih, Nak. Berkat kamu saya bisa menemukan anak dan istri saya."Sang anak menatap ayahnya, lalu sang ayah menggerakkan kedua tangannya beberapa kali. Menyampaikan bahasa isyarat dan lalu anak itu tersenyum mengangguk pada Surya. Ia lalu membalas menggerakkan kedua tangannya."Sama-sama, semoga istri dan anak bapak diterima di sisi Tuhan." Si ayah menerjemahkan.Mata Surya berkaca-kaca, ia menarik anak itu ke pelukannya. Wendi--nama anak itu--adalah seorang anak nelayan yang malam itu menjadi saksi tragedi yang terjadi pada istri dan anak Surya.Wendi sedang duduk di atas perahu tetangganya yang tertambat agak jauh dari perahu-perahu lainnya, menunggu ayahnya yang sedang melaut. Asyik bermain dengan teropong mainannya saat kemudian ia melihat sesosok tubuh dilemparkan dari sebuah kapal penangkap ikan yang melewatinya.Setelah kapal itu lewat ia mencoba terjun dan berenang mencari tubuh yang dilemparkan. Namun kegelapan malam dan besarnya ombak membuat usahanya sia-sia. Ia lalu kembali ke pantai dan memberitahu orang-orang yang ada di pantai tentang apa yang dilihatnya. Sayang tak ada yang mengerti bahasa isyarat anak yang tuna wicara itu. Ia lalu berlari ke rumahnya, menggambar apa yang dilihatnya lalu berlari ke kantor polisi.Gambar sebuah kapal penangkap ikan dan gambar anak yang dilemparkan ke laut menjadi petunjuk penting bagi polisi untuk mengungkap kasus penculikan dan penyanderaan itu. Wendi menggambar hanya berdasarkan daya ingatnya namun gambar itulah yang membantu menemukan jenazah istri dan anak Surya. Serta menyelamatkan satu anak lainnya yang disandera.Surya mengundang keluarga Wendi ke kediamannya, menyampaikan rasa terima kasihnya dan menyampaikan niatnya untuk merenovasi rumah mereka dan berniat membeli perahu baru untuk ayah Wendi.***Hampir sejam melewati jalan tol, perjalanan dilanjutkan lagi menggunakan angkutan kota juga selama satu jam. Anggi menyiapkan selembar uang lima ribuan dan selembar dua ribuan. Sejak ia naik angkot dari depan sebuah Rumah Sakit tadi hanya ada dua penumpang yang menaiki angkot ini. Ia dan seorang perempuan berseragam hijau yang turun di depan sebuah pabrik."Sepi ya, Neng." Sopir angkot seolah dapat membaca pikirannya."Iya, Mang. Apa tiap hari seperti ini?""Betul, Neng. Semenjak ada mobil dan motor yang bisa dipesan lewat aplikasi itu angkot jadi ga laku. Anak-anak sekolah aja seneng naik mobil dari aplikasi itu, mereka bisa patungan. Dan enak pake AC katanya." Mang sopir tertawa miris."Rezeki Mang pasti ada. Semoga banyak penumpang ya Mang.""Amin, Neng. Rezeki kan sudah diatur Allah ya, Neng."Angkot ngetem di sebuah pabrik lainnya, sebentar lagi jam pulang para pegawai pabrik. Anggi tak protes, toh iya juga tak terburu-buru. Ia ikut senang saat beberapa pekerja pabrik menaiki angk
"Roti hangat rotiiii ... Roti hangat rotiiii ... baru mateng dua ribuan. Huyyyyy!" Teriakan khas Mang Dana lewat pengeras suaranya membuat Anggi menghentikan sejenak kegiatannya menyiram bunga sore ini. "Mang!" Anggi melambaikan tangan, Mang Dana melihatnya dan menganggukkan kepala. Anggi bergegas memakai sandalnya namun motor si penjual roti terus melaju melewatinya dan berhenti di seberang rumahnya. Terpaksa Anggi harus menyeberang. "Mang, kenapa disini berhentinya." "Panas, Neng, biar teduh hehe ...." "Si Mang, mah. Sinar matahari pagi bagus, lho, Mang." Anggi bersemangat memilih roti-roti hangat berbagai rasa yang murah meriah harganya. Roti-roti mungil berwarna coklat mengkilap dikemas cantik tak kalah dengan roti berharga mahal. Salah satu kenikmatan hidup di desa. Dengan harga dua puluh ribu saja bisa dapat sepuluh roti. Tiba-tiba pintu gerbang di depan tempat mereka bertransaksi terbuka, seorang pemuda keluar dan langsung tersenyum pada Anggi dan Mang Dana. Sekilas Anggi
Anggi asyik menyiangi rumput di halaman rumahnya saat ia melihat pintu gerbang rumah Angga terbuka. Saat yang ia tunggu-tunggu. Sebuah mobil perlahan keluar, seorang asisten rumah tangga segera menutup pintu gerbangnya kembali. Anggi menghentikan kegiatannya, tersenyum manis dan melambaikan tangan saat mobil itu melewatinya. Namun tak seperti biasanya, mobil itu tak berhenti. Juga tak ada lambaian balasan. Angga hanya menatapnya dingin dan tak ada sedikitpun senyum tersungging. Jangankan sapaan, klakson pun tak dibunyikan seperti biasanya. Rasa heran langsung menyelimuti Anggi, mungkinkah dia sedang ada masalah? Ia berpikir keras dan tak menemukan jawaban, merasa tak pernah ada kesalahan yang dilakukannya pada pemuda itu. Terakhir bertemu mereka baik-baik saja bercanda seperti biasanya. Seminggu berlalu, sikap Angga tetap dingin tanpa senyum sapa bila berpapasan dengannya. Anggi yang biasa bersemangat menyiram bunga-bunga di halamannya sembari menunggu pemuda itu lewat kini merasa k
Di satu tempat di kota. Menjelang pukul sebelas malam, tampak kesibukan di sebuah ruangan kecil berukuran 3x3 meter. Hanya ada sebuah kasur lusuh tanpa dipan, tanpa bantal ataupun guling. Dua buah lemari tanpa pintu dan satu meja rias dijejali banyak barang milik bersama. Lampu penerangan hanya seadanya, melengkapi suasana kamar yang buram dengan dinding kamar yang berlumut mengaburkan warna cat aslinya. Dua buah jendela kecil terletak sangat tinggi hampir menyentuh langit-langit. Seolah-olah sengaja hanya diperuntukkan untuk jalan udara, tak memberi kesempatan si penghuni kamar untuk melihat keluar. Ruangan yang lebih pantas disebut penjara daripada kamar. Tiga orang gadis muda berdandan terburu-buru berebutan di satu cermin. Bedak, pewarna bibir juga maskara mereka pakai bersama tanpa ragu. Pakaian yang mereka kenakan sangat seksi. Baju atasan yang hanya mencapai bagian atas perut dan rok mini yang ketat mengikuti lekuk tubuh. Mereka adalah Winona, Nina dan Tiara. Usia mereka bel
Suara musik menghentak memekakkan telinga di sebuah ruangan yang hanya berdinding bata merah. Ruangan itu luas namun terasa lembab dan menyesakkan dada. Hanya ada sebuah jendela memanjang berteralis besi, itupun tertutupi handuk-handuk kecil kumal yang bergantungan. Di tengah ruangan terdapat beberapa tiang besi mirip tiang bendera yang terpasang kuat di lantai. Tinggi tiang itu hampir menyentuh langit-langit. Di salah satu sudut disusun bertumpuk empat buah meja, dan di sebelahnya tiga buah lemari besar diletakkan berdempetan. Pintu masuk dijaga seorang pria bertubuh tambun dengan bekas luka memanjang dari hidung hingga pipinya, tiga pria lainnya berpenampilan tak kalah seram berdiri menyender di tiap sisi dinding. Masing-masing memegang sebuah tongkat kayu mirip tongkat kasti. Seorang wanita berpakaian senam ketat berwarna merah mengkilat meliuk-liukkan tub
Winona baru sebentar saja memejamkan mata saat pintu kamar asramanya diketuk keras. Rasanya seperti berada di atas kapal saat ia beranjak membuka pintu. Tiara masuk dengan sempoyongan. Aroma minuman keras dari mulutnya menyengat penciuman Winona."Aku ngantuk sekali," melewati Winona yang masih bengong, Tiara langsung mengempaskan tubuhnya ke kasur dan langsung terlelap."Ganti bajumu Ti, bau rokok," hanya dijawab dengan dengkuran.Bergantian dengan Nina yang mulai membuka mata, "Dia baru pulang?" masih dengan suara seraknya, Nina mengelus kepala Tiara."Ya. Mengapa ia harus selalu mengambil kerja lembur … aku takut dia kelelahan dan sakit.""Ia memikirkan keluarganya."Nin
Kepada Abah dan Emak Semoga semuanya di rumah sehat-sehat saja. Wida disini juga sehat, jangan khawatir ya. Tempat kerja Wida bagus. Teman-temannya baik semua. Bos Wida baik sekali. Wida juga makan enak disini. Wida betah. Jadi Abah sama Emak tenang-tenang saja ya. Ini Wida kirim uang delapan juta. Untuk beli beras, beli ikan dan ayam. Beli apa saja yang Abah dan Emak mau. Emak masak yang enak ya. Emak, Abah sa
Tengah malam itu beberapa siluet laki-laki dan perempuan berkelebatan di tengah kebun pisang di sudut desa Cirangka. Tepat di tengah kebun terdapat akses jalan tak beraspal dan penuh bebatuan untuk tempat hilir mudik truk-truk pengangkut hasil panen.Dua buah mobil SUV terparkir di jalanan itu. Enam orang gadis muda berbaris, tas jinjing yang cukup besar diletakkan di hadapan masing-masing. Tiga orang pria berdiri di hadapan mereka memberikan instruksi panjang."Kalian sudah yakin kan mau berangkat?" seorang pria yang tampaknya pemimpin mereka berdiri berkacak pinggang di hadapan mereka."Yakin," para gadis menjawab serempak."Ini kesempatan bagus buat kalian menolong keluarga. Tidak semua orang punya kesempatan bekerja di kota," ia menghisap rokoknya dalam-dalam, "Nanti