Tengah malam itu beberapa siluet laki-laki dan perempuan berkelebatan di tengah kebun pisang di sudut desa Cirangka. Tepat di tengah kebun terdapat akses jalan tak beraspal dan penuh bebatuan untuk tempat hilir mudik truk-truk pengangkut hasil panen.
Dua buah mobil SUV terparkir di jalanan itu. Enam orang gadis muda berbaris, tas jinjing yang cukup besar diletakkan di hadapan masing-masing. Tiga orang pria berdiri di hadapan mereka memberikan instruksi panjang.
"Kalian sudah yakin kan mau berangkat?" seorang pria yang tampaknya pemimpin mereka berdiri berkacak pinggang di hadapan mereka.
"Yakin," para gadis menjawab serempak.
"Ini kesempatan bagus buat kalian menolong keluarga. Tidak semua orang punya kesempatan bekerja di kota," ia menghisap rokoknya dalam-dalam, "Nanti
Plakk! Plak!Empat orang pria terhuyung lalu kembali berusaha berdiri tegak. Salah seorang dari mereka tergopoh-gopoh membetulkan letak sebuah meja yang terdorong tubuhnya. Semua merasakan rasa panas di pipi kiri mereka. Layangan tangan dari seorang pria yang mereka panggil Bos besar baru saja mendarat dengan keras di wajah mereka."Bodoh! Kenapa kalian bisa kecolongan kehilangan anak itu!""Maaf, Bos. Dia lari lewat dapur, Bos.""Aku tak mau tahu. Lubang tikus pun harus kalian awasi!"Keempat laki-laki itu tertunduk."Kalau sampai warga tahu masalah ini, kalian harus tanggung akibatnya!""S
Air beras yang sedang ditanak Emak mulai menyerap, tangan yang sudah mulai renta itu terus mengaduk isi panci yang mulai berat. Di dalam wadah lain irisan daging ayam, wortel serta kentang yang telah selesai dibumbui dan ditumis masih menyebarkan wangi yang memenuhi dapur."Masak apa, Mak?" terdengar teriakan dari dapur tetangga. Rumah mereka yang berdempetan nyaris tanpa jarak dan hanya berdinding triplek dan anyaman bambu yang bolong-bolong membuat semua yang sedang memasak bisa berbagi aroma. Termasuk aroma hangus dan asapnya."Bikin lontong, Bu. Bekel buat di jalan. Eli mau nyusul Sari kerja di kota!" Emak membalas teriakan sambil terus mengatur letak kayu bakar."Senengnya, semoga sukses ya. Saya lagi masak pepes ikan, Mak. Nanti saya kirim ya.""Iya, Alhamdul
"Aww!" terasa dingin dan basah di wajah Eli. Ia memicingkan mata, seseorang memercikkan air di wajahnya, juga pada gadis di sebelahnya. "Bangun!" "Woy! Bangun!" Para pria penjaga membangunkan gadis-gadis yang tertidur dengan kasar. Ada yang terkena tendangan, dijambak rambutnya dan ada pula yang disiram air dingin. "Kamu beruntung hanya terkena percikan air, anak baru ya?" gadis di sebelah Eli berbisik, "Namaku Sinta, kamu siapa?" "Namaku Eli, tempat apa ini?" Eli ikut berbisik. "Neraka ...." Kedua mata Eli yang agak sipit dan membentuk sudut ke bawah laksana mata kucing itu melihat keluar jendela. Matahari belum menampakkan sedikitpun cahayanya. Tidak terdengar juga s
"Sini kamu bertiga! Maju ke tengah. Yang lain duduk melingkar dan perhatikan. Saya cuma mau menjelaskan satu kali!" Seorang penjaga bertato berjalan mendekati Eli yang duduk bersama Sinta dan seorang gadis bernama Rini. Penjaga itu kembali memandang sekeliling ruangan, lalu dia pun menunjuk tiga gadis lain untuk maju ke tengah. Para gadis itu berdiri dan menuruti perintah si penjaga. "Kamu berperan sebagai korban tabrak lari," penjaga itu menunjuk Eli, "Kalian balut lutut teman kalian dengan perban, lalu siramkan cairan obat merah. Ayo sekarang!" "Un-untuk apa, Pak?" Rini takut-takut bertanya. "Saya kan sudah bilang kalian belajar seni peran disini, sekarang ceritanya tentang korban tabrak lari. Ayo cepat lakukan, lambat
Anggi berpandangan dengan ibunya. Suara TV yang sedang mereka tonton tak lagi terdengar jelas. Keriuhan diluar rumah mengalihkan perhatian mereka. Sejenak mereka diam memastikan pendengaran mereka. Jelas terdengar teriakan dan juga tangisan. Dari teras rumahnya terlihat orang-orang berkumpul di warung tetangganya. Keramaian itu pun memancing perhatian kendaraan-kendaraan yang lewat hingga mengurangi kecepatan mereka.Sambil berpegangan tangan Anggi dan ibunya berjalan menghampiri mereka."Ada apa ini?" "Nak Anggi, apa Dewi ada menghubungi kamu Nak?" Mbok Sari—ibunya Dewi, teman kecil Anggi—langsung menggenggam erat tangan Anggi sambil menangis, "Dewi hilang!""Tenang, Mbok. Mungkin Dewi hanya pergi sebentar.""Sudah dua hari tak ada kabar, Nak." "Tenang ya Mbok, kita cari informasi.""Tolong telepon teman-teman yang kalian kenal ya Nak, tolong!"Anggi menahan nyeri di pergelangan tangannya, Mbok Sari memegang tangannya dan mengguncangnya keras, "Iya Mbok, tenang ya ."Tangis wanita
"Diam kamu!" Lelaki kurus berkulit hitam namun tampak sangar dengan tubuh penuh tato itu tanpa belas kasihan terus menendang bocah yang tak berdaya. Tangisan dan teriakan sang bocah sama sekali tak menimbulkan rasa kasihan pada diri si lelaki. Rasa takut dan sakit bercampur dirasakan bocah itu. Kaki dan tangannya terikat tali tambang dengan kuat. Ia tergolek lemah di lantai kayu yang basah dan berbau amis. Tiba-tiba badan si lelaki terhuyung, seorang bocah kecil lainnya menendang-nendang dari belakang. "Jangan sentuh adikku !" Tentu saja tak ada pengaruh berarti. Lelaki itu berbalik dengan marah lalu dengan beringas mengangkat badan si bocah kedua. Entah bagaimana caranya tali yang mengikat kaki si bocah kedua telah terlepas. Namun itu tak memberikan keuntungan apapun. Tubuh si bocah dengan entengnya diangkat oleh si lelaki bengis lalu dilempar ke lautan. Sekejap saja badan si bocah menghilang ditelan ombak. "Abaang ... Abang!" Si bocah pertama terus berteriak histeris hingga suaran
Hampir sejam melewati jalan tol, perjalanan dilanjutkan lagi menggunakan angkutan kota juga selama satu jam. Anggi menyiapkan selembar uang lima ribuan dan selembar dua ribuan. Sejak ia naik angkot dari depan sebuah Rumah Sakit tadi hanya ada dua penumpang yang menaiki angkot ini. Ia dan seorang perempuan berseragam hijau yang turun di depan sebuah pabrik."Sepi ya, Neng." Sopir angkot seolah dapat membaca pikirannya."Iya, Mang. Apa tiap hari seperti ini?""Betul, Neng. Semenjak ada mobil dan motor yang bisa dipesan lewat aplikasi itu angkot jadi ga laku. Anak-anak sekolah aja seneng naik mobil dari aplikasi itu, mereka bisa patungan. Dan enak pake AC katanya." Mang sopir tertawa miris."Rezeki Mang pasti ada. Semoga banyak penumpang ya Mang.""Amin, Neng. Rezeki kan sudah diatur Allah ya, Neng."Angkot ngetem di sebuah pabrik lainnya, sebentar lagi jam pulang para pegawai pabrik. Anggi tak protes, toh iya juga tak terburu-buru. Ia ikut senang saat beberapa pekerja pabrik menaiki angk
"Roti hangat rotiiii ... Roti hangat rotiiii ... baru mateng dua ribuan. Huyyyyy!" Teriakan khas Mang Dana lewat pengeras suaranya membuat Anggi menghentikan sejenak kegiatannya menyiram bunga sore ini. "Mang!" Anggi melambaikan tangan, Mang Dana melihatnya dan menganggukkan kepala. Anggi bergegas memakai sandalnya namun motor si penjual roti terus melaju melewatinya dan berhenti di seberang rumahnya. Terpaksa Anggi harus menyeberang. "Mang, kenapa disini berhentinya." "Panas, Neng, biar teduh hehe ...." "Si Mang, mah. Sinar matahari pagi bagus, lho, Mang." Anggi bersemangat memilih roti-roti hangat berbagai rasa yang murah meriah harganya. Roti-roti mungil berwarna coklat mengkilap dikemas cantik tak kalah dengan roti berharga mahal. Salah satu kenikmatan hidup di desa. Dengan harga dua puluh ribu saja bisa dapat sepuluh roti. Tiba-tiba pintu gerbang di depan tempat mereka bertransaksi terbuka, seorang pemuda keluar dan langsung tersenyum pada Anggi dan Mang Dana. Sekilas Anggi