"Diam kamu!" Lelaki kurus berkulit hitam namun tampak sangar dengan tubuh penuh tato itu tanpa belas kasihan terus menendang bocah yang tak berdaya. Tangisan dan teriakan sang bocah sama sekali tak menimbulkan rasa kasihan pada diri si lelaki. Rasa takut dan sakit bercampur dirasakan bocah itu. Kaki dan tangannya terikat tali tambang dengan kuat. Ia tergolek lemah di lantai kayu yang basah dan berbau amis. Tiba-tiba badan si lelaki terhuyung, seorang bocah kecil lainnya menendang-nendang dari belakang. "Jangan sentuh adikku !" Tentu saja tak ada pengaruh berarti. Lelaki itu berbalik dengan marah lalu dengan beringas mengangkat badan si bocah kedua. Entah bagaimana caranya tali yang mengikat kaki si bocah kedua telah terlepas. Namun itu tak memberikan keuntungan apapun. Tubuh si bocah dengan entengnya diangkat oleh si lelaki bengis lalu dilempar ke lautan. Sekejap saja badan si bocah menghilang ditelan ombak. "Abaang ... Abang!" Si bocah pertama terus berteriak histeris hingga suaran
Hampir sejam melewati jalan tol, perjalanan dilanjutkan lagi menggunakan angkutan kota juga selama satu jam. Anggi menyiapkan selembar uang lima ribuan dan selembar dua ribuan. Sejak ia naik angkot dari depan sebuah Rumah Sakit tadi hanya ada dua penumpang yang menaiki angkot ini. Ia dan seorang perempuan berseragam hijau yang turun di depan sebuah pabrik."Sepi ya, Neng." Sopir angkot seolah dapat membaca pikirannya."Iya, Mang. Apa tiap hari seperti ini?""Betul, Neng. Semenjak ada mobil dan motor yang bisa dipesan lewat aplikasi itu angkot jadi ga laku. Anak-anak sekolah aja seneng naik mobil dari aplikasi itu, mereka bisa patungan. Dan enak pake AC katanya." Mang sopir tertawa miris."Rezeki Mang pasti ada. Semoga banyak penumpang ya Mang.""Amin, Neng. Rezeki kan sudah diatur Allah ya, Neng."Angkot ngetem di sebuah pabrik lainnya, sebentar lagi jam pulang para pegawai pabrik. Anggi tak protes, toh iya juga tak terburu-buru. Ia ikut senang saat beberapa pekerja pabrik menaiki angk
"Roti hangat rotiiii ... Roti hangat rotiiii ... baru mateng dua ribuan. Huyyyyy!" Teriakan khas Mang Dana lewat pengeras suaranya membuat Anggi menghentikan sejenak kegiatannya menyiram bunga sore ini. "Mang!" Anggi melambaikan tangan, Mang Dana melihatnya dan menganggukkan kepala. Anggi bergegas memakai sandalnya namun motor si penjual roti terus melaju melewatinya dan berhenti di seberang rumahnya. Terpaksa Anggi harus menyeberang. "Mang, kenapa disini berhentinya." "Panas, Neng, biar teduh hehe ...." "Si Mang, mah. Sinar matahari pagi bagus, lho, Mang." Anggi bersemangat memilih roti-roti hangat berbagai rasa yang murah meriah harganya. Roti-roti mungil berwarna coklat mengkilap dikemas cantik tak kalah dengan roti berharga mahal. Salah satu kenikmatan hidup di desa. Dengan harga dua puluh ribu saja bisa dapat sepuluh roti. Tiba-tiba pintu gerbang di depan tempat mereka bertransaksi terbuka, seorang pemuda keluar dan langsung tersenyum pada Anggi dan Mang Dana. Sekilas Anggi
Anggi asyik menyiangi rumput di halaman rumahnya saat ia melihat pintu gerbang rumah Angga terbuka. Saat yang ia tunggu-tunggu. Sebuah mobil perlahan keluar, seorang asisten rumah tangga segera menutup pintu gerbangnya kembali. Anggi menghentikan kegiatannya, tersenyum manis dan melambaikan tangan saat mobil itu melewatinya. Namun tak seperti biasanya, mobil itu tak berhenti. Juga tak ada lambaian balasan. Angga hanya menatapnya dingin dan tak ada sedikitpun senyum tersungging. Jangankan sapaan, klakson pun tak dibunyikan seperti biasanya. Rasa heran langsung menyelimuti Anggi, mungkinkah dia sedang ada masalah? Ia berpikir keras dan tak menemukan jawaban, merasa tak pernah ada kesalahan yang dilakukannya pada pemuda itu. Terakhir bertemu mereka baik-baik saja bercanda seperti biasanya. Seminggu berlalu, sikap Angga tetap dingin tanpa senyum sapa bila berpapasan dengannya. Anggi yang biasa bersemangat menyiram bunga-bunga di halamannya sembari menunggu pemuda itu lewat kini merasa k
Di satu tempat di kota. Menjelang pukul sebelas malam, tampak kesibukan di sebuah ruangan kecil berukuran 3x3 meter. Hanya ada sebuah kasur lusuh tanpa dipan, tanpa bantal ataupun guling. Dua buah lemari tanpa pintu dan satu meja rias dijejali banyak barang milik bersama. Lampu penerangan hanya seadanya, melengkapi suasana kamar yang buram dengan dinding kamar yang berlumut mengaburkan warna cat aslinya. Dua buah jendela kecil terletak sangat tinggi hampir menyentuh langit-langit. Seolah-olah sengaja hanya diperuntukkan untuk jalan udara, tak memberi kesempatan si penghuni kamar untuk melihat keluar. Ruangan yang lebih pantas disebut penjara daripada kamar. Tiga orang gadis muda berdandan terburu-buru berebutan di satu cermin. Bedak, pewarna bibir juga maskara mereka pakai bersama tanpa ragu. Pakaian yang mereka kenakan sangat seksi. Baju atasan yang hanya mencapai bagian atas perut dan rok mini yang ketat mengikuti lekuk tubuh. Mereka adalah Winona, Nina dan Tiara. Usia mereka bel
Suara musik menghentak memekakkan telinga di sebuah ruangan yang hanya berdinding bata merah. Ruangan itu luas namun terasa lembab dan menyesakkan dada. Hanya ada sebuah jendela memanjang berteralis besi, itupun tertutupi handuk-handuk kecil kumal yang bergantungan. Di tengah ruangan terdapat beberapa tiang besi mirip tiang bendera yang terpasang kuat di lantai. Tinggi tiang itu hampir menyentuh langit-langit. Di salah satu sudut disusun bertumpuk empat buah meja, dan di sebelahnya tiga buah lemari besar diletakkan berdempetan. Pintu masuk dijaga seorang pria bertubuh tambun dengan bekas luka memanjang dari hidung hingga pipinya, tiga pria lainnya berpenampilan tak kalah seram berdiri menyender di tiap sisi dinding. Masing-masing memegang sebuah tongkat kayu mirip tongkat kasti. Seorang wanita berpakaian senam ketat berwarna merah mengkilat meliuk-liukkan tub
Winona baru sebentar saja memejamkan mata saat pintu kamar asramanya diketuk keras. Rasanya seperti berada di atas kapal saat ia beranjak membuka pintu. Tiara masuk dengan sempoyongan. Aroma minuman keras dari mulutnya menyengat penciuman Winona."Aku ngantuk sekali," melewati Winona yang masih bengong, Tiara langsung mengempaskan tubuhnya ke kasur dan langsung terlelap."Ganti bajumu Ti, bau rokok," hanya dijawab dengan dengkuran.Bergantian dengan Nina yang mulai membuka mata, "Dia baru pulang?" masih dengan suara seraknya, Nina mengelus kepala Tiara."Ya. Mengapa ia harus selalu mengambil kerja lembur … aku takut dia kelelahan dan sakit.""Ia memikirkan keluarganya."Nin
Kepada Abah dan Emak Semoga semuanya di rumah sehat-sehat saja. Wida disini juga sehat, jangan khawatir ya. Tempat kerja Wida bagus. Teman-temannya baik semua. Bos Wida baik sekali. Wida juga makan enak disini. Wida betah. Jadi Abah sama Emak tenang-tenang saja ya. Ini Wida kirim uang delapan juta. Untuk beli beras, beli ikan dan ayam. Beli apa saja yang Abah dan Emak mau. Emak masak yang enak ya. Emak, Abah sa