Anggi asyik menyiangi rumput di halaman rumahnya saat ia melihat pintu gerbang rumah Angga terbuka. Saat yang ia tunggu-tunggu. Sebuah mobil perlahan keluar, seorang asisten rumah tangga segera menutup pintu gerbangnya kembali.
Anggi menghentikan kegiatannya, tersenyum manis dan melambaikan tangan saat mobil itu melewatinya. Namun tak seperti biasanya, mobil itu tak berhenti. Juga tak ada lambaian balasan. Angga hanya menatapnya dingin dan tak ada sedikitpun senyum tersungging. Jangankan sapaan, klakson pun tak dibunyikan seperti biasanya.Rasa heran langsung menyelimuti Anggi, mungkinkah dia sedang ada masalah? Ia berpikir keras dan tak menemukan jawaban, merasa tak pernah ada kesalahan yang dilakukannya pada pemuda itu. Terakhir bertemu mereka baik-baik saja bercanda seperti biasanya.Seminggu berlalu, sikap Angga tetap dingin tanpa senyum sapa bila berpapasan dengannya. Anggi yang biasa bersemangat menyiram bunga-bunga di halamannya sembari menunggu pemuda itu lewat kini merasa kehilangan. Ia bagai bertemu orang asing.Kenapa dia berubah?Ibu pun tampaknya menyadari perubahan sikap Anggi, dan juga tahu sudah beberapa hari ia tak melihat anaknya mengobrol dengan tetangga depannya itu. Namun ibu tak bertanya dan lebih memilih meminta anaknya itu untuk membantunya memasak. Membuatnya sibuk agar tak terlalu larut dalam pikirannya.Sebuah motor berhenti tepat di pintu pagar rumah Anggi. Ibu sudah memberi tahu akan ada tetangga lain yang akan mengambil pesanan makanan hari ini."Hei Anggi ... lagi ada disini rupanya.""Iya Pak, saya ambilkan pesanannya ya.""Kamu akan kembali ke kota?""Tidak Pak. Saya mau bantu ibu saja disini.""Anak saya sudah bekerja di kota sekarang.""Syukurlah. Kerja apa pak?""Menjadi dekolekto ... dekolekor ... apalah itu namanya ya. Pokoknya dia menagih pada orang-orang yang gak bayar-bayar cicilan motor.""Debt Collector.""Nah itu. Tugasnya berat, kalau orang yang ditagih ga bayar terus, dia harus cari motornya sampai dapat. Terus dikasih ke kantornya. Mencari motor di kota besar kan repot ya. Dia harus melihat plat nomor tiap motor, mencari yang cocok dengan yang ada di catatannya.""Iya, Pak.""Katanya anak saya terpilih mendapat pekerjaan itu karena ia pemberani. Siapa dulu dong bapaknya, ka? Kamu sendiri ga niat bekerja, Gi?""Saya sudah kerja sama ibu saya, Pak." Anggi tersenyum simpul. "Pesanan katering ibu lumayan banyak.""Ya, kalau kamu berminat kerja, katanya Pak Burhan juga bisa membantu menyalurkan kerja di kota. Sudah banyak warga disini yang kerja ke kota melalui dia.""Huh! Nama itu lagi," batin Anggi. Kalaupun ia ingin bekerja, ia tak mau minta bantuan orang itu."Terima kasih infonya, Pak. Semoga suka kuenya, ya."Senyum Anggi ... senyum ... pelanggan adalah raja, batinnya, ia paksakan senyumnya walaupun ia merasa kesal kala mendengar nama Pak Burhan.Sejak kecil ia sudah mengenal Pak Burhan, dan sejak itu pula Anggi tak menyukainya. Sikapnya sangat berbeda dengan bapak-bapak lainnya di desa ini. Dia selalu pamer kekayaan. Apalagi setelah dia menikah berkali-kali dan berlagak bagaikan raja di desa ini.***Cita-cita Anggi untuk duduk bersantai di teras rumahnya untuk membaca novel --sambil curi-curi pandang ke rumah Angga-- pupus sudah. Sore ini suara musik yang sangat keras tiba-tiba saja memekakkan telinga. Ia tak dapat berkonsentrasi membaca.Anggi berjalan keluar mencari sumber suara. Ia hampir tak percaya melihat puluhan ibu-ibu tetangga dan juga teman-teman kecilnya tengah melakukan senam bersama di lapangan. Para bapak dan anak-anak duduk di pinggir menonton, ada pula yang dengan cueknya ikut bergoyang mengikuti irama. Para penjaja makanan pun tak melewatkan kesempatan ini. Gerobak-gerobak berjajar di pinggir lapangan, suasana meriah bagaikan ada lomba 17 Agustusan."Ikutan Anggi!" Siska berteriak-teriak menyaingi suara musik."Hayu Anggi. Hayu !" para ibu yang melihatnya ramai melambaikan tangan mengajaknya. Anggi hanya menggelengkan kepala. Siska berhenti senam dan menghampirinya."Sejak kapan suka pada senam disini, Sis?""Sudah hampir empat bulan. Yang ngelatih teman kita si Ami. Murah, tiap orang cuma bayar tiga ribu saja setiap senam.""Ami bisa ngelatih? Dia ikut kursus senam?""Nggak. Katanya waktu kerja jadi pembantu di kota, dia suka nonton majikannya dan ibu-ibu tetangga yang senam di dekat rumahnya. Dia hafalin gerakannya, dia ajarin ibu-ibu disini."Anggi menggeleng-gelengkan kepalanya. Pintar juga Ami cari uang."Desa kita mulai rame sekarang, Gi. Kamu belum tau ya. Di belakang rumah pak Burhan sekarang ada aula besar. Anak-anak perempuan berlatih menari disana. Seumuran kita juga bisa. Pak Burhan manggil pelatih nari khusus dari kota. Gratis."Lagi-lagi Pak Burhan, Anggi mempunyai firasat tak enak. "Ide siapa ngadain les menari?""Ide Pak Burhan sendiri. Biar anak muda disini ada kegiatan positif katanya. Beberapa teman kita kan sudah jadi guru tari di kota Gi.""Ah, masa?""Iya, beneran. Wida, Ningsih, Isti. Semua sudah pergi ke kota setelah jago menari. Mereka ngajar di sanggar seni.""Pantas aku belum bertemu mereka. Kata siapa mereka jadi guru tari? Kamu pernah kontak dengan mereka setelah mereka ke kota?""Pak Burhan yang bilang. Aku sih ga sempat ketemu pas mereka bertiga ke kota. Belum pernah kontak lagi juga. Tapi kata keluarganya mereka kirim uang tiap bulan. Rumah Isti sekarang udah bagus Gi. Sudah permanen bukan dari bilik bambu lagi.""Oh gitu." Anggi menyimak walau ada rasa tak percaya di hatinya."Pak Burhan juga katanya bisa menyalurkan yang pintar menari bisa tampil di TV.""Apa?""Kenapa kaget gitu Gi. Itu lho acara mencari bakat di TV. Pak Burhan punya kenalan pegawai TV katanya. Anak desa sini asal rajin berlatih di sanggarnya pasti menang. Beliau baik ya mau mengajari anak-anak disini dengan gratis. Desa ini beruntung punya orang yang kenal banyak orang penting, orang TV juga …."Siska terus cerewet bercerita, Anggi sungguh kaget mendengar penuturan sahabatnya. Sahabatnya itu terlalu lugu, Ia juga tahu acara TV yang dimaksud, tapi untuk lolos ke acara itu bukan hal mudah. Saingannya bisa mencapai ribuan. Semua harus ikut audisi yang adil, bukan karena punya kenalan orang dalam lalu bisa menang. Perasaannya mengatakan ada yang tak beres.***Di salah satu sudut lapangan. Tiga orang pria berdiri mengawasi semua orang yang sedang menonton para ibu yang sedang senam. Tak ada yang memperhatikan kehadiran mereka bertiga. Ketiga orang itu sibuk mengambil gambar dengan ponsel mereka. Sesekali mereka menunjuk para gadis yang ada di lapangan dan lalu berbisik-bisik.Di tempat lainnya, di sebuah rumah mewah bertingkat. Seseorang juga melihat ke arah lapangan dari atas balkon rumahnya. Pandangannya dingin. Ia membuka galeri ponselnya, membuka sejumlah foto dan dengan serius mengamatinya. Pandangannya lalu ia alihkan ke rumah di depannya, ia beradu pandang dengan seorang ibu. Segera ia berbalik dan masuk ke rumahnya.***Di satu tempat di kota. Menjelang pukul sebelas malam, tampak kesibukan di sebuah ruangan kecil berukuran 3x3 meter. Hanya ada sebuah kasur lusuh tanpa dipan, tanpa bantal ataupun guling. Dua buah lemari tanpa pintu dan satu meja rias dijejali banyak barang milik bersama. Lampu penerangan hanya seadanya, melengkapi suasana kamar yang buram dengan dinding kamar yang berlumut mengaburkan warna cat aslinya. Dua buah jendela kecil terletak sangat tinggi hampir menyentuh langit-langit. Seolah-olah sengaja hanya diperuntukkan untuk jalan udara, tak memberi kesempatan si penghuni kamar untuk melihat keluar. Ruangan yang lebih pantas disebut penjara daripada kamar. Tiga orang gadis muda berdandan terburu-buru berebutan di satu cermin. Bedak, pewarna bibir juga maskara mereka pakai bersama tanpa ragu. Pakaian yang mereka kenakan sangat seksi. Baju atasan yang hanya mencapai bagian atas perut dan rok mini yang ketat mengikuti lekuk tubuh. Mereka adalah Winona, Nina dan Tiara. Usia mereka bel
Suara musik menghentak memekakkan telinga di sebuah ruangan yang hanya berdinding bata merah. Ruangan itu luas namun terasa lembab dan menyesakkan dada. Hanya ada sebuah jendela memanjang berteralis besi, itupun tertutupi handuk-handuk kecil kumal yang bergantungan. Di tengah ruangan terdapat beberapa tiang besi mirip tiang bendera yang terpasang kuat di lantai. Tinggi tiang itu hampir menyentuh langit-langit. Di salah satu sudut disusun bertumpuk empat buah meja, dan di sebelahnya tiga buah lemari besar diletakkan berdempetan. Pintu masuk dijaga seorang pria bertubuh tambun dengan bekas luka memanjang dari hidung hingga pipinya, tiga pria lainnya berpenampilan tak kalah seram berdiri menyender di tiap sisi dinding. Masing-masing memegang sebuah tongkat kayu mirip tongkat kasti. Seorang wanita berpakaian senam ketat berwarna merah mengkilat meliuk-liukkan tub
Winona baru sebentar saja memejamkan mata saat pintu kamar asramanya diketuk keras. Rasanya seperti berada di atas kapal saat ia beranjak membuka pintu. Tiara masuk dengan sempoyongan. Aroma minuman keras dari mulutnya menyengat penciuman Winona."Aku ngantuk sekali," melewati Winona yang masih bengong, Tiara langsung mengempaskan tubuhnya ke kasur dan langsung terlelap."Ganti bajumu Ti, bau rokok," hanya dijawab dengan dengkuran.Bergantian dengan Nina yang mulai membuka mata, "Dia baru pulang?" masih dengan suara seraknya, Nina mengelus kepala Tiara."Ya. Mengapa ia harus selalu mengambil kerja lembur … aku takut dia kelelahan dan sakit.""Ia memikirkan keluarganya."Nin
Kepada Abah dan Emak Semoga semuanya di rumah sehat-sehat saja. Wida disini juga sehat, jangan khawatir ya. Tempat kerja Wida bagus. Teman-temannya baik semua. Bos Wida baik sekali. Wida juga makan enak disini. Wida betah. Jadi Abah sama Emak tenang-tenang saja ya. Ini Wida kirim uang delapan juta. Untuk beli beras, beli ikan dan ayam. Beli apa saja yang Abah dan Emak mau. Emak masak yang enak ya. Emak, Abah sa
Tengah malam itu beberapa siluet laki-laki dan perempuan berkelebatan di tengah kebun pisang di sudut desa Cirangka. Tepat di tengah kebun terdapat akses jalan tak beraspal dan penuh bebatuan untuk tempat hilir mudik truk-truk pengangkut hasil panen.Dua buah mobil SUV terparkir di jalanan itu. Enam orang gadis muda berbaris, tas jinjing yang cukup besar diletakkan di hadapan masing-masing. Tiga orang pria berdiri di hadapan mereka memberikan instruksi panjang."Kalian sudah yakin kan mau berangkat?" seorang pria yang tampaknya pemimpin mereka berdiri berkacak pinggang di hadapan mereka."Yakin," para gadis menjawab serempak."Ini kesempatan bagus buat kalian menolong keluarga. Tidak semua orang punya kesempatan bekerja di kota," ia menghisap rokoknya dalam-dalam, "Nanti
Plakk! Plak!Empat orang pria terhuyung lalu kembali berusaha berdiri tegak. Salah seorang dari mereka tergopoh-gopoh membetulkan letak sebuah meja yang terdorong tubuhnya. Semua merasakan rasa panas di pipi kiri mereka. Layangan tangan dari seorang pria yang mereka panggil Bos besar baru saja mendarat dengan keras di wajah mereka."Bodoh! Kenapa kalian bisa kecolongan kehilangan anak itu!""Maaf, Bos. Dia lari lewat dapur, Bos.""Aku tak mau tahu. Lubang tikus pun harus kalian awasi!"Keempat laki-laki itu tertunduk."Kalau sampai warga tahu masalah ini, kalian harus tanggung akibatnya!""S
Air beras yang sedang ditanak Emak mulai menyerap, tangan yang sudah mulai renta itu terus mengaduk isi panci yang mulai berat. Di dalam wadah lain irisan daging ayam, wortel serta kentang yang telah selesai dibumbui dan ditumis masih menyebarkan wangi yang memenuhi dapur."Masak apa, Mak?" terdengar teriakan dari dapur tetangga. Rumah mereka yang berdempetan nyaris tanpa jarak dan hanya berdinding triplek dan anyaman bambu yang bolong-bolong membuat semua yang sedang memasak bisa berbagi aroma. Termasuk aroma hangus dan asapnya."Bikin lontong, Bu. Bekel buat di jalan. Eli mau nyusul Sari kerja di kota!" Emak membalas teriakan sambil terus mengatur letak kayu bakar."Senengnya, semoga sukses ya. Saya lagi masak pepes ikan, Mak. Nanti saya kirim ya.""Iya, Alhamdul
"Aww!" terasa dingin dan basah di wajah Eli. Ia memicingkan mata, seseorang memercikkan air di wajahnya, juga pada gadis di sebelahnya. "Bangun!" "Woy! Bangun!" Para pria penjaga membangunkan gadis-gadis yang tertidur dengan kasar. Ada yang terkena tendangan, dijambak rambutnya dan ada pula yang disiram air dingin. "Kamu beruntung hanya terkena percikan air, anak baru ya?" gadis di sebelah Eli berbisik, "Namaku Sinta, kamu siapa?" "Namaku Eli, tempat apa ini?" Eli ikut berbisik. "Neraka ...." Kedua mata Eli yang agak sipit dan membentuk sudut ke bawah laksana mata kucing itu melihat keluar jendela. Matahari belum menampakkan sedikitpun cahayanya. Tidak terdengar juga s