Milova tak berhenti menangis di dalam mobil. dia sendiri tak tahu harus ke mana, yang jelas untuk saat ini ia hanya ingin menyendiri. "Dokter sendiri yang mengatakan bahwa kamu tidak lagi memiliki rahim" Milova kembali mengenang apa yang dikatakan Osa tadi. Ia tak lagi berpikir tentang betapa teganya lelaki itu mengatakan semua kebenarannya. Tapi yang terpikir oleh Milova adalah bagaimana semua kejadian itu bisa terjadi. Bahkan ia sama sekali tidak menyadarinya. Kapan dan di mana semua itu terjadi? Terpukulnya Milova tak lagi bisa digambarkan. Ia sangat hancur. Bahkan beberapa kali ia menghentikan laju mobilnya, tangisnya tak bisa ia tahan. Ia juga ikut berteriak di dalam mobil untuk melepas semua ketidak percayaannya. Bagaimana bisa semua itu dapat terjadi padanya? Ia sama sekali tak mengerti. Berkali-kali juga panggilan dari Rama tak digubrisnya, ia tak lagi peduli dengan ponsel pintarnya yang berdering. Sepertinya ia juga lupa tentang janjinya pada Rama. Sebelum berp
"Kamu siapa?" tanya Milova, menatap Rama yang tengah duduk di sebelahnya. Pertanyaan Milova membuat Rama terkejut. Ia lantas meminta Osa yang tengah duduk di sofa untuk memanggil dokter. Memang, dokter sempat mengatakan bahwa benturan di kepala Milova sangat kuat, sehingga membuat ia mengalami pendarahan yang hebat di otak. Milova juga sudah melakukan CT Scan. Benar adanya terdapat gumpalan darah yang membeku di pembuluh otak Milova. "Panggil saja sendiri!" sahut Osa. Osa tak suka disuruh-suruh seperti itu. Apalagi menurutnya, selama Rama hadir, hanya duduk menunggu Milova. Sedangkan Osa sudah melakukan banyak hal untuk wanita itu. Bahkan baju yang ia kenakan pun penuh dengan darah Milova dan ia belum membersihkannya. Dokter memeriksa dan membuka kedua kelopak mata Milova. Milova juga diminta membuka mulut untuk mengetahui cedera yang dialaminya. "Kemungkinan akibat cedera di otaknya, pasien mengalami amnesia" dokter menjelaskan. Rama menatap sedih wajah Milova yang te
"Aku maunya kamu urus semuanya, intinya tidak bulan ini!" pungkas Osa dari balik ponsel pintarnya. Osa menghubungi pihak WO untuk mengundur jadwal pernikahannya yang sudah diatur jauh-jauh hari. Jadwal pernikahan yang ditargetkan di bulan Agustus ini, harus undur karena kondisi Milova yang tidak memungkinkan. Milova sebenarnya sudah membaik apalagi setelah 7 hari mendapat perawatan intensif di rumah sakit yang tak kalah hebat. Ia hanya butuh istirahat dan menenangkan diri akibat shock yang dialaminya. Namun bukan itu yang Osa khawatirkan. Mungkin fisik Milova akan segera pulih, tapi tidak dengan mentalnya. Akibat kehilangan ingatannya, Osa kesulitan memberi pengertian kepada Milova tentang perjanjian kontrak mereka berdua. "Bagus, lelaki tengik itu tak akan menemukan di mana Milova" monolog Osa setelah membaca sebuah pesan singkat di ponsel pintar miliknya. Pesan itu sepertinya dari orang-orang suruhannya. Ya, Milova memang dipindahkan ke rumah sakit lain tanpa sepengetahu
"Siapa yang meletakkan dokumen perjanjian kontrak itu di dalam tas milikku?" tanya Milova. Raut wajah Osa berubah heran. Ia tak tahu siapa yang meletakkan dokumen perjanjian kontrak mereka di dalam tas milik Milova. Atau mungkin Milova sendiri yang meletakkannya sebelum kejadian kecelakaan itu terjadi?, duganya. "Jadi kamu sudah membaca isi dokumen itu?" tebak Osa. Milova pun mengangguk. Osa meraih tas sandang milik Milova yang ada di dalam lemari, lalu memeriksanya. Untuk memastikan bahwa apa yang dikatakan Milova benar adanya. Dan ucapan Milova pun terbukti. Lelaki itu meraih dokumen tersebut dan membawanya kepada Milova, sambil duduk di sebelahnya. Milova pun tak canggung lagi dengan sikap Osa yang memang ia kenali sebagai lelaki yang baik dan perhatian. Ia tak mengenali Osa yang dulu. Yang ia tahu saat ini adalah Osa memang lelaki yang pantas ia nikahi, meskipun hanya sebuah perjanjian kontrak di atas materai. "Kamu yakin akan melanjutkannya?" tanya Osa. tatapannya b
"Maaf, aku tidak bisa." pungkas Milova, tegas. Padahal sebelumnya, Milova tidak pernah sekeras itu pada Rama. Rama sangat kecewa dengan keputusan yang diambil oleh Milova. Penolakan Milova membuatnya curiga pada lelaki yang ia jumpai di rumah sakit, tepat sesaat setelah kecelakaan itu terjadi. Menurutnya, seharusnya wanita itu mengambil keputusan yang bijak dan tidak tergesa-gesa. Apalagi sekarang ingatannya belum pulih. Tapi percuma saja, sekeras apapun Rama menjelaskan, Milova tetap teguh pada pendiriannya. Milova yang berkomitmen pada keputusannya, tidak pernah kehilangan karakternya meski ia dalam keadaan amnesia. "Apa yang membuat kamu menerimanya? Karena wajah? atau karena harta?" tanya Rama kesal. Pertanyaan Rama menunjukkan pada Milova sifat asli lelaki itu. Mungkin Rama tidak tahu duduk perkaranya seperti apa. Tapi meskipun begitu, ia tak seharusnya bertanya sesinis itu pada wanita yang katanya sangat ia cintai. Karena sadar atau tidak, pertanyaannya akan m
"Pergi dari sini!" teriak Osa sambil melejitkan telunjuk kirinya ke arah pintu keluar. Rumi dan Maya yang mendengar teriakan Osa seketika berlari dan mencari sumber keributan itu. Betapa kagetnya kedua asisten rumah tangga Milova ketika melihat majikannya terbujur lemah di pangkuan Osa. "Ibu kenapa?" Rumi yang kesulitan untuk duduk terlihat sangat khawatir. Perutnya yang sudah sangat membesar membuatnya tak bisa duduk dengan mudah. Ia berpegangan di sofa untuk bisa menyentuh Milova, wanita yang telah menolong hidupnya. Tak menunggu lama, Maya pun segera meraih telepon seluler di rumah Milova dan menghubungi pihak rumah sakit. Tapi belum sempat ia selesai bicara, Osa segera menghentikan Maya. Menurutnya, ia tak bisa membiarkan Milova terlalu lama menahan sakit. Lebih baik wanita itu dibawa menggunakan mobil pribadi milik Osa, agar pergerakan mereka lebih cepat dan Milova bisa segera ditangani oleh dokter. "Maafkan aku, Lov" ucap Rama, matanya berkaca. "Aku bilang pergi dari s
Padahal tadinya Osa ingin memperbaiki bantal yang menopang kepala Milova. Tapi entah bagaimana, kakinya terpeleset dan membuatnya memeluk Milova. "Aduh, aku pura-pura gak lihat kali ya," Maya menutup matanya dengan telapak tangan kanannya, tapi celah-celah jarinya sengaja ia renggangkan agar bisa mengintip. "Sorry," ucap Osa sambil melepaskan pelukannya. Maya yang menyaksikannya ikut senyum-senyum sendiri, lantas ia berlalu pergi meninggalkan ruang rawat Milova. Beberapa saat Osa dan Milova kikuk. Seperti salah tingkah, dan merasa aneh. Tapi sebisa mungkin, Osa mencoba mencairkan suasana kembali. "Ayo makan" ucap Osa sambil menyodorkan sepiring nasi dengan lauk tempe dan sayur rebus. Tersedia juga ikan kakap goreng, lauk kesukaan Milova. Osa meminta Maya mencarikannya di warung nasi seputaran rumah sakit. Lelaki itu mendengar dari Maya, bahwa Milova sangat menyukai ikan kakap goreng. Milova mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi. Ia meraih sendok yang bertengger di atas
"Aku curiga, jangan-jangan kamu hanya pura-pura amnesia" ucap Osa saat sedang menuangkan secangkir air hangat untuk Milova. Sedari tadi ia belum minum, kerongkongannya pasti sangat kering, apalagi baru saja selesai makan. Milova lumayan kaget mendengar kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu. Namun sebisa mungkin, ia berusaha tetap tenang, agar Osa tak curiga. "Terserah saja" balas Milova, lalu ia meneguk air hangat. Tatapannya datar saja. Tak menunjukkan sesuatu yang aneh. Sudah dua kali Osa mengatakan hal yang sama. Entah dari mana ia punya prasangka itu. "Walaupun kamu amnesia, karakter asli mu tetap tidak berubah ya?" tebak Osa. Osa mengenal Milova sebagai sosok yang keras dan tak mau mengalah. Persepsi itu ia dapat karena wanita itu selalu saja beradu mulut dengannya. Walaupun terakhir kali, Milova sudah tak peduli dan memilih cuek terhadap calon suaminya itu. "Mari bekerja sama dengan baik." Osa menyodorkan tangan kanannya pada wanita itu. Sejak Milova pura-p
Milova memeluk tubuh Osa dengan deraian air mata. Osa yang masih lemah bisa menyadari kehadiran wanita yang dicintainya. "Kamu tidak perlu mencari keberadaan bayi mu lagi," ucap Osa dengan nada suaranya yang masih terbata-bata. Milova mengerutkan keningnya. Sedikit kekecewaan menyelinap dari tatapannya pada Osa. Ia pikir, dengan melihat wajah lelaki kekar itu, ia akan sedikit tenang. Ternyata Osa justru membuatnya semakin kalut. "Bayi mu sudah meninggal satu tahun yang lalu, bersama istri pertama suami mu dan juga mertua mu." jelas Osa. Entah dari mana ia tahu segalanya. Milova berpikir bahwa suaminya sedang bermimpi. Atau mungkin alam mimpi membawanya menerjemahkan banyak hal selama ia koma. "Kamu bermimpi, ya?" tanya Milova, mencoba membenarkan isi pikirannya. "Aku tidak sedang bermimpi, ini benar adanya." sahut Osa, meyakinkan Milova. Pikiran Milova begitu kacau ketika mendengar apa yang dikisahkan suaminya, tepat sebelum kecelakaan itu terjadi. Osa sudah tahu tentang
Raju melaju dengan kecepatan tinggi. Pajero sport yang ia kendarai adalah milik Osa. Demi mengejar seseorang yang ia curigai sebagai salah satu tokoh penculikan bayi Milova, ia hampir saja mempertaruhkan nyawanya sendiri. "Hati-hati Raju!" pekik Milova yang duduk di sebelahnya. Milova yang trauma dengan kecepatan tinggi memaksa diri untuk ikut bersama Raju. Ia tak ingin lagi kehilangan jejak bayinya. Ternyata, orang-orang yang membawa bayi Milova, tepat di hari Osa mengalami kecelakaan, sengaja mengecoh Raju dengan mengarahkan kemudian mereka menuju bandara. Padahal, sebagian dari mereka berputar arah dan terbagi menjadi dua kelompok, salah satunya menuju tujuan yang lain. Licik sekali mereka, pikir Milova. Tapi, jika tidak licik, tak mungkin Rama mempercayai para preman suruhannya. "Bagaimana Rama bisa mengendalikan semua ini, sedangkan ia sedang mendekam di penjara?" Milova tak habis pikir dengan kelakuan mantan suaminya itu yang sudah sangat keterlaluan. Dan bayi yang seda
Milova terlihat lunglai di sebuah sofa empuk, tepat di kamar mewah dimana Osa dirawat. Ia sama sekali tidak tidur dan hanya sekadar minum dan makan beberapa suap. Kekhawatirannya semakin memuncak ketika melihat kondisi suaminya yang sama sekali tak menunjukkan perubahan. Osa masih koma dengan semua alat medis yang melekat pada tubuh kekarnya. "Kamu gak pulang saja dulu? Ya, istirahat sehari. Lagi pula, di sini ada Raju dan Raka yang menjaga Pak Osa." Husna memberi saran. Benar apa yang dikatakan Husna. Milova butuh waktu untuk istirahat dan menenangkan dirinya. Lagi pula, jika pun ia memaksa untuk menjaga Osa, dikhawatirkan justru kondisinya sendiri yang memburuk dan tentunya akan menjadi masalah baru. "Aku ingin menemaninya sampai ia sadar." sahut Milova. Husna dapat melihat betapa sedihnya perasaan Milova. Wajah cantiknya sudah berubah pucat, tubuhnya pun terlihat sangat lemah karena kekurangan energi. Jarang makan dan tidak tidur menjadi penyebabnya. "Kalau kamu mau te
Milova sadar dan membuka kedua matanya. Ia melihat Raju yang terlihat panik dan memijat kepalanya. Samar-samar Milova bisa membaca raut wajah Raju. "Ibu sudah sadar?" tanya Raju. Milova baru sadar kalau ternyata sedari tadi ia pingsan. Ia memang tidak punya keberanian untuk mendonorkan darahnya, namun tetap ia lakukan demi menyelamatkan Osa. "Bagaimana keadaan Osa?" tanya Milova spontan. Yang ia khawatirkan bukan dirinya sendiri, tapi Osa. Milova khawatir jika terjadi sesuatu dengan lelaki yang dicintainya itu. "Aku harus melihatnya." Milova berusaha untuk beranjak dari salah satu ranjang rumah sakit, dimana para perawat menidurkannya yang pingsan di depan ruang operasi. Milova mengerang, kepalanya sangat sakit, membuatnya tak mampu bangkit, bahkan hanya untuk duduk. "Jangan dipaksakan, Bu." Raju memberi saran. "Bagaimana keadaan mu?" tanya Husna yang tiba-tiba datang bersama Raka. "Pak Osa bagaimana?" Raka yang baru saja datang menodong Raju dengan pertanyaannya.
Milova tergesa-gesa menyusuri setiap ranjang di ruang IGD rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari SMAS Tunas Bangsa. Perasaannya sangat gundah. Ada ketakutan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tapi pastinya, ia sangat khawatir. Raka memberitahunya bahwa Osa mengalami kecelakaan dan mobilnya menabrak sebuah truk dari arah belakang. Saat ditemukan, kondisi Osa kritis dan mengalami pendarahan di otaknya. Milova sendiri tak tahu kemana Osa akan pergi, sampai pagi-pagi tadi ia sudah menghilang tanpa pamit. Menurut kabar yang beredar juga, Osa bertujuan ke bandara. Karena tempat dimana ia mengalami kecelakaan searah dengan arah bandara. Tapi, untuk apa ia ke bandara? Siapa yang ingin ia jemput?, pikiran Milova ikut bertanya-tanya. Tapi saat ini, yang terpenting baginya adalah keselamatan Osa, lelaki yang saat ini menjadi satu-satunya tempat ia berlabuh. "Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Milova pada seorang dokter yang sedang memeriksa kondisi Osa. Terlihat je
Matahari yang menghempas wajah Milova secara perkasa membangunkannya dari tidur panjangnya. Gorden yang sudah tersibak, membuatnya mencari-cari kemana Osa pergi. Padahal pagi ini, Milova sudah berjanji akan diantar oleh suaminya itu ke sekolah. Tapi pagi ini, sarapan yang sudah rapi di atas meja, hanya disantapnya sendirian. "Kamu tahu kemana Bapak?" tanya Milova pada Maya yang sedang meletakkan roti bakar di atas meja makan. "Tadi Bapak sudah pergi duluan, Bu. Katanya ada urusan mendadak." jelas Maya. Milova tahu apa yang menjadi alasan Osa pergi begitu saja, tak lain karena ia kecewa atas apa yang dilakukannya semalam. Tapi semua sudah terjadi, dan sebagai sepasang suami istri yang saling mencintai, Milova dan Osa sama sekali tak terpaksa melakukannya. Mengendarai mobilnya, Milova melaju menuju ke sekolah. Jam menunjukkan pukul 07.35 WIB. Cuaca pagi ini lumayan panas, terlihat jelas dari beberapa bunga di teras rumahnya yang sudah tak lagi berembun, tidak seperti biasanya.
"Terima kasih, ya?" ucap Osa pada Milova, sesaat setelah kedua guru itu pulang. Milova memberi pilihan jika Bu Sarah dan Bu Cantika masih ingin mengajar di SMAS Tunas Bangsa, maka mereka harus mencari peserta didik yang akan masuk ke SMAS Tunas Bangsa dengan jumlah yang sama dengan jumlah peserta didik yang sudah keluar dari sekolah tersebut. Milova juga memberi waktu selama tiga bulan untuk mereka menyelesaikan misi tersebut. Selama tiga bulan tersebut juga Milova masih mengizinkan kedua guru itu untuk bekerja di SMAS Tunas Bangsa. Syarat tersebut sengaja Milova berlakukan sebagai salah satu strategi untuk mengembalikan nama baik nama SMAS Tunas Bangsa. Dengan begitu, tanpa disadari, nama sekolah akan kembali membaik dengan sendirinya. Dan tentunya, Bu Sarah dan Bu Cantika akan mempelopori misi Milova demi terpenuhinya jumlah peserta didik yang diinginkan sebelum waktu tiga bulan tersebut berlalu. "Sama-sama." ucap Milova seraya menyentuh pipi kiri Osa. Tindakan wanita itu me
"Jadi itu tujuan Bu Cantikan dan Bu Sarah sampai harus datang ke rumah saya?" tanya Milova sesaat setelah menyeruput kopi khas Gayo. Kualitas Kopi Gayo (Aceh) sudah diakui oleh dunia sebagai kopi terbaik melalui sertifikat resmi akan kualitasnya yang keluar pada tahun 2010 lalu. Selain itu, sekarang ini juga para petani sedang mengembangkan tiga varietas Kopi Gayo yang sedang dibudidayakan, yaitu Gayo 1, Gayo 2, dan P88 yang juga sudah diakui oleh dunia sebagai kopi terbaik. Kenikmatan Kopi Gayo dimulai dari rasanya yang kuat dan berkarakter. Kopi Gayo memiliki rasa yang tidak pahit dan memiliki keasaman yang rendah, serta memiliki sedikit sentuhan rasa manis. Makanya, Kopi Gayo ini seringkali dijadikan sebagai bahan campuran berbagai house blend coffee. Kopi Gayo paling cocok ditanam di ketinggian 1000 mdpl. Namun, kopi Gayo ini juga memiliki keunikan tersendiri, yaitu ketinggian perkebunan yang menentukan cita rasanya. Perbedaan ketinggian perkebunan ini ternyata juga bisa mem
"Kok tiba-tiba rapat, sih?" para guru saling bertanya. Rapat ini tidak seperti biasanya, pemberitahuannya hanya satu jam sebelumnya. Sehingga menimbulkan banyak persepsi dari guru-guru. Apalagi, para internal SMAS Tunas Bangsa sedang dihebohkan dengan rencana Osa menjual sekolah ini. Dan kabar tersebut bukan lagi kabar burung, bahkan pembeli sekolah ini juga sudah bertemu langsung dengan Osa. "Acara serah terima, mungkin." tebak salah seorang guru. Osa dan Milova masuk dari pintu utama ruang guru. Berhubung dilakukan secara dadakan, maka saran dari Raka, rapat dilaksanakan di ruang guru saja. Lagi pula, ruang guru cukup luas dan nyaman, juga sejuk karena dilengkapi oleh pendingin ruangan. Dan yang terpenting, Raka sudah memastikan, semua guru mengikuti rapat ini, seperti perintah Osa. "Ada yang tahu, untuk apa rapat ini diadakan secara mendadak?" tanya Milova, membuka pembicaraan setelah Osa memberi sambutan dan mempersilakan Milova untuk bicara. "Untuk pengalihan kepal