Lucyana tetap pada pendiriannya. Setelah telepon dimatikan, ia berdiri sebentar di hadapan dua orang penjaga tadi. Beberapa detik kemudian ponsel salah satu dari mereka berbunyi. Raut panik dan tegang tergambar jelas di wajahnya, perlahan ia mengangkat panggilan dari Justino.“Iya, Tuan. Baik, Tuan.”Setelah telepon dimatikan, ia mengalihkan pandangannya pada Lucyana yang masih berdiri sembari menatap dingin ke arahnya, kemudian pandangannya beralih pada temannya.“Buka gerbangnya!”“Kenapa? Kita saja belum tahu asal-usulnya.”“Jangan tanya padaku! Ini perintah tuan Justino.”Tanpa banyak protes lagi, gerbang akhirnya dibuka, disusul dengan senyum penuh kemenangan dari Lucyana. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan mertuanya. Sepasang kaki jenjang, akhirnya berjalan menuju tangga, mobil sengaja ia parkir di halaman untuk memberi Sarah kejutan. Semakin dekat, ia semakin mendengar suara tawa Sarah dan Ratu menggema, mereka tampak sangat bahagia. Tanpa banyak berbicara, Lucyana hanya berd
Brak!!!Suara daun pintu yang ditutup paksa, membuat Lucyana terlonjak kaget kecuali Justin, ia tengah menahan amarah yang ia rasa sudah di luar batasnya. Rahangnya mengeras, tatapan tajam ia arahkan pada Lucyana, istrinya yang kelewat keras kepala. Bukannya takut, Lucy malah menatapnya balik dengan sengit, seakan apa yang ia lakukan hari ini bukan kesalahan.“Apa yang kau inginkan, Lucy? Jangan lupa pada perjanjian kita!” Justino angkat suara, kesal pada sikap Lucyana yang semaunya sendiri, tak melihat kondisi bahkan tak tahu aturan. Lucyana masih menatap tajam ke arah Justino. Menurutnya reaksi Justino itu berlebihan, sementara pria itu masih menatap Lucy dengan tajam seperti menunggu jawaban, atau penjelasan Lucy sebagai wujud pembelaan. Beberapa menit Lucy masih diam, tapi tatapan tajamnya tak bisa membohongi mata Justino, bahwasanya Lucy tak terima dengan apa yang diucapkan Justin.“Menurutmu, apa yang aku lakukan? Aku hanya silaturahmi dengan mertuaku, apa itu salah? Kau terlal
Justino masuk dengan tergesa, setelah pintu kamar Lucyana didobrak paksa. Darah yang mengucur dari perut refleks membuat Justino menangis. Ya, ia lebih mengabaikan Sarah dan memilih kembali ke rumah Lucy, terlebih ketika mengingat ancaman perempuan itu.Tubuh Lucy bersimbah darah, digendong masuk ke dalam mobil dengan tergesa, denyut jantung Lucy pun terdengar melemah. Sepanjang jalan ia terus mengutuk diri sendiri, andai bayi dalam kandungan dan juga Lucyana tak bisa diselamatkan.“Bodoh! Ini semua salahku. Andai aku tak berdebat dengannya tadi, semua tak akan seperti ini.”Justino terus saja menyetir, hingga tak lama mereka tiba di rumah sakit. Justino menggendong Lucy, membuat banyak pasang mata tertuju ke arahnya yang tengah dilanda kepanikan. Justino berteriak, memanggil bantuan secepat mungkin, ia ingin Lucy segera ditangani, itu saja.“Pastikan keduanya selamat!” pesan Justino ketika Lucy berhasil dibaringkan ke brankar dorong. Lucy segera dibawa ke ruang UGD, kondisinya terlam
Sarah terdiam di pojok ruangan kamarnya sendiri, sembari meremas kuat benda pipihnya. Ada foto di mana Justin tengah menyuapi Lucy di ruang rawatnya. Rupanya Sarah diam-diam mengirim mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Justino, Sarah tahu Lucy tengah kritis dan itu mengancam janin yang dikandungnya, tapi rasa cemburu lebih mendominasi sehingga ia menjadi semakin membenci Lucyana, karena menyangka bahwa Lucy akan merebut semua apa yang ia miliki, dengan memperalat janin yang berada di dalam kandungannya.“Berani-beraninya kau mempermainkan seorang Sarah,” umpatnya kesal.Air mata sudah menganak sungai, dari luar ia memang terlihat kuat, tegar, dan tegas. Tapi hatinya rapuh. Sejak kehadiran Lucyana, sikap Justino berubah perlahan-lahan. Malam semakin mencekam dan sedikit pun Justin tak juga hadir untuk menenangkannya, ia benar-benar memilih untuk menghilang dan menjauh dari Sarah, demi menjaga Lucy.Dalam kesedihannya, benda pipihnya berdering, ia mulai merasa senang, berpikir bahwa y
Mendadak pikiran Matheo buyar, seiring dengan bunyi bel pintu. Ia tahu itu pasti pesanannya, pintu terbuka dan benar saja, satu orang pria mengantar satu cup cokelat panas.“Terima kasih.”Matheo masuk setelah menutup pintu, kemudian menyerahkan minuman panas itu pada Sarah Lee.“Minum! Semoga cokelat panas ini bisa menenangkan hatimu, ya meski tak sepenuhnya menyembuhkan.”Sarah meraih pemberian Matheo, lantas menenggaknya perlahan. Memang benar tak sepenuhnya menyembuhkan, setidaknya ia mulai sedikit tenang. Rasa cemburu dan marah benar-benar melelahkan jiwanya dalam sekejap.“Bagaimana jika Justin benar-benar pergi meninggalkanku? Kemudian hidup bahagia bersama wanita itu. Tidak, Matheo! Aku tidak bisa membayangkan jika itu sungguh terjadi padaku.”Tangis Sarah pecah, ia menutup wajah dengan kedua tangan, dengan bahu yang bergetar. Matheo masih bingung, mengapa Sarah menyimpulkan sepihak, tidak tahukah ia bahwa dirinya sempurna, dari segi fisik, tutur kata, dan pembawaannya, jika a
Lucy terbaring pulas di ranjang pesakitan, Justin memilih untuk tetap terjaga. Karena melihat Lucyana yang tampak pulas, Justin berinisiatif untuk mengecek ponselnya, benda pipih itu ia aktifkan kembali, entah kenapa pikirannya mulai tak tenang dan itu tertuju pada Sarah, rasa bersalah menyergap begitu saja.Ia mungkin tidak adil sekarang, di sisi lain ada Sarah yang begitu menanti kepulangannya, tapi di sini juga ada Lucy yang harus ia awasi agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan lagi, setelah menghidupkan ponsel, dia berniat menghubungi Sarah, malam semakin larut bahkan telah memasuki pagi, mungkin sudah waktunya ia pulang ke rumah dan kembali memperbaiki hubungannya dengan Sarah.Mereka tak pernah bertengkar sahabat ini sebelumnya, mungkin tadi ia terlalu dilanda ketakutan serta lelah yang datang secara bersamaan, beberapa kali telepon memang tersambung tapi tak ada jawaban akhirnya ia memutuskan untuk pulang setelah nomor Sarah tak lagi bisa dihubungi.“Semoga sesuatu tak te
“Sayang, apa yang kau lakukan?”Justino membantu Sarah berdiri, wanita itu terlihat sembap. Dalam pikiran Justin, pasti Sarah menyesali pertengkaran mereka semalam, tapi mengapa harus seperti ini, seolah kesalahan yang Sarah lakukan teramat fatal. Padahal Justin sempat berpikir jika nanti Sarah yang akan marah dan mendiamkannya.“Aku sudah melakukan kesalahan?” lirih Sarah sendu.“Ya, aku tahu kau sudah melakukan kesalahan besar, kau memang pantas diberi hukuman,” sahut Justin dengan wajah serius. Mendengar itu, Sarah semakin panik, dugaan terburuk pun datang silih berganti apa Matheo memberitahu Justin tentang kejadian semalam, atau Justin yang memang diam-diam mengekori langkah Sarah. Melihat wajah Sarah yang memerah, Justin lekas mengecup kening Sarah, kedua tangan menangkup wajah istrinya dengan terus memberi tatapan cinta, kedua sudut bibir Justin juga terangkat.“Kesalahan terbesarmu adalah pergi ketika sedang ada masalah. Kau tahu, semalam aku mencarimu ke mana-mana. Berhenti
Rapat berjalan dengan lancar, Justin tersenyum sembari berjabat tangan dengan beberapa rekannya tadi. “Senang bekerja sama denganmu, Pak Justin.”“Terima kasih. Saya harap kerja sama kita kali ini berjalan lancar,” balas Justin.Setelah semua selesai, ia memilih untuk pulang ke rumah, padahal belum waktunya pulang dan ini masih jam makan siang. Justin berinisiatif untuk makan siang bersama Sarah tanpa mengabari istrinya itu lebih dulu. Langkah lebarnya menuju lantai bawah, kendaraan roda empat senantiasa menunggu di pelataran.Sepanjang jalan pikirannya berkecamuk, ia kembali mengingat kejadian kemarin, banyak kejanggalan yang terjadi, mulai dari Sarah yang memilih untuk menginap di hotel, dan juga aroma parfum pria, juga gelagat aneh yang ia tangkap seperti tak biasa. Lama kendaraan roda empat itu tiba di kediamannya, sengaja juga dirinya tak memanggil nama Sarah seperti biasa, hanya ingin memberi kejutan.Bangunan rumah yang luas membuat Sarah kadang tak mendengar bunyi kendaraan d
Rapat berjalan dengan lancar, Justin tersenyum sembari berjabat tangan dengan beberapa rekannya tadi. “Senang bekerja sama denganmu, Pak Justin.”“Terima kasih. Saya harap kerja sama kita kali ini berjalan lancar,” balas Justin.Setelah semua selesai, ia memilih untuk pulang ke rumah, padahal belum waktunya pulang dan ini masih jam makan siang. Justin berinisiatif untuk makan siang bersama Sarah tanpa mengabari istrinya itu lebih dulu. Langkah lebarnya menuju lantai bawah, kendaraan roda empat senantiasa menunggu di pelataran.Sepanjang jalan pikirannya berkecamuk, ia kembali mengingat kejadian kemarin, banyak kejanggalan yang terjadi, mulai dari Sarah yang memilih untuk menginap di hotel, dan juga aroma parfum pria, juga gelagat aneh yang ia tangkap seperti tak biasa. Lama kendaraan roda empat itu tiba di kediamannya, sengaja juga dirinya tak memanggil nama Sarah seperti biasa, hanya ingin memberi kejutan.Bangunan rumah yang luas membuat Sarah kadang tak mendengar bunyi kendaraan d
“Sayang, apa yang kau lakukan?”Justino membantu Sarah berdiri, wanita itu terlihat sembap. Dalam pikiran Justin, pasti Sarah menyesali pertengkaran mereka semalam, tapi mengapa harus seperti ini, seolah kesalahan yang Sarah lakukan teramat fatal. Padahal Justin sempat berpikir jika nanti Sarah yang akan marah dan mendiamkannya.“Aku sudah melakukan kesalahan?” lirih Sarah sendu.“Ya, aku tahu kau sudah melakukan kesalahan besar, kau memang pantas diberi hukuman,” sahut Justin dengan wajah serius. Mendengar itu, Sarah semakin panik, dugaan terburuk pun datang silih berganti apa Matheo memberitahu Justin tentang kejadian semalam, atau Justin yang memang diam-diam mengekori langkah Sarah. Melihat wajah Sarah yang memerah, Justin lekas mengecup kening Sarah, kedua tangan menangkup wajah istrinya dengan terus memberi tatapan cinta, kedua sudut bibir Justin juga terangkat.“Kesalahan terbesarmu adalah pergi ketika sedang ada masalah. Kau tahu, semalam aku mencarimu ke mana-mana. Berhenti
Lucy terbaring pulas di ranjang pesakitan, Justin memilih untuk tetap terjaga. Karena melihat Lucyana yang tampak pulas, Justin berinisiatif untuk mengecek ponselnya, benda pipih itu ia aktifkan kembali, entah kenapa pikirannya mulai tak tenang dan itu tertuju pada Sarah, rasa bersalah menyergap begitu saja.Ia mungkin tidak adil sekarang, di sisi lain ada Sarah yang begitu menanti kepulangannya, tapi di sini juga ada Lucy yang harus ia awasi agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan lagi, setelah menghidupkan ponsel, dia berniat menghubungi Sarah, malam semakin larut bahkan telah memasuki pagi, mungkin sudah waktunya ia pulang ke rumah dan kembali memperbaiki hubungannya dengan Sarah.Mereka tak pernah bertengkar sahabat ini sebelumnya, mungkin tadi ia terlalu dilanda ketakutan serta lelah yang datang secara bersamaan, beberapa kali telepon memang tersambung tapi tak ada jawaban akhirnya ia memutuskan untuk pulang setelah nomor Sarah tak lagi bisa dihubungi.“Semoga sesuatu tak te
Mendadak pikiran Matheo buyar, seiring dengan bunyi bel pintu. Ia tahu itu pasti pesanannya, pintu terbuka dan benar saja, satu orang pria mengantar satu cup cokelat panas.“Terima kasih.”Matheo masuk setelah menutup pintu, kemudian menyerahkan minuman panas itu pada Sarah Lee.“Minum! Semoga cokelat panas ini bisa menenangkan hatimu, ya meski tak sepenuhnya menyembuhkan.”Sarah meraih pemberian Matheo, lantas menenggaknya perlahan. Memang benar tak sepenuhnya menyembuhkan, setidaknya ia mulai sedikit tenang. Rasa cemburu dan marah benar-benar melelahkan jiwanya dalam sekejap.“Bagaimana jika Justin benar-benar pergi meninggalkanku? Kemudian hidup bahagia bersama wanita itu. Tidak, Matheo! Aku tidak bisa membayangkan jika itu sungguh terjadi padaku.”Tangis Sarah pecah, ia menutup wajah dengan kedua tangan, dengan bahu yang bergetar. Matheo masih bingung, mengapa Sarah menyimpulkan sepihak, tidak tahukah ia bahwa dirinya sempurna, dari segi fisik, tutur kata, dan pembawaannya, jika a
Sarah terdiam di pojok ruangan kamarnya sendiri, sembari meremas kuat benda pipihnya. Ada foto di mana Justin tengah menyuapi Lucy di ruang rawatnya. Rupanya Sarah diam-diam mengirim mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik Justino, Sarah tahu Lucy tengah kritis dan itu mengancam janin yang dikandungnya, tapi rasa cemburu lebih mendominasi sehingga ia menjadi semakin membenci Lucyana, karena menyangka bahwa Lucy akan merebut semua apa yang ia miliki, dengan memperalat janin yang berada di dalam kandungannya.“Berani-beraninya kau mempermainkan seorang Sarah,” umpatnya kesal.Air mata sudah menganak sungai, dari luar ia memang terlihat kuat, tegar, dan tegas. Tapi hatinya rapuh. Sejak kehadiran Lucyana, sikap Justino berubah perlahan-lahan. Malam semakin mencekam dan sedikit pun Justin tak juga hadir untuk menenangkannya, ia benar-benar memilih untuk menghilang dan menjauh dari Sarah, demi menjaga Lucy.Dalam kesedihannya, benda pipihnya berdering, ia mulai merasa senang, berpikir bahwa y
Justino masuk dengan tergesa, setelah pintu kamar Lucyana didobrak paksa. Darah yang mengucur dari perut refleks membuat Justino menangis. Ya, ia lebih mengabaikan Sarah dan memilih kembali ke rumah Lucy, terlebih ketika mengingat ancaman perempuan itu.Tubuh Lucy bersimbah darah, digendong masuk ke dalam mobil dengan tergesa, denyut jantung Lucy pun terdengar melemah. Sepanjang jalan ia terus mengutuk diri sendiri, andai bayi dalam kandungan dan juga Lucyana tak bisa diselamatkan.“Bodoh! Ini semua salahku. Andai aku tak berdebat dengannya tadi, semua tak akan seperti ini.”Justino terus saja menyetir, hingga tak lama mereka tiba di rumah sakit. Justino menggendong Lucy, membuat banyak pasang mata tertuju ke arahnya yang tengah dilanda kepanikan. Justino berteriak, memanggil bantuan secepat mungkin, ia ingin Lucy segera ditangani, itu saja.“Pastikan keduanya selamat!” pesan Justino ketika Lucy berhasil dibaringkan ke brankar dorong. Lucy segera dibawa ke ruang UGD, kondisinya terlam
Brak!!!Suara daun pintu yang ditutup paksa, membuat Lucyana terlonjak kaget kecuali Justin, ia tengah menahan amarah yang ia rasa sudah di luar batasnya. Rahangnya mengeras, tatapan tajam ia arahkan pada Lucyana, istrinya yang kelewat keras kepala. Bukannya takut, Lucy malah menatapnya balik dengan sengit, seakan apa yang ia lakukan hari ini bukan kesalahan.“Apa yang kau inginkan, Lucy? Jangan lupa pada perjanjian kita!” Justino angkat suara, kesal pada sikap Lucyana yang semaunya sendiri, tak melihat kondisi bahkan tak tahu aturan. Lucyana masih menatap tajam ke arah Justino. Menurutnya reaksi Justino itu berlebihan, sementara pria itu masih menatap Lucy dengan tajam seperti menunggu jawaban, atau penjelasan Lucy sebagai wujud pembelaan. Beberapa menit Lucy masih diam, tapi tatapan tajamnya tak bisa membohongi mata Justino, bahwasanya Lucy tak terima dengan apa yang diucapkan Justin.“Menurutmu, apa yang aku lakukan? Aku hanya silaturahmi dengan mertuaku, apa itu salah? Kau terlal
Lucyana tetap pada pendiriannya. Setelah telepon dimatikan, ia berdiri sebentar di hadapan dua orang penjaga tadi. Beberapa detik kemudian ponsel salah satu dari mereka berbunyi. Raut panik dan tegang tergambar jelas di wajahnya, perlahan ia mengangkat panggilan dari Justino.“Iya, Tuan. Baik, Tuan.”Setelah telepon dimatikan, ia mengalihkan pandangannya pada Lucyana yang masih berdiri sembari menatap dingin ke arahnya, kemudian pandangannya beralih pada temannya.“Buka gerbangnya!”“Kenapa? Kita saja belum tahu asal-usulnya.”“Jangan tanya padaku! Ini perintah tuan Justino.”Tanpa banyak protes lagi, gerbang akhirnya dibuka, disusul dengan senyum penuh kemenangan dari Lucyana. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan mertuanya. Sepasang kaki jenjang, akhirnya berjalan menuju tangga, mobil sengaja ia parkir di halaman untuk memberi Sarah kejutan. Semakin dekat, ia semakin mendengar suara tawa Sarah dan Ratu menggema, mereka tampak sangat bahagia. Tanpa banyak berbicara, Lucyana hanya berd
Justino masih berdiam diri di depan pintu kamar, mendadak bingung dengan sikap Sarah dan Lucyana yang jelas-jelas berbeda, tapi seperti sama-sama suka memosisikan diri di posisi paling bahaya seperti ini. Baru saja ia akan mengetuk pintu lagi, tangannya mendadak berhenti di udara ketika pintu di depannya tiba-tiba terbuka, menampilkan Lucyana yang kini memakai kaos longgar hitam selutut, juga celana pendek yang hampir tak terlihat. Rambut panjang dibiarkan tergerai, kaki jenjang dan mulusnya terekspos bebas.“Ngapain di situ?” tanya Lucyana ketus. Nampak tak suka ketika melihat wajah Justino, membuat pria itu mendadak salah tingkah. Ia memperhatikan penampilan Lucyana.Jujur saja Justino adalah pria normal, yang bisa saja terpancing dengan tubuh mulus di hadapannya. Padahal dulu, ia langsung memecat sekretarisnya yang bersikap kurang ajar dan merayunya, bahkan alat vitalnya saja tak terganggu dengan penampakan sekretarisnya yang bisa dibilang vulgar kala itu. Justino mencoba membuang