Season III“Kau membuat pandanganku beubah terhadapmu, Bung,” kata Darren kasar, menatap lurus Axel. Namun, Axel tahu memang tidak semudah itu mengubah pikiran Darren, kalau sekarang dia tersinggung, itu wajar saja.“Apa kau tahu Lily hampir menjadi mangsa pria hidung belang ketika dia tidak bisa membayar utang?” Axel berkata dengan tajam. “Kalau kau hampir kehilangan nyawamu. Maka, itu impas. Kalian sama-sama terluka dan sekarang harus berjuang lagi. Apa salahnya?” Darren terkekeh, “Ya, ya, ya, apalagi aku adalah lelaki. Di mana pikiranku? Tidak ada, kan hidup enak. Seperti kau misalnya,” sindirnya dengan tangan sambil menunjuk penampilan Axel. Axel mendengus, sambil tertawa konyol. Apa yang Lily katakan benar, Darren ini sangat keras kepala. “Lagi pula, kenapa bukan Lily yang datang kepadaku? Malah dia suruh suaminya yang datang?” “Justru, bukan dia yang menyuruh. Ini inisiatifku sendiri. Aku pikir, kalau dia yang datang, tangannya akan ringan menyiksamu. Kalau aku yang datang,
Season III“Undangan makan malam?” ulang Lily, lalu mendengus, ada Charlotte dalam gendongannya. “Ya. Sebenarnya, Robert yang punya ide. Mungkin dia juga ingin meluaskan jaringan di Napa karena dia baru saja datang. Tidak banyak sahabatnya ada di sini,” papar Axel di sambungan telepon. “Entahlah, aku hanya masih lelah,” kata Lily lalu menghela napas. “Seriously? Ini sudah satu minggu sejak kita pulang bulan madu. Apa kau masih sebegitu lelahnya?” Axel menahan tawa. “Apa kau tidak ingat selama satu minggu ini apa yang kau lakukan setiap malam?” desak Lily. “Tapi ... terima kasih padamu, Darren sudah mulai bekerja di perusahaanmu. Dia bertahan hidup.” “Kalau begitu, anggap saja ini adalah rasa terima kasihmu karena aku berhasil menghalau Darren. Bagaimana?” “Ah, kau ini selalu bisa bernegosiasi dengan siapa pun,” dengus Lily. “Ya, kalau tidak, aku tidak akan jadi CEO di sini,” ucap Axel dengan pongah. “Jadi, kau bisa bersiap nanti jam tujuh malam, aku akan jemput.” “Baiklah,”
Season IIINapas Axel memburu, tidak sabaran karena Lily menggodanya. Tangan kekarnya menarik tubuh Lily hingga rapat ke tubuhnya. Lalu meraba dari dada hingga ke pinggang, membuat wanita itu sedikit menggeliat. Gerakan Axel cepat, meski ada di dalam mobil dia tidak peduli. “Axe, pelan-pelan,” Lily meringis karena bibir Axel yang menggigit lehernya. Lalu mendesis ketika Axel melepasnya. “Mana bisa? Kau juga yang memancingku tadi.” “Karena aku sudah bosan. Ingat. Tidak ada lagi undangan makan dari Robert dan Emily. Atau kau kehilangan jatah malam satu bulan!” Axel menarik dirinya, saat ini masih di dalam mobil. Menatap mata Lily, walau penerangannya minim. “Kenapa kau jahat begini? Apa karena Emily? Kau cemburu?” Lily terperanjat, “Apa? Enak saja aku cemburu. Aku hanya tidak suka melihat wajahnya yang seperti orang sombong itu. Alisnya juga terlalu naik. Astaga! Apa yang Robert lihat dari dirinya? Kalau dibandingkan lebih cantik Kate.” Axel menatap istrinya dari dekat, lalu ter
Season III“Steven sudah diminta menyelidiki Emily oleh Nyonya Margot,” kata Kevin begitu dia menelepon Steven. Sambungan teleponnya tidak dia putus. Hanya menjauhkan dari telinganya. “Biarkan aku bicara dengannya,” tangan Axel menadahkan tangan. Kevin langsung memberikan ponselnya kepada Axel. “Hallo? Bagaimana instruksi dari mamaku?” tanya Axel langsung kepada Steven. “Lalu saat ini apa yang kau temukan?” “Aku baru menelusuri keberadaannya di media sosial. Dia tidak punya akun apa pun. Aku juga baru saja menelusuri dari mana kau menemuinya: Barcelona. Ternyata, Robert bertemu dengan Emily di Hawai. Di sana dia tidak membuat reservasi atas namanya.” “Apa kau tahu atas nama siapa? Apakah itu atas nama Bree?” desak Axel. “Aku belum menemukan petunjuk lagi. Rasanya tidak ada reservasi atas nama itu. Atau dia mengacak namanya menjadi orang lain. Aku belum menyelidikinya.” “Apa dia di sini ketahuan mengunjungi seseorang?” tanya Axel lagi. “Negatif. Tidak ada apa pun. Robert hanya
Season IIISatu bulan kemudian, Steven belum mendapat asal usul Emily yang jelas. Nama belakangnya, Majorie, adalah sebuah keluarga utuh, walau ayah dan ibu sudah meninggal. Hanya ada satu anak. Dan itu Emily. Sayangnya tidak ada foto atau informasi di mana keluarga itu tinggal. Steven agak kesulitan, stress.“Kenapa kau terlalu memikirkannya?” tanya Axel kepada Steven, setelah dia berkata tentang penemuannya. “Aku bingung saja, mengapa dia bisa sebegitu misteriusnya, hingga sulit sekali menemukan jejak keluarganya.” Ruangan kerja Axel sesaat hening. Kecurigaan Axel sama seperti Steven, dari tatapan matanya seperti Bree. “Berapa kali Emily coba menemuimu?” tanya Steven. Axel menghela napas, lalu mengedikkan bahu, “Hanya satu kali, dia sengaja mengirimkan pesan kepadaku.” “Kau bisa menjebaknya, ambil sample dari dirinya, lalu aku akan selidiki lebih dalam.” “Apa kau gila!” seru Axel. “Aku tidak mau. Bagaimana nanti dengan perasaan Lily? Kau pikirkan saja cara yang lain.” Steven
Bab 163 AIKSeason IIIBree tahu kalau Robert akan seperti ini. “Kau tahu, kan, aku bosan ada di rumah terus. Apalagi dengan pekerjaan rumah yang banyak itu. Aku juga tidak merasa dihargai olehmu.” Rajukannya dimulai, matanya melirik ke arah Robert yang mendengus. “Lalu apa maumu?”“Aku ingin bekerja, jadi pelayan atau apa pun, asal aku tidak ada di rumah terus. Itu sama saja penghinaan untukku.”Robert menghela napas, pasalnya dia tidak ingin Bree keluar dari rumah ini. Robert bisa cemburu berat. “Apa pun, asal kau tidak pergi bekerja, Bree, aku tidak bia membiarkanmu bergaul dengan lelaki lain selain aku.” Robert akhinrya memaparkan pemikirannya. “Kau bisa memanfaatkan uang yang aku berikan.” Bree tidak mau kalah, ingat misinya datang ke sini adalah membalas dendam kepada Axel. “Tapi, aku juga bosan dengan itu, Rob.” Mau bagaiamana lagi?Robert berpikir keras. Mau tidak mau dia harus rela melepaskan Bree. “Atau aku akan pulang,”ancam Bree, sinis.g inin “Lagian, bukannya kau pe
Season IIIAxel keluar dari ruangan, Emily berdiri ketika bosnya itu mendekat kepadanya. “Jangan lupa persiapan ulang tahun anakku besok. Kau bisa telepon Kevin untuk detailnya,” kata Axel dengan tegas, sambil berlalu. Karena Kevin yang masih banyak urusan soal legal dan sebagainya. Emily harus mempersiapkan ulang tahun anak Axel yang kembar sendirian. “Baik, Pak,” jawab Emily. Saat ini Emily merasa ada di atas angin, Axel mulai mempercayainya. Jadi, dia akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. “Ya, aku akan kembali dua hari lagi. Dan itu saat yang tidak tepat. Ulang tahun anak Pak Axel besok. Jadi, harusnya persiapannya tinggal ada di lapangan. Kau bisa lihat segala dokumen dan konsep ada di mejaku.” “Baik. Aku akan laksanakan.” “Terima kasih dan maaf sebelumnya,” ucap Kevin, ini pertama kalinya Axel memberi tugas mengurus perizinan dan juga melihat ke kebun anggur. “Tidak masalah, tenang saja,” jawab Emily. Dia mempelajari dokumen yang Kevin katakan. Memeriksa kelengkapan untu
Season III“Aku tahu kau masih marah dengan aku yang kebanyakan protes soal jam kerjamu,” Robert langsung duduk di sebelah Bree, menggenggam jemarinya dengan erat, menatap Bree dengan sungguh-sungguh. “Katakan, kau hanya bercanda, tidak bermaksud mengatakan itu.” “Aku hanya ingin kejelasan, Rob. Kalau aku hanya gundikmu, kapan saja kau bisa mengusirku.” “Aku ingin menikahimu, kau saja yang menolak,” debat Robert. “Bagaimana dengan keluargamu? Aku datang dari mana atau siapa ayah ibuku, mereka pasti bertanya soal itu, Rob,” mata Bree berkaca-kaca menatap Robert. Lelaki itu menarik napas, mengusap wajahnya dengan kasar. Bukan kesedihan, yang ada di hatinya juga kemarahan. Kenapa juga harus ada keluarga? Yang menikah kan hanya berdua. “Kita menikah, titik. Habis semua masalah.” Bree tercengang dengan perkataan Robert, badannya membeku. “Bagaimana? Aku akan siapkan segala sesuatunya dalam waktu satu minggu. Itu kejelasan dariku. Dan jawaban dari semua keraguanku. Hm?” Beberapa saa
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a