Season II“Memesan tempat di butik ini tidak mudah. Jadi, aku memakai nama Nyonya Margot McAlister, semua orang mengenalnya dan ... si disainer menyediakan waktunya untuk kalian.” Meredith tersenyum dengan lebarnya. Sekali lagi, pekerjaannya berjalan tanpa hambatan. “Seriuously?” tanya Lily dengan mata yang berbinar, dia mendekat ke arah Meredith. “Ya. Kapan aku pernah bercanda dengan kamu,” jawab Meredith. Lily memekik, tidak menyangka dia akan memakai gaun putih paling indah seperti putri di negeri dongeng. “Apa aku bisa memilih sendiri?” “Tentu saja,” jawab Axel tak acuh, dia sedang duduk juga di ruangan bayi. Tapi, begitu Meredith dan Lily mengobrol, dia seperti tidak terlihat. Meredith dan Lily menoleh ke belakang, ada Axel yang sedang memangku Charlotte yang tertidur. “Kalau kalian terus memekik begitu, dia akan bangun,” Axel berkata dengan judes. “Oke, kita bisa keluar,” sahut Meredith, lalu menggandeng Lily. “Ada yang ingin aku jelaskan dulu, sebelum besok kau ke sana.
Season II“Ah, aku lupa. Apa kalian sempat kenalan? Atau kau hanya melihatnya dari jauh? Seperti yang kau ceritakan, kalau kau adalah ‘orang bayaran.’” Darren memberikan tanda petik di udara dengan satu tangannya. Lidah Steven kelu. Mulutnya terbuka, tetapi tidak bisa bicara. “Um, aku akan coba bicara dengannya, aku mengenalnya, tidak sengaja,” papar Steven. “Ah, apa kau menyukainya?” tanya Darren penasaran dengan apa yang dirasakan Steven tentang adiknya. Steven tersipu, sambil menggaruk pelipisnya. “Aku sudah menebaknya, kalau kau akan menyukai adikku.” “Ya, aku menyukai dia karena baik. Dan juga perhatian,” tawa Steven lagi-lagi berderai. Darren mengerang, “Ah, ternyata kau menyukainya karena itu,” rutuknya kesal. “Aku sudah punya tunangan,” jawab Steven.Dan itu membuat Darren menghela napas. Dalam hatinya meratapi nasib dirinya sendiri—yang beberapa tahun jadi tahanan oleh kelompok garis keras. Disiksa, kelaparan, kesakitan, makan makanan binatang, membuat Darren trauma.
Season IILily melihat keadaan sekitarnya, memastikan kalau keadaan di ruangan itu aman. Tidak ada yang mendengar. “Jadi?” “Aku membawa Darren ke rumah sakit. Dia dirawat karena banyak bagian tubuhnya yang terluka.” Steven menghela napas. “Dia terus menanyakanmu. Aku diminta mengajakmu ke rumah sakit.” Lily mengangguk sekali lagi, paham sekali kalau kakakknya ingin bertemu. Wanita itu lantas menarik napas. “Kita ke rumah sakit sekarang saja,” Lily berkata cepat. Steven memelotot, “Apa kau yakin?” “Kita lakukan dengan cepat, sebelum yang lainnya tahu.” Steven tidak ada pilihan lagi, dia menggandeng tangan Lily agar bisa bergerak cepat. Ke pelataran parkir, lalu masuk mobil. ***Perasaan Lily tidak karuan, campur aduk. “Bagaimana dia sekarang?” tanya Lily pada Steven saat mereka menelusuri koridor rumah sakit. Tangannya gemetar. Steven melihat dan merasakan kalau Lily gelisah sejak di jalan tadi. “Biasa,” jawaban Steven terlalu sederhana. “Biasa bagaimana maksudmu?” sentak Li
Season II“Ya ....” Steven gelagapan, dia menatap Lily sambil membeku. “Axel?” tebak Lily sambil berbisik. Steven mengangguk, lalu memberikan ponselnya kepada Lily. “Hallo?” sapa Lily pelan, dia pastikan kalau Axel akan marah. Minimal akan membentaknya. “Li, si kembar demam, tadi Meredith mengabarkan,” ujar Axel pelan. Tidak ada nada suara yang seperti marah. “Apa? Baiklah, aku akan segera pulang,” jawab Lily panik. Sepanjang perjalanan pulang Lily gelisah, entah berapa kali dia menghela napas. “Apa sakit anakku parah?” tanya Lily kepada Steven. “Kita bisa lihat nanti. Kita berdoa, semoga kesembuhan anakmu tidak sulit.” Lily mengangguk setuju. Entah apa lagi yang bisa dia katakan. ***Nyonya Margot sudah memanggil dokter untuk memeriksa kembar. Dan ternyata flu karena perubahan musim. “Aku sudah menyuruh pengasuhnya diganti dulu untuk sementara waktu. Aku takut si kembar tertular flu dari pengasuhnya,” kata Nyonya Margot kepada Lily yang baru datang. Wajah Lily pucat, mat
Season IISetelah menemani Lily makan, Axel meninggalkan calon istrinya di kamar anak-anak. Lily lebih ceria sekarang. Axel mencium kening Lily, “Aku kembali ke kantor dulu. Sampai nanti malam,” ucapnya.“Sampai jumpa,” jawab Lily sambil mengangguk. Keluar dari kamar bayi, Axel memutuskan untuk menyapa Steven yang masih ada di ruang tamu. “Hai, apa kabarmu? Maaf, tadi aku langsung menelepon,” ujar Axel, sambil berjabat tangan. “Baik,” jawab Steven. “Apa kau ada waktu? Aku ingin bicara sebentar. Tapi, aku ingin di tempat lain.”Dahi Axel mengerut, sebenarnya penasaran apa yang dilakukan Lily dengan Steven tadi. “Ini soal kepergian kami tadi,” tambah Steven, suaranya tegas, tatapannya lurus ke arah Axel. Axel menghela napas, “Baik. Di kantorku saja. Aku masih ada beberapa urusan di sana.” Steven mengangguk setuju dengan ide Axel. ***Axel menyelesaikan urusan kantornya dulu. Setelah itu dia duduk di sofa yang ada di ruangannya. “Maaf, selalu membuatmu menunggu,” ucap Axel tidak
Season II“Karena tindakanku menolong mama, semua orang menganggap aku jahat. Adikku sendiri membuangku. Bahkan, aku tidak diundang di pesta pernikahannya. Dan aku tidak punya kesempatan untuk menemui keponakanku sendiri.” Mata Darren berkaca-kaca. “Jahat atau tidak, itu adalah niat dalam hatimu. Bukan dari prasangka orang-orang. Pahamilah.” Steven menatap Darren yang lama-lama terisak. Tak lama, dia membuang pandangannya dan hanya bisa menghela napas. Ruang perawatan itu pun hening dan lebuh dingin dari pada biasanya.“Apakah ... biaya rumah sakit ini ....” “Lily yang membayarnya," sambar Steven dengan yakin. "Aku tidak akan sanggup kalau menanggung semua biaya perawatanmu yang sudah pupuhan ribu dollar."Jawaban itu membuat Darren makin menyesali apa yang sudah dia perbuat dimasa silam kepada Lily.***Axel mempersiapkan makan malam seperti di restoran mewah. Tanpa kursi dan meja. Di balkon kamar Axel, dia menggelar karpet yang halus serta menyalakan lilin untuk menerangi sepanj
Season IISuasana di beranda itu sedikit tegang, keduanya terdiam, terdengar suara hembusan angin musim panas. “Apakah boleh?” ulang Axel sekali lagi, dia menggenggam jemari Lily. “Aku pernah gagal dalam berumah tangga. Kali ini aku tidak ingin gagal lagi. Kakakmu akan menjadi bagian dari kita, Li.” Lily masih diam, apa gunanya Axel kenal dengan Darren? Nanti malah Darren Axel merongrong terus. “Aku ... tidak ingin kakakku merepotkanmu,” jawab Lily terpatah-patah. “Lily, ingat kalau kau adalah istriku nanti. Dan aku akan selalu melindungimu. Ingat, kita punya Steven dan ada Tom kalau kau perlukan.” Lily menatap Axel. Lalu mengangguk ragu. “Jangan ragu-ragu. Kau bisa selalu mempercayaiku,” Axel meyakinkan Lily.“Baik,” jawab Lily lirih. Axel langsung memeluk Lily, mengecup puncak kepalanya. “Terima kasih, aku berjanji akan melakukan yang terbaik untukmu.” Lily mengangguk, membiarkan dirinya seperti menyatu dengan Axel. “Besok kita jenguk bersama, bagaimana?” Lily lantas menat
Season II“Apa-apaan? Apa kau sama sekali tidak menghargai aku, meski sedikit?” suara Darren rendah, hampir tidak terdengar. “Kau ini adikku satu-satunya, Li.” “Justru karena kau adalah saudara kandungku. Aku menjaga hubungan ini agar selalu rukun. Aku tidak mau kalau nanti kau bertingkah dan menyusahkanku seperti beberapa tahun lalu,” Lily menjelaskan panjang lebar. “Kau adalah kakakku, biar bagaimana pun kau yang akan mengantarku ke altar. Kalau kau bersedia. Aku tidak akan memaksa.” Axel membeku menatap Lily yang begitu berani berkata-kata. Mana sangka? Darren terdiam, begitu juga Steven.“Aku pikir cukup. Aku pamit dulu,” pamit Lily. “Sampai bertemu di pernikahan.” Axel menundukkan kepala ke arah Darren, lalu pergi meninggalkan ruang perawatan. Tidak bersalaman atau juga mengucapkan kata perpisahan. Axel langsung berjalan ke luar. Steven juga tidak bisa berkata apa-apa. Dia mengikuti Axel dan Lily keluar dari ruangan, Lily lemas terduduk di kursi ruang tunggu. Napasnya me
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a